Jumat, 10 Agustus 2012

HARAPAN TERHADAP OJK

Masih ingat kisah film “Pearl Harbour” yang dibintangi Ben Affleck yang diputar tahun 2001? Film ini bercerita tentang penyerbuan militer Jepang ke pangkalan angkatan laut Amerika Serikat di Pulau Oahu, Hawaii, 7 Desember 1941. Ada sekuen kecil dalam film itu yang menarik namun luput dari perhatian sebagian besar penonton, yakni ucapan seorang Laksamana Angkatan Laut (AL) Jepang usai penyerangan yang “gilang-gemilang” itu. “Sepertinya kita sedang membangunkan seorang raksasa yang sedang tidur,” ujar sang Laksamana yang khawatir akan pukulan balik dari militer AS terhadap Jepang di kemudian hari. Dan, benar saja, hal itu terjadi ketika kota Hiroshima dan Nagasaki dibom atom oleh AS. Jepang pun menyerah tanpa syarat dan tercatat dalam sejarah dunia sebagai negara kalah perang.
Agaknya, para petinggi militer Jepang tidak menyerap dengan baik perkataan Sun Tzu sebelum memutuskan untuk menyerang pangkalan Armada Pasifik AS di Pearl Harbour. Bahwa sebelum angkatan bersenjata Jepang tumbuh menjadi negara maju dan moderen, militer Negeri Matahari Terbit itu berguru pada militer AS dalam segala segi. Ibarat murid ingin melawan guru, sudah barang tentu, sang guru masih menyimpan “ilmu pamungkas” yang belum diturunkan kepada muridnya. Pukulan balik sang guru akan mematikan langkah murid yang membangkang. Intinya, militer Jepang tidaklah mengenal siapa musuh yang sedang dihadapi di medan tempur serta terlalu yakin dengan kekuatan diri sendiri.
Bagi Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang baru saja dibentuk untuk mengatur dan mengawasi perbankan di Indonesia hendaknya tidak bersikap arogansi ketika melaksanakan tugas nantinya. Prinsip mengenal medan tempur (know your battle field) hendaknya telah diterjemahkan dan dimodifikasi oleh DK OJK sebelum bertempur dalam penanganan perbankan. 

Sabtu, 14 Juli 2012

BISDAN SIGALINGGING, S.H.: PERSPEKTIF ANAK MEDAN TERHADAP MUNCULNYA OTORITAS ...

BISDAN SIGALINGGING, S.H.: PERSPEKTIF ANAK MEDAN TERHADAP MUNCULNYA OTORITAS ...: INILAH PANDANGANKU TERHADAP KEHADIRAN OTORITAS JASA KEUANGAN Independensi merupakan sesuatu yang mendesak di era reformasi ini. Indep...

PERSPEKTIF ANAK MEDAN TERHADAP MUNCULNYA OTORITAS JASA KEUANGAN

OTORITAS JASA KEUANGAN
Oleh: Bisdan Sigalingging, SH, MH
Dosen Hukum Pasar Modal pada Fakultas Hukum
Dharmawangsa Medan

Independensi merupakan sesuatu yang mendesak di era reformasi ini. Independensi menjadi ciri khas dalam ekonomi negara demokrasi. Ketika independensi itu dirasuki oleh jiwa-jiwa politik, maka laju pembangunan program-program pemerintah yang dicanangkan, cenderung akan didominasi oleh pihak-pihak tertentu sedangkan pihak lainnya akan dimarginalkan atau dipinggirkan.[1] Independensi merupakan sikap untuk mempertahankan hak publik dalam pencapaian tujuan bersama yakni negara yang berdaulat, adil, dan makmur.
Bergulirnya reformasi tahun 1998, rakyat Indonesia sibuk dengan urusan tuntutan untuk mengumandangkan perlunya independensi harus turut campur dalam mengurusi negara ini. Tuntutan demikian sebagai bukti nyata, bahwa rakyat Indonesia tidak percaya seutuhnya kepada para pejabat publik untuk mengelola, mengurusi aset-aset negara, memberikan pelayanan, mengayomi, melindungi, menjalankan program-program pembangunan dalam mengisi kemerdekaan Republik Indonesia.
Independensi merupakan bagian dari mata hati rakyat Indonesia. Ketika instrumen hukum didominasi oleh pemerintah melalui kebijakan politik, maka tujuannya cenderung akan berpola dan berpihak kepada pemerintah itu sendiri. Ketika instrumen hukum itu dikolaborasi dengan pihak independen, bukan pula secara otomatis dapat mencapai tujuan bersama untuk negara yang berdaulat, adil, dan makmur. Independensi tidak membuat secara otomatis berhasil dalam pencapaian tujuan bersama, melainkan penekanan ini difokuskan pada unsur etika dan moralitas untuk membasmi kepraktisan hukum.
Independensi memangkas peran pemerintah absolut dalam meregulasi dan mengawasi sektor ekonomi khususnya perbankan. Pentingnya peran negara atau pemerintah pada prinsipnya dalam sistem demokrasi ekonomi pada prinsipnya hanya sebatas fungsinya sebagai penonton (in partial spectator).[2] Negara atau pemerintah hanya boleh atau dapat mengintervensi pasar gagal untuk menyeimbangkan (stabilisator) pasar ketika sistem pasar keuangan terganggu, sebab bila tidak ada intervensi pemerintah akan menimbulkan distorsi.[3]
Dalam hal terjadinya monopoli alamiah (natural monopoly)[4] terbuka peluang dua pilihan yang mungkin akan terjadi misalnya monopoli dilakukan oleh pihak swasta, monopoli dilakukan oleh pihak pemerintah baik pada saat merancang regulasi maupun ketika regulasi dikeluarkan oleh pemerintah.[5] Berbicara soal independensi dalam mengatur dan mengawasi kegiatan perbankan tidak berfokus pada salah satu pilihan di atas, melainkan dilakukan pendekatan melalui koordinasi yang baik dalam hal mengeluarkan pengaturan dan melakukan pengawasan yang melekat pada suatu lembaga yang independen.
Lembaga yang dimaksud adalah Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disingkat OJK). Lembaga OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan[6] sebagaimana dimaksud dalam UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disingkat UU OJK).
