Sabtu, 13 Agustus 2011

PENYEBAB KORUPSI DAN KUTUKAN ALLAH SWT TERHADAP KORUPTOR

1.      Penyebab Korupsi
Jumlah penduduk Indonesia yang memeluk agam Islam lebih kurang 182,570,000 jiwa merupakan negara muslim terbesar di seluruh dunia sekitar 88% penduduknya beragama Islam, meskipun demikian Indonesia bukanlah negara Islam. Muslim di Indonesia dikenal dengan sifatnya yang moderat dan toleran. Terkait dengan meningkatkannya dewasa ini kasus-kasus korupsi di Indonesia dan jumlah kriminalitas yang semakin bertambah, tidak dapat dipungkiri bahwa pelaku pada umumnya adalah orang-orang yang beragama Islam. Berdasarkan fenomena itu, bangsa dari sebuah negara dengan tingkat keberagamaan (religiusitas) dan penduduknya yang mayoritas Islam, ternyata tidak bisa dijadikan sebagai ukuran. Ternyata, negara yang dikenal sangat religius seperti Indonesia, dalam beberapa survei justru meraih rekor yang sangat tinggi dalam urusan korupsi.
Sebaliknya, sejumlah negara sekuler dan negara-negara non Islam, justru berhasil menekan tingkat korupsi hingga pada tingkatan yang paling minimal. Padahal, jika merujuk kepada doktrin-doktrin normatif agama yang amat ideal dalam syari’ah Islam (hukum Islam), Indonesia sebagai negara dengan populasi muslim paling besar di dunia, tidak sepantasnya menduduki peringkat negara terkorup. Pertanyaannya, mengapa hal itu bisa terjadi? Jawabannya, dapat dimengerti hubungan antara agama dengan tingkat korupsi dari teori keseimbangan antara kecerdasan Inteligensia Question (IQ), Emosional Question (EQ), dan Spritual Question (SQ). Ketiga unsur ini harus seimbang di dalam tubuh manusia, jika salah satu dari unsur tersebut pengaruhnya menempati posisi lebih besar, maka akan terjadi kesalahan (false) misalnya jika IQ seseorang mendominasi daripada EQ dan SQ dapat mengakibatkan kontrol berpusat pada akal sehingga fenomena-fenomena politik bangsa ini, akan dikendalikan oleh akal pikiran yang membabi-buta tanpa mempertimbangkan perasaan dan ketuhanan. Para ilmuan yang sangat ahli dalam bidangnya tidak bisa menjadi pemimpin bangsa, kalau hanya mengandalkan IQ tanpa dibarengi dengan EQ (perasaan) dan SQ (ketuhanan). Mereka yang menjadi pemimpin adalah orang-orang yang cerdas akalnya (IQ) dan cerdas perasaanya (EQ) serta cerdas sifat-sifat ketuhanannya (SQ).
Kecerdasan IQ tanpa dibarengi dengan kecerdasan EQ dan SQ, maka itulah orang-orang yang kebiasaannya mengakal-akali orang lain yang lemah IQ-nya. Salah satu contohnya adalah koruptor. Orang semacam ini adalah cerdas IQ-nya namun tidak memiliki perasaan publik (EQ) dan tidak mengamalkan syariat agama Islam (SQ) sehingga yang haram menurutnya bisa menjadi halal.
Seseorang yang cerdas EQ-nya tidak pula suatu yang baik sebab orang yang cerdas EQ-nya ada dua sifat dimilikinya yaitu pemarah dan lemah yang berlebihan. Seseorang yang cerdas SQ-nya memiliki kebiasaan selalu mencari dan mencari kebenaran yang bersifat ketuhanan artinya bisa mengabaikan dunia tanpa memperhatikan anak dan istrinya serta jauh dari hablumminannas (hubungan sesama manusia) melainkan hanya mementingkan urusan akhirat untuk dirinya sendiri atau mementingkan urusan hablumminallah saja. Oleh sebab itu, sesuatu menjadi berarti dan penting adalah setiap insan khususnya pemimpin-pemimpin negara ini harus dapat menyeimbangkan ketiga kecerdasan itu yakni inteligensi, emosional, dan spritual sehingga dalam hal mengelola aset negara dapat terhindar dari tindakan-tindakan yang menghalalkan berbagai cara misalnya korupsi.
Orang yang tinggi pemahaman agamanya atau ketuhanannya (SQ-nya) juga bisa melakukan korupsi apalagi jika ia hanya memiliki kecerdasan IQ dan EQ saja. Lalu pertanyaannya adalah mengapa koruptor tidak pernah habis-habisnya di Indonesia? Jawabnya dengan mudah karena kecerdasan ketiga unsur tersebut tidak diseimbangkan dalam menjalankan amanah yang ada padanya. Sehingga dengan demikian, terdapat hubungan antara korupsi dengan agama dalam hal kecerdasan inteligensi, emosional, dan spritual.
Namun, perlu diketahui bahwa kelompok orang yang betul-betul takut dengan hukum Allah SWT belum tentu tidak melakukan korupsi. Motifnya bukan karena takut kepada Allah SWT melainkan lebih bersifat praktis. Misalnya, kalau mereka menyuap polisi, mereka sadar itu akan menghancurkan tatanan hukum, kalau mengambil hak orang lain, mereka sadar akan menyengsarakan banyak orang. Namun tetap saja korupsi dilakukan dengan dalih rasionalitas yakni karena keadaan sistimnya sudah seperti itu, sehingga terikut arus. Pertanyaan yang harus dijawab sendiri adalah mengapa kita tidak melawan arus terhadap sistim yang ada dalam negara ini?
2.      Allah SWT Mengutuk Koruptor Melalui Ayat-Ayat Dalam Al-Qur’an
Korupsi sesungguhnya merupakan nama keren (nama modern) dari mencuri. Secara tersurat, aturan hukum korupsi tidak terdapat dalam Al-Qur’an, melainkan larangan dalam bentuk lain yang ada hubungannya dengan mengambil hak orang lain yang bukan haknya (korupsi). Istilah korupsi sebenarnya derivatif (turunan) dari mencuri dan hal-hal lain yang dilarang dalam Al-Qur’an.  Allah SWT berfirman dalam QS: Al-Maidah ayat 38:
-------------------------------------------
Artinya: ”Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah dan Allah maha perkasa dan maha bijaksana”.
Sanksi bagi pencuri menurut Al-Qur’an sudah jelas tangannya dipotong. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) disebutkan bahwa mencuri adalah mengambil sesuatu barang milik orang lain yang bukan haknya. Walaupun sanksi pidana (penjara) dan perdata (ganti rugi) sudah diterapkan kepada koruptor melalui putusan sidang pengadilan, namun belum tentu Allah SWT melepaskannya dari segala ganjaran di Akhirat kelak. Allah SWT berfirman dalam QS: Al-Maidah ayat 39:
-------------------------
”Tetapi barang siapa yang bertaubat setelah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya”.
Pengecualian sanksi ini tidak berarti dan tidak bermakna di hadapan Allah SWT apabila taubat itu dikerjakan tidak sepenuh hati dengan kata lain bahwa taubatnya dilakukan tidak secara kaffah (keseluruhan) atau taubatan nasuha yaitu taubat sebenar-benar taubat.
Mengenai kejahatan pengambilan kekayaan orang lain secara tidak sah untuk memperkaya diri sendiri, digunakan terminologi syariqah (pencurian). Selain itu, dibahas juga ikhtilaf (menjambret), khiyanah (menggelapkan), ikhtilas (mencopet), al-nahb (merampas), dan al-ghasb (menggunakan tanpa seizin). Allah SWT dalam QS: Ali Imran ayat 161 berkata:
-----------------------------------------
Artinya: ”Barang siapa yang berkhianat (korupsi?) dalam urusan harta rampasan perang, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianati itu”.
Hadist sahih yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim juga disebutkan, ”Maka demi zat yang diri Muhammad di dalam gengamannya, tidaklah khianat/korupsi salah seorang dari kalian atas sesuatu, kecuali dia akan datang pada hari kiamat nanti dengan membawa di lehernya. Kalau yang dikorupsi itu adalah unta, maka ia akan datang dengan melenguh”.
Dalam pandangan Islam, korupsi (mencuri, suap) dan sejenisnya dilarang dan haram hukumnya. Bahkan Allah SWT mengutuk para koruptor, sebagaimana dikatakan dalam QS: Al-Anfal ayat 28 berkata:
---------------------
Artinya: ”Wahai orang-orang yang beriman!, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahuinya”.
Dalam QS: Al-Maarij ayat 24-25 memberi argumen cukup tegas bahwa dalam setiap harta yang dimiliki manusia, senantiasa ada hak orang lain dan hak itu, jelas bukan miliknya. Dengan ungkapan yang berbeda, Firman Allah dalam QS: Al-Hadid ayat 7 memberi ketegasan, bahwa sesungguhnya seorang manusia harus menafkahkan atas harta yang dikuasainya. Lalu, jika korupsi dilakukan, bukankah itu merupakan pengingkaran besar atas amanah kebendaan yang dititipkan pada manusia?. Hanya saja, ini sekadar menjadi sebuah kultur, tidak punya daya paksa struktural memberantas korupsi tersebut.
Hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan Abu Daud, berkata: ”Barang siapa yang kami pekerjakan pada suatu jabatan, kemudian kami beri gaji, malahan yang diambilnya selebih dari itu, berarti suatu penipuan”. Rasulullah SAW juga mengingatkan dalam sebuah haditsnya, diriwayatkan oleh Ahmad dan Hakim, berkata: ”Rasulullah SAW melaknat orang yang menyuap, yang menerima suap, dan yang menjadi perantara”.
Selain itu, Firman Allah SWT yang berkenaan dengan larangan korupsi dapat dipersamakan dengan maksud dalam QS: An-Nur ayat 27 yaitu:
--------------------
”Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu agar kamu selalu ingat”.
Bunyi ayat di atas, memiliki kaitan dengan suatu perbuatan yang dilakukan seseorang di luar daripada kewenangannya untuk dimilikinya, sama halnya dengan korupsi dilakukan bukan karena hak untuk memperolehnya, melainkan karena suatu perbuatan yang dilarang dalam Al-Qur’an.
Kekuasaan itu cenderung korup (power tends to corrupt). Al-Quran, tidak saja menghadirkan power tends to corrupt, bahkan melarang umat Islam untuk memilih kaum penindas jadi penguasa (lihat: QS. An-Naml: 34, Al-Kahfi: 71, Saba: 34-35, Al-Zuhruf: 23, Al-Isra: 16, Hud: 27). Namun jika mereka terlanjur berkuasa, maka perlu dilakukan oposisi melawan hegemoni kaum penindas itu (lihat: QS. Al-Hujurat: 9).
Al-Quran juga menyinggung kaum tertindas perlu menjadi pemimpin di bumi ini (lihat: QS. Al-Shaff 5, dan QS. Al-Anfal: 137). Jika dipahami secara kontekstual, dapat dimengerti bahwa sifat-sifat seorang pemimpin seharusnya bukan sosok koruptor, namun profilnya harus populis dan dekat dengan rakyat, dan mencintai mereka secara kaffah. Gerakan oposisi terhadap penguasa yang koruptor bahkan diyakini sebagai jihad fi sabilillah (lihat: QS. Al-Nisa: 75) yang juga merupakan agenda para rasul (lihat: QS. Al-Anfal: 157). Di sinilah praktis pembelaan terhadap kaum lemah perlu dilakukan.
Ruang ketaqwaan tidak saja dilihat melalui ibadah ritual serta kepuasan spiritual yang telah diraih, namun lebih dari itu, yang terpenting adalah bagaimana seseorang dapat bermanfaat bagi orang lain. Maka membela kaum lemah juga merupakan bagian dari karakter insan taqwa (lihat: QS. Al-Baqarah: 197, QS. Ali Imran: 134, QS. Al-Insan: 8-9, QS. Al-Maarij: 24, dan QS. Al-Dzariyat: 19).
Korupsi sebagai bagian dari monopoli dan konsentrasi kekuasaan juga disinggung dalam Al-Qur’an, seraya mengutuknya (lihat: QS. Al-Hasyr: 7). Pada sisi inilah, secara radikal Al-Quran “begitu berani” mengklaim orang yang (mushally) sebagai pendusta agama jika ia tidak memiliki keperpihakan pada anak yatim (lihat: QS. Al-Maun: 1-7). Kecelakaan lah bagi umat Islam yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya tanpa ada kesadaran nurani (inner conscious) untuk mewujudkan kesejahteraan sosial (social welfare) (lihat: QS. Al-Humazah: 1-9).
Dari sinilah, keberimanan manusia oleh Al-Qur’an perlu dipandu untuk menghidupkan kembali rasa kemanusiaan kita, melalui pembaharuan struktural, dan tidak hanya dorongan moral. Al-Qur’an harus menjadi inspirasi dan pelopor untuk melakukan gerakan pembebasan, termasuk dalam memberantas korupsi.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah SAW tersebut, jelas sekali bahwa korupsi dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Secara umum, dampak korupsi merugikan rakyat, merugikan perekonomian dan keuangan Negara, merendahkan martabat manusia dan bangsa di mata Allah SWT maupun bangsa-bangsa lain di dunia ini. Karena sangat membahayakan, maka Islam melarang kita untuk mendekatinya, sebagaimana tindakan preventif ketika Allah SWT melarang kita mendekati perbuatan zina.
Islam menawarkan beberapa konsep mencegah (terapi) terhadap terjadinya korupsi. Pertama, meningkatkan iman dan budaya malu. Melalui iman, setiap orang meyakini bahwa ia selalu diawasi oleh Allah SWT bukan manusia sebagai pengawasnya. Allah SWT selalu melihat dimana saja manusia itu berada. Rasulullah SAW mengingatkan bahwa iman dan malu kawanan seiring. Apabila salah satu misalnya iman tidak ada, malunya juga hilang. Karenanya, Rasulullah SAW menjelaskan, seseorang tidak akan berzina bila ia beriman, seseorang tidak akan mencuri bila ketika itu ia beriman.
Kedua, meningkatkan kualitas akhlak. Hal ini merupakan sendi keutuhan bangsa. Salah satu tugas Rasulullah SAW adalah beliau diutus untuk memperbaiki akhlak manusia. Suatu bangsa tetap utuh dan jaya selama masih menjaga akhlaknya, namun bangsa itu akan hancur bersama kehancuran akhlaknya. Ketiga, penegakan hukum. Hukum harus tegas, tanpa diskriminasi dan adil terhadap siapa pun yang melanggarnya. Keempat, contoh teladan dari pemimpin. Hendaknya pemimpin memberi teladan kepada yang dipimpin dan rakyatnya. Perbuatan, perkataan, dan sikap yang baik harus dimulai dari pemimpin yang paling tinggi. Kelima, pengamalan syari’at Islam secara kaffah. Syari’at Islam merupakan terapi untuk menanggulangi berbagai problema umat. Setiap orang beriman dan bertaqwa akan menjaga dirinya dari setiap kesalahan dan dosa. Dia tidak hanya taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, tetapi juga taat atas perintah dan larangan-Nya. Ia juga patuh kepada kepada hukum positif (hukum nasional) yang berlaku, baik KUHP maupun UU No.31 Tahun 1999 junto UU No.20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Korupsi adalah mengambil secara tidak jujur perbendaharaan milik publik atau barang yang diadakan dari pajak yang dibayarkan masyarakat untuk kepentingan memperkaya dirinya sendiri. Korupsi adalah tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi yang secara sengaja dilakukan sendiri atau bersama-sama untuk memperoleh keuntungan berupa status, kekayaan atau uang untuk perorangan, keluarga dekat atau kelompok sendiri.
Pendekatan atau perspektif orang awam dengan lugas mengatakan menggelapkan uang kantor, menyalahgunakan wewenangnya untuk menerima suap, menikmati gaji buta tanpa bekerja secara serius adalah tindakan korupsi. Inilah korupsi dipandang secara luas dan agama Islam juga memandang seperti itu bahkan lebih luas dari itu.
Namun perlu disadari bahwa untuk menghilangkan korupsi bukanlah perkara gampang karena ia telah berurat berakar dan menjalar kemana-mana terutama di negeri kita ini. Setidaknya ketiga-tiga kecerdasan yang telah disinggung di atas dapat diseimbangkan dalam setiap individu, sedikitnya akan mampu mengerem untuk melakukan perbuatan korupsi. Jika mereka sadar bahwa korupsi akan merusak sistim perekonomian, dengan rusaknya sistim perekonomian maka negara akan hancur. Islam sebenarnya menanamkan kesadaran seperti itu. Pada hakikatnya Islam dilahirkan untuk membebaskan manusia dari pelbagai bentuk perbudakan dan eksploitasi.
Islam datang untuk memerangi sistem ketidakadilan. Korupsi termasuk hal yang harus diperangi Islam karena dapat menimbulkan masalah besar. Korupsi dapat menghancurkan apa saja, walau ada pihak yang menyebutnya tidak berkaitan dengan soal agama, itu karena mereka menonjolkan kepentingan praktis saja tidak menyeimbangkan kecerdasan IQ, EQ, dan SQ-nya.
Mungkin praktik agama kita yang pemaknaannya keliru, karena lebih menekankan hal-hal yang bersifat praktis. Makanya, kadang sedikit aneh jika melihat orang-orang yang getol shalat sampai hitam jidatnya, tetapi dalam kehidupan sosial justru menolelir korupsi. Ketika sistim hukum dan sistim sosial tidak mendukung, maka keteladanan pejabat negara dan tokoh masyarakat akan berperan sangat penting dalam memberantas korupsi melalui penyeimbangan IQ, EQ, dan SQ yang harus dimulai dari diri sendiri.
Untuk pola hubungan masyarakat yang masih sangat dipengaruhi community leader (pemimpin kelompok) faktor keteladanan memang harus lebih ditonjolkan. Sayangnya, sentimen sosial kaum muslim terhadap isu-isu seperti korupsi, dan problem-problem sosial lainnya yang bersinggungan langsung dengan kita, nampaknya kurang bersemangat untuk mendapatkan perhatian dibandingkan dengan sentimen persaudaraan sesama muslim seperti dengan Palestina ataupun Irak yang sangat luar biasa. Semua energi bisa dilibatkan dan sedia dikerahkan. Padahal menurut sejarah, perhatian pertama Nabi Muhammad dalam dakwahnya terletak pada usaha perbaikan sistem sosial.
Cita-cita untuk menjadi Indonesia baru, membutuhkan ekstra kerja keras dalam menangani permasalahan yang sangat krusial ini, yang segera harus dicarikan jalan keluarnya untuk menangkal agar tidak lagi bangsa ini dihantui dengan berbagai kasus korupsi. Karena kalau kita perhatikan bahwa permasalahan korupsi tidak saja menjadi kendala struktural (para penegak hukum), namun lebih dari itu. Karena masalah struktural, korupsi telah membudaya (nation culture), menjadi bagian yang tak terpisahkan dari realitas birokrasi kita. Gerakan pemberantasan memang telah banyak dilakukan, bahkan beragam metode dan model gerakan telah digalakkan. Mulai dari gerakan moral-kultural, politis-struktural, maupun pembaharuan substansi perundang-undangan. Teapi korupsi tak urung usai, ia senantiasa menyelinap dalam setiap sendi kehidupan kita: ekonomi, politik, sosial, budaya, bahkan agama.
Bangsa ini perlu banyak belajar dan merenung untuk menghargai bahwa korupsi merugikan orang banyak yang telah bekerja keras dan berlaku jujur, korupsi tidak menghargai fitrah manusia yang diilhamkan kepadanya untuk cinta kepada kebaikan dan kejujuran dengan begitu kita semua sedang belajar untuk hidup lebih lurus dan jujur.
Tentu saja, sebagai bentuk kepedulian moral, agama harus tetap diikutkan untuk masalah korupsi. Karena, kita masih berkeyakinan bahwa saat ini, kualitas moral politisi sesungguhnya punya pengaruh yang sangat signifikan dalam membuka pintu-pintu terjadinya praktik korupsi. Pada level inilah, agama perlu menjadi moral guardian (benteng moral) untuk mengawal aktivitas politik penganutnya agar tidak terjebak pada pengingkaran amanah. Sehingga diperlukan pemaknaan kembali ke dasar (back to basic) yakni agama. Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an melarang perbuatan yang berkaitan dan mirip dengan korupsi ini.
3.      Penutup
Keseimbangan antara kecerdasan Inteligensia Question (IQ), Emosional Question (EQ), dan Spritual Question (SQ) adalah unsur-unsur yang wajib ada dalam diri setiap individu pejabat negara. Jika ketiga unsur ini sudah tidak seimbang, maka individu itu cenderung akan korupsi. Diharapkan ketiga unsur tersebut harus diseimbangkan agar menjadi pemimpin yang amanah seperti Rasulullah SAW. Semoga…..

