Kamis, 28 Maret 2013

TUGAS DAN KEWENANGAN OTORITAS JASA KEUANGAN DAN BANK INDONESIA MENURUT UNDANG-UNDANG OTORITAS

TUGAS DAN KEWENANGAN OTORITAS JASA KEUANGAN DAN BANK INDONESIA MENURUT UNDANG-UNDANG OTORITAS
JASA KEUANGAN
Oleh: Bisdan Sigalingging, SH, MH
Dosen Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa Medan Sumatera Utara

Amanat Pasal 34 ayat (1) UU BI menentukan tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen dengan mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank. Dalam penjelasannya dikemukakan bahwa lembaga tersebut berfungsi antara lain melakukan pengawasan terhadap bank…. dan seterusnya. Amanat Pasal 34 ayat (1) UU BI menekankan kepada lembaga tersebut untuk bertindak sebagai dewan pengawas (supervisory board), dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank secara berkoordinasi dengan BI.
Namun ternyata setelah diundangkannya UU OJK menentukan lain, yakni memberikan kewenangan luas kepada OJK untuk membuat pengaturan dan pengawasan bahkan kewenangannya dapat bertindak sebagai penyidik layaknya seperti KPK. Sebagai contoh dalam Pasal 5 dan Pasal 6 ditegaskan OJK berwenang melaksanakan pengaturan dan pengawasan, padahal diketahui sebelumnya seperti yang telah ditentukan dalam amanat Pasal 34 ayat (1) UU BI, wewenangnya adalah mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank, namun fakta yuridisnya menentukan kewenangan OJK meliputi mengatur, mengawasi, memeriksa, dan bahkan sebagai penyidik. Oleh sebab itu, ketentuan-ketentuan dalam UU OJK tampak menjadikan OJK sebagai lembaga super body bukan supervisory board.
1.      Tugas Pengaturan dan Pengawasan antara Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia
Ketentuan tugas pengaturan dan pengawasan yang ditentukan dalam Pasal 5 UU OJK berarti tugas mengatur dikombinasi dengan tugas mengawai, dengan kata lain OJK memiliki kewenangan kedua-duanya secara sekaligus yakni mengatur dan mengawasi. Kombinasi antara kedua tugas tersebut sebagaimana ditentukan lebih lanjut pada Pasal 6 huruf a UU OJK yang ditentukan, “OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan”. Oleh karena OJK memiliki tugas untuk melaksanakan pengaturan dan pengawasan tersebut, maka OJK diberi kewenangan untuk itu.
Wewenang adalah sesuatu yang dilimpahkan atau dari kekuasaan, hak yang dimiliki untuk mengambil keputusan, sikap atau tindakan berdasarkan tanggung jawab yang diberikan. Dengan demikian, kewenangan berarti hak bagi yang menerimanya dan tidak bisa dilakukan oleh orang lain atau lembaga lain kecuali dialihkan oleh otoritas terkait melalui surat kuasa untuk mengalihkan kewenangan tersebut atau perintah dari yang berhak kepada pihak lain untuk melakukan kewenangan dimaksud.
Kombinasi kewenangan OJK dalam melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan, dapat dilihat ketentuan Pasal 7 UU OJK, bahwa untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor Perbankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, OJK mempunyai wewenang:
  1. Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi:
a.       Perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank; dan
b.      Kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa;
  1. Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi:
1)      Likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank;
2)      Laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank;
3)      Sistem informasi debitur;
4)      Pengujian kredit (credit testing); dan
5)      Standar akuntansi bank;
  1. Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi:
1)      Manajemen risiko;
2)      Tata kelola bank;
3)      Prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan
4)      Pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; dan
5)      Pemeriksaan bank.
Selain menjadi kewenangan OJK tentang perizinan untuk pendirian bank maupun pembukaan kantor bank, juga menjadi kewenangan BI sebagaimana ditentukan pada Pasal 15 ayat (1) huruf b UU BI, yakni “melaksanakan dan memberikan persetujuan dan izin atas penyelenggaraan jasa sistem pembayaran”, kemudian ditentukan pula dalam Pasal 24 UU BI yakni “…Bank Indonesia menetapkan peraturan memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank, melaksanakan pengawasan bank dan mengenakan sanksi terhadap Bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Mengenai merger, konsolidasi, dan akusisi bank menjadi kewenangan OJK untuk membuat pengaturan dan pengawasannya, kewenangan ini juga menjadi kewenangan BI sebagaimana ditentukan dalam Pasal 25 ayat (2) huruf e UU BI pada penjelasannya disebutkan salah satu pokok ketentuan yang akan ditetapkan dalam PBI adalah merger, konsolidasi, dan akuisisi bank. Pencabutan izin usaha bank yang menjadi kewenangan OJK juga menjadi kewenangan BI untuk mengatur dan mengawasi sebagaimana pada penjelasan Pasal 25 ayat (2) huruf j UU BI, ditentukan pencabutan izin usaha, likuidasi, dan pembubaran bentuk hukum bank juga menjadi kewenangan BI.
