Sabtu, 14 Juli 2012

BISDAN SIGALINGGING, S.H.: PERSPEKTIF ANAK MEDAN TERHADAP MUNCULNYA OTORITAS ...

BISDAN SIGALINGGING, S.H.: PERSPEKTIF ANAK MEDAN TERHADAP MUNCULNYA OTORITAS ...: INILAH PANDANGANKU TERHADAP KEHADIRAN OTORITAS JASA KEUANGAN Independensi merupakan sesuatu yang mendesak di era reformasi ini. Indep...

PERSPEKTIF ANAK MEDAN TERHADAP MUNCULNYA OTORITAS JASA KEUANGAN

OTORITAS JASA KEUANGAN
Oleh: Bisdan Sigalingging, SH, MH
Dosen Hukum Pasar Modal pada Fakultas Hukum
Dharmawangsa Medan

Independensi merupakan sesuatu yang mendesak di era reformasi ini. Independensi menjadi ciri khas dalam ekonomi negara demokrasi. Ketika independensi itu dirasuki oleh jiwa-jiwa politik, maka laju pembangunan program-program pemerintah yang dicanangkan, cenderung akan didominasi oleh pihak-pihak tertentu sedangkan pihak lainnya akan dimarginalkan atau dipinggirkan.[1] Independensi merupakan sikap untuk mempertahankan hak publik dalam pencapaian tujuan bersama yakni negara yang berdaulat, adil, dan makmur.
Bergulirnya reformasi tahun 1998, rakyat Indonesia sibuk dengan urusan tuntutan untuk mengumandangkan perlunya independensi harus turut campur dalam mengurusi negara ini. Tuntutan demikian sebagai bukti nyata, bahwa rakyat Indonesia tidak percaya seutuhnya kepada para pejabat publik untuk mengelola, mengurusi aset-aset negara, memberikan pelayanan, mengayomi, melindungi, menjalankan program-program pembangunan dalam mengisi kemerdekaan Republik Indonesia.
Independensi merupakan bagian dari mata hati rakyat Indonesia. Ketika instrumen hukum didominasi oleh pemerintah melalui kebijakan politik, maka tujuannya cenderung akan berpola dan berpihak kepada pemerintah itu sendiri. Ketika instrumen hukum itu dikolaborasi dengan pihak independen, bukan pula secara otomatis dapat mencapai tujuan bersama untuk negara yang berdaulat, adil, dan makmur. Independensi tidak membuat secara otomatis berhasil dalam pencapaian tujuan bersama, melainkan penekanan ini difokuskan pada unsur etika dan moralitas untuk membasmi kepraktisan hukum.
Independensi memangkas peran pemerintah absolut dalam meregulasi dan mengawasi sektor ekonomi khususnya perbankan. Pentingnya peran negara atau pemerintah pada prinsipnya dalam sistem demokrasi ekonomi pada prinsipnya hanya sebatas fungsinya sebagai penonton (in partial spectator).[2] Negara atau pemerintah hanya boleh atau dapat mengintervensi pasar gagal untuk menyeimbangkan (stabilisator) pasar ketika sistem pasar keuangan terganggu, sebab bila tidak ada intervensi pemerintah akan menimbulkan distorsi.[3]
Dalam hal terjadinya monopoli alamiah (natural monopoly)[4] terbuka peluang dua pilihan yang mungkin akan terjadi misalnya monopoli dilakukan oleh pihak swasta, monopoli dilakukan oleh pihak pemerintah baik pada saat merancang regulasi maupun ketika regulasi dikeluarkan oleh pemerintah.[5] Berbicara soal independensi dalam mengatur dan mengawasi kegiatan perbankan tidak berfokus pada salah satu pilihan di atas, melainkan dilakukan pendekatan melalui koordinasi yang baik dalam hal mengeluarkan pengaturan dan melakukan pengawasan yang melekat pada suatu lembaga yang independen.
