Minggu, 31 Juli 2011

PEMIDANAAN PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI

Terhadap pelaku tindak pidana korupsi terhadap keuangan suatu negara, harus diupayakan pemberantasan dan penanggulangannya melalui kebijakan-kebijakan pidana dan pemidanaan. Barda Nawawi Arief, mengatakan, “pedoman pemidanaan dimaksudkan sebagai jembatan untuk menginformasikan prinsip-prinsip atau ide-ide yang melatar belakangi disusunnya konsep antara lain ide untuk mengefektifkan penggabungan jenis sanksi yang lebih bersifat pidana dengan jenis sanksi yang bersifat tindakan”. Pernyataan Barda di atas, dipertegas Mahmud Mulyadi  dan Feri Antoni Surbakti yang mengatakan:
Pentingnya menginformasikan secara sistematis mengenai prinsip-prinsip atau ide-ide dasar “sistim dua jalur” atau double track system. Menetapkan jenis sanksi, tidak hanya meliputi sanksi pidana tetapi sanksi tindakan. Penekanan kesetaraan sanksi pidana dan sanksi tindakan dalam kerangka double track system, sesungguhnya terkait bahwa unsur pencelaan lewat sanksi pidana dan unsur pembinaan melalui sanksi tindakan memiliki kedudukan yang sama pentingnya.
Hukum pidana mengenal adanya sanksi pidana (straf) dan tindakan (maatregel). Bagian dari pemidanaan adalah penerapan sanksi pidana (straf) bukan tindakan (maatregel), akan tetapi menurut Jan Remmelink, terkadang penerapan tindakan (maatregel) dalam praktiknya sering jga menimbulkan penderitaan terhadap pelaku. Salah satu tujuan pemidanaan adalah untuk menjadikan efek jera pelaku tindak pidana. Pemidanaan dimaksud dalam hal ini adalah penerapan sanksi pidana (straf) terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Penerapan sanksi pidana dalam pemidanaan merupakan suatu penghukuman bagi pelaku agar menjadikan efek jera terhadap pelaku. Pandangan Jan Remmelink dalam penerapan sanksi pidana lebih menitikberatkan kepada perbuatan pembalasan atau penderitaan yang dijatuhkan kepada penguasa terhadap seseorang yang melanggar pidana.
Tujuan pemidanaan dalam penerapan sanksi pidana selama ini selalu berkaitan dengan peraturan perundang-undangan. Penerapan sanksi pidana tidak mengurangi terjadinya kejahatan, justru menambah kejahatan. Dengan demikian, muncul teori-teori pemidanaan yang menekankan kepada tindakan (maatregel). Teori pemidanaan dikenal dalam hukum pidana yaitu teori retributif (absolut), teori relatif (teori tujuan), teori gabungan, teori pengobatan (treatment), teori tertib sosial (social defence), dan teori restoratif (restorative).
Teori retributif (absolute) menekankan pembalasan karena pelaku kejahatan dianggap layak menerima sanksi pidana atas kejahatan yang dilakukannya. Teori retributif (absolute) dalam perkembangan kemudian menimbulkan masalah sebab semakin diberikan sanksi pidana, kejahatan justru meningkat. Muncul teori yang menedepankan apa sebenarnya tujuan atau apa sebenarnya yang dicari dalam pemberian sanksi pidana. Teori semacam ini disebut teori relatif (teori tujuan). Teori relatif ini muncul sebagi protes terhadap teori retributif (absolute). Teori relatif berorientasi pada upaya pencegahan terjadinya tindak pidana. Orientasi teori relatif mengedepankan tujuan mencegah, menimbulkan rasa takut, dan memperbaiki yang salah.
Teori pengobatan (treatment) memandang bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan kepada perbuatannya. Pemidanaan dimaksud adalah untuk memberi tindakan perawatan atau pengobatan (treatment) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. Alasannya adalah didasarkan kepada alasan bahwa pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga dibutuhkan tindakan perawatan atau pengobatan.
