Jumat, 23 September 2011

TINDAK PIDANA DESERSI MENURUT HUKUM PIDANA MILITER

Tindak pidana militer adalah tindak pidana yang dilakukan oleh subjek hukumnya yaitu militer. Tindak pidana semacam ini disebut tindak pidana militer murni (zuiver militaire delict). Tindak pidana militer murni adalah suatu tindak pidana yang hanya dilakukan oleh seorang militer, karena sifatnya khusus untuk militer. Contoh: Tindak pidana desersi sebagaimana diatur Pasal 87 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM); tindak pidana insubordinasi sebagaimana diatur dalam Pasal 105-109 KUHPM dan lain-lain. Maksudya tindak pidana insubordinasi ini adalah seorang bawahan dengan tindakan nyata mengancam dengan kekerasan yang ditujukan kepada atasannya atau komandannya. Tindakan nyata itu dapat berbentuk perbuatan dan dapat juga dengan suatu mimik atau isyarat. Tindak pidana meninggalkan pos penjagaan sebagaimana diatur dalam Pasal 118 KUHPM. Maksudya: Penjaga yang meninggalkan posnya dengan semuanya, tidak melaksanakan suatu tugas yang merupakan keharusan baginya dimana dia tidak mampu menjalankan tugasnya sebagai penjaga sebagaimana mestinya diancam dengan pidana penjara maksimal empat tahun.
Tindak pidana yang dilakukan oleh anggota TNI murni militer didasarkan kepada peraturan terkait dengan militer. Anggota TNI yang melakukan tindak pidana murni militer sebagaimana disebutkan dalam hukum pidana militer termasuk kejahatan yakni: kejahatan terhadap keamanan negara; kejahatan dalam pelaksanaan kewajiban perang, kejahatan menarik diri dari kesatuan dalam pelaksanaan kewajiban dinas (desersi); kejahatan-kejahatan pengabdian, kejahatan pencurian, penipuan, dan penadahan, kejahatan merusak, membinasakan atau menghilangkan barang-barang keperluan angkatan perang.
Tindak pidana militer campuran (germengde militaire delict) adalah tindak pidana mengenai perkara koneksitas artinya suatu tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama antara sipil dan militer yang dalam hal ini dasarnya kepada undang-undang militer dan KUH Pidana. Contoh: tindak pidana pencurian yang dilakukan secara bekerja sama antara sipil dan militer; tindak pidana pembunuhan yang korbannya adalah sipil; dan lain-lain. Tindak pidana campuran ini selalu melibatkan subjek hukum yakni sipil baik pelaku maupun sebagai korban tindak pidana.
Salah satu jenis tindak pidana yang menjadi fokus pembahasan dalam penelitian ini adalah tindak pidana desersi. Tindak pidana desersi ini merupakan contoh tindak pidana murni dilakukan oleh militer. Desersi adalah tidak beradanya seorang militer tanpa izin atasannya langsung, pada suatu tempat dan waktu yang sudah ditentukan oleh dinas, dengan lari dari kesatuan dan meninggalkan dinas kemiliteran, atau keluar dengan dengan cara pergi, melarikan diri tanpa ijin. Perbuatan tersebut adalah suatu perbuatan yang tidak boleh terjadi dalam kehidupan militer. Istilah desersi terdapat dalam KUHPM pada Bab III tentang ”Kejahatan-Kejahatan Yang Merupakan Suatu Cara Bagi Seorang Militer Menarik Diri dari Pelaksanaan Kewajiban-Kewajiban Dinas”.
Tindak pidana desersi merupakan suatu tindak pidana yang secara khusus dilakukan oleh seorang militer karena bersifat melawan hukum dan bertentangan dengan undang-undang khususnya hukum pidana militer. Tindak pidana desersi ini diatur dalam Pasal 87 KUHPM, yaitu:
1)      Diancam karena desersi, militer:
Ke-1,   yang pergi dengan maksud menarik diri untuk selamanya dari kewajiban-kewajiban dinasnya, menghindari bahaya perang, menyebrang ke musuh atau memasuki dinas militer pada suatu negara atau kekuasaan lain tanpa dibenarkan untuk itu.