Lembaga yang dimaksud adalah Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disingkat OJK). Lembaga OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan[6] sebagaimana dimaksud dalam UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disingkat UU OJK).
Lembaga OJK dibentuk untuk memenuhi amanat dari Pasal 34 UU BI.[7] Tugas pokoknya untuk melakukan pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan terhadap bank-bank dan perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat. Lembaga ini bersifat independen dalam menjalankan tugasnya, berarti kedudukannya berada di luar institusi pemerintah dan berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) serta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Kendatipun Bank Indonesia dan Lembaga Penjamin Simpanan adalah lembaga yang independen tetapi keindependensiannya tidak berlaku secara absolut (mutlak). Begitu juga dengan lembaga OJK tidak mutlak sebagai lembaga yang independen. UU No.23 Tahun 1999 sebagaimana diubah melalui UU No.3 Tahun 2004 sebagaimana diubah melalui UU No.6 Tahun 2009 tentang Bank Indonesia (selanjutnya disingkat UU BI) menegaskan di Pasal 4 ayat (2) UU BI tidak berlaku keindependensian Bank Indonesia secara murni sebab pasal ini merupakan pasal pengecualian.[8] Ketentuan pengecualian itu ditentukan, jika diatur secara tegas dalam UU BI. UU OJK juga mengatur ketentuan pengecualian di Pasal 1 angka 1 jo Pasal 2 ayat (2) terdapat pengecualian jika diatur secara tegas menurut UU OJK.[9]
Pembentukan rezim OJK mulai memangkas ruang lingkup keindependensian Bank Indonesia sebagai Bank Sentral dalam meregulasi dan mengawasi kegiatan sektor perbankan. Tetapi cenderung merembes pada persoalan dalam praktik ke depannya seperti pengecualian yang ditentukan dalam Pasal 4 UU BI dan Pasal 1 angka 1 jo Pasal 2 ayat (2) UU OJK tersebut membuka peluang selebar-lebarnya kepada pemerintah untuk melakukan intervensi dalam mengambil keputusan bisnis perbankan. Kecenderungan itu dapat terjadi ketika dalam hal melakukan pencegahan dan penanganan krisis dalam Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) yang dikoordinator oleh Kemenkeu sementara pihak Kemenkeu itu sendiri bukan pihak yang independen melainkan lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di sektor keuangan. Peluang seperti ini perlu diwaspadai bersama dan menimbulkan pertanyaan, apakah sikap independesi itu hanya ditentukan dalam undang-undang atau disesuaikan dengan kondisi di luar daripada ketentuan undang-undang?, dan apakah koordinasi dapat dijalan dengan baik atau karena kepentingan politik tertentu?.
Robert W. Gordon, sebagaimana yang dikutip oleh David Kairys, kemudian dikutip oleh Bismar Nasution dalam Pidato Pengukuhan Guru Besarnya, bahwa kegagalan pasar sebagai alasan utama untuk intervensi pemerintah di bidang ekonomi, sekaligus harus membuat hukum untuk mengarahkan kegiatan ekonomi itu sendiri.[10] Independensi bagi BI dan OJK tidak diserahkan kepada kedua lembaga ini secara mutlak. Ketika misalnya sistem itu berurusan dengan penyehatan perbankan seperti persoalan ekonomi makro (macro economic supervision) sebagaimana ditentukan di Pasal 39 UU OJK[11], maka jika terjadi hal demikian, dapat dijawab berdasarkan Pasal 2 ayat (2) UU OJK.[12]
Kaitannya dengan Pasal 2 ayat (2) UU OJK di atas adalah, ketika misalnya bank berdampak sistemik (vide Pasal 39 huruf e), maka dapat dicegah dan ditangani melalui Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK), sebab kondisi ini dikategorikan tidak normal sebagaimana yang ditentukan dakam Pasal 45 ayat (2) UU OJK.[13] Sehingga dengan masuknya Kemenkeu ke dalam FKSSK di sini, keindependensian diragukan. Inilah yang mungkin bisa menjadi rembesan dari maksud Pasal 2 UU OJK, yang menentukan: “OJK adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang ini”.
Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan (selanjutnya disingkat LJK)[14] pada prinsipnya terbagi atas dua jenis, pertama, pengawasan dalam rangka mendorong lembaga-lembaga ikut menyokong, menunjang pertumbuhan ekonomi dan menjaga kestabilan moneter (macro economic supervision) melalui pengaturan dan pengawasan yang mendorong agar LJK secara individual tetap sehat serta mampu memelihara kepentingan masyarakat dengan baik (prudential supervision).[15]
Paradigma menjunjung tinggi nilai-nilai moral ketika diterapkan dalam merancang undang-undang (kebijakan formulatif) yang kemudian disepakati bersama melalui sistem demokrasi yang sehat, berarti independensi diperlukan kala itu semata-mata untuk mengatur, mempertahankan dan membangun kepentingan masyarakat luas. Namun, ketika LJK dicampuri oleh urusan-urusan lain di luar lembaga itu sendiri, maka keindependensiannya akan percuma, misalnya mengenai anggaran operasional OJK dipungut dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Sulit untuk memerankan independensi OJK jika anggarannya di luar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).[16] Dikhawatirkan independensi itu akan pincang atau cedera ketika pungutan itu bersumber dari non APBN. Independensi harus otonom, bebas dari pengaruh kepentingan-kepentingan pemerintah, partai politik, swasta, lembaga lain penyandang dana, sektor bisnis dan siapapun.
Secara ilmu hukum tata negara, Bank Indonesia sebagai Bank Sentral terlepas dari ketiga kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.[17] Namun, ketika Bank Indonesia dihadapkan pada ketentuan pengecualian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 UU BI, maka keindependensian Bank Indonesia patut dipertanyakan ketika membuat keputusan atau kebijakan terkait dengan pengaturan dan pengawasan perbankan. Demikian halnya di OJK yang akan dibentuk terdiri dari sembilan orang, dua orang dari ex efficio[18] dan tujuh orang dari independen. Perlu dipertanyakan independensi OJK ketika lembaga ini bertindak sebagai pengatur dan pengawas LJK di sektor perbankan sebagaimana mempedomani makna Pasal 1 angka 1 jo Pasal 2 ayat (2) UU OJK.
Bank-bank konvensional dan bank non konvensional terikat secara terpusat menurut perundang-undangan di bidang perbankan dan kebijakan Gubernur Bank Indonesia. Bank-bank tersebut, baik bank milik pemerintah maupun milik swasta tidak dapat mengelola usahanya dengan cara-caranya sendiri melainkan harus tunduk dan taat terhadap perundang-undangan di bidang perbankan dan kebijakan Gubernur Bank Indonesia.