Senin, 08 Agustus 2011

IZINKAN AKU MENCIUMMU IBU

Sewaktu masih kecil, aku sering merasa dijadikan pembantu olehnya. Ia selalu menyuruhku mengerjakan tugas-tugas seperti menyapu lantai dan mengepelnya setiap pagi dan sore. Setiap hari, aku dipaksa membantunya memasak di pagi buta sebelum ayah dan adik-adikku bangun. Bahkan sepulang sekolah, ia tak mengizinkanku bermain sebelum semua pekerjaan rumah dibereskan. Sehabis makan, aku pun harus mencucinya sendiri juga piring bekas masak dan makan yang lain. Tidak jarang aku merasa kesal dengan semua beban yang diberikannya hingga setiap kali mengerjakannya aku selalu bersungut-sungut.

Kini, setelah dewasa aku mengerti kenapa dulu ia melakukan itu semua. Karena aku juga akan menjadi seorang istri dari suamiku, ibu dari anak-anakku yang tidak akan pernah lepas dari semua pekerjaan masa kecilku dulu. Terima kasih ibu, karena engkau aku menjadi istri yang baik dari suamiku dan ibu yang dibanggakan oleh anak-anakku.

Saat pertama kali aku masuk sekolah di Taman Kanak-Kanak, ia yang mengantarku hingga masuk ke dalam kelas. Dengan sabar pula ia menunggu. Sesekali kulihat dari jendela kelas, ia masih duduk di seberang sana. Aku tak peduli dengan setumpuk pekerjaannya di rumah, dengan rasa kantuk yang menderanya, atau terik, atau hujan. Juga rasa jenuh dan bosannya menunggu. Yang penting aku senang ia menungguiku sampai bel berbunyi.

Kini, setelah aku besar, aku malah sering meninggalkannya, bermain bersama teman-teman, bepergian. Tak pernah aku menungguinya ketika ia sakit, ketika ia membutuhkan pertolonganku disaat tubuhnya melemah. Saat aku menjadi orang dewasa, aku meninggalkannya karena tuntutan rumah tangga.

Di usiaku yang menanjak remaja, aku sering merasa malu berjalan bersamanya. Pakaian dan dandanannya yang kuanggap kuno jelas tak serasi dengan penampilanku yang trendi. Bahkan seringkali aku sengaja mendahuluinya berjalan satu-dua meter didepannya agar orang tak menyangka aku sedang bersamanya.

Padahal menurut cerita orang, sejak aku kecil ibu memang tak pernah memikirkan penampilannya, ia tak pernah membeli pakaian baru, apalagi perhiasan. Ia sisihkan semua untuk membelikanku pakaian yang bagus-bagus agar aku terlihat cantik, ia pakaikan juga perhiasan di tubuhku dari sisa uang belanja bulanannya. Padahal juga aku tahu, ia yang dengan penuh kesabaran, kelembutan dan kasih sayang
mengajariku berjalan. Ia mengangkat tubuhku ketika aku terjatuh, membasuh luka di kaki dan mendekapku erat-erat saat aku menangis.

Selepas SMA, ketika aku mulai memasuki dunia baruku di perguruan tinggi. Aku semakin merasa jauh berbeda dengannya. Aku yang pintar, cerdas dan berwawasan seringkali menganggap ibu sebagai orang bodoh, tak berwawasan hingga tak mengerti apa-apa. Hingga kemudian komunikasi yang berlangsung antara aku dengannya hanya sebatas permintaan uang kuliah dan segala tuntutan keperluan kampus lainnya.

Usai wisuda sarjana, baru aku mengerti, ibu yang kuanggap bodoh, tak berwawasan dan tak mengerti apa-apa itu telah melahirkan anak cerdas yang mampu meraih gelar sarjananya. Meski Ibu bukan orang berpendidikan, tapi doa di setiap sujudnya, pengorbanan dan cintanya jauh melebihi apa yang sudah kuraih. Tanpamu Ibu, aku tak akan pernah menjadi aku
yang sekarang.

Pada hari pernikahanku, ia menggandengku menuju pelaminan. Ia tunjukkan bagaimana meneguhkan hati, memantapkan langkah menuju dunia baru itu. Sesaat kupandang senyumnya begitu menyejukkan. Usai akad nikah, ia langsung menciumku saat aku bersimpuh di kakinya. Saat itulah aku menyadari, ia juga yang pertama kali memberikan kecupan hangatnya ketika aku terlahir ke dunia ini.