Ke-2,   yang karena salahnya atau dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa izin dalam waktu damai lebih lama dari 30 (tiga puluh) hari, dalam waktu perang lebih lama dari empat hari.
Ke-3    yang dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa izin dan karenanya tidak ikut melaksanakan sebagian atau seluruhnya dari suatu perjalanan yang diperintahkan, seperti yang diuraikan dalam Pasal 85 ke-2.
2)      Desersi yang dilakukan dalam waktu damai, diancam dengan pidana penjara maksimum dua tahun delapan bulan.
3)      Desersi yang dilakukan dalam waktu perang, diancam dengan pidana pencara maksimum delapan tahun enam bulan.
Setelah mencermati substansi rumusan pasal tersebut mengenai ketentuan cara bagi seorang prajurit untuk menarik diri dari pelaksanaan kewajiban dinas, bahwa hakikat dari tindak pidana desersi harus dimaknai bahwa pada diri anggota TNI yang melakukan desersi harus tercermin sikap bahwa ia tidak ada lagi keingginanya untuk berada dalam dinas militer. Maksudnya bahwa seorang anggota militer yang karena salahnya atau dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa ijin dan tanpa ada suatu alasan untuk menghindari bahaya perang dan menyeberang ke wilayah musuh atau dalam keadaan damai tidak hadir pada tempatnya yang telah ditentukan untuk melakukan tugas yang dibebankan kepadanya.
Hal tersebut dapat saja terealisasi dalam perbuatan yang bersangkutan pergi meninggalkan kesatuan dalam batas tenggang waktu minimal 30 hari secara berturut-turut atau perbuatan menarik diri untuk selama-lamanya. Bahwa dalam kehidupan sehari-hari, seorang anggota militer dituntut kesiapsiagaannya ditempat dimana seharusnya berada, tanpa ia sukar dapat diharapkan padanya untuk menjadi militer yang mampu menjalankan tugasnya.
Tindakan-tindakan ketidakhadiran anggota militer pada suatu tempat untuk menjalankan tugas dinas ditentukan sebagai suatu kejahatan, karena penghayatan disiplin merupakan hal yang sangat urgen dari kehidupan militer karena disiplin merupakan tulang punggung dalam kehidupan militer. Lain halnya dengan kehidupan organisasi bukan militer, bahwa perbuatan tersebut bukan merupakan suatu kejahatan, melainkan sebagai pelanggaran disiplin organisasi.
Makna dari rumusan perbuatan menarik diri untuk selamanya apabila dicermati dari kewajiban-kewajiban dinasnya, secara sepintas perbuatan tersebut menunjukkan bahwa anggota militer yang melakukan desersi (petindak) itu tidak akan kembali ke tempat tugasnya yang harus ditafsirkan bahwa pada diri anggota militer tersebut terkandung kehendak bahwa dirinya tidak ada lagi keingginan untuk tetap berada dalam dinas militer.
Bentuk-bentuk desersi, disebutkan disebutkan dalam buku Badan Pembinaan Hukum TNI berdasarkan pada ketentuan Pasal 87 KUHPM ada dua bentuk desersi yaitu:
1.      Bentuk desersi murni, yaitu desersi karena tujuan antara lain:
a.       Pergi dengan maksud menarik diri untuk selama-lamanya dari kewajiban dinas. Arti dari untuk selamanya ialah tidak akan kembali lagi ke tempat tugasnya. Dari suatu kenyataan bahwa pelaku telah bekerja pada suatu jawatan atau perusahaan tertentu tanpa suatu perjanjian dengan kepala perusahaan tersebut bahwa pekerjaan itu bersifat sementara sebelum ia kembali ke kesatuannya. Bahkan jika si pelaku itu sebelum pergi sudah mengatakan tekadnya kepada seorang teman dekatnya tentang maksudnya itu, kemudian tidak lama setelah pergi ia ditangkap oleh petugas, maka kejadian tersebut sudah termasuk kejahatan desersi. Dari kewajiban-kewajiban dinasnya, maksudnya jika pelaku itu pergi dari kesatuannya, dengan maksud untuk selama-lamanya dan tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai seorang militer, maka perbuatan itu adalah desersi.