Teori tertib sosial (social defence) terbagi dua yaitu aliran radikal dan aliran moderat. Aliran radikal memandang ”hukum perlindungan sosial harus menggantikan hukum pidana yang ada sekarang”. Aliran ini masih mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya. Aliran moderat memandang bahwa setiap masyarakat mensyaratkan tertib sosial dalam seperangkat peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan bersama, tetapi sesuai dengan aspirasi warga masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, peranan yang besar dari hukum pidana merupakan kebutuhan yang tidak dapat dielekkan dalam suatu sistim hukum.
Teori restoratif (restorative) mamandang adanya perlindungan secara berimbang terhadap hak-hak dan kepentingan pelaku dan korban tindak pidana, masyarakat dan negara, sehingga dewasa ini dikenal dengan adanya peradilan restoratif sebagai konsep peradilan yang menghasilkan keadilan restoratif. Keadilan restoratif merupakan produk peradilan yang berorientasi pada upaya untuk melakukan perbaikan-perbaikan atau pemulihan dampak-dampak kerusakan atau kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan-perbuatan yang merupakan tindak pidana. Konstruksi pemikiran peradilan restoratif dan keadilan restoratif yang dihasilkannya, perlindungan hak-hak dan kepentingan korban tindak pidana tidak semata-mata berupa perlakuan yang menghargai hak-hak asasi para korban tindak pidana dalam mekanisme sistem peradilan pidana, melainkan juga mencakup upaya sistematis untuk memperbaiki dan memulihkan dampak kerusakan atau kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan pelaku tindak pidana baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat emosional.
Lilik Mulyadi mengatakan, implementasi dari teori restoratif salah satunya adalah pengembalian aset pelaku tindak pidana korupsi berupa tindakan hukum pidana, gugatan perdata berupa perampasan in rem yaitu tindakan negara mengambil alih aset melalui putusan pengadilan dalam perkara perdata berdasarkan bukti-bukti yang lebih kuat bahwa aset tersebut diduga berasal dari tindak pidana atau digunakan untuk tindak pidana maupun kerja sama internasional dalam bantuan timbal balik masalah pidana (mutual assistance in criminal matters) antara negara korban korupsi atau negara asal (country of origin) dan negara penyimpan aset korupsi atau negara ketempatan (custodial state).
Pandangan dalam teori restoratif adalah memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. J. Andeneses mengatakan teori ini dapat juga disebut sebagai teori perlindungan masyarakat (the theori of social defence). Berdasarkan pandangan J. Andeneses di atas, mengarahkan pemikiran bahwa selain teori restoratif yang dapat dijadikan dasar dalam pengembalian dan pemulihan aset hasil tindak pidana korupsi, teori perlindungan masyarakat (the theori of social defence) atau teori tertib sosial dapat juga sebagai landasan dalam perampasan aset korupsi. Sedangkan teori retributif (absolut), teori relatif (teori tujuan), teori gabungan, teori pengobatan (treatment) sebagaimana telah dijelaskan di atas, tidak cocok digunakan dalam pembahasan perampasan aset korupsi.
Justifikasi teoretis perampasan aset secara filosofis, argumentasinya adalah pengembalian aset pelaku tindak pidana korupsi dapat terdiri dari benda tetap maupun benda bergerak atau dapat pula berupa uang hasil korupsi baik yang berada di dalam negeri (Indonesia) maupun di luar negeri. Aset tersebut hakikatnya merupakan uang negara in casu adalah berasal dari dana masyarakat. StAR pada negara-negara berkembang mengalami hambatan karena tidak adanya regulasi yang mengatur perampasan harta benda tanpa melalui proses peradilan pidana (non conviction base) sehingga diperlukan adanya pengaturan non conviction base stolen asset recovery yang mengatur mekanisme hukum tentang pembekuan (freezing), perampasan (seizure) dan penyitaan (confiscation) harta benda tanpa perlu dibuktikan keterlibatan dalam perkara pidana dimana proses ini dalam RUU Perampasan Aset Tindak Pidana Korupsi Indonesia Tahun 2008 dikenal tindakan berupa penelusuran, penggeledahan, pemblokiran, penyitaan dan perampasan yang berupa perampasan in rem dan perampasan pidana. Logikanya dengan pelaku melakukan pengembalian aset diharapkan akan berdampak langsung untuk memulihkan keuangan negara atau perekonomian negara yang akhirnya bermuara kepada kesejahteraan dan keadilan masyarakat.