Lembaga OJK dibentuk untuk memenuhi amanat dari Pasal 34 UU BI.[7] Tugas pokoknya untuk melakukan pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan terhadap bank-bank dan perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat. Lembaga ini bersifat independen dalam menjalankan tugasnya, berarti kedudukannya berada di luar institusi pemerintah dan berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) serta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Kendatipun Bank Indonesia dan Lembaga Penjamin Simpanan adalah lembaga yang independen tetapi keindependensiannya tidak berlaku secara absolut (mutlak). Begitu juga dengan lembaga OJK tidak mutlak sebagai lembaga yang independen. UU No.23 Tahun 1999 sebagaimana diubah melalui UU No.3 Tahun 2004 sebagaimana diubah melalui UU No.6 Tahun 2009 tentang Bank Indonesia (selanjutnya disingkat UU BI) menegaskan di Pasal 4 ayat (2) UU BI tidak berlaku keindependensian Bank Indonesia secara murni sebab pasal ini merupakan pasal pengecualian.[8] Ketentuan pengecualian itu ditentukan, jika diatur secara tegas dalam UU BI. UU OJK juga mengatur ketentuan pengecualian di Pasal 1 angka 1 jo Pasal 2 ayat (2) terdapat pengecualian jika diatur secara tegas menurut UU OJK.[9]
Pembentukan rezim OJK mulai memangkas ruang lingkup keindependensian Bank Indonesia sebagai Bank Sentral dalam meregulasi dan mengawasi kegiatan sektor perbankan. Tetapi cenderung merembes pada persoalan dalam praktik ke depannya seperti pengecualian yang ditentukan dalam Pasal 4 UU BI dan Pasal 1 angka 1 jo Pasal 2 ayat (2) UU OJK tersebut membuka peluang selebar-lebarnya kepada pemerintah untuk melakukan intervensi dalam mengambil keputusan bisnis perbankan. Kecenderungan itu dapat terjadi ketika dalam hal melakukan pencegahan dan penanganan krisis dalam Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) yang dikoordinator oleh Kemenkeu sementara pihak Kemenkeu itu sendiri bukan pihak yang independen melainkan lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di sektor keuangan. Peluang seperti ini perlu diwaspadai bersama dan menimbulkan pertanyaan, apakah sikap independesi itu hanya ditentukan dalam undang-undang atau disesuaikan dengan kondisi di luar daripada ketentuan undang-undang?, dan apakah koordinasi dapat dijalan dengan baik atau karena kepentingan politik tertentu?.
Robert W. Gordon, sebagaimana yang dikutip oleh David Kairys, kemudian dikutip oleh Bismar Nasution dalam Pidato Pengukuhan Guru Besarnya, bahwa kegagalan pasar sebagai alasan utama untuk intervensi pemerintah di bidang ekonomi, sekaligus harus membuat hukum untuk mengarahkan kegiatan ekonomi itu sendiri.[10] Independensi bagi BI dan OJK tidak diserahkan kepada kedua lembaga ini secara mutlak. Ketika misalnya sistem itu berurusan dengan penyehatan perbankan seperti persoalan ekonomi makro (macro economic supervision) sebagaimana ditentukan di Pasal 39 UU OJK[11], maka jika terjadi hal demikian, dapat dijawab berdasarkan Pasal 2 ayat (2) UU OJK.[12]
Kaitannya dengan Pasal 2 ayat (2) UU OJK di atas adalah, ketika misalnya bank berdampak sistemik (vide Pasal 39 huruf e), maka dapat dicegah dan ditangani melalui Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK), sebab kondisi ini dikategorikan tidak normal sebagaimana yang ditentukan dakam Pasal 45 ayat (2) UU OJK.[13] Sehingga dengan masuknya Kemenkeu ke dalam FKSSK di sini, keindependensian diragukan. Inilah yang mungkin bisa menjadi rembesan dari maksud Pasal 2 UU OJK, yang menentukan: “OJK adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang ini”.
Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan (selanjutnya disingkat LJK)[14] pada prinsipnya terbagi atas dua jenis, pertama, pengawasan dalam rangka mendorong lembaga-lembaga ikut menyokong, menunjang pertumbuhan ekonomi dan menjaga kestabilan moneter (macro economic supervision) melalui pengaturan dan pengawasan yang mendorong agar LJK secara individual tetap sehat serta mampu memelihara kepentingan masyarakat dengan baik (prudential supervision).[15]
Paradigma menjunjung tinggi nilai-nilai moral ketika diterapkan dalam merancang undang-undang (kebijakan formulatif) yang kemudian disepakati bersama melalui sistem demokrasi yang sehat, berarti independensi diperlukan kala itu semata-mata untuk mengatur, mempertahankan dan membangun kepentingan masyarakat luas. Namun, ketika LJK dicampuri oleh urusan-urusan lain di luar lembaga itu sendiri, maka keindependensiannya akan percuma, misalnya mengenai anggaran operasional OJK dipungut dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Sulit untuk memerankan independensi OJK jika anggarannya di luar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).[16] Dikhawatirkan independensi itu akan pincang atau cedera ketika pungutan itu bersumber dari non APBN. Independensi harus otonom, bebas dari pengaruh kepentingan-kepentingan pemerintah, partai politik, swasta, lembaga lain penyandang dana, sektor bisnis dan siapapun.
Secara ilmu hukum tata negara, Bank Indonesia sebagai Bank Sentral terlepas dari ketiga kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.[17] Namun, ketika Bank Indonesia dihadapkan pada ketentuan pengecualian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 UU BI, maka keindependensian Bank Indonesia patut dipertanyakan ketika membuat keputusan atau kebijakan terkait dengan pengaturan dan pengawasan perbankan. Demikian halnya di OJK yang akan dibentuk terdiri dari sembilan orang, dua orang dari ex efficio[18] dan tujuh orang dari independen. Perlu dipertanyakan independensi OJK ketika lembaga ini bertindak sebagai pengatur dan pengawas LJK di sektor perbankan sebagaimana mempedomani makna Pasal 1 angka 1 jo Pasal 2 ayat (2) UU OJK.
Bank-bank konvensional dan bank non konvensional terikat secara terpusat menurut perundang-undangan di bidang perbankan dan kebijakan Gubernur Bank Indonesia. Bank-bank tersebut, baik bank milik pemerintah maupun milik swasta tidak dapat mengelola usahanya dengan cara-caranya sendiri melainkan harus tunduk dan taat terhadap perundang-undangan di bidang perbankan dan kebijakan Gubernur Bank Indonesia.