b.      Pergi dengan maksud menghindari bahaya perang. Maksudnya seorang militer yang kepergiannya itu dengan maksud menghindari bahaya dalam pertempuran dengan cara melarikan diri, dalam waktu yang tidak ditentukan, tindakan yang demikian dapat dikatakan sebagai desersi dalam waktu perang.
c.       Pergi dengan maksud menyeberang ke musuh. Untuk menyeberang ke musuh adalah maksud atau tujuan dari pelaku untuk pergi dan memihak pada musuh yang tujuannya dapat dibuktikan (misalnya sebelum kepergianya ia mengungkapkan kepada teman-teman dekatnya untuk pergi memihak musuh), maka pelaku telah melakukan desersi.
d.      Pergi dengan tidak sah memasuki dinas militer asing. Pengertian memasuki dinas militer apabila tujuan pelaku bermaksud memasuki kekuasaan lain pasukan, laskar, partisan dan lain sebagainya dari suatu organisasi pembrontak yang berkaitan dengan persoalan spionase, tindakan tersebut sudah termasuk melakukan kejahatan desersi.
2.      Bentuk desersi karena waktu sebagai peningkatan kejahatan dari ketidakhadiran tanpa ijin, yaitu:
a.       Tidak hadir dengan tidak sah karena kesalahannya, lamanya melebihi 30 (tiga puluh) hari waktu damai, contoh: seorang anggota militer yang melakukan kejahatan ketidakhadiran yang disengaja atau dengan sengaja dalam waktu damai selama 30 hari berlanjut.
b.      Tidak hadir dengan tidak sah karena kesalahannya, lebih lama dari 4 (empat) hari dalam masa perang, contoh seorang militer yang melakukan kejahatan ketidakhadiran dengan sengaja disaat Negara dalam keadaan sedang perang atau militer tersebut sedang ditugaskan kesatuannya di daerah konflik.
3.      Bentuk desersi karena sebagai akibat. Hal ini sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) ke-3, umumnya termasuk dalam pengertian Pasal 85 ke-2 ditambah dengan adanya unsur kesengajaan dari si pelaku.
Ada empat macam cara atau keadaan yang dirumuskan sebagai bentuk desersi murni yaitu:
1.      Anggota militer yang pergi dengan maksud (oogmerk) untuk menarik diri selamanya dari kewajiban-kewajiban dinasnya;
2.      Anggota militer yang pergi dengan maksud untuk menghindari bahaya perang;
3.      Anggota militer yang pergi dengan maksud untuk menyeberang ke musuh; dan
4.      Anggota militer yang pergi dengan maksud untuk memasuki dinas militer pada suatu negara atau kekuasaan lain tanpa dibenarkan untuk tiu.
Pengertian pergi ditegaskan dalam Pasal 95 KUHPM yaitu perbuatan menjauhkan diri dari, ketidakhadiran pada atau membuat diri tertinggal untuk sampai pada suatu tempat atau tempat-tempat dimana militer itu seharusnya berada untuk memenuhi kewajiban-kewajiban dinas yang ditugaskan kepadanya; yang disebut dengan ketidakhadiran adalah tidak hadir pada tempat atau tempat-tempat tersebut. Unsur bersifat melawan hukum yang tersirat dalam Pasal 87 KUHPM di atas jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 95 KUHPM, bahwa yang dimaksud dengan pergi (verwijderen) adalah perbuatan-perbuatan:
1.       Menjauhkan diri dari (zich verwijderen);
2.       Menyembunyikan diri dari;
3.       Meneruskan ketidakhadiran pada; atau
4.       Membuat diri sendiri tertinggal untuk sampai pada suatu tempat atau tempat-tempat dimana militer itu seharusnya berada untuk memenuhi kewajiban-kewajiban dinas yang ditugaskan kepadanya.
Sebagaimana diketahui salah satu unsur dari tiap-tiap kejahatan adalah bersifat melawan hukum baik secara tersurat maupun secara tersirat. Unsur bersifat melawan hukum dalam Pasal 87 ayat (1) ke-1 hanya secara tersirat dirumuskan yang dapat disimpulkan dari salah satu maksud tersebut adalah: Menjauhkan diri dari (zich verwijderen); Menyembunyikan diri dari; dan Meneruskan ketidakhadiran yang terkandung bagi pelaku dan harus dikaitkan dengan perbuatan kepergiannya itu.