Pandangan di atas, mengarahkan argumentasi-argumentasi pemikiran terhadap kondisi pencapaian tujuan negara Indonesia khususnya di bidang ekonomi perbankan rezim baru OJK. Krisis perbankan di tahun 1998[19] menjadi polemik yang tidak henti-hentinya dibicarakan oleh semua orang, baik orang awam, mahasiswa, praktisi, maupun akademisi. Benang merah dari rembesan persoalan ekonomi khusunya di bidang perbankan, dapat dikatakan berfokus pada persoalan penerapan hukum dan peraturan perundang-undangan menyangkut kegiatan bisnis khususnya perbankan. Indikator dari persoalan perbankan pada masa itu hingga kini misalnya hampir semua kasus-kasus tersebut diproses di sidang pengadilan.[20]
Permasalahan di sektor jasa keuangan khususnya perbankan pada masa krisis bisa dikatakan menyangkut masalah moral hazard, perlindungan nasabah/konsumen, dan koordinasi lintas sektoral.[21] Namun, perlu pula diamati bahwa di samping sistem hukum juga sebagai penyebab krisis, dapat juga disebabkan timbulnya penurunan dalam disiplin pasar (market dicipline) atau moral hazard (sikap aji mumpung) di berbagai sektor ekonomi dan politik bahkan permasalahan moral hazard itu sudah cukup luas dan mendalam.[22] Pembuatan sistem hukum yang efektif ditujukan pula untuk mengurangi moral hazard sekaligus untuk mengatasi krisis ekonomi.[23] Perlindungan terhadap nasabah/konsumen dilakukan misalnya melalui penerapan prinsip kehati-hatian dalam mengelola sistem perbankan.[24]
Tujuan pengaturan dan pengawasan terhadap bank agar setiap bank, baik secara individal maupun keseluruhan menjadi sehat dan aman serta dapat memelihara kepercayaan masyarakat akan tercipta perbankan nasional yang sehat dimaksud. Maka rezim OJK meminimalisir berbagai risiko yang mungkin timbul dengan cara mengatur dan mengawasi kegiatan sektor perbankan, sekurang-kurangnya mengingatkan perlunya penanganan risiko secara seksama, bahkan jika perlu melarang bank melakukan kegiatan tertentu yang cenderung mengundang risiko tinggi.[25]
Amanat UU OJK menambah satu anggota Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) yang terdiri dari: Menteri Keuangan selaku koordinator, Gubernur Bank Indonesia, Dewan Komisioner (DK OJK, dan Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (DK LPS) sebagai anggota. Forum tersebut tercantum dalam salah satu pokok pikiran yakni ”hubungan kelembagaan”.[26] Untuk mewujudkan hubungan kelembagaan dimaksud dilakukan melalui koordinasi lintas lembaga. Koordinasi merupakan kunci untuk menciptakan perbankan nasional yang sehat dan aman. Tetapi disadari atau tidak, koordinasi merupakan barang mewah di negeri ini. Walaupun demikian, setidaknya melalui koordinasi dapat meminimalisir kendala-kendala yang membuat terhambatnya sistem perbankan. Apalagi koordinasi antar instansi di negeri ini, meski sudah dirasakan membaik masih lebih banyak yang merupakan mimpi.[27]
Koordinasi dapat membawa dampak yang baik, pencitraan terhadap profil suatu lembaga, jika orang-orang yang terikat didalamnya mampu menjalankan tugas dan tanggung jawabnya secara arif, bijak, dan profesional. Demikian sebaliknya, koordinasi justru akan memperburuk suatu lembaga jika para pengemban tugas dan tanggung jawab itu berperilaku cenderung mengabaikan hukum, etika, dan moral. Persoalan koordinasi mudah untuk diucapkan tetapi sulit untuk diterapkan. Melalui koordinasi dapat merusak citra lembaga-lembaga dan melalui koordinasi juga dapat mencapai tujuan yang hakiki.
Dalam melaksanakan tugasnya, lembaga OJK melakukan koordinasi dan bekerjasama dengan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral. Lembaga OJK dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank dengan koordinasi dengan Bank Indonesia dan meminta penjelasan atau keterangan dari Bank Indonesia dan data makro yang diperlukan. Adapun tugas mengatur akan tetap dilakukan oleh Bank Indonesia secara independen dalam koridor-koridor tertentu. Ketentuan dalam UU OJK yang memuat pasal-pasal tentang koordinasi dari Pasal 39 sampai dengan Pasal 46 tidak satupun dari ketentuan itu akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Secara tidak tegas ditentukan akan diatur lebih lanjut oleh Peraturan Pemerintah. Dengan tidak dicantumkannya perintah tertulis dalam UU OJK demikian pada prinsipnya untuk menghindari campur tangan pemerintah ketika mengeluarkan Peraturan Pemerintah terkait dengan koordinasi. Sehingga dapat dimengerti ketika dalam penjelasan Pasal 39 UU OJK djelaskan tata cara koordinasi OJK dengan Bank Indonesia diatur bersama antara OJK dan Bank Indonesia, bukan dibuat dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Jika amanat Pasal 39 pengaturannya demikian dapat meminimalisir intervensi pemerintah dalam mengatur dan mengawasi lembaga keuangan sektor perbankan dalam konteks pelaksanaan koordinasi antar OJK dan BI. 