Mengenai kewenangan OJK tentang pengaturan dan pengawasan yang berkaitan dengan kesehatan bank sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 UU OJK, tidak ditentukan sebagai kewenagan BI dalam Pasal 24 sampai dengan Pasal 33 UU BI akan tetapi mengenai pengaturan dan pengawasan kesehatan bank menjadi wewenang BI dalam rangka menetapkan dan melaksanakan kebijakan monter sebagaimana yang dijelaskan dalam penjelasan Pasal 11 ayat (3) UU BI. Hal ini berarti BI juga dapat bertindak untuk membuat pengaturan dan pengawasan terhadap bank jika menyangkut pelaksanaan kebijakan moneter. 
Kewenangan OJK untuk membuat pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi sebagaimana yang ditentukan pada Pasal 7 UU BI juga menjadi kewenangan BI sebagaimana ditentukan dalam Pasal 25 ayat (1) UU BI bahwa, “Dalam rangka melaksanakan tugas mengatur bank, Bank Indonesia berwenang menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian”.
Berdasarkan kesamaan kewenangan antara BI dan OJK sebagaimana ditentukan di atas, merupakan kombinasi kewenangan tugas mengatur dan mengawasi antara BI dan OJK. Oleh sebab itu, dalam rangka menjalankan tugas dan kewenangan mengatur dan mengawasi bank sebagaimana dimaksud di atas, dilakukan kedua lembaga ini melalui koordinasi yang terintegrasi. Jika tidak dilakukan melalui koordinasi yang terintegrasi, niscaya sinergi pembuatan pengaturan dan pengawasan bank antara BI dan OJK tidak akan sinkron artinya pada suatu waktu bisa menimbulkan ketidaksesuaian substansi dalam pengaturan dan menimbulkan benturan kepentingan dalam rangka pengawasan terhadap bank.
2.      Tugas Pengaturan Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia
Dalam UU OJK terdapat ketentuan yang menentukan secara khusus tentang kewenangan OJK yang berkaitan dengan tugas mengatur bank yakni terdapat pada Pasal 8 UU OJK. Akan tetapi ketentuan ini dipandang tidak konsisten menentukan tugas OJK sebagai pembuat peraturan sebab aspek yang ditentukan dalam Pasal 8 UU OJK adalah “Untuk melaksanakan tugas pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang”. Sedangkan yang dimaksud dalam Pasal 6 UU OJK itu adalah kombinasi antara pengaturan dan pengawasan terhadap bank. Selengkapnya ketentuan Pasal 8 UU OJK menentukan sebagai berikut:
Untuk melaksanakan tugas pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang:
a.       Menetapkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini;
b.      Menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
c.       Menetapkan peraturan dan keputusan OJK;
d.      Menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan;
e.       Menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK;
f.       Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu;
g.      Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada Lembaga Jasa Keuangan;
h.      Menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan
i.        Menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
Persoalannya adalah, jika yang dimaksud dalam Pasal 8 UU OJK adalah tugas pengaturan, mengapa disebutkan dalam redaksinya “…..sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, …….”. Sedangkan yang dimaksud dalam Pasal 6 UU OJK itu adalah kombinasi antara pengaturan dan pengawasan terhadap bank. Hal ini berarti Pasal 8 UU OJK juga mengkombinasi kewenangan pengaturan dan pengwasan OJK terhadap bank, berarti sama saja dengan ketentuan dalam Pasal 7 UU OJK tentang kewenangan pengaturan dan pengawasan.
Jika dianalisa pasal-pasal dalam UU OJK secara keseluruhan, tidak ada satupun pasal yang mengamanatkan pembentukan Peraturan Pemerintah yang dibuat oleh pemerintah dalam arti luas. Akan tetapi dalam ketentuan Pasal 37 ayat (6) UU OJK di bagian penjelasannya dijelaskan bahwa yang menyiapkan rancangan Peraturan Pemerintah memuat antara lain: tata cara penetapan, jenis, besaran, waktu penagihan dan pembayaran pungutan, dan sanksi denda adalah OJK itu sendiri. Demikian pula halnya dalam UU BI tidak ada satupun pasal yang mengamanatkan kepada BI untuk membuat Peraturan Pemerintah, melainkan BI diberikan amanat oleh undang-undang untuk membuat PBI. Hal ini berarti dalam rangka menjalankan kewenangan tugas mengatur, BI dan OJK berwenang membuat peraturan pelaksananya bukan pemerintah dalam arti luas.