TENTANG CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR)

Konsep CSR sudah ada sejak kerajaan Babilonia di Yunani hingga dalam sejarah modern semakin dikenal sejak Howard R. Bowen menerbitkan bukunya berjudul Social Responsibilities of The Businessman pada era 1950-1960 di Amerika Serikat. Pengakuan publik terhadap prinsip-prinsip tanggung jawab sosial yang beliau kemukakan membuat dirinya dinobatkan secara aklamasi sebagai Bapak CSR. Bahkan dalam dekade 1960-an, pemikiran Howard terus dikembangkan oleh berbagai ahli sosiologi bisnis lainnya seperti Keith Davis yang memperkenalkan konsep Iron Law of Social Responsibility. Suhandari M. Putri mengenai CSR menyatakan adalah, ”Komitmen perusahaan atau dunia bisnis untuk berkontribusi dalam pengembangan ekonomi yang berkelanjutan dengan memperhatikan tanggung jawab sosial perusahaan dan menitikberatkan pada keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomis, sosial, dan lingkungan”. 
Pada dasarnya, CSR merupakan tanggung jawab perusahaan terhadap para pemangku kepentingan (stakeholders), dan juga tanggung jawab perusahaan terhadap para pemegang saham (shareholders). Dewasa ini pengertian CSR masih beraneka ragam dan memiliki perbedaan defenisi antara satu dengan yang lainnya. Secara global bahwa CSR adalah suatu komitmen perusahaan perusahaan adalah memiliki suatu tanggung jawab terhadap konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala aspek operasional perusahaan. CSR berhubungan erat dengan “pembangunan berkelanjutan”, dimana ada argumentasi bahwa suatu perusahaan dalam melaksanakan aktivitasnya harus mendasarkan keputusannya tidak semata berdasarkan faktor keuangan, misalnya keuntungan atau deviden melainkan juga harus berdasarkan konsekuensi sosial dan lingkungan untuk saat ini maupun untuk jangka panjang.
Defenisi CSR menurut Edi Suharto, adalah “kepedulian perusahaan yang menyisihkan sebagian keuntungannya (profit) bagi kepentingan pembangunan manusia (people) dan lingkungan (planet) secara berkelanjutan berdasarkan prosedur (procedure) yang tepat dan profesional”. Defenisi CSR menurut Ismail Solihin, adalah “salah satu dari bentuk tanggung jawab perusahaan terhadap pemangku kepentingan (stakeholders)”. CSR dalam buku Gunawan Widjaja dan Yeremia Ardi Pratama dalam bukunya yang berjudul “Resiko Hukum & Bisnis Perusahaan Tanpa CSR”, belum mendefenisikan CSR dengan pendapat sendiri, tetapi dalam buku tersebut mendefenisikan CSR merujuk kepada isi Pasal 1 Butir 3 UUPT, dimana bahwa TJSL merupakan suatu kewajiban.