Gubernur Bank Indonesia, Darmin Nasution (Plt), mengakui kesulitan dalam menerapkan koordinasi dengan lembaga lainnya. Kesulitan itu bukan hanya terjadi di negeri ini, tetapi di negeri orang sekalipun, koordinasi itu sulit diintegrasikan apabila lembaganya berbeda.[28] Salah satu cara untuk mengatasi kesulitan ini, dapat dilakukan melalui suatu metode kerja berkoordinasi untuk meminimalisir perbedaan. Lembaga independen dapat menjalankan tugasnya dalam memastikan kesehatan lembaga keuangan, mengurangi risiko dan menciptakan stabilitas sektor jasa keuangan secara keseluruhan.
Penyeragaman kultur antar BI dan OJK akan menjadi kultur baru dalam pengaturan dan pengawasan perbankan. Tidak adanya koordinasi yang baik dan tidak adanya kesetaraan kultur berakibat pada kegagalan lembaga. Contoh kegagalan lembaga pengawasan jasa keuangan di Inggris, Amerika Serikat, dan Korea Selatan (serupa lembaga OJK) disebabkan karena tingginya ego sektoral dan perbedaan kultur yang sulit dipadukan. Struktur sistem pengawasan industri jasa keuangan di negara-negara ini juga terdiri dari beberapa bagian, seperti perbankan, asuransi, pasar modal dan Bank Sentral.[29]
Ego sektoral dan perbedaan kultur memposisikan dirinya lebih unggul. Belajar dari kasus yang terjadi di Inggris ketika Northern Rock Bank, ditangani dan diawasi oleh Financial Service Authority (FSA) semacam OJK di di Inggris akhirnya kolaps dan dibailout oleh Bank of England (BOE). Bank Sentral Inggris tidak pernah tahu tentang sepak terjang pengelola Northern Rock Bank yang terlalu berani melakukan ekspansi pengucuran kredit, akhirnya dipaksa untuk mengambil keputusan sulit ketika kasus tersebut dilimpahkan oleh FSA ke BOE untuk diselamatkan. Bank Sentral Inggris, Bank of England (BOE) justru kembali diberikan kewenangan dan tanggung jawab pengawasan perbankan dan industri keuangan yang lebih luas yang semula hal ini berada di pundak FSA, yang dinilai telah gagal pengawasan terhadap kasus Northern Rock Bank.