3.      Tugas Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia
Dalam UU OJK terdapat ketentuan yang menentukan secara khusus tentang kewenangan OJK yang berkaitan dengan tugas pengawasan terhadap bank yakni terdapat pada Pasal 9 UU OJK. Ketentuan ini juga dipandang tidak konsisten menentukan tugas OJK untuk pengawasan bank sebab aspek yang ditentukan dalam Pasal 9 UU OJK adalah “Untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang”. Pasal 9 UU OJK ini juga menentukan “….sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, …” yang berarti adalah kombinasi antara pengaturan dan pengawasan terhadap bank. Selengkapnya ketentuan Pasal 9 UU OJK menentukan sebagai berikut:
Untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang:
a.       Menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan;
b.      Mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh kepala eksekutif;
c.       Melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan konsumen, dan tindakan lain terhadap lembaga jasa keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
d.      Memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan dan/atau pihak tertentu;
e.       Melakukan penunjukan pengelola statuter;
f.       Menetapkan penggunaan pengelola statuter;
g.      Menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan
h.      Memberikan dan/atau mencabut:
1)      Izin usaha;
2)      Izin orang perseorangan;
3)      Efektifnya pernyataan pendaftaran;
4)      Surat tanda terdaftar;
5)      Persetujuan melakukan kegiatan usaha;
6)      Pengesahan;
7)      Persetujuan atau penetapan pembubaran; dan
8)      Penetapan lain,
sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
Aspek yang dikritik dalam hal ini tepatnya berada pada bagian pengantar Pasal 9 dan juga Pasal 8 UU OJK bahwa ketentuan ini tidak konsisten menentukan mana yang menjadi tugas mengawasi, mana tugas mengatur serta mana tugas mengawasi dan mengatur. Jika yang ingin dimaksud oleh pembuat undang-undang dalam Pasal 9 UU OJK adalah tugas pengawasan, mengapa mesti disebutkan lagi dengan redaksi “…..sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, …….”. Sedangkan yang dimaksud dalam Pasal 6 UU OJK itu adalah kombinasi antara pengaturan dan pengawasan terhadap bank. Hal ini berarti Pasal 9 UU OJK juga mengkombinasi kewenangan pengaturan dan pengwasan OJK terhadap bank, seperti dalam Pasal 7 UU OJK tentang kewenangan pengaturan dan pengawasan.
Jika dibaca sepintas lalu maksud ketentuan Pasal 9 UU OJK adalah menentukan kewenangan OJK yang berkaitan dengan pengawasan. Akan tetapi karena digunakan redaksi “…..sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, …….”, sehingga tampak ketentuannya benar-benar tidak konsisten sebab Pasal 9 UU OJK juga merupakan kombinasi kewenangan OJK untuk mengatur dan mengawasi bank.
Jika maksud pembuat undang-undang untuk menentukan kewenangan OJK untuk mengawasi dalam ketentuan ini, maka seharusnya redaksi yang digunakan di bagian pengantar Pasal 6 UU OJK adalah:
”OJK melaksanakan tugas pengaturan, pengawasan, pengaturan dan pengawasan terhadap:
a.       Kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;
b.      Kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan
c.       Kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.”
Sehingga dengan redaksi yang demikian di atas, akan tampak dengan jelas bidang-bidang apa saja yang menjadi kewenangan OJK untuk pengaturan, bidang apa saja yang menjadi kewenangan OJK untuk pengawasan, serta bidang apa saja yang menjadi kewenangan OJK untuk pengaturan dan pengawasan. Jika UU OJK khususnya Pasal 6 tetap menggunakan redaksi “….pengaturan dan pengawasan…” saja, maka ketentuan ini jelas bisa membuka peluang besar kepada lembaga OJK untuk masuk pada semua aspek dan termasuk hal-hal yang bersifat khusus yang seharusnya hal itu menjadi kewenangan BI. Selanjutnya dengan menggunakan redaksi “….pengaturan dan pengawasan…” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UU OJK tersebut, jelas-jelas DPR ingin menjadikan OJK adalah lembaga super body bukan dewan pengawas (supervisory board) sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 34 ayat (1) UU BI.