Kini setelah aku sibuk dengan urusan rumah tanggaku, aku tak pernah lagi menjenguknya atau menanyai kabarnya. Aku sangat ingin menjadi istri yang shaleh dan taat kepada suamiku hingga tak jarang aku membunuh kerinduanku pada Ibu. Sungguh, kini setelah aku mempunyai anak, aku baru tahu bahwa betapa besarnya kasih sayangmu pada anak-anakmu. Aku akan datang dan menciummu Ibu, meski tak sehangat cinta dan kasihmu kepadaku. GOOD LUCK...!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

Sabtu, 06 Agustus 2011

SANKSI HUKUM TERHADAP YAYASAN APABILA TIDAK MELAKSANAKAN PERUBAHAN AKTA PENDIRIAN SETELAH KELUARNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 JO UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG YAYASAN

A.     Alasan-Alasan Yang Menyebabkan Pembubaran Terhadap Yayasan
UU yayasan mengatur kemungkinan mengenai pembubaran Yayasan, baik atas inisiatif organ Yayasan sendiri maupun berdasarkan penetapan atau putusan pengadilan. Ada beberapa hal yang menyebabkan Yayasan dapat dibubarkan sebagai berikut:
1.      Jangka waktu yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar berakhir;
2.      Tujuan Yayasan yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar telah tercapai atau tidak tercapai;
3.      Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan alasan:
a.       Yayasan melanggar ketertiban umum dan kesusilaan;
b.      Tidak mampu membayar utangnya setelah dinyatakan pailit; atau
c.       Harta kekayaan Yayasan tidak cukup untuk melunasi utangnya setelah pernyataan pailit dicabut.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa ada dua jenis pembubaran Yayasan yaitu pembubaran secara sukarela dan pembubaran secara paksa. Ada dua alasan pembubaran secara sukarela yaitu:
1.      Jangka waktu yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar berakhir; dan
2.      Tujuan Yayasan yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar telah tercapai atau tidak tercapai;
Kedua alasan ini merupakan suatu ketentuan yang umum yang diterapkan dalam menetapkan pembubaran suatu badan hukum. Hal ini antara lain sering diterapkan di negara Jepang dan Australia. Dalam hal Yayasan dapat bubar demi hukum karena jangka waktu yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berkahir, atau tujuan Yayasan telah tercapai atau tidak tercapai, maka pembina menunjuk likuidator untuk membereskan kekayaan Yayasan. Apabila pembina tidak menunjuk likuidator, maka penguruslah yang bertindak sebagai likuidator. Jika Yayasan dinyatakan bubar, maka Yayasan tidak dapat melakukan perbuatan hukum, kecuali untuk mebereskan kekayaannya dalam proses likuidasi. Selama proses likuidasi, semua surat kelaur harus mencantumkan frase dalam likuidasi di belakang nama Yayasan. Pembubaran secara paksa dilakukan berdasarkan tiga alasan yaitu:
  1. Yayasan melanggar ketertiban umum dan kesusilaan;
  2. Tidak mampu membayar utangnya setelah dinyatakan pailit; dan
  3. Harta kekayaan Yayasan tidak cukup untuk melunasi utang-utangnya setelah pernyataan pailit dicabut.
Pembubaran secara paksa ini dilakukan melalui putusan pengadilan. Apabila Yayasan bubar karena putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, maka pengadilan yang menunjuk likuidator. Demikian pula jika pembubaran yayasan karena pailit, maka berlaku peraturan perundang-undangan di bidang kepailitan yaitu perlu menunjuk kurator. Alasan dan cara pembubaran Yayasan di Belanda hampir sama dengan di Indonesia. Pembubaran oleh pengadilan dapat dilakukan atas permohonan setiap pihak yang berkepentingan atas tuntutan kejaksaan, maupun secara jabatan oleh pengadilan yang terjadi bersamaan dengan penolakan atas tuntutan perubahan anggaran dasar. Pembubaran Yayasan harus didaftarkan dalam register yang disediakan.
Dalam hal bubarnya Yayasan tidak boleh merugikan pihak ketiga. Walaupun Yayasan bubar namun tetap beritikad baik (good faith) dalam menyelesaikan kewajiban-kewajibannya kepada pihak ketiga. Yayasan yang bubar begitu saja, tanpa memberitahukan kepada pihak ketiga dan tanpa menyelesaikan kewajiban-kewajibannya kepada pihak ketiga, merupakan tindakan yang tidak terpuji dan merupakan suatu kejahatan yang dilakukan oleh korporasi. Pimpinan dapat dikenakan pidana berdasarkan Pasal 372 KUH Pidana mengenai kejahatan penggelapan atau Pasal 378 tentang kejahatan penipuan.
Bubarnya Yayasan karena jangka waktu telah berakhir didasarkan kepada ketentuan Pasal Pasal 14 Ayat (2) huruf c juncto Pasal 62 UU Yayasan. Dengan berakhirnya Yayasan tersebut, secara otomatis Yayasan bubar dengan sendirinya. Sebelum hari bubarnya, Yayasan dapat mepersiapkan segala sesuatunya seperti ditentukan dalam Pasal 63 Ayat (1) memerintahkan agar pembina Yayasan menunjuk likuidator untuk membereskan kekayaan Yayasan.
Apabila ternyata pembina tidak menunjuk likuidator, maka seperti yang diatur dalam Undang-Undang Perseroan maupun Undang-Undang Perbankan yang berlaku adalah pengurus bertindak selaku likuidator sama dengan ketentuan dalam Pasal 63 Ayat (2) UU Yayasan, dimana pengurus berperan sebagai likuidator tanpa perlu ditunjuk oleh pembina Yayasan.
Selain itu, bubarnya Yayasan juga disebabkan karena tujuannya telah dan atau tidak tercapai. Dalam hal ini tujuan Yayasan sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Anggaran Dasar telah tercapai atau tidak tercapai. Tujuan Yayasan yang dicantumkan dalam Anggaran Dasar setidaknya harus jelas kegiatan apa saja yang dilakukan Yayasan tersebut dalam konteks tiga bidang pokok saja yakni bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Misalnya memberi beasiswa kepada satu juta anak yang tidak mampu, memberikan pelayanan di bidang kesehatan jantung kepada masyarakat. Dalam Anggaran Dasar juga harus disebutkan, bahwa apabila dalam melaksanakan kegiatannya ternyata tujuan tersebut berhasil dicapai, maka selanjutnya Yayasan harus dibubarkan. Demikian pula sebaliknya, jika ternyata tujuannya tidak berhasil dicapai, karena sesuatu hal, maka Yayasan dibubarkan.
Dengan tujuannya seperti itu, jika Yayasan dalam melakukan kegiatannya sungguh-sungguh kegiatannya tercapai, Yayasan menjadi bubar. Jika tujuannya tidak tercapai dan tidak mungkin kegiatannya tetap dilaksanakan, karena adanya hambatan misalnya biaya kegiatannya besar sedangkan harta kekayaan Yayasan yang masih ada tidak mencukupi, maka pertimbangannya lebih baik Yayasan tersebut bubar. Selanjutnya dengan bubarnya alasan berdasarkan alasan tersebut, tata caranya sama dengan bubarnya Yayasan karena jangka waktunya telah habis, yaitu pembina menunjuk likuidator untuk membereskan kekayaan Yayasan. Apabila likuidator tidak ditunjuk oleh pembina, maka pengurus bertindak selaku likuidator.
Bubarnya Yayasan juga dikarenakan putusan pengadilan. Alasannya telah ditetapkan secara limitatif dalam Pasal 62 huruf c yaitu:
  1. Yayasan melanggar ketertiban umum dan kesusilaan;
  2. Yayasan tidak mampu membayar utangnya setelah dinyatakan pailit, atau
  3. Harta kekayaan Yayasan tidak cukup untuk melunasi utangya setelah pernyataan pailit dicabut.
Mengenai alasan yang pertama tentang Yayasan melanggar ketertiban umum, misalnya dalam melaksanakan kegiatannya Yayasan ternyata ikut membiayai gerombolan teroris, sedangkan yang melanggar kesusialaan antara lain seperti kantor atau gedung  Yayasan digunakan seagai tempat prostitusi. Alasan-alasan demikian menurut Subekti, tidak cukup hanya didalilkan dengan kata-kata saja, akan tetapi harus dapat dibuktikan kebenarannya dipersidangan.
Kemudian mengenai alasan yang kedua, syaratnya adalah Yayasan pernah diputus pailit oleh Pengadilan Niaga, dan setelah proses kepailitan selesai ternyata sisa utangnya tidak dapat dibayar oleh Yayasan. Alasan yang ketiga ini hampir sama dengan alasan yang kedua, yaitu awalnya Yayasan pernah diputus pailit, akan tetapi kepailitan itu kemudian dicabut oleh Pengadilan Niaga karena sesuatu alasan. Setelah pencabutan pailit ternyata harta kekayaan Yayasan tidak cukup untuk melunasi utangnya. Kepailitan tidak menyebabkan bubarnya Yayasan, karena dalam kepailitan hanya mempersoalkan persoalan utang-utang yang belum dapat dibayar bukan mempersoalkan pembubaran Yayasan. Karena Yayasan yang tidak mempunyai uang atau harta bukan berarti bubar.
Meskipun demikian, keberadaan Yayasan yang sudah tidak memiliki apa-apa, lalu apa gunanya tetap dipertahankan, karena Yayasan yang demikian kemungkinan sama sekali tidak dapat melakukan kegiatan untuk mencapai maksud dan tujuannya. Memang sudah sebaiknya Yayasan seperti itu dibubarkan, apalagi pengamalannya pernah dinyatakan pailit yang mempengaruhi berkurangnya kepercayaan masyarakat. 
Alasan dan cara pembubaran Yayasan di Belanda hampir sama dengan di Indonesia. Menurut Pasal 300 Nedherlands Burgerlijk Wetboek (NBW), Yayasan dapat dibubarkan apabila:
  1. Dalam hal ditentukan oleh Anggaran Dasar;
  2. Jika Yayasan nyata dalam keadaan insolvensi, setelah dinyatakan pailit;
  3. Oleh hakim dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang;
Sehubungan dengan Pasal 300 NBW di Belanda tersebut, juga disebutkan bahwa pengadilan pun dapat membubarkan Yayasan dalam hal:
1.      Apabila Anggaran Dasarnya bertentangan dengan ketentuan, bahwa kepada para pendiri tidak dapat diberikan pembayaran uang;
2.      Apabila keuangan Yayasan tidak mencukupi lagi untuk merealisasikan tujuannya, dan tidak dapat dikumpulkan uang dalam jangka waktu pendek dengan salah satu jalan yang sah; dan
3.      Jika tujuan Yayasan telah tercapai atau tidak dicapai lagi.
Berdasarkan ketentuan tersebut, pembubaran Yayasan oleh pengadilan di Belanda dapat dilakukan atas permohonan setiap pihak yang berkepentingan atas tuntutan kejaksaan, maupun secara jabatan oleh pengadilan yang terjadi bersamaan dengan penolakan atas tuntutan perubahan Anggaran Dasar. Pembubaran Yayasan harus didaftarkan dalam register yang disediakan di kantor Kamer van Koophandel.
Sehubungan dengan itu, maka penyelesaian pembubaran ini dilakukan oleh pihak-pihak yang disesuaikan dnegan faktor-faktor yang menyebabkan Yayasan itu bubar. Jika Yayasan itu bubar sesuai dengan alasan yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar, maka penyelesaiannya dilaksanakan oleh mereka yang dibebani dengan penyelenggaraan penyelesaian. Sedangkan jika pembubaran itu terjadi karena putusan hakim, maka penyelesaiannya diserahkan kepada panitera dewan majelis yang terakhir memeriksa perkara. Pihak yang berkeberatan terhadap pembubaran dapat mengajukan kepada pengadilan.
B.     Sanksi Hukum Apabila Yayasan Tidak Melaksanakan Perubahan Akta Pendirian Setelah Keluarnya UU Yayasan
Pendirian Yayasan dilakukan dengan akta Notaris dan memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian memperoleh pengesahan dari Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia atau pejabat yang ditunjuk. Ketentuan tersebut dimaksudkan agar penataan administrasi pengesahan suatu Yayasan sebagai badan hukum dapat dilakukan dengan baik guna mencegah berdirinya Yayasan tanpa melalui prosedur yang ditentukan dalam Undang-undang.
Permasalahan hukum yang paling penting adalah keberadaan Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor  63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan UU Yayasan sebagai aturan yang memaksa apabila Yayasan yang diakui sebagai badan hukum namun tidak menyesuaikan Anggaran Dasarnya sesuai dengan UU Yayasan sampai dengan selambat-lambatnya tanggal 6 Oktober 2008, maka Yayasan tersebut harus melikuidasi kekayaannya dan menyerahkan sisa hasil likuidasinya kepada Yayasan yang mempunyai kesamaan kegiatan dengan Yayasan yang dibubarkan. 
Dalam UU Yayasan mengantur sanksi yayasan yang berdiri sebelumnya dan tidak mau mematuhi ketentuan undang-undang. Sanksi sengaja diatur karena merupakan konsekuensi dari suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Yayasan tersebut. Sanksi yang diatur  dalam Pasal 71 UU Yayasan hanya bersifat administratif. Dalam hal ini tidak masuk dalam pelanggaran pidana, namun hanya bersifat administratif yakni larangan penggunaan kaya “Yayasan” dan terhadap hartanya harus “dilikuidasi” kemudian “sisa likuidasi diserhkan kepada Yayasan lain yang maksud dan tujuannya sama dengan yayasan yang dilikuidasi”.
Untuk mengetahui sanksi hukum bagi Yayasan yang tidak menyesuaikan atau tidak melaksanakan perubahan akta Yayasan sesuai dengan UU Yayasan, maka sebelumnya dapat diperhatikan ketentuan dalam Pasal 71 UU Yayasan yang menyebutkan bahwa:
1.      Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Yayasan yang telah:
a.       Didaftarkan di Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia; atau
b.      Didaftarkan di Pengadilan Negeri dan mempunyai izin melakukan kegiatan dari instansi terkait; tetap diakui sebagai badan hukum, dengan ketentuan dalam waktu paling lambat 5 (lima) tahun sejak mulai berlakunya Undang-Undang ini Yayasan tersebut wajib menyesuaikan Anggaran Dasarnya dengan ketentuan Undang-Undang ini.
2.      Yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib diberitahukan kepada Menteri paling lambat 1 (satu) tahun setelah pelaksanaan penyesuaian.
3.      Yayasan yang tidak menyesuaikan Anggaran Dasarnya dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dibubarkan berdasarkan putusan Pengadilan atas permohonan Kejaksaan atau pihak yang berkepentingan.
Hal yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana jika Yayasan-Yayasan tersebut tidak memohon untuk menyesuaikan Anggaran Dasarnya? Konsekuensi menurut pasal-pasal dalam UU Yayasan adalah Yayasan yang bersangkutan tidak dapat diakui sebagai badan hukum dan  dapat tidak dibenarkan atau dilarang menggunakan kata “Yayasan” di depan nama khusus. Hal ini penting  untuk menunjukan bahwa nama itu adalah nama Yayasan. Karena dengan menggunakan kata “Yayasan”, ini berarti Yayasan tersebut telah menjadi badan hukum dan segala ketentuan tanggung jawab organnya pun harus berdasarkan pertanggungjawaban layaknya sebuah badan hukum.
Menurut UU Yayasan terdapat pada bagian penjelasan Pasal 71 di atas ditemukan penjelasan mengenai siapa pihak yang berkepentingan itu. Para pihak yang berkepentingan itu adalah pihak-pihak yang mempunyai kepentingan langsung dengan Yayasan.
Mengenai sisa hasil likuidasi sesuai dengan ketentuan Pasal 68 UU Yayasan disebutkan bahwa:
1.      Kekayaan sisa hasil likuidasi diserahkan kepada Yayasan lain yang mempunyai maksud dan tujuan yang sama dengan Yayasan yang bubar.
2.      Dalam hal sisa hasil likuidasi tidak diserahkan kepada Yayasan lain yang mempunyai maksud dan tujuan yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sisa kekayaan tersebut diserahkan kepada Negara dan penggunaannya dilakukan sesuai dengan maksud dan tujuan Yayasan tersebut.
Dalam ketentuan UU Yayasan tidak disebutkan mengenai sanksi hukum bagi pihak yang tidak melaksanakan perubahan akta. Namun lebih lanjut dapat ditemukan dalam Pasal 39 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan UU yayasan disebutkan sanksi hukum apabila Yayasan tidak melaksanakan perubahan akta dalam Anggaran Dasarnya. Selengkapnya bunyi ketentuan dalam Pasal 39 PP Nomor 63 Tahun 2008 tersebut adalah sebagai berikut:
“Yayasan yang belum memberitahukan kepada Menteri sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) Undang-Undang tidak dapat menggunakan kata “Yayasan” di depan namanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (4) Undang-Undang dan harus melikuidasi kekayaannya serta menyerahkan sisa hasil likuidasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 Undang-Undang.”