Seorang anggota militer yang bermaksud menarik diri untuk selamanya dari kewajiban-kewajiban dinasnya, menghindari bahaya perang, selama maksud tersebut berada pada hati sanubarinya sendiri, tidak diwujudkan dengan suatu tindakan yang nyata, maka selama itu maksud tersebut belum dapat dikatakan sebagai perbuatan yang bersifat melawan hukum. Demikian juga perbuatan ”pergi”, belum tentu sudah merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum, jika kepergian itu tanpa ijin, sudah jelas sifat melawan hukumnya terdapat pada kata-kata ”tanpa ijin”, namun jika kepergian itu sudah mendapat ijin (misalnya cuti) maka kepergian itu tidak bersifat melawan hukum. Oleh karena itu, baru setelah maksud tersebut diwujudkan secara nyata dalam suatu tindakan (dalam hal kepergiannya itu) terdapat sifat melawan hukum dari tindakan tersebut.
Berdasarkan hal tersebut, jika seorang anggota militer meninggalkan tempat dan tugasnya keran sudah mendapatkan ijin cuti, tetapi ternyata kemudian anggota militer tersebut bermaksud untuk tidak akan kembali lagi untuk selamanya ke tempat tugasnya, perbuatan tersebut sudah merupakan perbuatan melawan hukum walaupu kepergiannya itu ”dengan ijin” dan sekaligus tindakan atau perbuatan sedemikian itu telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana desersi.
  Pasal 87 ayat (1) ke-2 menegaskan bahwa yang karena salahnya atau dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa izin dalam waktu damai lebih lama dari 30 (tiga puluh) hari, dalam waktu perang lebih lama dari empat hari. Berdasarkan pasal ini dapat dipahami bahwa sebagai batas tindak pidana desersi dari segi waktu adalah tiga puluh hari. Desersi yang dilakukan sesuai dengan Pasal 87 KUHPM sanksinya adalah penjara dan pemecatan dari anggota militer, karena terdapat ancaman pidana dalam pasal tersebut. Jika ketidakhadiran dilakukan kurang dari 30 (tiga puluh) hari atau setidak-tidaknya satu hari maka belum bisa dikatakan sebagai tindak pidana desersi tetapi disebut tidak hadir tanpa ijin yang dapat diselesaikan secara hukum disiplin militer (misalnya karena keterlambatan hadir dalam kesatuan militer. Tidak hadir tanpa ijin selama satu hari di sini adalah selama 1 x 24 jam. Sebagai patokan untuk menentukan ketidakhadiran itu dihitung mulai tidak hadir saat apel, atau pada saat dibutuhkan/penting tidak hadir pada tempatnya yang telah ditentukan untuk melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya.
Secara administratif, berdasarkan Juklak Kasal disebutkan deseri yang lebih dari 30 (tiga puluh) hari atau setidak-tidaknya pada hari ke-31 sudah dinyatakan desersi. Desersi yang dimaksud di sini adalah yang diancam dengan pidana dan pemecatan bukan penyelesaiannya secara hukum disiplin militer sebab waktunya sudah lebih dari 30 (tiga puluh) hari atau setidak-tidaknya hari ke-31 sejak dinyatakan desersi.
Terhadap anggota TNI yang akan dijatuhi hukuman disiplin perbuatannya harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam ketentuan Pasal 5 UU No.26 Tahun 1997 tentang Disiplin Militer (selanjutnya disingkat dengan UU Disiplin Prajurit TNI). Pasal 5 UU Disiplin Prajurit TNI, menegaskan, ”Pelanggaran disiplin prajurit adalah ketidaktaatan dan ketidakpatuhan yang sungguh-sungguh pada diri prajurit yang bersendikan Sapta Marga dan Sumpah Prajurit untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sesuai dengan aturan-aturan atau tata kehidupan prajurit”.