4.      Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia Tentang Penilaian Terhadap Kesehatan Bank
Berkaitan dengan tugas pengawasan BI khususnya masalah penilaian kesehatan terhadap bank yang bermasalah. Misalnya ketentuan dalam Pasal 31 UU No.23 Tahun 1999, yang menentukan:
a.       Bank Indonesia dapat memerintahkan bank untuk menghentikan sementara sebagian atau seluruh kegiatan transaksi tertentu apabila menurut penilaian Bank Indonesia terhadap suatu transaksi patut diduga merupakan tindak pidana di bidang perbankan.
b.      Berdasarkan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia wajib mengirim tim pemeriksa untuk meneliti kebenaran atas dugaan tersebut.
c.       Apabila dari hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diperoleh bukti yang cukup, Bank Indonesia pada hari itu juga mencabut perintah penghentian transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Selanjutnya, berkaitan dengan penilaian BI terhadap bank, juga ditentukan dalam Pasal 33 UU No.23 Tahun 1999, sebagai berikut:
Dalam hal keadaan suatu menurut penilaian Bank Indonesia membahayakan kelangsungan usaha bank yang bersangkutan dan atau membahayakan sistem perbankan atau terjadi kesulitan perbankan yang membahayakan perekonomian nasional, Bank Indonesia dapat melakukan tindakan sebagimana diatur dalam undang-undang tentang perbankan yang berlaku.
Makna dari ketentuan Pasal 31 UU No.21 Tahun 1999 tersebut, sesungguhnya BI berwenang memberikan penilaian terhadap bank yang melakukan transaksi yang patut diduga merupakan tindak pidana di bidang perbankan, bahkan BI berwenang dapat memerintahkan bank untuk menghentikan sementara sebagian atau seluruh kegiatan transaksi tertentu menurut penilaiannya.
Melalui penilaian BI juga berpeluang untuk menghentikan sementara atau seluruh kegiatan transaksi bank terkait dengan temuan-temuan yang membahayakan kelangsungan usaha bank yang bersangkutan dan atau membahayakan sistem perbankan atau terjadi kesulitan perbankan yang membahayakan perekonomian nasional (vide: Pasal 33 UU No.23 Tahun 1999).
Berdasarkan ketentuan Pasal 31 dan Pasal 33 UU No.23 Tahun 1999 tersebut di atas, menentukan kewenangan BI hanya sampai sebatas memberikan penilaian terhadap bank dan menghentikan sementara kegiatan transaksi tertentu. Untuk melakukan tindakan selanjutnya, BI tidak berwenang menentukan sehat atau tidak sehatnya bank dimaksud tersebut. Sebab kewenangan BI sebagai Bank Sentral berhenti pada tahap memberikan penilaian dan penghentian sementara kegiatan transaksi tertentu, kemudian selanjutnya dialihkan menurut ketentuan Pasal 40 UU OJK yang menentukan:
a.       Dalam hal Bank Indonesia untuk melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya memerlukan pemeriksaan khusus terhadap bank tertentu, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan langsung terhadap bank tersebut dengan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis terlebih dahulu kepada OJK.
b.      Dalam melakukan kegiatan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia tidak dapat memberikan penilaian terhadap tingkat kesehatan bank.
c.       Laporan hasil pemeriksaan bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada OJK paling lama 1 (satu) bulan sejak diterbitkannya laporan hasil pemeriksaan.
Pengalihan kewenangan untuk menentukan tingkat kesehatan bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) di atas, tidak ditujukan kepada OJK dan OJK sekalipun juga tidak berwenang menentukan sehat atau tidaknya bank dimaksud. Berdasarkan Pasal 41 ayat (1) UU OJK, diketahui bahwa OJK hanya diberi kewenangan melakukan upaya penyehatan terhadap bank dan menginformasikannya kepada LPS mengenai bank bermasalah tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Jika OJK diberi kewenangan untuk menyehatkan bank dimaksud, maka tidak ada ubahnya peran OJK dalam konteks ini serupa dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 76 ayat (2) UU BI.
Baik BI maupun OJK sama-sama tidak berwenang menetapkan tingkat kesehatan bank yang bermasalah, akan tetapi OJK berwenang melakukan upaya penanganan pertama pada bank dimaksud. Jika tidak bisa ditangani untuk disehatkan, maka dapat dirujuk kepada ketentuan dimaksud dalam Pasal 44 tentang Protokol Koordinasi untuk dilakukan pengambilan keputusan secara musyawarah sesuai dengan penilaiannya masing-masing.
Sebagaimana kewenangan BI untuk melaksanakan tugas pengawasan terhadap bank seperti yang dijelaskan pada bab sebelumnya khususnya pada Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, dan Pasal 33 UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, tetap dilakukan oleh BI. Akan tetapi dalam hal wewenangnya melakukan pemeriksaan khusus, sesuai Pasal 40 ayat (1) UU OJK, BI menyampaikan atau memberitahukannya secara tertulis terlebih dahulu kepada OJK.
Ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU OJK menentukan: “Dalam hal Bank Indonesia untuk melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya memerlukan pemeriksaan khusus terhadap bank tertentu, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan langsung terhadap bank tersebut dengan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis terlebih dahulu kepada OJK”.
Ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU OJK ini tidak menentukan “kewajiban” kepada BI untuk menyampaikan terlebih dahulu kepada OJK melainkan ditentukan dengan redaksi “….dengan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis terlebih dahulu kepada OJK”. Dengan demikian tidak ada kewajiban BI untuk menyampaikan terlebih dahulu kepada OJK menurut ketentuan ini. Itu berarti, BI bisa sewaktu-waktu melakukan pemeriksaan tanpa harus memberitahukannya kepada  OJK.

5.      Tugas Pengaturan Otoritas Jasa Keuangan yang Berkaitan Dengan Pengawasan Bank
Pengaturan tugas yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank antara BI dan OJK dilakukan melalui koordinasi di mana OJK meminta penjelasan dari BI tentang keterangan data makro yang diperlukan sebagaimana dimaksud Pasal 34 ayat (1) UU BI, yang dalam penjelasan Pasal 34 ayat (1) berikut ini:
Lembaga pengawasan jasa keuangan yang akan dibentuk melakukan pengawasan terhadap bank dan perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat. Lembaga ini bersifat independen dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada di luar pemerintah dan berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan dan Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam melaksanakan tugasnya, lembaga ini (supervisory board) melakukan koordinasi dan kerjasama dengan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang akan diatur dalam Undang-undang pembentukan lembaga pengawasan dimaksud. Lembaga pengawasan ini dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank dengan koordinasi dengan Bank Indonesia dan meminta penjelasan dari Bank Indonesia keterangan dan data makro yang diperlukan”.
Dalam penjelasan tersebut sesungguhnya amanat Pasal 34 ayat (1) UU BI menentukan tugas OJK adalah mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan terhadap bank dengan koordinasi dengan BI. Jika yang dibicarakan dalam konteks ini, mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank, maka peran OJK tidak lain hanya sebagai dewan pengawas (supervisory board).
Amanat Pasal 34 ayat (1) UU BI jelas menentukan tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen dengan mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank. Amanat Pasal 34 ayat (1) UU BI menekankan kepada lembaga OJK untuk bertindak sebagai dewan pengawas (supervisory board), dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank yang sifatnya koordinasi dengan BI.
Namun ternyata setelah diundangkannya UU OJK sebagaimana telah dijelaskan di atas menentukan lain, yakni memberikan kewenangan luas kepada OJK untuk membuat pengaturan dan pengawasan bahkan kewenangannya dapat bertindak sebagai penyidik layaknya seperti KPK. Sebagai contoh dalam Pasal 5 dan Pasal 6 ditegaskan OJK berwenang melaksanakan pengaturan dan pengawasan, padahal diketahui sebelumnya seperti yang telah ditentukan dalam amanat Pasal 34 ayat (1) UU BI, wewenangnya adalah mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank, tetapi norma pengaturannya menentukan kewenangan OJK meliputi mengatur, mengawasi, memeriksa, dan bahkan sebagai penyidik. Amanat Pasal 34 ayat (1) UU BI bernuansa politis bukan mencerminkan aspek yuridisnya sebab amanat tersebut pada perkembangannya atau setelah diundangkannya UU OJK, ketentuan-ketentuan dalam UU OJK tampak menjadikan OJK sebagai lembaga super body bukan supervisory board.



TUGAS DAN KEWENANGAN OTORITAS JASA KEUANGAN DAN BANK INDONESIA MENURUT UNDANG-UNDANG OTORITAS

TUGAS DAN KEWENANGAN OTORITAS JASA KEUANGAN DAN BANK INDONESIA MENURUT UNDANG-UNDANG OTORITAS
JASA KEUANGAN
Oleh: Bisdan Sigalingging, SH, MH
Dosen Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa Medan Sumatera Utara

Amanat Pasal 34 ayat (1) UU BI menentukan tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen dengan mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank. Dalam penjelasannya dikemukakan bahwa lembaga tersebut berfungsi antara lain melakukan pengawasan terhadap bank…. dan seterusnya. Amanat Pasal 34 ayat (1) UU BI menekankan kepada lembaga tersebut untuk bertindak sebagai dewan pengawas (supervisory board), dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank secara berkoordinasi dengan BI.
Namun ternyata setelah diundangkannya UU OJK menentukan lain, yakni memberikan kewenangan luas kepada OJK untuk membuat pengaturan dan pengawasan bahkan kewenangannya dapat bertindak sebagai penyidik layaknya seperti KPK. Sebagai contoh dalam Pasal 5 dan Pasal 6 ditegaskan OJK berwenang melaksanakan pengaturan dan pengawasan, padahal diketahui sebelumnya seperti yang telah ditentukan dalam amanat Pasal 34 ayat (1) UU BI, wewenangnya adalah mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank, namun fakta yuridisnya menentukan kewenangan OJK meliputi mengatur, mengawasi, memeriksa, dan bahkan sebagai penyidik. Oleh sebab itu, ketentuan-ketentuan dalam UU OJK tampak menjadikan OJK sebagai lembaga super body bukan supervisory board.