Pandangan di atas, mengarahkan argumentasi-argumentasi pemikiran terhadap kondisi pencapaian tujuan negara Indonesia khususnya di bidang ekonomi perbankan rezim baru OJK. Krisis perbankan di tahun 1998[19] menjadi polemik yang tidak henti-hentinya dibicarakan oleh semua orang, baik orang awam, mahasiswa, praktisi, maupun akademisi. Benang merah dari rembesan persoalan ekonomi khusunya di bidang perbankan, dapat dikatakan berfokus pada persoalan penerapan hukum dan peraturan perundang-undangan menyangkut kegiatan bisnis khususnya perbankan. Indikator dari persoalan perbankan pada masa itu hingga kini misalnya hampir semua kasus-kasus tersebut diproses di sidang pengadilan.[20]
Permasalahan di sektor jasa keuangan khususnya perbankan pada masa krisis bisa dikatakan menyangkut masalah moral hazard, perlindungan nasabah/konsumen, dan koordinasi lintas sektoral.[21] Namun, perlu pula diamati bahwa di samping sistem hukum juga sebagai penyebab krisis, dapat juga disebabkan timbulnya penurunan dalam disiplin pasar (market dicipline) atau moral hazard (sikap aji mumpung) di berbagai sektor ekonomi dan politik bahkan permasalahan moral hazard itu sudah cukup luas dan mendalam.[22] Pembuatan sistem hukum yang efektif ditujukan pula untuk mengurangi moral hazard sekaligus untuk mengatasi krisis ekonomi.[23] Perlindungan terhadap nasabah/konsumen dilakukan misalnya melalui penerapan prinsip kehati-hatian dalam mengelola sistem perbankan.[24]
Tujuan pengaturan dan pengawasan terhadap bank agar setiap bank, baik secara individal maupun keseluruhan menjadi sehat dan aman serta dapat memelihara kepercayaan masyarakat akan tercipta perbankan nasional yang sehat dimaksud. Maka rezim OJK meminimalisir berbagai risiko yang mungkin timbul dengan cara mengatur dan mengawasi kegiatan sektor perbankan, sekurang-kurangnya mengingatkan perlunya penanganan risiko secara seksama, bahkan jika perlu melarang bank melakukan kegiatan tertentu yang cenderung mengundang risiko tinggi.[25]
Amanat UU OJK menambah satu anggota Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) yang terdiri dari: Menteri Keuangan selaku koordinator, Gubernur Bank Indonesia, Dewan Komisioner (DK OJK, dan Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (DK LPS) sebagai anggota. Forum tersebut tercantum dalam salah satu pokok pikiran yakni ”hubungan kelembagaan”.[26] Untuk mewujudkan hubungan kelembagaan dimaksud dilakukan melalui koordinasi lintas lembaga. Koordinasi merupakan kunci untuk menciptakan perbankan nasional yang sehat dan aman. Tetapi disadari atau tidak, koordinasi merupakan barang mewah di negeri ini. Walaupun demikian, setidaknya melalui koordinasi dapat meminimalisir kendala-kendala yang membuat terhambatnya sistem perbankan. Apalagi koordinasi antar instansi di negeri ini, meski sudah dirasakan membaik masih lebih banyak yang merupakan mimpi.[27]
Koordinasi dapat membawa dampak yang baik, pencitraan terhadap profil suatu lembaga, jika orang-orang yang terikat didalamnya mampu menjalankan tugas dan tanggung jawabnya secara arif, bijak, dan profesional. Demikian sebaliknya, koordinasi justru akan memperburuk suatu lembaga jika para pengemban tugas dan tanggung jawab itu berperilaku cenderung mengabaikan hukum, etika, dan moral. Persoalan koordinasi mudah untuk diucapkan tetapi sulit untuk diterapkan. Melalui koordinasi dapat merusak citra lembaga-lembaga dan melalui koordinasi juga dapat mencapai tujuan yang hakiki.
Dalam melaksanakan tugasnya, lembaga OJK melakukan koordinasi dan bekerjasama dengan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral. Lembaga OJK dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank dengan koordinasi dengan Bank Indonesia dan meminta penjelasan atau keterangan dari Bank Indonesia dan data makro yang diperlukan. Adapun tugas mengatur akan tetap dilakukan oleh Bank Indonesia secara independen dalam koridor-koridor tertentu. Ketentuan dalam UU OJK yang memuat pasal-pasal tentang koordinasi dari Pasal 39 sampai dengan Pasal 46 tidak satupun dari ketentuan itu akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Secara tidak tegas ditentukan akan diatur lebih lanjut oleh Peraturan Pemerintah. Dengan tidak dicantumkannya perintah tertulis dalam UU OJK demikian pada prinsipnya untuk menghindari campur tangan pemerintah ketika mengeluarkan Peraturan Pemerintah terkait dengan koordinasi. Sehingga dapat dimengerti ketika dalam penjelasan Pasal 39 UU OJK djelaskan tata cara koordinasi OJK dengan Bank Indonesia diatur bersama antara OJK dan Bank Indonesia, bukan dibuat dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Jika amanat Pasal 39 pengaturannya demikian dapat meminimalisir intervensi pemerintah dalam mengatur dan mengawasi lembaga keuangan sektor perbankan dalam konteks pelaksanaan koordinasi antar OJK dan BI. 
Gubernur Bank Indonesia, Darmin Nasution (Plt), mengakui kesulitan dalam menerapkan koordinasi dengan lembaga lainnya. Kesulitan itu bukan hanya terjadi di negeri ini, tetapi di negeri orang sekalipun, koordinasi itu sulit diintegrasikan apabila lembaganya berbeda.[28] Salah satu cara untuk mengatasi kesulitan ini, dapat dilakukan melalui suatu metode kerja berkoordinasi untuk meminimalisir perbedaan. Lembaga independen dapat menjalankan tugasnya dalam memastikan kesehatan lembaga keuangan, mengurangi risiko dan menciptakan stabilitas sektor jasa keuangan secara keseluruhan.
Penyeragaman kultur antar BI dan OJK akan menjadi kultur baru dalam pengaturan dan pengawasan perbankan. Tidak adanya koordinasi yang baik dan tidak adanya kesetaraan kultur berakibat pada kegagalan lembaga. Contoh kegagalan lembaga pengawasan jasa keuangan di Inggris, Amerika Serikat, dan Korea Selatan (serupa lembaga OJK) disebabkan karena tingginya ego sektoral dan perbedaan kultur yang sulit dipadukan. Struktur sistem pengawasan industri jasa keuangan di negara-negara ini juga terdiri dari beberapa bagian, seperti perbankan, asuransi, pasar modal dan Bank Sentral.[29]
Ego sektoral dan perbedaan kultur memposisikan dirinya lebih unggul. Belajar dari kasus yang terjadi di Inggris ketika Northern Rock Bank, ditangani dan diawasi oleh Financial Service Authority (FSA) semacam OJK di di Inggris akhirnya kolaps dan dibailout oleh Bank of England (BOE). Bank Sentral Inggris tidak pernah tahu tentang sepak terjang pengelola Northern Rock Bank yang terlalu berani melakukan ekspansi pengucuran kredit, akhirnya dipaksa untuk mengambil keputusan sulit ketika kasus tersebut dilimpahkan oleh FSA ke BOE untuk diselamatkan. Bank Sentral Inggris, Bank of England (BOE) justru kembali diberikan kewenangan dan tanggung jawab pengawasan perbankan dan industri keuangan yang lebih luas yang semula hal ini berada di pundak FSA, yang dinilai telah gagal pengawasan terhadap kasus Northern Rock Bank.