Pelanggaran disiplin anggota TNI sesuai dengan ketentuan Pasal 5 UU Disiplin Prajurit TNI meliputi pelanggaran hukum disiplin murni dan pelanggaran hukum disiplin tidak murni. Pelanggaran disiplin murni adalah setiap perbuatan yang bukan merupakan tindak pidana, tetapi bertentangan dengan perintah kedinasan atau peraturan kedinasan atau perbuatan yang tidak sesuai dengan tata kehidupan prajurit, contohnya: terlambat apel, berpakaian kurang rapi/baju tidak dikancingkan atau kotor, berambut gondrong dan sepatu tidak disemir. Jenis hukuman untuk pelanggaran ini berupa hukuman disiplin prajurit berupa tindakan fisik atau teguran lisan untuk menumbuhkan kesadaran dan mencegah terulangnya pelanggaran ini seperti push up dan lari keliling lapangan. Sedangkan pelanggaran hukum disiplin tidak murni adalah setiap perbuatan yang merupakan tindak pidana yang sedemikian ringan sifatnya sehingga dapat diselesaikan secara hukum disiplin militer.Tindak pidana ringan sifatnya adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan atau kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling tinggi Rp.6.000.000 (enam juta rupiah), perkaranya sederhana dan mudah pembuktiannya serta tindak pidana yang terjadi tidak akan mengakibatkan terganggunya kepentingan TNI atau kepentingan umum, contohnya: Penganiayaan ringan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan. Jenis hukuman untuk pelanggaran ini berupa hukuman disiplin prajurit berupa penahanan ringan paling lama selama 14 (empat belas hari) atau penahanan berat paling lama 21 (dua puluh satu hari). Pihak yang berhak menjatuhkan semua jenis hukuman disiplin kepada setiap anggota TNI yang berada di bawah wewenang komandonya adalah Komandan atau Atasan yang berhak Menghukum (selanjutnya disebut Ankum) yang dilaksanakan dalam sidang disiplin.
Bentuk-bentuk desersi yang dilakukan anggota TNI atau anggota militer sebagaimana dimaksud di atas, dapat diberlakukan kepada si pelaku ketentuan Pasal 88 KUHPM.
(1)   Maksimum diancam pidana yang diteapkan dalam Pasal 86 dan 87 diduakalikan:
1.      Apabila ketika melakukan kejahatan itu belum lewat lima tahun, sejak petindak telah menjalani seluruhnya atau sebahagian dari pidana yang dijatuhkan kepadanya dnegan putusan karena melakukan desersi atau dengan sengaja melakukan ketidakhadiran dengan tanpa ijin atau sejak pidana itu seluruhnya dihapuskan baginya, atau apabila ketika melakukan kejahatan itu hak untuk menjalankan pidana tersebut belum kadaluarsa.
2.      Apabila dua orang atau lebih, masing-masing untuk diri sendiri dalam melakukan salah satu kejahatan-kejahatan tersebut dalam Pasal 86 dan 87, pergi secara bersama-sama atau sebagai kelanjutan dari pemufakatan jahat.
3.      Apabila petindak adalah militer pemegang komando.
4.      Apabila dia melakukan kejahatan itu sedang dalam menjalankan dinas.
5.      Apabial dia pergi ke atau di luar negeri.
6.      Apabila dia melakukan kejahatan itu dengan menggunakan suatu perahu laut, pesawat terbang, atau kenderaan yang termasuk pada angkatan perang.
7.      Apabila dia melakukan kejahatan itu dengan membawa serta suatu binatang yang digunakan untuk kebutuhan angkatan perang, senjata, atau amunisi.
(2)   Apabila kejahatan tersebut dalam Pasal 86 atau kejahatan desersi dalam keadaan damai dibarengi dengan dua atau lebih keadaan-keadaan dalam ayat (1) nomor 1 s/d 7, maka maksimum ancaman pidana yang ditentukan pada ayat tersebut ditambah dengan setengahnya.
Maksud dari pasal di atas adalah pemberatan. Pemberatan dimaksud Pasal 88 ayat (1) nomor 1 KUHPM lazim disebut perulangan atau recidive yakni si pelaku sudah pernah dijatuhi hukuman oleh hakim karenamelakukan kejahatan yang serupa dengan kejahatan yang dilakukannya sekarang, maka dalam hal seperti ini, desersi atau tidak hadir dengan tidak sah dilakukannya dengan sengaja. Perbuatan itu baru dapat dikatakan pengulangan apabila masa kadaluarsa dari kejahatan itu belum habis. Tenggang masa kadaluarsa (verjaring) perbuatan tersebut adalah: satu tahun untuk pelanggaran ringan; dua tahun untuk pelanggaran berat; dua tahun untuk pelanggaran ringan; dan lima tahun untuk pelanggaran ringan. Khusus untuk kejahatan desersi masa kadaluarsanya dua belas tahun sesuai dengan ketentuan Pasal 41 KUHPM.