Menurut ketentuan Pasal 39 PP Nomor 63 Tahun 2008 tersebut, bahwa yayasan-yayasan yang sebelum lahirnya UU Yayasan tidak boleh menggunakan kata “Yayasan di depan nama”. Ini berarti jika ada yang menggunakan kata “Yayasan” sementara belum mengubah Anggaran Dasarnya sesuai dengan UU Yayasan, maka yayasan tersebut adalah illegal dan harus dilikuidasi kekayaannya. Tidak terkecuali begitu pula halnya dengan Yayasan asing dapat dilikuidasai harta kekayaannya serta menyerahkan sisa hasil likuidasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 Undang-Undang. Ketentuan mengenai hal tersebut diatur dalam Pasal 40 PP Nomor 63 Tahun 2008 yakni:
(1)   Yayasan asing yang telah melakukan kegiatan di Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini wajib menyesuaikan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 26 paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku.
(2)   Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak menyesuaikan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 26 setelah lewat jangka waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku dapat dihentikan kegiatannya oleh instansi yang berwenang atau kejaksaan untuk kepentingan umum.
Sehubungan dengan itu, Gatot Supramono, juga menyebutkan bahwa, bagi yayasan yang tidak menyesuaikan anggaran dasarnya baik Yayasan yang telah didaftarkan ke Pengadilan Negeri maupun yang tidak mendaftarkannya, UU Yayasan melarang para yayasan tersebut tidak dapat menggunakan kata ”Yayasan” di depan namanya dan dapat dibubarkan berdasarkan putusan Pengadilan atas permohonan Kejaksaan atau pihak yang berkepentingan.
Dengan tidak menggunakan kata yayasan maka yang akan terjadi pada organisasi yang tadinya sebagai yayasan, berakibat yang tertulis tinggal namanya saja. Dengan keadaan yang demikian akan mempengaruhi penulisan dalam surat menyurat dan papan nama yang biasanya terpampang di depan kantor. Dengan cara seperti ini UU 16 Tahun 2001 jo UU 28 Tahun 2004 tentang Yayasan sebenarnya bermaksud memaksa agar para Yayasan yang membandel, sebaiknya setelah lewat waktu yang ditetapkan oleh undang-undang untuk menyesuaikan anggaran dasarnya, para Yayasan tersebut membubarkan diri saja.
Bagi yayasan yang terus melakukan kegiatannya walaupun tanpa menggunakan kata yayasan, akan mengalami kendala karena menurut pemerintah maupun masyarakat organisasi tersebut sudah dipandang bukan sebagai yayasan dan tidak layak lagi sebagai lembaga Yayasan. Sanksi yang demikian merupakan sebuah cara yang pasif, untuk membubarkan yayasan yang tidak mematuhi UU 16 Tahun 2001 jo UU 28 Tahun 2004 Tentang Yayasan. Tanpa ada pemberitahuan, penegoran, pemaksaan terhadap yayasan tetapi diharapkan yayasan dapat bubar secara damai.
Sanksi yang lain terhadap yayasan yang tidak menyesuaikan anggaran dasarnya adalah yayasan dapat dibubarkan. Pembubarannya dilakukan dengan putusan pengadilan, atas permintaan kejakaan atau pihak yang berkepentingan. Pembubaran yayasan dengan putusan pengadilan disini merupakan cara yang aktif. Dikatakan demikian karena legal action pemerintah maupun masyarakat tidak dapat membubarkan Yayasan. Cara ini juga dimaksudkan sebagai upaya pencegahan, agar pihak luar yayasan tidak bertindak main hakim sendiri.
Pihak yang berwenang mengajukan permintaan pembubaran yang pertama adalah kejaksaan. Kejaksaan diberi wewenang mengajukan permintaan pembubaran ke pangadilan. Sebagai konsekuensi wewenang tersebut, kejaksaan harus aktif ke lapangan untuk mengetahui adanya peristiwa hukum, terdapat Yayasan yang lahir sebelum adanya UU Yayasan dan sampai dengan lewat waktu, Yayasan tersebut tidak menyesuaikan anggaran dasarnya. Kendalanya di dalam praktek adalah aparat kejaksaan yang ada di daerah lebih banyak sibuk dengan urusan pekerjaannya di bidang hukum pidana, daripada  memperhatikan pekerjaannya di bidang hukum perdata.
Selanjutnya pihak lain yang dapat mengajukan pembubaran yayasan adalah pihak yang berkepentingan.  Yang dimaksud pihak ketiga menurut penjelasan UU Yayasan yaitu pihak yang mempunyai kepentingan langsung dengan yayasan. Sepertinya telah jelas dalam penjelasan UU Yayasan pihak yang berkepentingan langsung, tetapi tampaknya masih perlu penafsiran siapa saja sebenarnya yang dimaksudkan itu.
Sesuai dengan namanya pihak yang berkepentingan langsung, maka bisa saja termasuk pihak tersebut antara lain adalah orang dalam yayasan  (dalam hal ini personal pembina, pengurus, pengawas dan pegawai yayasan). Selain itu juga pihak ketiga yang berhubungan dengan yayasan atas hubungan hukum, seperti badan usaha yang didirikan yayasan, pihak yang pernah melakukan kerjasama bidang penyertaan modal suatu perusahaan. Mereka ini jelas mempunyai kepentingan langsung dengan pembubaran yayasan karena menyangkut kedudukan yayasan sebagai badan hukum yang berpengaruhi terhadap tanggung jawab yayasan.
Menurut  Pasal 36 ayat (1) Pelaksanaan UU Yayasan menyebutkan Yayasan yang telah didirikan sebelum berlakunya UU Yayasan dan tidak diakui sebagai badan hukum dan tidak melaksanakan ketentuan Pasal 71 ayat (2) UU Yayasan, harus mengajukan permohonan pengesahan akta pendirian untuk memperoleh status badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15. Akta pendirian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam premise aktanya disebutkan asal-usul pendirian Yayasan termasuk kekayaan Yayasan yang bersangkutan. Perbuatan hukum yang dilakukan Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang belum memperoleh status badan hukum menjadi tanggung jawab pribadi anggota organ Yayasan secara tanggung renteng.
Perubahan Anggaran Dasar Yayasan yang diakui sebagai badan hukum menurut ketentuan Pasal 71 ayat (1) Undang-Undang dilakukan oleh organ Yayasan sesuai dengan Anggaran Dasar Yayasan yang bersangkutan. Perubahan Anggaran Dasar Yayasan dilakukan dengan cara mengubah seluruh Anggaran Dasar Yayasan dan mencantumkan:
1.      Seluruh kekayaan Yayasan yang dimiliki pada saat penyesuaian yang dibuktikan dengan:
a.       Iaporan keuangan yang dibuat dan ditandatangani oleh Pengurus Yayasan
b.      Laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik bagi Yayasan yang laporan tahunannya wajib diaudit sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
c.       Data mengenai nama dari anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas yang diangkat pada saat penyesuaian.
2.      Pemberitahuan perubahan Anggaran Dasar Yayasan yang telah disesuaikan dengan Undang-Undang disampaikan kepada Menteri oleh Pengurus Yayasan atau kuasanya melalui notaris yang membuat akta perubahan Anggaran Dasar Yayasan.
3.      Pemberitahuan perubahan Anggaran Dasar Yayasan dilampiri:
a.       Salinan akta perubahan Anggaran Dasar Yayasan
b.      Tambahan Berita Negara Republik Indonesia yang memuat akta pendirian Yayasan atau bukti pendaftaran akta pendirian di pengadilan negeri dan izin melakukan kegiatan dari instansi terkait
c.       Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Yayasan yang telah dilegalisir oleh notaris
d.      Surat pernyataan tempat kedudukan disertai alamat lengkap Yayasan yang ditandatangani oleh pengurus Yayasan dan diketahui oleh lurah atau kepala desa setempat
e.       Neraca Yayasan yang ditandatangani oleh semua anggota organ Yayasan atau laporan akuntan publik mengenai kekayaan Yayasan pada saat penyesuaian
f.        Pengumuman surat kabar mengenai ikhtisar laporan tahunan bagi Yayasan yang sebagian kekayaannya berasal dari bantuan Negara, bantuan luar negeri, dan/atau sumbangan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 Undang-Undang
g.       Bukti penyetoran biaya penerimaan pemberitahuan perubahan Anggaran Dasar Yayasan dan pengumumannya.
Perubahan Anggaran Dasar Yayasan mulai berlaku sejak tanggal dicatatnya perubahan Anggaran Dasar tersebut dalam Daftar Yayasan. Yayasan yang belum memberitahukan kepada Menteri sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) Undang-Undang tidak dapat menggunakan kata “Yayasan” di depan namanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (4) Undang-Undang dan harus melikuidasi kekayaannya serta menyerahkan sisa hasil likuidasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 Undang-Undang. Berbeda dengan Perseroan Terbatas atau Perseroan yang pada hakikatnya merupakan persekutuan modal yang bertujuan memberikan keuntungan bagi para pemegang saham selaku pemodal, sedangkan yayasan tidak mempunyai anggota dan keberadaannya semata-mata diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu.
Segala kegiatan usaha yayasan harus diabdikan kepada pencapaian maksud dan tujuan yayasan. Undang-Undang Yayasan menegaskan hal ini dengan melarang pembagian hasil kegiatan usaha yayasan kepada Pembina, Pengurus, dan Pengawas, sebagaimana ketentuan Pasal 3 ayat (2) UU Yayasan yang menyebutkan: “Yayasan tidak boleh membagikan hasil kegiatan usaha kepada Pembina, Pengurus, dan Pengawas”.
Larangan tersebut dipertegas lagi dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001, yang menyatakan, ”Kekayaan yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh yayasan berdasarkan undang-undang ini, dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung kepada Pembina, Pengurus, Pengawas, Karyawan atau pihak lain yang mempunyai kepentingan terhadap yayasan.” Bahkan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 memuat ancaman pidana bagi setiap anggota organ yayasan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001.
Selanjutnya tentang organ yayasan, berbeda dengan manusia yang dapat bertindak sendiri, yayasan sekalipun sebagai badan hukum merupakan subyek hukum mandiri, dan pada dasarnya adalah ”orang ciptakan hukum” (artificial person) yang hanya dapat melakukan perbuatan hukum dengan perantaraan manusia selaku wakilnya.
Ketergantungan yayasan pada seorang wakil dalam melakukan perbuatan hukum menjadi sebab mengapa yayasan mempunyai organ yang terdiri atas Pembina, Pengurus, dan Pengawas, sebagaimana ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 yang menyebutkan, ”Yayasan mempunyai organ yang terdiri, atas Pembina, Pengurus, dan Pengawas”. Tanya organ tersebut yayasan tidak dapat berfungsi dan mencapai tujuan untuk mana yayasan didirikan.
Tugas dan tanggung jawab Pembina, Pengurus, dan Pengawas selaku organ yayasan bersumber pada:
a.   Ketergantungan Yayasan kepada organ tersebut mengingat bahwa yayasan tidak dapat berfungsi tanpa organ.
b.  Kenyataan bahwa yayasan adalah sebab bagi keberadaan organ, karena apabila tidak ada yayasan, maka juga tidak ada organ.
Berdasarkan apa yang diuraikan di atas, dapat dikatakan bahwa antara yayasan dan masing-masing organ terdapat (hubungan yang berdasarkan kepercayaan (fiduciary) yang selanjutnya melahirkan kewajiban-kewajiban dan tugas-tugas yang bersifat fiduciary pula bagi organ tersebut.
Hubungan fiduciary antara yayasan sebagai suatu badan hukum dengan organnya tersebut di atas adalah semata-mata untuk pelaksanaan tujuan yayasan (Lihat Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Yayasan). Selanjutnya pada Penjelasan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Yayasan tersebut dikemukakan bahwa: “ketentuan dalam ayat ini sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan yang bersifat sosial, keagamaan dan kemanusiaan, sehingga seseorang yang menjadi anggota Pembina, Pengurus dan Pengawas Yayasan harus bekerja secara sukarela tanpa menerima gaji, upah atau honor tetap.”
Salah satu upaya Pembuat Undang-Undang untuk memastikan bahwa tidak ada benturan kepentingan antara kepentingan yayasan dengan kepentingan pribadi anggota organ yayasan, ditentukan dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2001 suatu aturan yang melarang anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas yayasan untuk merangkap sebagai anggota Direksi atau Pengurus dan anggota Dewan Komisaris atau Pengawas dari badan usaha yang didirikan oleh yayasan atau di mana yayasan melakukan penyertaan modal.
Sehubungan dengan perubahan akta Yayasan, secara umum bahwa akta merupakan barang otentik, termasik akta pendirian maupun perubahan akta pendirian Yayasan. Oleh sebab itu keberadaan akta Yayasan harus benar-benar dijaga karena segala tindak tanduk keberadaan Yayasan harus berlandaskan kepada akta pendiriannya, baru kemudian Yayasan tersebut dapat diakui oleh pihak-pihak ketiga jika ada tuntutan maupun gugatan kepada Yayasan tersebut.
Notaris merupakan pejabat umum yang ditunjuk oleh undang-undang dalam membuat akta otentik dan sekaligus Notaris merupakan perpanjangan tangan Pemerintah. Dalam menjalankan jabatannya Notaris harus dapat bersikap profesional dan mematuhi peraturan perundang-undangan serta menjunjung tinggi Kode Etik Notaris. Notaris sebagai pejabat umum kepadanya dituntut bertanggung jawab terhadap akta yang di buatnya, yakni tanggung jawab hukum dan tanggung jawab moral. 
Dari penelitian yang dilakukan diperoleh hasil bahwa tanggung jawab notaris terhadap akta otentik yang mengandung keterangan palsu adalah bahwa notaris tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum sebab notaris hanya mencatat atau menuangkan suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak/penghadap ke dalam akta. Notaris hanya mengkonstatir apa yang terjadi, apa yang dilihat, dan dialaminya dari para pihak/penghadap tersebut berikut menyesuaikan syarat-syarat formil dengan yang sebenarnya lalu menuangkannya ke dalam akta. Notaris tidak diwajibkan untuk menyelidiki kebenaran isi materiil dari akta otentik tersebut. Dan akta otentik tersebut akan menjadi bukti bahwa telah terjadi suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak/penghadap. 
Adapun sanksi yang dapat diberikan kepada penghadap yang memberikan keterangan palsu dalam akta otentik adalah berupa ancaman hukuman perdata yakni memberi ganti rugi atas kerugian yang ditimbulkannya terhadap si penderita, dan secara pidana kepada penghadap layak diberi hukuman pidana penjara sebab telah memenuhi unsur-unsur dari pasal-pasal yang dituduhkan dan telah terbukti secara sah melakukan kejahatan pemalsuan surat sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 266 Ayat (1) KUHP junto Pasal 55 ayat (1) ke-1e KUHP, yakni, ”Secara bersama-sama menyuruh menempatkan keterangan palsu dalam akta otentik”.
Akibat hukum terhadap akta otentik yang mengandung keterangan palsu adalah bahwa akta tersebut telah menimbulkan sengketa dan diperkarakan di sidang Pengadilan, maka oleh pihak yang dirugikan mengajukan gugatan secara perdata untuk menuntut pembatalan agar hakim memutus dan mengabulkan pembatalan akta tersebut. Dengan adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap maka dinyatakan akta tersebut batal demi hukum artinya tidak mempunyai kekuatan hukum karena akta tersebut telah cacat hukum, dan sejak diputuskannya pembatalan akta itu oleh hakim maka berlakunya pembatalan itu adalah berlaku surut yakni sejak perbuatan hukum/perjanjian itu dibuat. Sebagaimana halnya akta palsu di atas, maka hal yang demikian itu juga berlaku terhadap akta palsu pendirian Yayasan. Karena mengingat saat ini akta yang dibuat oleh Notaris sebagaiman disebut di atas tadi tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum sebab notaris hanya mencatat atau menuangkan suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak/penghadap ke dalam akta. Sehingga bisa saja akta sebuah Yayasan yang dijadikan barang bukti di sidang pengadilan adalah palsu.