Hal serupa menyangkut lemahnya koordinasi dalam membuat pengaturan dan melakukan koordinasi pengawasan sektor perbankan juga terjadi di Amerika Serikat dimana Bank Sentral, Federal Reserve (The Fed), diberikan kewenangan yang lebih luas pasca kegagalan pasar finansial di tahun 2008. Kegagalan di sektor finansial yang terjadi di Amerika Serikat tahun 2008 tersebut secara cepat mengalir dan menyebar pada sistem keuangan global. Krisis ini diakibatkan oleh tidak mampunya otoritas jasa keuangan Amerika Serikat dalam mengidentifikasi potensi macetnya kredit perumahan berkualitas rendah (subprime mortgage).[30]
Lembaga pengawas jasa keuangan di Amerika Serikat tidak berhasil menjalankan pengawasannya terhadap bank dan tidak mampu mencegah praktik bank yang kurang hati-hati. Penilaian kegagalan otoritas jasa keuangan Amerika Serikat, diberikan oleh unit audit internal Bank Sentral Amerika Serikat, Office of Inspector General, menilai lemahnya pengawasan atas bank Midwest Bank, yang akhirnya ditutup pada bulan Mei 2010 karena telah menyebabkan beban kerugian bagi Federal Deposit Insurance Company (FDIC) semacam LPS senilai 200 juta dollar AS.[31] Otoritas pengawasan perbankan Amerika Serikat gagal menjalankan tugasnya yang terbukti dengan krisis tahun 2008.[32]
Sementara lembaga serupa OJK, Financial Supervisory Service (FSS) di Korea Selatan juga mengalami kegagalan yang sama. Padahal misi FSS dibentuk untuk menyehatkan industri perbankan di Korea Selatan yang terjadi ketika krisis 1998 yang kemudian FSS dibentuk tahun 1999. FSS pada prinsipnya harus berkoordinasi dengan Bank of Korea (Bank Sentral Korea).[33] Prinsip kerjasama antara FSS dengan Bank of Korea dilakukan melalui koordinasi, namun koordinasi itu disalahgunakan untuk berbuat praktik-praktik suap-menyuap atau korupsi yang melibatkan petinggi-petinggi di lembaga FSS. Pemerintah Korea Selatan akhirnya mengembalikan kewenangan dan tanggung jawab pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan Korea Selatan kepada Bank of Korea secara keseluruhan.[34]
Bukan hal mudah mewujudkan lembaga pengawasan perbankan yang tangguh jika tidak didukung dengan independensi lembaga pengawas dan koordinasi yang terpadu. Kegagalan menjalankan tugas, khusunya di bidang pengawasan sektor perbankan di Inggris, Amerika Serikat, dan Korea Selatan sebagaimana di atas, merupakan sebahagian kecil dari contoh yang terjadi. Negara yang tergolong berhasil menerapkan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan semacam OJK adalah negara Australia.[35] Tidak ada satupun pola pengawasan industri keuangan yang seragam bagi seluruh negara. Itu sebabnya sebahagian faktor penentu keberhasilan pengawasan perbankan adalah pembentukan kultur baru dan anti moral hazard para dewan pelaksananya harus diutamakan. Misalnya Australian Prudential Regulation Authority (APRA)[36], OJK-nya Australia bersama Bank Sentral, The Reserve Bank of Australia, dinilai yang paling berhasil menjalankan tugasnya mengawal kesehatan dan daya tahan industri keuangan negaranya termasuk perbankannya, rahasia keberhasilannya karena Dewan Komisioner APRA mengedepankan tanggung jawab moral di atas segala-galanya.[37]
Mengawasi perbankan memang bukan perkara mudah. Otoritas dituntut menjaga sistem perbankan untuk menjadi sehat, sekaligus melindungi kepentingan masyarakat khususnya nasabah dan konsumen. Intervensi lembaga pengawas jasa keuangan yang terlalu berlebihan (over acting) untuk mencampuri manajemen bank, misalnya arogansi, dinilai sebagai faktor kondusif kegagalan. Manajemen bank harus tetap bertanggung jawab penuh atas bank yang dikelolanya dan demikian halnya manajemen pengawas. Tanpa mengurangi keindependensian kedua lembaga (BI dan OJK), dapat dipertemukan melalui koordinasi dalam batas-batas hubungan kelembagaan yang ditentukan dalam undang-undang.
Tujuan utama dari sistem pengawasan perbankan adalah untuk menciptakan sistem perbankan nasional yang sehat. Jika independensi BI dan OJK dicampuri oleh pemerintah atau lembaga-lembaga lainnya dalam menjalankan tugas, niscaya tujuan untuk menciptakan sistem perbankan nasional yang sehat itu tidak bisa tercapai. Demikian pula koordinasi yang baik antar BI dengan OJK dan lembaga-lembaga lainnya juga sebagai faktor penentu keberhasilan pengawasan sistem perbankan nasional.



Selasa, 03 Januari 2012

KAJIAN ASAS RETROAKTIF DALAM TINDAK PIDANA TERORISME

KAJIAN ASAS RETROAKTIF DALAM TINDAK PIDANA TERORISME
Oleh: Bisdan Sigalingging, SH, MH
Dosen Hukum Pasar Modal pada Fakultas Hukum
Universitas Dharmawangsa Medan

Masyarakat selalu mengalami perubahan, dan hukum selalu mengikuti perkembangan masyarakat.  Dalam konteks yang demikian, hukum seharusnya tidak perlu tertinggal dengan perkembangan masyarakat. Akan tetapi kondisi yang tercipta adalah hukum selalu tertinggal dari perkembangan masyarakat sehingga peristiwa-peristiwa yang sebenarnya merupakan perbuatan melawan hukum tidak dapat diatasi hanya karena hukumnya tidak ada atau belum ada.  Kondisi ini tercipta karena hukum yang dikembangkan lebih ditekankan kepada hukum tertulis, yang pembuatan dan pemberlakuannya dilakukan melalui prosedur tertentu dan memakan waktu yang tidak pendek.