Maksud dari Pasal 88 ayat (1) nomor 2 KUHPM di atas, pemberatan dikarenakan adanya kerja sama antara para pelaku, baik yang dilakukan secara sadar atau secara tidak sadar dan tidak perlu terjadinya kejahatan-kejahatan itu pada saat yang bersamaan. Pemberatan yang dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) nomor 3 KUHPM diberikan apabila yang memerlukan kejahatan dengan sengaja tidak hadir dengan tidak sah bagi seseorang anggota militer yang memegang pimpinan. Anggota militer yang memegang komando adalah suatu pasukan yang berdiri sendiri.
Pemberatan dimaksud Pasal 88 ayat (1) nomor 4 KUHPM bagi anggota militer yang sedang melakukan dinas dimana mereka yang secara nyata-nyata sedang dalam keadaan melakukan tugas dinas. Arti melaksanakan dinas lebih luas daripada pengertian sedang melaksanakan tugas. Hal yang juga memberatkan bagi pelaku dalam Pasal 88 ayat (1) nomor 5 KUHPM jika kejahatan desersi itu tidak hadir dengan tidak sah dilakukan dengan jalan pergi ke laur negeri atau dilakukan di luar negeri atau melakukan desersi pergi ke laur wilayah NKRI. Memberatkan dimaksud Pasal 88 ayat (1) nomor 6 apabila kejahatan itu dilakukan dengan membawa perahu atau kapal, pesawat terbang, atau kendaraan-kendaraan yang termasuk kepunyaan TNI. Kajahatan ini mungkin suatu perbuatan yang merupakan rangkaian tindak pidana yaitu seial melakukan desersi, juga melakukan pencurian terhadap perlengkapan militer. Hal yang memberatkan dimaksud Pasal 88 ayat (1) nomor 7 KUHPM di atas ialah kejahatan tersebut dilakukan dengan membawa binatang, senjata atau mesiu yang seharusnya digunakan untuk kepentingan TNI. Binatang yang dimaksud di sini yaitu binatang-binatang yang bisa digunakan untuk kepentingan TNI misalnya kuda, anjing, merpati pos, dan lain-lain yang dianggap penting untuk membantu peperangan dalam situasi medan yang sulit.
Sementara maksud pada ketentuan Pasal 88 ayat (2) KUHPM menentukan hal yang lebih memberatkan lagi hingga ancaman hukumannya ditambah dengan setengahnya, setelah hukuman dalam Pasal 88 ayat (2) KUHPM ini diduakalikan. Hal yang memberatkan itu apabila si pelaku melakukan kejahatan yang disertai atau tidak dengan sah karena disengaja, disertai dengan dua orang atau lebih dari ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) dari nomor 1 s/d 7 KUHPM.      
Desersi yang dimaksud dalam Pasal 87 KUHPM merupakan suatu tindak pidana militer murni dan bukan merupakan pelanggaran disiplin sehingga untuk penyelesaian tidak bisa diselesaikan melalui hukum disiplin militer melainkan harus diselesaikan melalui sidang pengadilan. Oleh karena itu yang berhak mengadili tindak pidana desersi adalah Hakim Militer dalam Sistim Peradilan Pidana Militer, dimana bentuk penjatuhan pidana militernya terdapat di dalam Pasal 6 KUHPM yaitu berupa pidana pokok (yakni: pidana mati; penjara; kurungan; pidana tutupan) sampai dengan pidana tambahan (yakni: pemecatan dari dinas militer dengan atau tanpa pencabutan haknya untuk memasuki TNI; penurunan pangkat; dan pencabutan hak-hak yang disebutkan dalam Pasal 35 KUHPM).