KESIMPULAN

            Sanksi hukum apabila Yayasan tidak melaksanakan perubahan akta pendirian setelah keluarnya UU Yayasan maka Yayasan tersebut, tidak dapat mempergunakan kata "Yayasan" di depan nama khusus yayasan tersebut. Apabila hal demikian terjadi, maka demi hukum Yayasan harus melikuidasi kekayaannya dan menyerahkan sisa hasil likuidasinya kepada Yayasan yang mempunyai kesamaan kegiatan dengan Yayasan yang dibubarkan. Likuidasi ini dapat dilakukan dengan cara sukarela dan cara paksa. Alasan secara sukarela karena jangka waktu yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar berakhir dan tujuan Yayasan yang ditetapkan dalam AD telah tercapai atau tidak tercapai. Sedangkan alasan secara paksa karena Yayasan melanggar ketertiban umum dan kesusilaan, Yayasan tidak mampu membayar utangnya setelah dinyatakan pailit; dan harta kekayaan Yayasan tidak cukup untuk melunasi utang-utangnya setelah pernyataan pailit dicabut. Sehubungan dengan itu, maka Yayasan dapat dibubarkan berdasarkan putusan Pengadilan atas permohonan Kejaksaan atau pihak yang berkepentingan. Dengan demikian Yayasan yang tidak menyesuaikan anggaran dasarnya baik Yayasan yang telah didaftarkan ke Pengadilan Negeri maupun yang tidak didaftarkan. Perlu ada pengawasan yang serius dan terpadu terhadap Yayasan baik oleh Instansi Perpajakan, Kejaksaan dan Instansi lain yang terkait sehubungan dengan diperbolehkannya Yayasan melakukan kegiatan usaha. Perlu adanya amandemen terhadap UU Yayasan yang sekarang dalam beberapa aspek. Misalnya perlu ditentukan agar pengurus Yayasan diperbolehkan mendapatkan honor maksimal 30% dari kegiatan usaha Yayasan yang mereka kelola dengan tidak mengenyampingkan tujuan sosial Yayasan sebagai tujuan utama.

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERUBAHAN AKTA PENDIRIAN YAYASAN SETELAH KELUARNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 JO UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG YAYASAN