Perkembangan masyarakat memiliki dampak yang positif berupa meningkatnya kualitas hidup, tercapainya tujuan kemasyarakatan dan kemanusiaan dan dampak negatifnya dapat berupa munculnya kejahatan yang mengancam kehidupan kemasyarakatan dan kemanusiaan.  Meski demikian tidak semua perkembangan masyarakat memiliki dampak negatif. Tidak dapat ditentukan secara pasti bahwa perubahan masyarakat itu akan menimbulkan kejahatan sebagaimana ditetapkan dalam Forth United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offender ataupun sebaliknya perubahan masyarakat mencegah terjadinya kejahatan, akan tetapi Konggres PBB tersebut mengakui bahwa beberapa aspek penting dari perkembangan masyarakat dianggap potensial sebagai kriminogen, artinya mempunyai kemungkinan untuk menimbulkan kejahatan. Aspek-aspek ini adalah urbanisasi, industrialisasi, pertambahan penduduk, perpindahan penduduk setempat, mobilitas sosial dan perubahan teknologi.
Faktor kriminogen dari perkembangan masyarakat itu muncul dalam bentuk kejahatan yang tidak diatur dalam KUH Pidana atau dengan kata lain merupakan kejahatan jenis baru. Hal demikian menurut Barda Nawawi Arief, menimbulkan pertanyaan mengenai kemampuan hukum pidana dalam menangani kejahatan-kejahatan sedemikian dan hukum pidana sebagai sebuah bidang kajian memiliki keterbatasan. Keterbatasan mana menyebabkan hukum pidana tidak mampu menjangkau sebab-sebab kejahatan yang kompleks dan berada di luar jangkauan hukum pidana, lagi pula hukum pidana hanyalah sebahagian kecil dari sarana kontrol sosial masyarakat yang tidak dapat menjadi obat mujarab bagi keseluruhan persoalan kejahatan.
Selain persoalan keterbatasan, kemampuan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan, hukum pidana yaitu KUH Pidana kurang bersikap adaptif dalam merespon perkembangan yang terjadi dalam masyarakat, baik masyarakat nasional maupun internasional. Sehubungan dengan itu, Romli Atmasasmita, menyebutkan bahwa sikap hukum pidana yang demikian, termasuk asas-asas hukum dan norma-norma serta lembaga-lembaga pranata yang mendukungnya masih bersifat konservatif. Sikap konservatif ini terlihat dari masih dipertahankannya tanpa kecuali asas legalitas, asas neb is in idem, asas non retroaktif dan asas kesalahan. Sikap ini menyebabkan kajian tentang hukum pidana tidak mengalami perkembangan yang signifikan.
Berkaitan dengan nasib dari pelaku dan perbuatan melanggar hukum yang dilakukan sebelum undang-undang yang berkaitan hadir (ada). Tentu sangat erat hubungannya dengan salah satu asas yang fundamental dalam hukum pidana, yaitu asas legalitas. Sebenarnya jika berpegang teguh kepada asas legalitas sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUH Pidana, maka nasib dari pelaku sebagaimana disebutkan di atas, tidak akan dapat dijerat ke dalam ranah hukum, karena konsekuensinya jelas, yaitu terhadap perbuatan yang demikian tidak akan ada hukumannya dan pelakunya bebas dari jerat hukum. Pemikiran ini menjadi lebih tajam jika dikaitkan dengan persoalan keadilan bagi para korban kejahatan, dalam konteks hukum akan mengabaikan salah satu fungsinya dengan membiarkan ketidakadilan bagi para korban dengan menguntungkan pelaku kejahatan.
Sehubungan dengan hal di atas, mengenai perkembangan salah satu konsekuensi dari asas fundamental dalam hukum pidana yang berkaitan dengan berlakunya hukum pidana berdasarkan waktu (lex temporis delicti) atau yang biasa dikenal dengan asas legalitas, khususnya yang berkaitan dengan asas retroaktif (berlaku surut), menjadi sangat penting untuk dikaji. Oleh karena adanya tuntutan korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di masa lalu yang menuntut keadilan dan tuntutan dunia internasional mengenai kejahatan terorisme, serta perbuatan lain yang tidak diatur dalam perundang-undangan pidana padahal perbuatan itu merupakan perbuatan yang tercela. 
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa asas retroaktif akan berhenti jika aparat penegak hukum berpegang dan berpedoman pada ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 1 ayat (2) KUH Pidana, karena pasal tersebut membatasi pengertian retroaktif hanya pada keadaan transitoir atau menjadi hukum transitoir (hukum dalam masa peralihan). Hal ini mengandung arti bahwa jika sebelumnya tidak ada peraturan pidana, kemudian dibuat peraturan pidana yang baru dan berlaku untuk kejahatan yang telah lalu, berarti bukan persoalan retroaktif, inilah oleh Barda Nawawi Arief, memasukkannya dalam persoalan sumber hukum. Akan tetapi jika diartikan secara lebih luas, retroaktif berarti berlaku surut dan ini berarti berlaku untuk pembicaraan “ada”, yang berarti hukum transitoir atau tidak ada peraturan pidana sebelum perbuatan dilakukan.
Persoalan retroaktif itu sendiri muncul sebagai konsekuensi diterapkannya asas legalitas. Asas legalitas sendiri, menurut J.E. Sahetapy, dapat dikaji berdasarkan berbagai aspek, seperti aspek historis, aspek sosio kriminologis, aspek pembaharuan hukum, aspek politik kriminal, serta kajian dari perspektif Pancasila. Kajian dari masing-masing aspek inilah yang dapat memberi implikasi yang berbeda mengenai asas legalitas yang mana dalam pandangan ilmu pengetahuan perbedaan itu justru akan memperkaya khasanah ilmu hukum pidana itu sendiri.
Dilihat dari aspek historis, munculnya asas legalitas sebenarnya telah lama ada sebelum Anselm von Feurebach, menggunakannya dalam pandangannya mengenai hukum pidana. Banyak yang mengira Anselm von Feurebach adalah orang yang pertama menggunakan istilah asas legalitas, akan tetapi pandangan ini tidak bisa disalahkan begitu saja karena buku-buku yang dibaca oleh sarjana hukum di Indonesia kebanyakan ditulis oleh orang-orang Belanda. Menurut Glanville Williams yang dikutip oleh P.A.F. Lamintang, menyebutkan benar bahwa Anselm von Feurerbah merupakan orang yang merumuskan asas legalitas dengan istilah nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali, akan tetapi jika ditelusuri lebih jauh berdasarkan pendapat Oppenheimer, bahwa Samuel von Pufendorf pernah mengemukakan gagasan serupa. Dimana kedua orang tersebut (Anselm von Feurebah dan Samuel von Pufendorf) bukanlah orang yang memiliki gagasan tersebut.  Jauh sebelum mereka berdua mengemukakan gagasannya itu, embrio asas legalitas sudah ada dalam ilmu hukum orang Yahudi (Talmudic Jurisprudence).