Bagi anggota TNI yang terlibat masalah perdata (baik sebagai tergugat maupun penggugat) maka untuk penyelesaiannya melalui pengadilan di lingkungan peradilan umum, dan apabila yang dihadapi adalah masalah yang ada hubungan dengan perceraian maupun waris menurut hukum islam maka penyelesaian melalui peradilan Agama. Mengenai gugatan tata usaha militer, apabila ada orang atau badan hukum perdata yang merasa dirugikan atas dikeluarkannya suatu keputusan yang dikeluarkan badan atau pejabat tata usaha militer maka sesuai dengan hukum acara tata usaha militer pada Bab V Pasal 265 UU No.31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer, gugatan diajukan, ke Pengadilan Militer Tinggi, namun sampai saat ini Peradilan Tata Usaha Militer tersebut belum terwujud, karena belum ada Peraturan Pemerintahnya.
Unsur-unsur tindak pidana desersi dalam ketentuan Pasal 87 ayat (1) ke-2 KUHPM yang ditegaskan berikut: “yang karena salahnya atau dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa ijin dalam waktu damai lebih lama dari tiga puluh hari”. Berdasarkan pada Pasal 87 ayat (1) ke-2, maka ada 5 (lima) unsur tindak pidana desersi, yaitu:
  1. Militer;
  2. Dengan sengaja;
  3. Melakukan ketidakhadiran tanpa ijin;
  4. Dalam masa damai; dan
  5. Lebih lama dari tiga puluh hari.
Terhadap unsur-unsur tersebut di atas terdapat pengertian bahwa unsur:
  1. Militer
a.       Menurut Pasal 46 KUHPM ialah mereka yang berkaitan dinas secara sukarela pada Angkatan Perang yang diwajibkan berada dalam dinas secara terus menerus dalam tenggang waktu dinas tersebut (disebut militer) ataupun semua sukarelawan lainnya pada angkatan perang dan para wajib militer selama mereka berada dalam dinas.
b.      Baik militer sukarela maupun militer wajib adalah merupakan yustisiabel peradilan militer yang berarti kepada mereka dapat dikenakan atau diterapkan ketentuan-ketentuan hukum pidana militer di samping ketentuan-ketentuan hukum pidana umum, termasuk di sini terdakwa sebagai anggota militer/TNI.
c.       Bahwa di Indonesia yang dimaksud dengan militer adalah kekuatan angkatan perang dari suatu Negara.
d.      Bahwa seorang militer ditandai dengan mempunyai: Pangkat, NRP (Nomor Registrasi Pusat), Jabatan, Kesatuan didalam melaksanakan tugasnya atau berdinas memakai pakaian seragam sesuai dengan Matranya lengkap dangan tanda Pangkat, Lokasi Kesatuan dan Atribut lainnya.
  1. Dengan sengaja. Bahwa yang dimaksud dengan sengaja (dolus) di dalam KUH Pidana tidak ada pengertian maupun penafsirannya secara khusus, tetapi penafsiran “Dengan sengaja atau kesengajaan” disesuaikan dengan perkembangan dan kesadaran hukum masyarakat oleh karena itu terdapat banyak ajaran, pendapat dan pembahasan mengenai istilah kesengajaan ini.
  2. Melakukan ketidakhadiran tanpa ijin. Bahwa melakukan ketidakhadiran tanpa ijin berarti tidak hadir di kesatuan sebagaimana lazimnya seorang anggota TNI antara lain didahului dengan apel pagi, melaksanakan tugastugas yang dibebankan atau yang menjadi tanggung jawabnya, kemudian apel siang. Sedangkan yang dimaksud tanpa ijin artinya ketidakhadiran tanpa sepengetahuan atau seijin yang sah dari Komandan atau Kesatuannya atau kewajibannya sebagai anggota TNI.
  3. Dalam waktu damai. Bahwa yang dimaksud dimasa damai berarti bahwa terdakwa atau seorang anggota TNI melakukan ketidakhadiran tanpa ijin itu Negara Republik Indonesia dalam keadaan damai atau kesatuannya tidak melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 KUHPM yaitu perluasan dari keadaan perang.
  4. Lebih lama dari tiga puluh hari. Bahwa melakukan ketidakhadiran lebih lama dari tiga puluh hari berarti terdakwa tidak hadir tanpa ijin secara berturutturut lebih dari waktu tiga puluh hari.