Reza Rahman memberikan 3 (tiga) defenisi CSR sebagai berikut:
1.   Melakukan tindakan sosial (termasuk kepedulian terhadap lingkungan hidup, lebih dari batas-batas yang dituntut dalam peraturan perundang-undangan;
2.   Komitmen usaha untuk bertindak secara etis, beroperasi secara legal, dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup karyawan dan keluarganya, komunitas lokal, dan masyarakat yang lebih luas; dan
3.   Komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan karyawan perusahaan, keluarga karyawan tersebut, berikut komunitas setempat (local) dan masyarakat secara keseluruhan dalam rangka meningkatkan kualitas hidup;
CSR menurut Merrick Dodd menyatakan, bahwa CSR adalah “suatu pengertian terhadap para buruh, konsumen dan masyarakat pada umumnya dihormati sebagai sikap yang pantas untuk diadopsi oleh pelaku bisnis….”. Saleem Sheikh menjelaskan bahwa “CSR merupakan tanggung jawab perusahaan, apakah bersifat sukarela atau berdasarkan undang-undang, dalam pelaksanaan kewajiban sosial-ekonomi di masyarakat”. Salem Sheikh mengamati bahwa CSR meliputi 2 (dua) hal yang utama dalam corporate philanthropy (filantropi korporasi), yang Pertama, perusahaan melakukan peranan jasa sosial, Kedua, melaksanakan trusteeship principle (prinsip perwalian), dimana direksi bertindak sebagai wali bagi pemegang saham, kreditur, buruh, konsumen dan komunitas yang lebih luas.
Ramon Mullerat menggambarkan CSR sebagai konsep bahwa perusahaan secara sukarela sebagai penghargaan kepada stakeholders yang lebih luas memberikan kontribusi terhadap lingkungan hidup lebih bersih, kehidupan masyarakat lebih baik melalui interaksi aktif dengan semua pihak. S. Zadek, M. Fostater dan P. Raynard membagi CSR ke dalam 3 (tiga) generasi yakni mulai dari yang sifatnya sekedar filantropis, menjadi  bagian  yang  tidak terpisahkan dari strategi bersaing jangka panjang perusahaa, serta yang terakhir yang lebih maju lagi, yakni yang berorientasi pada advokasi dan kebijakan publik.
The World Business Council of for Sustainable Development (WBSCSD) juga menggambarkan CSR sebagai “busines” commitment to contribute to sustainable economic development,  working with employees, their, the local community, and society at large to improve their quality  of life. (komitmen bisnis untuk memberikan kontribusi pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, bekerja sama dengan pegawai, keluarganya, komunitas lokal dan masyarakat luas untuk meningkatkan kualitas hidup bersama).
Menurut defenisi The Jakarta Consulting Group, CSR diarahkan baik ke dalam (internal) maupun keluar (eksternal) perusahaan. Tanggung jawab internal (Internal Responsibilities) diarahkan kepada pemegang saham dalam bentuk profitabilitas yang optimal dan pertumbuhan perusahaan, termasuk juga tanggung jawab yang diarahkan kepada karyawan terhadap kontribusi mereka kepada perusahaan berupa kompensasi yang adil dan peluang pengembangan karir. Sedangkan tanggung jawab eksternal (External Responsibilities) berkaitan dengan peran serta perusahaan sebagai pembayar pajak dan penyedia lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan dan kompetisi masyarakat, serta memelihara lingkungan bagi kepentingan  generasi mendatang.
Magnan dan Ferrel juga memberikan defenisi CSR yaitu “A business acts in socially responsible manner when its decision and account for and balance diverse stake holder interest.” Defenisi ini menekankan kepada perlunya memberikan perhatian secara seimbang terhadap kepentingan berbagai pihak stakeholders yang beragam dalam setiap keputusan yang diambil oleh pelaku bisnis melalui perilaku yang secara sosial bertanggung jawab.