Dalam hukum pidana Indonesia, asas legalitas terdapat pada Pasal 1 ayat (1) KUH Pidana yang menyatakan, “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”. Asas ini terbagi dalam tiga hal, yaitu Nulla poena sine lege (tidak ada pidana tanpa ketentuan undang-undang), Nulla poena sine crimine (tidak ada pidana tanpa kejahatan) dan Nullum crimen sine poena legali (tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang). Tetapi menurut Sudarto, pasal ini berisi 2 (dua) hal, pertama, suatu tindak pidana harus dirumuskan atau disebutkan dalam peraturan perundang-undangan; kedua, peraturan perundang-undangan ini harus ada sebelum terjadinya tindak pidana. Salah satu konsekuensi dari ketentuan dari pasal tersebut di atas adalah larangan memberlakukan surut suatu perundang-undangan pidana (non retroaktif). Pemberlakuan surut diijinkan jika sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1 ayat (2) KUH Pidana. Larangan pemberlakuan asas retroaktif ini didasarkan pada pemikiran:
1.      Untuk menjamin kebebasan individu dari kesewenang-wenangan penguasa; dan
2.      Pidana itu juga sebagai paksaan psikis (teori psychologische dwang dari Anselm von Feurebach, yaitu, “dengan adanya ancaman pidana terhadap orang yang melakukan tindak pidana, penguasa berusaha mempengaruhi jiwa si calon pembuat untuk tidak berbuat).
Pada saat ini, larangan pemberlakuan surut (non retroaktif) suatu peraturan pidana sudah menjadi hal yang umum di dunia internasional, misalnya dalam Artikel 99 Konvensi Jenewa Ketiga Tanggal 12 Agustus 1949, Pasal 4 dan Pasal 28 Konvensi Wina 1969 (Vienna Convention on the Law and Treaties) yang mengatur perjanjian antara negara dan negara dan Pasal 4, Pasal 28 Konvensi Wina 1986 (Vienna Convention on the Law of Treaties between States and International Organizations or between International Organizations). Selain itu, dapat dilihat dalam Pasal 11 ayat (2) Universal Declaration of Human Right Tahun 1948, Pasal 15 ayat (1) International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR Tahun 1966, Pasal 7 European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms and Its Eight Protocols, Pasal 9 American Convention on Human Rights dan Rome Statute of the International Criminal Court Tahun 1998 yang tetap mempertahankan prinsip-prinsip asas legalitas, terutama dalam Pasal 22-24.
Meskipun ketentuan dalam hukum internasional menentukan demikian, bukan berarti tidak ada kecualian, artinya kesempatan untuk memberlakukan asas retroaktif tetap terbuka.  Ini terjadi karena ketentuan hukum internasional tersebut di atas memberi kemungkinan untuk melakukan penyimpangan.  Dapat dilihat dari ketentuan dalam Pasal 28 Konvensi Wina 1969 dan Pasal 28 Konvensi Wina 1986 yang dalam rumusan substansinya sama. Kemudian Pasal 64 dan Pasal 53 kedua konvensi itu juga memberi kemungkinan berlakunya asas retroaktif. Ketentuan lain dapat pula dilihat dalam Pasal 103 Piagam PBB dan Pasal 15 ayat (2) ICCPR Tahun 1966 yang merupakan pengecualian terhadap Pasal 15 ayat (1).
Berdasarkan praktik hukum pidana internasional, asas retroaktif diberlakukan terhadap beberapa peristiwa tertentu, yang pada akhirnya praktek ini mempengaruhi pembuatan ketentuan penyimpangan atau pengecualian dari asas non retroaktif pada instrumen hukum internasional. Mahkamah pidana internasional Nuremberg Tahun 1946 dan Tokyo Tahun 1948 mengadili penjahat perang pada Perang Dunia II, International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) merupakan contoh penerapan asas retroaktif.
Dalam sejarah dan praktik perkembangan hukum pidana di Indonesia, asas retroaktif masih tetap eksis meskipun terbatas hanya pada tindak pidana tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa dasar pikiran  pelarangan pemberlakuan asas retroaktif sebagaimana tersebut di atas relatif dan terbuka untuk diperdebatkan, apalagi dengan adanya berbagai perkembangan jaman menuntut peranan hukum, khususnya hukum pidana semakin diperluas. Selain itu, pemberlakuan asas retroaktif juga menunjukkan kekuatan asas legalitas beserta konsekuensinya telah dilemahkan dengan sendirinya.
Barda Nawawi Arief, melihat pelemahan atau pergeseran asas legalitas dengan menekankan pada perkembangan atau pengakuan ke arah asas legalitas materiil dengan mendasarkan pada ketentuan dalam Pasal 15 ayat (2) ICCPR dan KUH Pidana Kanada, padahal ketentuan dalam ICCPR merupakan pengecualian terhadap ketentuan non retroaktif dari kovensi tersebut. 
Asas legalitas materiil dalam penerapannya di Indonesia telah mempunyai dasar hukum, yaitu Pasal 5 ayat (3) sub b UU Darurat No. 1 Tahun 1951 dan kemudian direspon dalam Pasal 1 ayat (3) RUU KUH Pidana 2004 yang menghargai hukum yang hidup dalam masyarakat. Asas legalitas materiil menunjukkan bahwa sebelum ada peraturan atau perundang-undangan pidana yang tertulis sebenarnya telah ada hukumnya, yaitu hukum tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat, sedangkan dalam asas retroaktif lebih menekankan pada pemberlakuan hukum tertulis yang diberlakukan bagi perbuatan atau kejahatan yang terjadi sebelum hukum tertulis itu muncul. Arti asas legalitas materiil bisa menjadi sama dengan asas retroaktif, jika perbuatan yang diatur dalam hukum tertulis yang terjadi terbit kemudian setelah terjadinya kejahatan, sebenarnya merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat, dengan demikian terjadi penulisan hukum atau mengundangkan hukum yang sudah ada. Persoalannya menjadi semakin rumit karena untuk memberlakukan surut suatu peraturan pidana tidak semudah membalik telapak tangan, ada kriteria yang cukup berat yang harus dipenuhi.
Pada awalnya, larangan pemberlakuan surut suatu peraturan pidana terdapat dalam Pasal 6 Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Nederlands Indie (AB) S.1947-23 dan Pasal 1 ayat (1) Wetboek van Strafrecht (KUH Pidana).  Kemudian larangan itu muncul dalam Konstitusi, yaitu Pasal 14 ayat (2) UUDS 1950. Seiring dengan dicabutnya UUDS 1950 dan diberlakukannya kembali UUD 1945, ketentuan tentang asas non retroaktif ini hanya tersirat dari konsekuensi dianutnya asas legalitas formal yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUH Pidana.  Masalah pemberlakuan asas retroaktif ini kembali muncul setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang (UUPTPT).