1.      Tugas Pengaturan dan Pengawasan antara Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia
Ketentuan tugas pengaturan dan pengawasan yang ditentukan dalam Pasal 5 UU OJK berarti tugas mengatur dikombinasi dengan tugas mengawai, dengan kata lain OJK memiliki kewenangan kedua-duanya secara sekaligus yakni mengatur dan mengawasi. Kombinasi antara kedua tugas tersebut sebagaimana ditentukan lebih lanjut pada Pasal 6 huruf a UU OJK yang ditentukan, “OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan”. Oleh karena OJK memiliki tugas untuk melaksanakan pengaturan dan pengawasan tersebut, maka OJK diberi kewenangan untuk itu.
Wewenang adalah sesuatu yang dilimpahkan atau dari kekuasaan, hak yang dimiliki untuk mengambil keputusan, sikap atau tindakan berdasarkan tanggung jawab yang diberikan. Dengan demikian, kewenangan berarti hak bagi yang menerimanya dan tidak bisa dilakukan oleh orang lain atau lembaga lain kecuali dialihkan oleh otoritas terkait melalui surat kuasa untuk mengalihkan kewenangan tersebut atau perintah dari yang berhak kepada pihak lain untuk melakukan kewenangan dimaksud.
Kombinasi kewenangan OJK dalam melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan, dapat dilihat ketentuan Pasal 7 UU OJK, bahwa untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor Perbankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, OJK mempunyai wewenang:
  1. Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi:
a.       Perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank; dan
b.      Kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa;
  1. Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi:
1)      Likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank;
2)      Laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank;
3)      Sistem informasi debitur;
4)      Pengujian kredit (credit testing); dan
5)      Standar akuntansi bank;
  1. Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi:
1)      Manajemen risiko;
2)      Tata kelola bank;
3)      Prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan
4)      Pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; dan
5)      Pemeriksaan bank.
Selain menjadi kewenangan OJK tentang perizinan untuk pendirian bank maupun pembukaan kantor bank, juga menjadi kewenangan BI sebagaimana ditentukan pada Pasal 15 ayat (1) huruf b UU BI, yakni “melaksanakan dan memberikan persetujuan dan izin atas penyelenggaraan jasa sistem pembayaran”, kemudian ditentukan pula dalam Pasal 24 UU BI yakni “…Bank Indonesia menetapkan peraturan memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank, melaksanakan pengawasan bank dan mengenakan sanksi terhadap Bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Mengenai merger, konsolidasi, dan akusisi bank menjadi kewenangan OJK untuk membuat pengaturan dan pengawasannya, kewenangan ini juga menjadi kewenangan BI sebagaimana ditentukan dalam Pasal 25 ayat (2) huruf e UU BI pada penjelasannya disebutkan salah satu pokok ketentuan yang akan ditetapkan dalam PBI adalah merger, konsolidasi, dan akuisisi bank. Pencabutan izin usaha bank yang menjadi kewenangan OJK juga menjadi kewenangan BI untuk mengatur dan mengawasi sebagaimana pada penjelasan Pasal 25 ayat (2) huruf j UU BI, ditentukan pencabutan izin usaha, likuidasi, dan pembubaran bentuk hukum bank juga menjadi kewenangan BI.
Mengenai kewenangan OJK tentang pengaturan dan pengawasan yang berkaitan dengan kesehatan bank sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 UU OJK, tidak ditentukan sebagai kewenagan BI dalam Pasal 24 sampai dengan Pasal 33 UU BI akan tetapi mengenai pengaturan dan pengawasan kesehatan bank menjadi wewenang BI dalam rangka menetapkan dan melaksanakan kebijakan monter sebagaimana yang dijelaskan dalam penjelasan Pasal 11 ayat (3) UU BI. Hal ini berarti BI juga dapat bertindak untuk membuat pengaturan dan pengawasan terhadap bank jika menyangkut pelaksanaan kebijakan moneter. 
Kewenangan OJK untuk membuat pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi sebagaimana yang ditentukan pada Pasal 7 UU BI juga menjadi kewenangan BI sebagaimana ditentukan dalam Pasal 25 ayat (1) UU BI bahwa, “Dalam rangka melaksanakan tugas mengatur bank, Bank Indonesia berwenang menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian”.