A.     Pemeriksaan Terhadap Badan Hukum Yayasan
Tujuan pemeriksaan terhadap badan hukum Yayasan sebagaimana ditentukan dalam Pasal Pasal 53 UU Yayasan yaitu:
1.      Pemeriksaan terhadap Yayasan untuk mendapatkan data atau keterangan dapat dilakukan dalam hal terdapat dugaan bahwa organ Yayasan:
a.       Melakukan perbuatan melawan hukum atau bertentangan dengan Anggaran Dasar;
b.      Lalai dalam melaksanakan tugasnya;
c.       Melakukan perbuatan yang merugikan Yayasan atau pihak ketiga; atau
d.      Melakukan perbuatan yang merugikan Negara.
2.      Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c hanya dapat dilakukan berdasarkan penetapan Pengadilan atas permohonan tertulis pihak ketiga yang berkepentingan disertai alasan.
3.      Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d dapat dilakukan berdasarkan penetapan Pengadilan atas permintaan Kejaksaan dalam hal mewakili kepentingan umum.
Pengadilan dapat mengabulkan dan menolak atas permintaan terhadap Yayasan untuk diperiksa sebagaimana ketentuan dalam Pasal 54 UU Yayasan sebagai berikut:
1.      Pengadilan dapat menolak atau mengabulkan permohonan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2).
2.      Dalam hal Pengadilan mengabulkan permohonan pemeriksaan terhadap Yayasan, Pengadilan mengeluarkan penetapan bagi pemeriksaan dan mengangkat paling banyak 3 (tiga) orang ahli sebagai pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan.
3.      Pembina, Pengurus, dan Pengawas serta pelaksana kegiatan atau karyawan Yayasan tidak dapat diangkat menjadi pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
Penjelasan Pasal 54 Ayat (2) yang dimaksud dengan ahli adalah mereka yang memiliki keahlian sesuai dengan masalah yang akan diperiksa. Misalnya jika terjadi perbuatan melawan hukum atas pengurus Yayasan, maka pihak Kejaksaan berhak untuk melakukan pemeriksaan tersebut. Hasil pemeriksaan oleh pihak Kejaksaan harus disampaikan kepada Ketua Pengadilan setempat atas telah atau tidak terjadinya suatu perbuatan melawan hukum. Pasal 56 UU Yayasan disebutkan bahwa:
1.      Pemeriksa wajib menyampaikan laporan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan kepada Ketua Pengadilan di tempat kedudukan Yayasan paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pemeriksaan selesai dilakukan.
2.      Ketua Pengadilan memberikan salinan laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada pemohon atau Kejaksaan dan Yayasan yang bersangkutan.
Berdasarkan beberapa ketentuan mengenai pemeriksaan Yayasan tersebut di atas, dapat dianalisis bahwa terhadap perubahan pendirian akta Yayasan yang wajib disesuaikan dengan ketentuan dalam UU Yayasan membawa konsekuensi hukum terhadap Yayasan atas segala kegiatan atau aktivitas Yayasan dapat menimbulkan hak dan kewajiban. Secara administratif bahwa kedudukan Yayasan telah diakui dan terdaftar sebagai suatu organisasi yang berbadan hukum sehingga segala hak dan kewajiban yang ditimbulkan Yayasan tersebut harus tunduk pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku yakni UU Yayasan. Alasan-alasan untuk pemeriksaan adalah untuk mendapatkan data atau keterangan dalam hal terdapat dugaan bahwa organ yayasan:
1.      Melakukan perbuatan melawan hukum atau bertentangan dengan anggaran dasar;
2.      Lalai dalam melaksanakan tugas-tugasnya;
3.      Melakukan perbuatan yang merugikan yayasan atau pihak ketiga; dan
4.      Melakukan perbuatan yang merugikan negara.
Jadi, tujuan dilakukan pemeriksaan terhadap badan hukum Yayasan ini adalah untuk memperoleh kebenaran tentang adanya dugaan penyimpangan seperti yang dimaksud pada Pasal 53 Ayat (1) huruf sampai dengan huruf d UU Yayasan. Kebenaran atas dugaan tersebut harus didasarkan pada fakta yang terungkap dari hasil pemeriksaan, sehingga dapat digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya penyimpangan di bidang Yayasan.
Adapun pihak yang melakukan pemeriksaan adalah sejumlah ahli (paling banyak tiga orang) yang diangkat sebagai pemeriksa berdasarkan penetapan pengadilan, dan pemeriksa dilarang mengumumkan atau memberitahukan laporan hasil pemeriksaannya kepada pihak lain kecuali kepada Ketua Pengadilan Negeri di tempat kedudukan yayasan. Dalam penggrganisasiannya terdapat pemisahan yang jelas antara pemegang kekuasaan tertinggi dengan pelaksanaan operasional dan pengawas yang mengawasi operasional yayasan. Hal ini tercermin dari pemisahan yang jelas dari organ yayasan yang terdiri dari pembina, pengurus dan pengawas.
Pembina adalah organ yayasan yang mempunyai kewenangan yang tidak diserahkan kepada pengurus atau pengawas oleh undang-undang atau Anggaran Dasar. Pengurus adalah organ yayasan yang melaksanakan kepengurusan yayasan, sedangkan pengawas adalah orang yayasan yang bertugas melakukan pengawasan serta memberi nasehat kepada pengurus dalam menjalankan kegiatan Yayasan.
Anggota pembina tidak boleh merangkap sebagai anggota Pengurus dan/atau anggota Pengawas, demikian pula sebaliknya. Larangan perangkapan jabatan dimaksudkan untuk menghindari benturan kewenangan dan tugas serta tanggung jawab antara pembina, pengurus dan pengawas yang dapat merugikan kepentingan Yayasan atau pihak lain.
Ketentuan yang dianggap sangat memberatkan dan banyak mendapat kritik dari berbagai pihak terutama pengelola yayasan, adalah adanya kewajiban pada setiap pendirian yayasan untuk memintakan pengesahan badan hukum kepada Menteri Hukum dan HAM. Demikian pula halnya apabila pihak pengelola yayasan ingin melakukan perubahan mengenai nama dan kegiatan yayasan tersebut, harus terlebih dahulu meminta ijin kepada Menteri Hukum dan HAM dan perubahan lainnya selain nama dan kegiatan yayasan harus melaporkannya kepada Menteri Hukum dan HAM.
Fenomena kegiatan yayasan dalam masyarakat yang dilihat oleh pembuat undang-undang, telah berubah atau menyimpang dari hakekat yayasan sebagaimana yang ditemui pada mass awal setelah Perang Dunia 1, dimana yayasan seharusnya bergerak dalam bidang sosial dan ideal ternyata berkembang memasuki bidang ekonomi (bisnis), bahkan dipakai untuk mendapatkan dana untuk usaha dalam bidang ekonomi.
Oleh karena itu keberadaan UU Yayasan yang selain untuk mengakomodasi fenomena kegiatan usaha bisnis yayasan tersebut, sekaligus juga berupaya membatasinya. Hal ini terlihat dengan dibolehkannya Yayasan mendirikan badan usaha yang kegiatannya sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan dan yayasan dapat melakukan penyertaan dalam berbagai bentuk usaha yang bersifat prospektif dengan ketentuan penyertaan tersebut paling banyak  25% (dua puluh lima persen) dari seluruh nilai kekayaan yayasan tersebut.
Selanjutnya berdasarkan UU Yayasan, pemerintah dalam lingkup tertentu menilai penting untuk mengetahui secara benar arus keuangan yayasan khusus yayasan yang memperoleh bantuan negara, bantuan luar negeri atau pihak lain sebesar Rp 500.000.000.00,- (lima ratus juta rupiah) atau mempunyai kekayaan di luar harta wakaf sebesar Rp 20.000.000.000.00,- (dua puluh millar rupiah). Yayasan wajib membuat ikhtisar laporan tahunan yang menyangkut keuangan dan keadaan serta kegiatan yayasan dalam tahun yang lampau. Laporan tersebut harus pula diumumkan dalam surat kabar berbahasa Indonesia, dan mewajibkan audit oleh akuntan publik terhadap yayasan. Dengan demikian pengaturan masalah tersebut bersifat limitatif karena tidak seluruh yayasan harus mengikuti ketentuan tersebut.
Pemeriksaan secara menyeluruh terhadap suatu Yayasan menurut ketentuan Pasal 53 UU Yayasan dalam hal terdapat dugaan bahwa organ yayasan melakukan perbuatan melawan hukum atau bertentangan dengan Anggaran Dasar, lalai dalam melaksanakan tugasnya, melakukan perbuatan yang merugikan yayasan atau pihak ketiga, atau melakukan perbuatan yang merugikan negara, berdasarkan penetapan pengadilan atas permohonan tertulis dari pihak ketiga yang, berkepentingan. Permintaan itu dapat juga dilakukan oleh kejaksaan dalam kapasitasnya mewakili kepentingan umum.
Kewajiban membuat laporan yayasan serta mengumumkannya secara luas kepada publik ini amat tepat bagi yayasan yang mengelola dana masyarakat, seperti misal Yayasan Rumah Sakit ataupun Sekolah/Perguruan Tinggi, tidak terkecuali apakah clikelola oleh ketempok masyarakat ataukah perseorangan atau keluarga, dimana masyarakat membayar melalui biaya perobatan yang dikutip dari pasien maupun Sumbangan Pengelolaan Pendidikan (SPP) yang dikutip pada siswa/mahasiswa,. sehingga pengelola yayasan tidak lagi dapat berbisnis melalui yayasan yang tujuannya berfungsi sosial dan ideal.
Akan tetapi pengaturan dan pengendalian ini akan merugikan bagi Yayasan yang murni bergerak dalam bidang sosial yang mengelola keuangannya secara transparan. Apalagi yayasan yang didirikan oleh perseorangan atau suatu keluarga yang menghidupi yayasan yang didirikan tersebut dengan kekayaannya sendiri ataupun menyisihkan sebagian dari keuntungan perusahaannya sendiri. Tidak ada kepentingan publik yang dirugikan di sana, malah kalau pemerintah mencampurinya akan sangat merepotkan mereka.
Peran negara harus dibatasi sedemikian rupa sehingga tidak terlalu mencampuri masalah internal organisasi. Bagi bangsa Indonesia yang tengah dilanda euforia reformasi dan keterbukaan di segala bidang, apalagi dalam keadaan wibawa pemerintah begitu lemah, adanya ketentuan atau peraturan formal yang dianggap membatasi ruang gerak masyarakat secara apriori dapat dianggap sebagai kontra-reformasi dan kontra-produktif, atau sebaliknya masyarakat bersikap apatis dan tidak terlalu menanggapi peraturan yang limitatif tersebut, apalagi ada kecurigaan bahwa lahirnya peraturan perundang-undangan tersebut tidak lebih karena tekanan eksternal dari dunia internasional. Nuansa seperti itu berkembang ketika merespon kelahiran UU Yayasan.
B.     Akibat Hukum Perubahan Akta Pendirian Yayasan Menurut Undang-Undang Yayasan
Pendirian Yayasan di Indonesia selama ini hanya berdasarkan atas kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat yaitu didirikan dengan Akta Notaris dan didaftarkan pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Yayasan apabila pendiri Yayasan tersebut menilai perlu untuk mendaftarkannya. Pendirian Yayasan didasarkan pada yurisprudensi dan hukum kebiasaan yang berlangsung dalam masyarakat, pada umumnya orang sependapat bahwa sejak sejak berdirinya yayasan sudah melekat status badan hukumnya.
Kedudukan Yayasan dalam sistem hukum Indonesia bahwa Yayasan adalah suatu identitas hukum yang keberadaannya dalam lalu lintas hukum di Indonesia sudah di akui oleh masyarakat Indonesia. Berdasarkan hukum kebiasaan dan asumsi hukum yang berlaku di masyarakat umum, maka dapat dikemukakan ciri-ciri yayasan sebagai suatu identitas hukum sebagai berikut:
1.      Eksistensi yayasan sebagai identitas hukum di Indonesia  belum didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.      Pengakuan yayasan sebagai badan hukum belum ada dasar yuridis yang tegas halnya dengan Perseroan, Koperasi dan hukum yang lain.
3.      Yayasan dibentuk  dengan kekayaan pribadi sendiri untuk tujuan nirlaba, untuk tujuan religius, sosial, keagamaan, kemanusiaan dan tujuan isiil  yang lain.
4.      Yayasan didirikan dengan akta Notaris atau dengan surat keputusan pejabat yang bersangkutan dengan pendirian yayasan.
5.      Yayasan tidak memiliki anggota dan tidak dimiliki oleh siapapun, namun mempunyai pengurus atau orang untuk merealisasikan tujuan yayasan.
6.      Yayasan mempunyai kedudukan yang mandiri, sebagai akibat dari adanya kekayaan terpisah dari kekayaan pribadi pendiri atau pengurusnya dan mempunyai tujuan sendiribeda atau lepas dari tujuan pribadi pendiri atau pengurus.
7.      Yayasan diakui sebagai badan hukum seperti halnya orang yang berarti ia diakui sebagai subjek hukum mandiri yang dapat menyandang hak dan kewajiban mandiri, didirikan dengan akta dan didaftarkan di kantor Kepaniteraan Pengadilan setempat.
Menurut Tumbuan, sekalipun yayasan sebagai badan hukum merupakan hasil kreasi hukum dan oleh karena itu adalah suatu artificial person (orang buatan), namun demikian yayasan adalah benar-benar subyek hukum mandiri yang oleh hukum dibekali dengan hak dan kewajiban yang tidak berbeda dengan hak dan kewajiban yang dimiliki seorang manusia. Oleh karena yayasan adalah subyek hukum mandiri maka keberadaannya tidak tergantung dari keberadaan anggota Pembina, Pengurus, maupun Pengawas. Sekalipun mereka berganti, pergantian tersebut tidak merubah keberadaan yayasan selaku persona standi in judicio”.
Berbeda halnya dengan status hukum perhimpunan sebagai badan hukum perdata yang secara jelas telah diatur dalam Staatsblad 1870 No. 64 tentang Rechtspersoonlijkheid van Vereenigingen, pengakuan yayasan sebagai badan hukum sebagaimana dikemukakan di atas semata-mata merupakan produk jurisprudensi sehingga keberadaan yayasan sebagai badan hukum sukar diidentifikasi secara juridis.
Pasal 102 Undang-Undang Kepailitan yang mana memperlakukan yayasan sama dengan badan-badan hukum lain seperti perseroan terbatas dalam hal tindakan pasca pernyataan kepailitan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 84-Pasal 88. Demikian pula tentang penerbitan pers yang merupakan bisnis murni dijustifikasi oleh Peratauran Menteri Penerangan No.01/Per/.Menpen/.1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers menetapkan dalam Pasal 10 bahwa bentuk usaha penerbitan pers harus berbentuk badan hukum atau yayasan. Begitu pula Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengharuskan pendirian lembaga pendidikan oleh swasta dengan yayasan sebagai pemiliknya walaupun tak dapat disangkal bahwa beberapa perguruan tinggi swasta yang dibina yayasan berindikasi komersial.
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, dan ketentuan dalam Pasal 17 UU Yayasan disebutkan bahwa, ”Anggaran Dasar dapat diubah kecuali mengenai maksud dan tujuan”. Dasar ketentuan Pasal 17 UU Yayasan di atas, maka perubahan akta pendirian Yayasan membawa akibat hukum yang dipaparkan berikut ini:
1.      Terhadap Kepengurusan Pembina
Pasal 28 Ayat (1) dan Ayat (2) UU Yayasan, Pembina adalah organ yang memegang kekuasaan tertinggi dalam Yayasan. Pembina memiliki kewenangan yang oleh undang-undang dan AD tidak diserhkan kepada pengurus atau pengawas. Kewenangan pembina menurut Pasal 28 Ayat (2) UU Yayasan meliputi:
1.      Keputusan mengenai perubahan Anggaran Dasar;
2.      Pengangkatan dan pemberhentian anggota Pengurus dan anggota Pengawas;
3.      Penetapan kebijakan umum Yayasan berasarkan Anggaran Dasar Yayasan;
4.      Pengesahan program kerja dan rancangan anggaran tahunan Yayasan; dan
5.      Penetapan keputusan mengenai penggabungan atau pembubaran Yayasan.
Sedangkan menurut Anwar Borahima, menyebut ada 7 (tujuh) kewenangan pembina yang dicantumkan dalam UU Yayasan. Kewenangan tersebut adalah:
a.       Keputusan mengenai perubahan AD, pengangkatan dan pemberhentian anggota pengurus dan pengawas;
b.      Penetapan kebijakan umum Yayasan berdasarkan AD Yayasan;
c.       Mengesahkan Program Kerja dan Rancangan Anggaran Tahunan Yayasan;
d.      Penetapan keputusan mengenai penggabungan dan pembubaran Yayasan;
e.       Mengadakan rapat sekurang-krangya sekali dalam satu tahun untuk melaksanakan kewenangannya;
f.        Mengevaluasi kekayaan, kewajiban, tanggung jawab, dan penghasilan Yayasan tahun lalu sebagai dasar pertimbangan bagi pengesahan Anggaran Belanja tahun yang akan datang;
g.       Mensahkan laporan tahunan yang disampaikan oleh pengurus dan pengawas.
Akibat perubahan akta pendirian Yayasan sesuai dengan perubahan dalam Anggaran Dasar Yayasan, dapat membawa konsekuensi terhadap kepengurusan pembina sesuai dengan kewenangan pembina sebagaimana disebutkan di atas. Selanjutnya menurut Anwar, ada 5 (lima) syarat untuk menjadi pembina adalah sebagai berikut:
1.      Orang perorangan;
2.      Mempunyai dedikasi tinggi;
3.      Diangkat berdasarkan keputusan rapat gabungan seluruh anggota pengurus dan anggota pengawas;
4.      Tindak boleh merangkap menjadi pengurus atau pembina;
5.      Anggota pembina yang berkewarganegaraan asing, jika bertempat tinggal di Indonesia harus memegang izin melakukan kegiatannya di wilayah Indonesia dan pemegang karti izin bertempat tinggal sementara.
Pembina tidak harus selalu pendiri Yayasan. Dengan kata lain dalam hal kepengurusan, tidak semua pembina adalah pengurus Yayasan. Sebab untuk mengurus Yayasan, tidak mesti harus membutuhkan peran pembina. Dalam hal perubahan akta Yayasan harus sesuai dengan Anggaran Dasar Yayasan. Pada penjelasan Pasal 28 UU Yayasan disebutkan bahwa ketentuan dalam Ayat (3) dimaksudkan bahwa pendiri Yayasan tidak dengan sendirinya harus menjadi Pembina. Anggota pembina dapat dicalonkan oleh pengurus dan pengawas.
Mengenai perubahan Akta terhadap Anggaran Dasar Yayasan, dalam Pasal 18 Ayat (1) UU Yayasan disebutkan bahwa, ”Perubahan Anggaran Dasar hanya dapat dilaksanakan berdasarkan keputusan rapat Pembina”. Jadi, ditekankan dalam Pasal ini peran Pembina untuk dapat menyesuaikan Anggaran Dasar jika Yayasan tersebut berdiri sebelum adanya UU Yayasan dan melakukan perubahan terhadap Anggaran Dasar yang sudah ada untuk diubah karena hal-hal tertentu. Peran pembina dalam rapat pembina Yayasan minimal harus dihadiri 2/3 dari jumlah anggota pembina untuk melakukan musyawarah mufakat mengenai perubahan akta Yayasan tersebut.
2.      Mengenai Hak-Hak dan Kewenangan Pengurusan     
Pengurus merupakan organ eksekutif Yayasan, karena pengurus yang melakukan kepengurusan Yayasan baik di dalam maupun di luar Yayasan. Maka penguruslah yang menjalankan roda Yayasan untuk mencapai maksud dan tujuan. Mengenai siap yang disebut dengan pengurus. Pengurus sesuai dengan Pasal 31 UU Yayasan:
  1. Pengurus adalah organ Yayasan yang melaksanakan kepengurusan Yayasan;
  2. Yang dapat diangkat menjadi Pengurus adalah orang perseorangan yang mampu melakukan perbuatan hukum;
  3. Pengurus tidak boleh merangkap sebagai Pembina atau Pengawas.
Pada bagian penjelasan ayat ini, larangan perangkapan jabatan dimaksudkan untuk menghindari tumpang tindih kewenangan, tugas, dan tanggung jawab antara Pembina, pengurus, dan pengawas yang dapat merugikan kepentingan yayasan atau pihak lain.
Pengurus Yayasan diangkat oleh Pembina berdasarkan keputusan rapat Pembina untuk jangka waktu selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Pengangkatan pengurus terdiri dari sekurang-kurangnya harus ada seorang ketua; seorang sekretaris; dan seorang bendahara. Dalam hal pengurus menjalankan tugas melakukan tindakan yang oleh Pembina dinilai merugikan Yayasan, maka berdasarkan keputusan rapat Pembina, Pengurus tersebut dapat diberhentikan sebelum masa kepengurusannya berakhir. Maka berakhir pulalah hak-hak pengurus dalam Yayasan tersebut. Ketentuan mengenai susunan dan tata cara pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian Pengurus diatur dalam Anggaran Dasar.