Secara historis sejak pemberlakuan WvS di Indonesia (1915) belum pernah asas retroaktif diberlakukan, kecuali pada saat pemerintah Hindia Belanda dalam pengasingan di Australia sebagai akibat pendudukan Jepang. Setelah tentara Sekutu menang perang, Pemerintah Hindia Belanda di pengasingan mengeluarkan Brisbane Ordonantie 1945 mengenai penerapan delik terhadap keamanan negara terhadap pihak yang kalah perang yaitu Jepang.  Kuatnya keinginan menerapkan asas retroaktif ini ternyata dilakukan untuk menunjukkan dominasi politik secara luas terhadap pihak lain yang dianggap sebagai oposan, dan untuk menunjukkan eksistensi dari asas lex talionis (pembalasan).
Ketentuan tentang pemberlakuan asas retroaktif, muncul kembali dalam Penjelasan Pasal 4, Pasal 18 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 (khusus yang berkaitan dengan hukum pidana) dan Pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000.
Tentang pemberlakuan asas retroaktif ini menimbulkan beberapa masalah, yaitu:
1.      Penempatan dan pemberlakuan asas retroaktif dalam  Penjelasan Pasal 4 dalam UU No. 39 Tahun 1999 merupakan hal yang kontradiktif dengan pasal yang dijelaskan, yaitu Pasal 4. Ketentuan dalam Pasal 4 menentukan bahwa “hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, termasuk salah satu Hak Asasi Manusia (HAM) yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”. Ketentuan untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut (retroaktif) menurut Barda Nawawi Arief dan I Wayan Parthiana, ini merupakan hak absolut. Dari hal tersebut ada dua hal yang mengemuka, pertama, apakah hak absolut itu dapat dikecualikan atau disimpangi dan kedua apakah dalam sistem perundang-undangan kita penyimpangan terhadap suatu ketentuan dapat dilakukan pada bagian “penjelasan”.
2.      Tampaknya penerapan asas retroaktif dalam UU No. 39 Tahun 1999 jo UU No. 26 Tahun 2000 patut dipertanyakan mengingat ketentuan terbaru mengenai penanganan kasus pelanggaran HAM berat yaitu Statuta Roma 1998 menegaskan penolakan penerapan asas retroaktif. Jika dilihat dari aspek kebaruan, memang demikian, akan tetapi alasan politik praktis lebih mengemuka mengingat kepentingan negara terhadap para pelanggar HAM di masa lalu cukup besar, misalnya kasus pelanggaran HAM di Timor-Timur. Salah satu alasan politik praktis pemberlakuan asas retroaktif terhadap pelanggar HAM berat di masa lalu adalah upaya untuk menghindari penerapan asas komplementaris dalam ketentuan ICC. Asas ini menegaskan bahwa jika lembaga hukum atau peradilan nasional tidak dapat bertindak dan/atau tidak mau bertindak, maka perkara pelanggaran HAM berat itu akan diambil alih oleh ICC.  Tentu ketentuan ini amat berbahaya mengingat sebagian besar pelanggar HAM berat di Indonesia adalah pemerintah sehingga sebisa mungkin diadili di dalam negeri. 
3.      Dilihat dari aspek praktis, penerapan asas retroaktif dalam UU No. 39 Tahun 1999 jo UU No. 26 Tahun 2000 lebih ditujukan pada kasus pelanggaran HAM berat di Timor-Timur.  Ini terbukti dari beberapa kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu yang dilakukan oleh pemerintah sampai sekarang belum satu pun yang masuk ke pengadilan ad hoc HAM, meskipun terbuka kemungkinan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat di luar pengadilan.
Sebagaimana ketentuan di atas, ketentuan tentang asas retroaktif ini juga muncul pada Pasal 46 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang (UUPTPT). Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 Tahun  2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ditetapkan menjadi UU No. 15 Tahun 2003 dan Perpu No. 2 Tahun 2002 tentang Pemberlakuan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pada Peristiwa Bom di Bali tanggal 12 Oktober 2002 yang akhirnya menjadi UU No. 16 Tahun 2003.
Ketentuan dalam Pasal 46 UUPTPT menyatakan bahwa:
Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini dapat diperlakukan surut untuk tindakan hukum bagi kasus tertentu sebelum mulai berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini, yang penerapannya ditetapkan dengan Undang-undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersendiri. 

Ketentuan Pasal 46 UUPTPT di atas merupakan dasar dikeluarkannya Perpu No. 2 Tahun 2002 yang mengandung asas retroaktif. Akan tetapi dari kata-kata “…dapat diperlakukan surut untuk tindakan hukum bagi kasus tertentu sebelum berlakunya perpu ini…” mengandung indikasi bahwa selain Perpu No. 2 Tahun 2002 terbuka kemungkinan untuk memberlakukan surut terhadap tindak pidana terorisme selain peristiwa Bom Bali tanggal 12 Oktober 2002.
Perpu No. 1 Tahun 2002/UU No. 15 Tahun 2003 dan Perpu No. 2 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003 telah dijadikan dasar untuk menjatuhkan pidana mati bagi pelaku peledakan Bom Bali I, yaitu Amrozi, Ali Imron dan Imam Samudera.  Dalam perkembangannya, eksistensi Perpu No. 1 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003 telah diajukan uji materiil oleh Masykur Abdul Kadir pada Mahkamah Konstitusi. Meskipun yang diajukan uji materiil hanya Perpu No. 1 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003 akan tetapi keputusan yang diambil oleh Mahkamah Konstitusi akan berdampak pada ketentuan Pasal 46 Perpu No. 1 Tahun 2002/UU No. 15 Tahun 2003.
Salah satu dasar hukum dan yang paling relevan dengan persoalan adalah ketentuan dalam Pasal 28 I ayat (1) Perubahan Kedua (Amandemen Kedua) UUD 1945.  Argumentasi yang diajukan adalah bahwa Perpu No. 2 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003 bertentangan dengan Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945. Adapun Pasal 28 I ayat (1) menyatakan bahwa:
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk tidak diperiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. 
Terhadap argumen tersebut, pemerintah sebagai pihak yang berkepentingan dalam hal ini, secara ringkas mengajukan dua hal yang dianggap sebagai dasar pemberlakuan surut Perpu No. 1 Tahun 2002/UU No. 15 Tahun 2003.  Pertama, berdasarkan penafsiran pemerintah, Pasal 28 I ayat (1) dalam pelaksanaannya dibatasi oleh Pasal 28 J yang menyatakan:
1.      Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; dan
2.      Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk mematuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. 