Versi lain mengenai defenisi CSR diberikan oleh World Bank. Lembaga keuangan global ini memandang CSR sebagai ”the commitment of business to contribute to sustainable economic development working with employees and their representative the local community and society at large to improve quality of life, in ways that are both good for business and good for development.” (yaitu komitmen bisnis dalam memberikan kontribusi untuk pembangunan ekonomi berkelanjutan bekerjasama dengan para pegawai dan melibatkan komunitas lokal serta masyarakat luas untuk meningkatkan kualitas hidup, yang mana cara-cara ini baik untuk bisnis dan pembangunan). CSR Forum juga memberikan definisi, “CSR mean open and transparent business practices that are based on ethical values and respect for employees, communities and environment..” (CSR berarti praktek bisnis yang terbuka dan transparan berdasarkan nilai-nilai etis dan penghargaan bagi para pegawai, komunitas dan lingkungan). Sementara sejumlah negara juga mempunyai defenisi tersendiri mengenai CSR. Uni Eropa (EU Green Paper on CSR) mengemukakan bahwa “CSR is a concept where by companies integrate social and environmental concerns in their business operations and in their interaction with their stakeholders on a voluntary basic.” (CSR  adalah  suatu  konsep  dimana  perusahaan mengintegrasikan keprihatinan terhadap lingkungan dan sosial terhadap kegiatan bisnis dan interaksi mereka dengan stakeholders mereka berlandaskan dasar sukarela).
Defenisi CSR secara etimologis di Indonesia kerap diterjemahkan sebagai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL). Namun setelah tanggal 16 Agustus 2007, CSR di Indonesia telah diatur melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menggantikan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang selanjutnya disingkat UUPT bahwa CSR yang dikenal dalam undang-undang ini sebagaimana yang termuat dalam Pasal 1 Ayat 3 yang berbunyi, “Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.”
Dari berbagai defenisi CSR yang beragam diungkapkan oleh para ilmuan tersebut di atas, maka peneliti menyatakan konsep yang perlu dipahami tentang CSR ini, yakni CSR menawarkan sebuah kesamaan dalam bentuk keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomis dan perhatian terhadap aspek sosial serta lingkungan. Selain itu, ada beberapa isu yang terkait dengan CSR antara lain Good Corporate Governance (GCG), Sustainable Development, Protokol Kyoto, Millenium Development Goals (MDGs) dan Triple Bottom Line.
Good Corporate Governance (GCG) atau tata kelola perusahaan yang baik diperlukan agar perilaku bisnis mempunyai arahan yang baik. Intinya, GCG merupakan sebuah sistem  dan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara berbagai pihak yang berkepentingan terutama dalam arti sempit hubungan antara pemegang saham dan dewan komisaris serta dewan direksi demi tercapainya tujuan korporasi. Dalam arti luas mengatur hubungan seluruh kepentingan stakeholders dapat dipenuhi secara proporsional. Dalam hal ini sedikitnya ada 5 (lima) prinsip GCG yang dapat dijadikan pedoman bagi para pelaku bisnis yaitu, Transparency (Keterbukaan Informasi), Accountability (Akuntabilitas), Responsibility (Pertanggungjawaban), Independency (Kemandirian), Fairness (Kesetaraan dan Kewajaran). Adapun hubungan antara GCG dengan CSR terdapat pada prinsip responsibility yang merupakan prinsip yang paling dekat dengan CSR. Dalam prinsip ini, penekanan yang signifikan diberikan kepada stakeholders perusahaan. Penerapan prinsip ini diharapkan perusahaan dapat menyadari bahwa dalam kegiatan operasionalnya seringkali menghasilkan dampak eksternal yang harus ditanggung oleh stakeholders. Oleh sebab itu, wajar bila perusahaan juga memperhatikan kepentingan dan nilai tambah bagi stakeholders-nya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penerapan CSR merupakan salah satu bentuk implementasi dari konsep GCG. Sebagai entitas bisnis yang bertanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungannya, perusahaan memang mesti bertindak sebagai good citizen yang merupakan tuntutan dari good business ethics.