Dalam hal terdapat penggantian Pengurus Yayasan, Pembina wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Menteri dan kepada instansi terkait, sebagaimana ketentuan dalam Pasal 33 UU Yayasan. Pemberitahuan itu wajib disampaikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal dilakukan penggantian pengurus Yayasan.
Dalam hal pengangkatan, pemberhentian dan penggantian pengurus dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar, atas permohonan yang berkepentingan atau atas permintaan Kejaksaan dalam hal mewakili kepentingan umum, Pengadilan dapat membatalkan pengangkatan, pemberhentian, atau penggantian tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan pembatalan diajukan.
Dalam melaksanakan tugasnya, pengurus Yayasan harus bertanggung jawab penuh, Pasal 35 menyebutkan bahwa pengurus Yayasan bertanggung jawab penuh atas kepengurusan Yayasan untuk kepentingan dan tujuan Yayasan serta berhak mewakili Yayasan baik di dalam maupun di luar Pengadilan. Sehubungan dengan tanggung jawab penuh pengurus tersebut, harus sesuai dengan Pasal 35 Ayat (2) UU Yayasan yakni menjalankan tugas dengan itikad baik, dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan dan tujuan Yayasan. Pada bagian penjelasan ayat ini yang dimaksud dengan pelaksana kegiatan adalah pengurus harian yayasan yang melaksanakan kegiatan yayasan sehari-hari. Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian pelaksana kegiatan Yayasan diatur dalam Anggaran Dasar Yayasan.
Setiap Pengurus bertanggung jawab penuh secara pribadi  (tanggung renteng) apabila yang bersangkutan dalam menjalankan tugasnya tidak sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar, yang mengakibatkan kerugian Yayasan atau pihak ketiga.
Menurut Pasal 36 UU Yayasan, ada hal-hal tertentu yang tidak menjadi hak pengurus untuk mengurusinya yakni apabila:
  1. Terjadi perkara di depan pengadilan antara Yayasan dengan anggota pengurus yang bersangkutan; atau
  2. Anggota Pengurus yang bersangkutan mempunyai kepentingan yang bertentangan dengan kepentingan Yayasan.
Kemudian mengenai kewenangan yang tidak boleh dilakukan pengurus adalah dalam Pasal 37 disebutkan, pengurus tidak berwenang dalam hal:
  1. Mengikat Yayasan sebagai penjamin utang;
  2. Mengalihkan kekayaan Yayasan kecuali dengan persetujuan Pembina; dan
  3. Membebani kekayaan Yayasan untuk kepentingan pihak lain.
Hal yang memberi pembatasan kewenangan pengurus ditentukan dalam Anggaran Dasar dapat yakni dengan membatasi kewenangan pengurus dalam melakukan perbuatan hukum untuk dan atas nama Yayasan. Maksudnya adalah jika pengurus melakukan perbuatan hukum untuk dan atas nama yayasan, Anggaran Dasar dapat membatasi kewenangan tersebut dengan menentukan bahwa untuk perbuatan hukum tertentu diperlukan persetujuan terlebih dahulu dari Pembina dan/atau pengawas, misalnya untuk menjaminkan kekayaan yayasan guna membangun gedung sekolah atau rumah sakit.
Larangan-larangan terhadap pengurus sebagaimana dalam ketentuan Pasal 38 UU Yayasan disebutkan:
  1. Pengurus dilarang mengadakan perjanjian dengan organisasi yang terafiliasi dengan Yayasan, Pembina, Pengurus, dan/atau Pengawas Yayasan, atau seseorang yang bekerja pada Yayasan.
  2. Larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku dalam hal perjanjian tersebut bermanfaat bagi tercapainya maksud dan tujuan Yayasan.
Dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian sesuai amanah Pasal 39 UU Yayasan dikatakan bahwa kesalahan atau kelalaian pengurus dan kekayaan Yayasan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, maka setiap Anggota pengurus secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian tersebut. Anggota pengurus yang dapat membuktikan bahwa kepailitan bukan karena kesalahan atau kelalaiannya tidak bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian tersebut. Anggota pengurus yang dinyatakan bersalah dalam melakukan pengurusan Yayasan yang menyebabkan kerugian bagi Yayasan, masyarakat, atau Negara berdasarkan putusan pengadilan, maka dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal putusan tersebut memperoleh kekuatan hukum yang tetap, tidak dapat diangkat menjadi Pengurus Yayasan manapun.
Akibat akta perubahan Yayasan, pengurus dalam melnajankan maksud dan tujuan Yayasan harus menyesuaikan dengan perubahan-perubahan ketentuan dalam Anggaran Dasar. Dengan demikian mengenia hak-haknya juga ditentukan dalam Angaran Dasar Yayasan tersebut.
3.      Ruang Lingkup Bidang Usaha Atau Jenis-Jenis Yayasan
Ada hal-hal penting dalam melakukan perubahan akta Yayasan. Berdasarkan UU Yayasan, perubahan di dalam akta pendirian Yayasan dimuat dalam Anggaran Dasar Yayasan: 
a)      Diperbolehkan asalkan tidak mengubah maksud dan tujuan;
b)      Berdasarkan permufakatan rapat Pembina atau persetujuan 2/3 anggota Pembina yang hadir;
c)      Merubah nama dan kegiatan harus mendapat persetujuan Menhukham;
d)      Merubah selain nama dan kegiatan, cukup diberitahukan kepada Menhukham
e)      Atas persetujuan Kurator, jika Yayasan pailit.
Di samping itu juga dikenal adanya larangan terhadap Yayasan:
a)      Memakai nama yang sama dengan nama Yayasan lain;
b)      Membagikan hasil kegiatan usaha ataupun kekayaan Yayasan (berupa gaji, dan lai-lain) kepada Pembina, Pengurus dan Pengawas;
c)      Melakukan perubahan anggaran dasar pada saat Yayasan pailit, kecuali atas Kegiatan Yayasan:
Pada bagian penjelasan umum UU Yayasan, Yayasan sebagai badan hukum yang mempunyai maksud dan tujuan bersifat sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yayasan mempunyai organ yang terdiri atas Pembina, pengurus dan pengawas. Pemisahan yang tegas antara fungsi, wewenang, dan tugas masing-masing organ tersebut serta pengaturan mengenai hubungan antara ketiga organ yang dimaksudkan untuk menghindari konflik interen yayasan yang tidak hanya dapat merugikan kepentingan yayasan juga pihak lain.
Jadi, dengan demikian hanya ada 3 (tiga) jenis usaha Yayasan yang dibolehkan oleh undang-undang yaitu:
a)      Di bidang sosial. Yaitu bidang-bidang mengenai pendidikan formal dan non formal; panti asuhan/wreda/jompo; rumah sakit, poliklinik, laboratorium; pembinaan olahraga; penelitian di bidang ilmu pengetahuan; studi banding;
b)      Di bidang keagamaan. Yakni mendirikan sarana ibadah, pondok pesantren; menerima dan menyalurkan amal zakat, sedekah; meningkatkan pemahaman keagamaan, melaksanakan syiar agama, studi banding keagamaan; dan
c)      Di bidang kemanusiaan. Seperti memberi bantuan kepada korban bencana alam, pengungsi akibat perang, tunawisma/fakir miskin/gelandangan; mendirikan rumah singgah, rumah duka, memberikan perlindungan konsumen; melestarikan lingkungan hidup dan lain-lain.
Selain jenis-jenis kegiatan Yayasan yang dibolehkan oleh undang-undang tersebut di atas, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 7 UU Yayasan juga Yayasan dapat melakukan kegiatan usaha dengan mendirikan badan usaha (PT) dan atau ikut serta dalam badan usaha (PT) dengan ketentuan:
a)      Penyertaan (modal) maksimal 25% dari aset Yayasan;
b)      Kegiatan badan usaha (PT) yang didirikan Yayasan sesuai dengan maksud dan tujuan Yayasan;
c)      Hasil kegiatan usaha tidak boleh dibagikan kepada organ Yayasan; dan
d)      Organ Yayasan tidak boleh merangkap sebagai Direksi dan Komisaris pada badan usaha (PT) yang didirikannya.
Mengenai akibat hukum perubahan akta Yayasan terhadap bidang-bidang dan jenis-jenis Yayasan hanya yang diperbolehkan oleh undang-undang mengenai bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Begitu pula dalam hal kegiatan usaha Yayasan, tidak boleh melakukan penyertaan modal lebih dari 25% dari aset Yayasan, hasil kegiatan tidak diperkenankan diterima oleh pembina, pengawas, dan pengurus, dan tidak boleh merangkap sebagai Direksi atau Komisaris. Alasan terhadap larangan ini adalah karena Yayasan tersebut bukan untuk mencari laba (nirlaba). Menurut Gatot Supramono, terdapat sedikit unsur Yayasan mencari laba melalui bidang-bidang usaha tertentu, namun laba yang dihasilkan itu tidak boleh diterima oleh pembina, pengurus, maupun pengawas, melainkan hanya digunakan untuk pengembangan Yayasan. 
4.      Lahirnya dan Berkahirnya Yayasan
Syarat-syarat pokok dalam UU Yayasan persyaratan untuk mendirikan Yayasan harus ada:
1.      Para pendiri;
2.      Harus dengan akta Notaris;
3.      Adanya modal awal;
4.      Pembuatan akta pendirian harus di hadapan Notaris;
5.      Pengajuan permohonan pengesahan akta pendirian;
6.      Pengesahan akta pendirian; dan
7.      Pengumuman.
Setelah akta pendiriannya disahkan Yayasan tersebut wajib diumumkan ke publik dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia. Berita tersebut dilakukan setelah Kantor percetakan Negara Republik Indonesia menerima permohonan tersebut dari pengurus Yayasan atau yang dikuasakan. Setelah disahkan oleh Menhukham dan diumumkan melalui TBN RI, maka Yayasan dinyatakan telah ada dan lahir sebagai badan hukum.
Menurut UU Yayasan, Yayasan memiliki umur tertentu atau jangka waktu tidak tertentu. Hal ini ditentukan sendiri oleh pendiri Yayasan dan wajib dicantumkan di dalam akta pendiriannya dan dalam akta perubahan pendiriannya. Pendiri Yayasan bebas menentukan jangka waktu tersebut, dan tentunya pendiri mempunyai pertimbangan tersendiri.
Dalam Pasal 16 Ayat (1) UU Yayasan ada dua pilihan yakni jangka waktu tertentu dan jangka waktu tidak tertentu. Jika waktunya tertentu, maka dengan jelas disebutkan dalam akta maupun dalam perubahan akta pendirian Yayasan misalnya 10 (sepuluh) tahun. Dengan menyebutkan waktu tertentu tersebut, maka setelah tiba waktunya, Yayasan tersebut harus bubar. Namun dalam Ayat (2) diberikan pula waktu perpanjangan jika dikehendaki oleh pendiri. Mengenai jangka waktu tidak tertentu, Yayasan dapat berdiri sepanjang masa walaupun telah berganti-ganti organ-oragannya.
Jadi, dalam pendirian Yayasan maupun dalam akta perubahan Anggaran Dasar Yayasan mengenai berakhirnya Yayasan tentu berakhirnya masa Yayasan tentu membawa konsekuensi hukum bahwa jika telah berakhir sesuai dengan pilihan waktu yang ditentukan oleh undang-undang, maka berakhir pulalah Yayasan sebagai badan hukum dan segala aspek hukumnya harus dibereskan khususnya mengenai harta kekayaan Yayasan.       
5.      Modal Yayasan   
Pada hakikatnya modal Yayasan adalah kekayaan yang dipisahkan untuk suatu tujuan tertentu yang oleh undang-undang diberi status badan hukum. Mengenai modal Yayasan sesuai dengan defenisi Yayasan pada Pasal 1 Ayat (1) UU yayasan yang dimaksud dengan Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota. Jadi, berdasarkan ketentuan ini, modal Yayasan adalah modal atau kekayaan yang dipisahkan antara kekayaan pribadi dengan kekayaan Yayasan. Kekayaan Yayasan dimaksud adalah baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain.
Kekayaan Yayasan tersebt, dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung kepada Pembina, Pengurus, Pengawas, karyawan, atau pihak lain yang mempunyai kepentingan terhadap Yayasan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 5 UU Yayasan yaitu, “Kekayaan Yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh Yayasan berdasarkan Undang-Undang ini, dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung kepada Pembina, Pengurus, Pengawas, karyawan, atau pihak lain yang mempunyai kepentingan terhadap Yayasan.”
Kekayaan awal Yayasan berasal dari kekayaan pendiri Yayasan dimana jumlah kekayaan awal harus dipisahkan dari kekayaan pribadi pendiri dalam bentuk uang atau benda. Benda dimaksud di sini adalah benda berwujud dan tidak berwujud yang dapat dinilai dengan uang.
Sehubungan dengan modal dalam akta pendirian Yayasan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 14 Ayat (4) UU Yayasan bahwa, ”Jumlah minimum harta kekayaan awal yang dipisahkan dari kekayaan pribadi Pendiri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf d ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.”
Maka dalam peraturan pelaksananya, ketentuan tersebut diperjelas dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan UU Yayasan ditentukan mengenai kekayaan awal Yayasan sebagai berikut:
(1)   Jumlah kekayaan awal Yayasan yang didirikan oleh Orang Indonesia, yang berasal dari pemisahan harta kekayaan pribadi pendiri, paling sedikit senilai Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(2)   Jumlah kekayaan awal Yayasan yang didirikan oleh Orang Asing atau Orang Asing bersama Orang Indonesia, yang berasal dari pemisahan harta kekayaan pribadi pendiri, paling sedikit senilai Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Kemudian dalam Pasal 7 ditentukan mengenai pemisahan harta kekayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 harus disertai surat pernyataan pendiri mengenai keabsahan harta kekayaan yang dipisahkan tersebut dan bukti yang merupakan bagian dari dokumen keuangan Yayasan.
Mengenai jumlah kekayaan awal atau modal Yayasan disebutkan di atas, maka terhadap pendirian Yayasan yang baru dengan memperhatikan ketentuan Pasal 6 PP ini harus dicantumkan dalam akta pendirian dan begitu pula jika akta itu dirubah harus diikutkan pula sebagai kekayaan awal Yayasan tersebut. Selain modal awal Yayasan sebagai kekayaan Yayasan, juga bersumber dari bantuan yang tidak mengikat dengan tidak membdekan asal dari mana sumbangan tersebut baik dari masyarakat, pemerintah, maupun dari luar negeri.
Pada praktiknya saat ini bertitik tolak dari kasus-kasus sengketa Yayasan sering sekali didengar adanya pemilik Yayasan. Para pendiri Yayasan dalam menyikapi hal ini, beranggapan bahwa sebenarnya sistem yang dibangun UU Yayasan dalam hal pengelolaan keuangan yayasan dapat dikatakan hampir sama dengan pengelolaan keuangan sebuah perusahaan terbatas. Saat ini terdapat berbagai penafsiran yang keliru dalam pengelolaan Yayasan yang selama ini berlangsung seperti:
a.    Yayasan dianggap sebagai organisasi nirlaba yang selama sekali tidak boleh mencari keuntungan (non profit oriented). Adanya pemikiran tersebut telah menyebabkan banyak yayasan  yang "lesu darah" karena dalam upaya pendanaan hanya mengandalkan sumbangan dari para donatur tanpa berusaha mencari sumber-sumber lain yang lebih kreatif. Lebih parah lagi para donatur yang diandalkan adalah orang atau badan yang sama dari tahun ke tahun yang dimintakan belas kasihannya;
b.   Karena yayasan mempunyai misi sosial dan kemanusiaan maka dapat dipahami bahwa manajemen yayasan kurang profesional diibandingkan dengan manajemen bisnis yang bertujuan laba, karena para pendiri dan pengurusnya adalah para sukarelawan yang mempunyai banyak kesibukan lain;
c.    Sebagai organisasi nirlaba, yayasan jarang melakukan program "pemasaran" (marketing) karena pemasaran dianggap identik dengan aspek komersial dan penjualan. Hal ini menyebabkan banyak yayasan yang sulit berkembang karena kurang dikenal oleh masyarakat dan konstituennya, sehingga sangat sulit memperoleh sumber pendanaan; dan
d.   Sebagai organisasi nirlaba, pengelolaan yayasan dianggap berbeda dengan pengelolaan perusahaan. Banyak yayasan yang tidak berkembang karena dikelola dengan kurang profesional, tidak efisien, tidak adanya akuntabilitas publik, lemahnya pengawasan, dan sebagainya.
Dengan demikian, yayasan sebagai salah satu bentuk organisasi nirlaba dewasa ini mengalami tantangan besar karena semakin meningkatnya tuntutan akan transparansi, akuntabilitas, serta efisiensi dan efektifitas dalam pengelolaan kegiatan operasionalnya. Memperhatikan hakikat yayasan tersebut di atas maka tepatlah bahwa Undang-Undang Yayasan menegaskan bahwa yayasan dapat didirikan oleh satu orang dengan memisahkan harta kekayaan pendirinya, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 9 Ayat (1) UU Yayasan menyebutkan, ”Yayasan didirikan oleh satu orang atau lebih dengan memisahkan sebagian harta kekayaan pendirinya, sebagai kekayaan awal”.
Ketentuan tentang pendirian Yayasan ini berbeda bila dibandingkan dengan pendirian Perseroan Terbatas atau perseroan. Dalam hal pendirian perseroan harus dilakukan oleh sedikitnya 2 (dua) orang (Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas), karena Perseroan Terbatas adalah persekutuan modal (asosiasi modal) yang dibentuk berdasarkan perjanjian.
Tetapi saat ini kenyataan dalam hal pendirian Yayasan perlu diperhatikan bahwa perbuatan hukum pendirian Yayasan pada dasarnya adalah perbuatan hukum yang bersifat sepihak. Juga apabila yayasan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih Pendiri, sifat perbuatan hukum dimaksud secara esensial berbeda dengan perbuatan hukum pendirian Perseroan. Dalam hal pendirian Perseroan, perbuatan hukum para pendiri sekaligus mengandung penyertaan dalam perseroan selaku persekutuan modal. Perbuatan hukum pendirian yayasan mengakibatkan lahirnya yayasan.
Undang-Undang Yayasan mengamanatkan bahwa pendirian tersebut harus dengan akta Notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia, sebagaimana ketentuan Pasal 9 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 yang menyebutkan, ”Pendirian yayasan sebagaimana dimaksud dalam, ayat (1) dilakukan dengan akta Notaris dan dibuat dalam bahasa Indonesia”. Hal tersebut berarti bahwa apabila pendirian yayasan tidak dilakukan dengan akta notaris, maka perbuatan hukum tersebut bukan perbuatan hukum pendirian yayasan sebagaimana dimaksud dalam UU Yayasan, dan oleh karena itu perbuatan hukum tersebut tidak melahirkan yayasan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa akta notaris merupakan syarat mutlak bagi adanya yayasan.
Selanjutnya dalam Pasal 9 ayat (3) dinyatakan bahwa Yayasan dapat didirikan berdasarkan surat wasiat. Hal ini berarti bahwa surat wasiat dimaksud harus merupakan surat wasiat terbuka yang dibuat di hadapan notaris Indonesia. Oleh karena itu pendirian Yayasan tidak dapat dilakukan berdasarkan surat wasiat holograf (surat wasiat yang seluruhnya ditulis dengan tangan oleh pembuat wasiat) atau dengan surat wasiat rahasia. Hal ini karena kedua surat wasiat yang disebutkan terakhir bukan merupakan akta notaris melainkan akta di bawah tangan yang dideponir pada kantor notaris. Jadi, setelah adanya perubahan akta dalam pendirian Yayasan harus tunduk pada ketentuan UU Yayasan dengan tidak mengenal adanya nama pemilik Yayasan kecuali pembina, pendiri, pengurus, dan pengawas Yayasan.