Berdasarkan kesamaan kewenangan antara BI dan OJK sebagaimana ditentukan di atas, merupakan kombinasi kewenangan tugas mengatur dan mengawasi antara BI dan OJK. Oleh sebab itu, dalam rangka menjalankan tugas dan kewenangan mengatur dan mengawasi bank sebagaimana dimaksud di atas, dilakukan kedua lembaga ini melalui koordinasi yang terintegrasi. Jika tidak dilakukan melalui koordinasi yang terintegrasi, niscaya sinergi pembuatan pengaturan dan pengawasan bank antara BI dan OJK tidak akan sinkron artinya pada suatu waktu bisa menimbulkan ketidaksesuaian substansi dalam pengaturan dan menimbulkan benturan kepentingan dalam rangka pengawasan terhadap bank.
2.      Tugas Pengaturan Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia
Dalam UU OJK terdapat ketentuan yang menentukan secara khusus tentang kewenangan OJK yang berkaitan dengan tugas mengatur bank yakni terdapat pada Pasal 8 UU OJK. Akan tetapi ketentuan ini dipandang tidak konsisten menentukan tugas OJK sebagai pembuat peraturan sebab aspek yang ditentukan dalam Pasal 8 UU OJK adalah “Untuk melaksanakan tugas pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang”. Sedangkan yang dimaksud dalam Pasal 6 UU OJK itu adalah kombinasi antara pengaturan dan pengawasan terhadap bank. Selengkapnya ketentuan Pasal 8 UU OJK menentukan sebagai berikut:
Untuk melaksanakan tugas pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang:
a.       Menetapkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini;
b.      Menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
c.       Menetapkan peraturan dan keputusan OJK;
d.      Menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan;
e.       Menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK;
f.       Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu;
g.      Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada Lembaga Jasa Keuangan;
h.      Menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan
i.        Menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
Persoalannya adalah, jika yang dimaksud dalam Pasal 8 UU OJK adalah tugas pengaturan, mengapa disebutkan dalam redaksinya “…..sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, …….”. Sedangkan yang dimaksud dalam Pasal 6 UU OJK itu adalah kombinasi antara pengaturan dan pengawasan terhadap bank. Hal ini berarti Pasal 8 UU OJK juga mengkombinasi kewenangan pengaturan dan pengwasan OJK terhadap bank, berarti sama saja dengan ketentuan dalam Pasal 7 UU OJK tentang kewenangan pengaturan dan pengawasan.
Jika dianalisa pasal-pasal dalam UU OJK secara keseluruhan, tidak ada satupun pasal yang mengamanatkan pembentukan Peraturan Pemerintah yang dibuat oleh pemerintah dalam arti luas. Akan tetapi dalam ketentuan Pasal 37 ayat (6) UU OJK di bagian penjelasannya dijelaskan bahwa yang menyiapkan rancangan Peraturan Pemerintah memuat antara lain: tata cara penetapan, jenis, besaran, waktu penagihan dan pembayaran pungutan, dan sanksi denda adalah OJK itu sendiri. Demikian pula halnya dalam UU BI tidak ada satupun pasal yang mengamanatkan kepada BI untuk membuat Peraturan Pemerintah, melainkan BI diberikan amanat oleh undang-undang untuk membuat PBI. Hal ini berarti dalam rangka menjalankan kewenangan tugas mengatur, BI dan OJK berwenang membuat peraturan pelaksananya bukan pemerintah dalam arti luas.
3.      Tugas Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia
Dalam UU OJK terdapat ketentuan yang menentukan secara khusus tentang kewenangan OJK yang berkaitan dengan tugas pengawasan terhadap bank yakni terdapat pada Pasal 9 UU OJK. Ketentuan ini juga dipandang tidak konsisten menentukan tugas OJK untuk pengawasan bank sebab aspek yang ditentukan dalam Pasal 9 UU OJK adalah “Untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang”. Pasal 9 UU OJK ini juga menentukan “….sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, …” yang berarti adalah kombinasi antara pengaturan dan pengawasan terhadap bank. Selengkapnya ketentuan Pasal 9 UU OJK menentukan sebagai berikut:
Untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang:
a.       Menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan;
b.      Mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh kepala eksekutif;
c.       Melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan konsumen, dan tindakan lain terhadap lembaga jasa keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
d.      Memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan dan/atau pihak tertentu;
e.       Melakukan penunjukan pengelola statuter;
f.       Menetapkan penggunaan pengelola statuter;
g.      Menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan
h.      Memberikan dan/atau mencabut:
1)      Izin usaha;
2)      Izin orang perseorangan;
3)      Efektifnya pernyataan pendaftaran;
4)      Surat tanda terdaftar;
5)      Persetujuan melakukan kegiatan usaha;
6)      Pengesahan;
7)      Persetujuan atau penetapan pembubaran; dan
8)      Penetapan lain,
sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
Aspek yang dikritik dalam hal ini tepatnya berada pada bagian pengantar Pasal 9 dan juga Pasal 8 UU OJK bahwa ketentuan ini tidak konsisten menentukan mana yang menjadi tugas mengawasi, mana tugas mengatur serta mana tugas mengawasi dan mengatur. Jika yang ingin dimaksud oleh pembuat undang-undang dalam Pasal 9 UU OJK adalah tugas pengawasan, mengapa mesti disebutkan lagi dengan redaksi “…..sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, …….”. Sedangkan yang dimaksud dalam Pasal 6 UU OJK itu adalah kombinasi antara pengaturan dan pengawasan terhadap bank. Hal ini berarti Pasal 9 UU OJK juga mengkombinasi kewenangan pengaturan dan pengwasan OJK terhadap bank, seperti dalam Pasal 7 UU OJK tentang kewenangan pengaturan dan pengawasan.