Desersi kepada musuh merupakan pengertian dengan maksud menyebarang kepada musuh, ancaman pidananya yaitu pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana maksimum dua puluh tahun. Ketentuannya diatur dalam Pasal 89 KUHPM yaitu:
Diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau sementara maksimum dua puluh tahun:
  1. Desersi ke musuh;
  2. (Diubah dengan UU No.39 Tahun 1947). Desersi dalam waktu perang, dari satuan pasukan, perahu laut, atau pesawat terbang yang ditugaskan untuk dinas pengamanan, ataupun dari suatu tempat atau pos yang diserang atau terancam serangan oleh musuh.
Desersi kepada musuh berarti si pelaku sudah berada di daerah atau sudah berada di pihak musuh atau dengan kalimat lain, si pelaku sudah betul-betul bekerja pada pihak musuh. Perbuatan ini dapat digolongkan sebagai pengkhianatan militer sebagaiman dimaksud dalam Pasal 64 KUHPM junto Pasal 124 KUH Pidana. Maksud Pasal 89 ayat (2) KUHPM di atas adalah desersi khusus yaitu desersi yang disertai perbuatan-perbuatan khusus karena dilakukan dalam keadaan perang yang dilakukan oleh pasukan-pasukan, perahu atau kapal, atau pesawat udara yang diserahi tugas pengamanan. Mengenai pengertian tugas pengamanan tersebut oleh undang-undang tidak diberikan penjelasan yang rinci namun hal ini dapat dihubungkan dengan pelajaran taktik penyerangan dalam militer, maka yang dimaksud dengan tugas pengamanan itu adalah perlindungan ata perlindungan depan, perlindungan lambung, perlindungan belakang, dan sebagainya.
Perbuatan dengan sengaja menarik diri dari kewajiban-kewajiban dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 KUHPM yaitu: dengan akal bulus atau suatu rangkaian karangan bohong, menarik diri dari kewajiban untuk sementara waktu; menarik diri untuk selamanya; dan sengaja membuat dirinya tidak terpakai. Sedangkan perbuatan pemalsuan surat cuti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 KUHPM adalah: perbuatan memalsu surat cuti; perbuatan menuruh orang lain atau meminta surat cuti itu dengan nama palsu; dan surat cuti itu dipakai sendiri atau dipakai oleh orang lain. Militer yang sengaja menggunakan pas jalan, kartu keamanan, perintah jalan, surat cuti, dari orang lain, seolah-olah dialah oknum yang disebutkan didalamnya, diancam dengan pidana pencara maksimum dua tahun. Sehubungan dengan Pasal 91 KUHPM dan Pasal 92 KUHPM ditegaskan kembali dalam Pasal 93 KUHPM bahwa apabila salah satu kejahatan-kejahatan yang dirumuskan pada Pasal 91 dan Pasal 92 KUHPM atau Pasal 267, Pasal 268, atau Pasal 270 KUH Pidana dilakukan oleh militer dalam waktu perang, untuk mempermudah kejahatan desersi, diancam dengan pidana penjara maksimum tujuh tahun.

2 komentar:

Unknown mengatakan...

saya ingin bertanya: mengapa seorang anggota militer dipidana lebih berat dibandingkan seorang sipil jika telah terbukti besalah telah melakukan pidana ?

Dr. Bisdan Sigalingging, S.H., M.H. mengatakan...

Secara asas dan prinsip hukum semua orang diperlakukan sama di hadapan hukum (aquality before the law), namun ada kalanya hukum memberikan pengecualian2 dgn disertai argumentasi. Secara umum penjatuhan pidana baik kepada seorang anggota militer atau sipil bergantung pada delik apa yang dilanggar. Bila deliknya berbeda, sanksi pidana ya juga berbeda. Namun ada pula pidana yg dikecualikan dgn alasan bahwa militer sesungguhnya memiliki tugas dan fungsi memberikan kenyamanan kpd warga negara dari sgla bentuk ancaman, ttpi bila seorang oknum militer melakukan tindak pidana yg ada kaitannya dgn seorang warga sipil (perkara koneksitas), maka pidananya lebih berat dijatuhkan kpd oknum militer tsb daripada sipil.