Pembatasan dari Pasal 28 J UUD 1945 memungkinkan untuk dirumuskannya suatu peraturan pidana yang berlaku surut. Kedua, didasarkan pada pendapat bahwa terorisme merupakan salah satu bentuk extra ordinary crime, sehingga menurut Agus Rahrjo, diperlukan langkah-langkah yang luar biasa termasuk pemberlakuan surut suatu peraturan pidana.
Berbagai argumen dikemukakan untuk menguatkan agar asas retroaktif dapat diterapkan untuk tindak pidana terorisme, misalnya asas superioritas keadilan yang dapat mengesampingkan asas non retroaktif, argumen hukum internasional dapat mengesampingkan hukum domestik dan sebagainya.  Selain itu, dikemukakan pula bahaya dari penerapan asas retroaktif, misalnya bahaya pengesampingan asas non retroaktif akan membuka peluang bagi rezim penguasa untuk melakukan balas dendam politik (revenge) dan sebagainya.
Berdasarkan argumen-argumen yang dikemukakan oleh dua pihak tersebut, Mahkamah Konstitusi dalam putusan bernomor 013/PUU-I/2003 tanggal 22 Juli 2004 berpendapat bahwa Perpu No. 2 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003 bertentangan dengan UUD 1945. Tentu saja putusan Mahkamah Konstitusi ini berimplikasi luas sebagaimana tercermin dari tanggapan pemerintah atas putusan itu yang secara singkat adalah sebagai berikut:
1.     Pendapat dan putusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan bahwa asas non retroaktif bersifat mutlak karena ia merupakan asas universal dan tidak dapat ditafsirkan lain selain yang dituliskan dalam UUD dengan frasa “dalam keadaan apapun” (Pasal 28 I), terbukti inkonsisten dengan pengakuan Mahkamah Konstitusi bahwa asas non retroaktif hanya dikecualikan untuk kasus pelanggaran HAM berat;
2.     Sejak asas retroaktif diterapkan dalam Mahkamah Nuremberg (1946), Tokyo (1948), Ad hoc Tribunal di Rwanda dan Yugoslavia, maka sejak saat itu asas non retroaktif merupakan asas partikularistik dan bersifat kasuistik, tidak lagi merupakan asas universal;
3.     Penerapan teori Hens Kelsen secara mutlak dalam penerapan asas retroaktif dalam UU No. 15 Tahun 2003 atas peristiwa bom Bali mengabaikan sama sekali teori sebab akibat, mengabaikan keadilan masyarakat yang lebih luas termasuk korban dan menunjukkan ketertinggalan pemikiran Mahkamah Konstitusi dan juga tidak sejalan dengan perkembangan paradigma keilmuan dalam pendidikan ilmu hukum di Indonesia sejak tahun 1970-an sampai saat ini yang mengakui paradigma ilmu-ilmu sosial dalam ilmu hukum;
4.     Putusan Mahkamah Konstitusi tidak mencerminkan keseimbangan perlindungan atas kepentingan tersangka/terdakwa terorisme dengan perlindungan atas hak suatu negara yang berdaulat dan korban bom Bali;
5.     Pertimbangan dan pendapat Mahkamah Konstitusi tentang kualifikasi kegiatan terorisme pada peristiwa bom Bali yang menegaskan bukan kejahatan luar biasa, dan hanya merupakan kejahatan biasa yang dilakukan secara kejam (ordinary crime) menunjukkan kerancuan pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan hukum ketatanegaraan bukan pendekatan hukum pidana internasional yang seharusnya digunakan dan dipandang memiliki kredibilitas akademik dalam membedah peristiwa tersebut.  Pendapat Mahkamah Konstitusi tersebut tersebut terlalu dini dan ceroboh.
Terhadap kritikan pemerintah yang terakhir, adalah menarik untuk mengkaji secara ilmiah ukuran yang dipakai untuk menentukan apakah terorisme atau bentuk kejahatan lain yang menimbulkan korban cukup besar dapat dikualifikasikan sebagai kejahatan biasa (ordinary crime) atau luar biasa (extra ordinary crime). Apa yang menjadi dasar penentuan itu, ada empat argumen yang dapat dijadikan sebagai bahan pemikiran.  Pertama, jumlah korban yang besar atau relatif besar, kedua, cara melakukan kejahatan yang sangat kejam, ketiga, dampak psikologis terhadap masyarakat yang meluas dan keempat, penetapan oleh lembaga internasional (PBB atau lainnya) sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Keempatnya seharusnya merupakan suatu kesatuan, sehingga perbedaan penafsiran mengenai kriteria penetapan kejahatan terhadap kemanusiaan tidak berbeda satu dengan yang lain.
Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi ini maka tamat sudah riwayat asas retroaktif dalam Perpu No. 2 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003.  Meski yang diputus bertentangan dengan UUD 1945 adalah Perpu No. 2 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003, akan tetapi ini membawa dampak kepada ketentuan dalam Pasal 46 Perpu No. 1 Tahun 2002/UU No. 15 Tahun 2003. Dampak tersebut adalah tertutupnya kemungkinan untuk menetapkan peraturan pidana yang berlaku surut bagi tindak pidana terorisme atau tindak pidana lain yang berkaitan dengan terorisme. Dengan kata lain Pasal 46 Perpu No. 1 Tahun 2002/UU No. 15 Tahun 2003 merupakan ketentuan yang lahir untuk dimatikan karena tidak ada fungsinya sama sekali.
Sangat menarik untuk dikaji kembali putusan Mahkamah Konstitusi tersebut terutama dengan dasar pengambilan keputusan yang menguji taraf sinkronisasi vertikal Perpu No. 1 Tahun 2002/UU No. 16 Tahun 2003 terhadap UUD 1945. Dimana UUD 1945 merupakan konstitusi atau merupakan hukum tertinggi yang dinamakan grundnorm. Bagaimana jika UU No. 39 Tahun 1999 dan UU No. 26 Tahun 2000 diuji materiilkan terhadap UUD 1945. Berdasarkan tata urutan perundang-undangan, tentunya UU No. 39 Tahun 1999 dan UU No. 26 Tahun 2000 bertentangan dengan Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945.  Pertanyaannya adalah apakah asas hukum internasional dapat mengesampingkan hukum domestik dan ketentuan non derogable rights dalam ketentuan hukum humaniter internasional dapat mengesampingkan konstitusi suatu negara. Tentunya pertanyaan ini membutuhkan jawaban yang logis, rasional agar eksistensi asas retroaktif dalam kedua undang-undang tersebut dapat dipertanggungjawabkan.