CSR juga dapat ditelusuri melalui konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Konsep ini secara sederhana didefenisikan sebagai pembangunan atau perkembangan yang memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa membahayakan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Istilah pembangunan berkelanjutan mulai popular setelah terbitnya buku “Silent Spring” karangan Rachel Carson. Sejak saat itu, perhatian terhadap permasalahan lingkungan semakin berkembang dengan dilakukannya berbagai konferensi antara lain Konferensi Lingkungan Hidup di Stockholm (1972), KTT Bumi di Rio de Janeiro (1992), KTT Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg (2002) dan konferensi lainnya yang masih terus dilakukan oleh berbagai Negara untuk menangani permasalahan global secara bersama dimana isu yang membahas pembangunan berkelanjutan yang didasarkan atas perlindungan lingkungan hidup, pembangunan ekonomi dan sosial selalu menjadi agenda pertemuan. Hal ini juga merupakan konsep CSR yang selanjutnya berkembang di berbagai negara.
Dalam Protokol Kyoto yang dideklarasikan di Jepang, juga membahas isu global yang berkaitan dengan peningkatan suhu bumi akibat efek gas rumah kaca atau Green Houses Gases (GPGs). Peranan seluruh Negara diharapkan dalam menjaga laju pemanasan global akibat peningkatan emisi gas rumah kaca tersebut. Kontribusi emisi gas rumah kaca tersebut ternyata didominasi oleh perusahaan-perusahaan multinasional di berbagai negara terutama Amerika Serikat sebagai kontributor emisi terbesar dunia. Hal ini semakin menyadarkan para pelaku bisnis untuk berkomitmen menerapkan CSR demi kepentingan bersama.
Pada Tahun 2000, dilaksanakan KTT  Millennium (Millennium Summit) sebagai wujud dari kepedulian dunia terhadap kemiskinan dengan lahirnya United Millennium Declaration yang berupa Millennium Development Goals/MDGs. Tujuan dari MDGs antara lain menghapuskan tingkat kemiskinan, pencapaian pendidikan dasar secara universal, serta menjamin berlanjutnya pembangunan lingkungan. Maka, jelas hal ini juga dapat diwujudkan melalui CSR sebagai bagian untuk pencapaian MDGs.
Triple Bottom Line dipopulerkan oleh John Elkington pada tahun 1997 melalui bukunya “Cannibals with Forks, the Triple Bottom Line of Twentieth Century Business”. Elkington mengembangkan konsep Triple Bottom Line (disingkat TBL) dalam istilah economic prosperty, environmental quality dan social justice. Elkington memberi pandangan bahwa perusahaan yang ingin berkelanjutan harus memperhatikan 3P. Selain mengejar Profit, perusahaan juga harus memperhatikan dan terlibat pada pemenuhan kesejateraan masyarakat (People) dan turut berkontribusi aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (Planet). Dalam gagasan tersebut, perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu aspek ekonomi yang direfleksikan dalam kondisi financial-nya saja, namun juga harus memperhatikan aspek sosial dan lingkungan. Aliran pemikiran yang semakin diminati dan semakin punya daya tarik untuk masa yang akan datang adalah aliran yang meyakini bahwa kondisi keuangan saja tidak cukup menjamin nilai perusahaan tumbuh secara berkelanjutan (sustainable).
            Di Indonesia, CSR lebih dikenal dengan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) sebagaimana yang sudah termuat dalam UUPT. Dengan keberadaan UUPT tersebut membuat kegiatan atau program TJSL menjadi wajib. Ketentuan itu terdapat dalam Pasal 74 Ayat (1). Konsep CSR juga telah banyak berkembang di negara lain dan Indonesia mengadopsi CSR yang awalnya berkembang di negara kapitalis karena menilai hal ini perlu diatur mengingat semakin besarnya jumlah perusahaan di Indonesia yang menjalankan CSR setengah hati disertai kerusakan lingkungan yang semakin parah. Jika melihat sasaran CSR yang memperhatikan aspek lingkungan dan sosial maka kedua aspek tersebut yang memiliki kecenderungan sebagai latar belakang pengaturan CSR di Indonesia yang lebih dikenal dengan TJSL.