KESIMPULAN
Akibat hukum perubahan akta pendirian  hukum Yayasan setelah keluarnya UU Yayasan tersebut, maka Yayasan dapat diakui sebagai badan hukum dan  dapat menggunakan kata “Yayasan” di depan nama khusus. Terhadap kepengurusan pembina dilarang merangkap jabatan lain, perubahan AD hanya dilakukan melalui keputusan rapat pembina yang dihadiri paling sedikit 2/3 (dua pertiga) dari keseluruhan anggota, mengangkat dan memberhentikan anggota pengurus, menetapkan kebijakan umum Yayasan berdasarkan AD, pengesahan program kerja dan rancangan anggaran tahunan, penetapan khusus mengenai penggabungan dan  pembubaran Yayasan. Terhadap hak-hak kepengurusan baik pembina, pengurus, dan pengawas, dilarang menerima atau mengambil kekayaan Yayasan baik yang bukan haknya baik secara langsung maupun tidak langsung. Terhadap ruang lingkup bidang usaha hanya diperbolehkan bergerak di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Lahirnya dinyatakan setelah pengesahan akta pendirian dan beakhir dalam waktu tertentu, dan ada juga sepanjang masa, sesuai dengan ketentuan dalam akta pendiriannya. Terhadap modal Yayasan memiliki kekayaan yang dipisahkan dengan kekayaan pembina, pengurus, dan pengawas. Diharapkan dalam peraturan pelaksana UU Yayasan yakni PP Nomor 63 Tahun 2008 dicantumkan kewajiban yang membuat laporan kepada masyarakat luas hanyalah bagi Yayasan yang didirikan oleh pemerintah ataupun yang kekayaannya berasal dari negara dan yayasan yang mengelola dana masyarakat luas. Sedangkan bagi Yayasan mengelola kekayaan yang berasal dari pribadi pendirinya ataupun sumber keuangan dari perusahaan pribadi pendirinya tidak perlu membuat laporan secara luas.