Hal serupa menyangkut lemahnya koordinasi dalam membuat pengaturan dan melakukan koordinasi pengawasan sektor perbankan juga terjadi di Amerika Serikat dimana Bank Sentral, Federal Reserve (The Fed), diberikan kewenangan yang lebih luas pasca kegagalan pasar finansial di tahun 2008. Kegagalan di sektor finansial yang terjadi di Amerika Serikat tahun 2008 tersebut secara cepat mengalir dan menyebar pada sistem keuangan global. Krisis ini diakibatkan oleh tidak mampunya otoritas jasa keuangan Amerika Serikat dalam mengidentifikasi potensi macetnya kredit perumahan berkualitas rendah (subprime mortgage).[30]
Lembaga pengawas jasa keuangan di Amerika Serikat tidak berhasil menjalankan pengawasannya terhadap bank dan tidak mampu mencegah praktik bank yang kurang hati-hati. Penilaian kegagalan otoritas jasa keuangan Amerika Serikat, diberikan oleh unit audit internal Bank Sentral Amerika Serikat, Office of Inspector General, menilai lemahnya pengawasan atas bank Midwest Bank, yang akhirnya ditutup pada bulan Mei 2010 karena telah menyebabkan beban kerugian bagi Federal Deposit Insurance Company (FDIC) semacam LPS senilai 200 juta dollar AS.[31] Otoritas pengawasan perbankan Amerika Serikat gagal menjalankan tugasnya yang terbukti dengan krisis tahun 2008.[32]
Sementara lembaga serupa OJK, Financial Supervisory Service (FSS) di Korea Selatan juga mengalami kegagalan yang sama. Padahal misi FSS dibentuk untuk menyehatkan industri perbankan di Korea Selatan yang terjadi ketika krisis 1998 yang kemudian FSS dibentuk tahun 1999. FSS pada prinsipnya harus berkoordinasi dengan Bank of Korea (Bank Sentral Korea).[33] Prinsip kerjasama antara FSS dengan Bank of Korea dilakukan melalui koordinasi, namun koordinasi itu disalahgunakan untuk berbuat praktik-praktik suap-menyuap atau korupsi yang melibatkan petinggi-petinggi di lembaga FSS. Pemerintah Korea Selatan akhirnya mengembalikan kewenangan dan tanggung jawab pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan Korea Selatan kepada Bank of Korea secara keseluruhan.[34]
Bukan hal mudah mewujudkan lembaga pengawasan perbankan yang tangguh jika tidak didukung dengan independensi lembaga pengawas dan koordinasi yang terpadu. Kegagalan menjalankan tugas, khusunya di bidang pengawasan sektor perbankan di Inggris, Amerika Serikat, dan Korea Selatan sebagaimana di atas, merupakan sebahagian kecil dari contoh yang terjadi. Negara yang tergolong berhasil menerapkan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan semacam OJK adalah negara Australia.[35] Tidak ada satupun pola pengawasan industri keuangan yang seragam bagi seluruh negara. Itu sebabnya sebahagian faktor penentu keberhasilan pengawasan perbankan adalah pembentukan kultur baru dan anti moral hazard para dewan pelaksananya harus diutamakan. Misalnya Australian Prudential Regulation Authority (APRA)[36], OJK-nya Australia bersama Bank Sentral, The Reserve Bank of Australia, dinilai yang paling berhasil menjalankan tugasnya mengawal kesehatan dan daya tahan industri keuangan negaranya termasuk perbankannya, rahasia keberhasilannya karena Dewan Komisioner APRA mengedepankan tanggung jawab moral di atas segala-galanya.[37]
Mengawasi perbankan memang bukan perkara mudah. Otoritas dituntut menjaga sistem perbankan untuk menjadi sehat, sekaligus melindungi kepentingan masyarakat khususnya nasabah dan konsumen. Intervensi lembaga pengawas jasa keuangan yang terlalu berlebihan (over acting) untuk mencampuri manajemen bank, misalnya arogansi, dinilai sebagai faktor kondusif kegagalan. Manajemen bank harus tetap bertanggung jawab penuh atas bank yang dikelolanya dan demikian halnya manajemen pengawas. Tanpa mengurangi keindependensian kedua lembaga (BI dan OJK), dapat dipertemukan melalui koordinasi dalam batas-batas hubungan kelembagaan yang ditentukan dalam undang-undang.
Tujuan utama dari sistem pengawasan perbankan adalah untuk menciptakan sistem perbankan nasional yang sehat. Jika independensi BI dan OJK dicampuri oleh pemerintah atau lembaga-lembaga lainnya dalam menjalankan tugas, niscaya tujuan untuk menciptakan sistem perbankan nasional yang sehat itu tidak bisa tercapai. Demikian pula koordinasi yang baik antar BI dengan OJK dan lembaga-lembaga lainnya juga sebagai faktor penentu keberhasilan pengawasan sistem perbankan nasional.