Jika dibaca sepintas lalu maksud ketentuan Pasal 9 UU OJK adalah menentukan kewenangan OJK yang berkaitan dengan pengawasan. Akan tetapi karena digunakan redaksi “…..sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, …….”, sehingga tampak ketentuannya benar-benar tidak konsisten sebab Pasal 9 UU OJK juga merupakan kombinasi kewenangan OJK untuk mengatur dan mengawasi bank.
Jika maksud pembuat undang-undang untuk menentukan kewenangan OJK untuk mengawasi dalam ketentuan ini, maka seharusnya redaksi yang digunakan di bagian pengantar Pasal 6 UU OJK adalah:
”OJK melaksanakan tugas pengaturan, pengawasan, pengaturan dan pengawasan terhadap:
a.       Kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;
b.      Kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan
c.       Kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.”
Sehingga dengan redaksi yang demikian di atas, akan tampak dengan jelas bidang-bidang apa saja yang menjadi kewenangan OJK untuk pengaturan, bidang apa saja yang menjadi kewenangan OJK untuk pengawasan, serta bidang apa saja yang menjadi kewenangan OJK untuk pengaturan dan pengawasan. Jika UU OJK khususnya Pasal 6 tetap menggunakan redaksi “….pengaturan dan pengawasan…” saja, maka ketentuan ini jelas bisa membuka peluang besar kepada lembaga OJK untuk masuk pada semua aspek dan termasuk hal-hal yang bersifat khusus yang seharusnya hal itu menjadi kewenangan BI. Selanjutnya dengan menggunakan redaksi “….pengaturan dan pengawasan…” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UU OJK tersebut, jelas-jelas DPR ingin menjadikan OJK adalah lembaga super body bukan dewan pengawas (supervisory board) sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 34 ayat (1) UU BI.

4.      Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia Tentang Penilaian Terhadap Kesehatan Bank
Berkaitan dengan tugas pengawasan BI khususnya masalah penilaian kesehatan terhadap bank yang bermasalah. Misalnya ketentuan dalam Pasal 31 UU No.23 Tahun 1999, yang menentukan:
a.       Bank Indonesia dapat memerintahkan bank untuk menghentikan sementara sebagian atau seluruh kegiatan transaksi tertentu apabila menurut penilaian Bank Indonesia terhadap suatu transaksi patut diduga merupakan tindak pidana di bidang perbankan.
b.      Berdasarkan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia wajib mengirim tim pemeriksa untuk meneliti kebenaran atas dugaan tersebut.
c.       Apabila dari hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diperoleh bukti yang cukup, Bank Indonesia pada hari itu juga mencabut perintah penghentian transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Selanjutnya, berkaitan dengan penilaian BI terhadap bank, juga ditentukan dalam Pasal 33 UU No.23 Tahun 1999, sebagai berikut:
Dalam hal keadaan suatu menurut penilaian Bank Indonesia membahayakan kelangsungan usaha bank yang bersangkutan dan atau membahayakan sistem perbankan atau terjadi kesulitan perbankan yang membahayakan perekonomian nasional, Bank Indonesia dapat melakukan tindakan sebagimana diatur dalam undang-undang tentang perbankan yang berlaku.
Makna dari ketentuan Pasal 31 UU No.21 Tahun 1999 tersebut, sesungguhnya BI berwenang memberikan penilaian terhadap bank yang melakukan transaksi yang patut diduga merupakan tindak pidana di bidang perbankan, bahkan BI berwenang dapat memerintahkan bank untuk menghentikan sementara sebagian atau seluruh kegiatan transaksi tertentu menurut penilaiannya.
Melalui penilaian BI juga berpeluang untuk menghentikan sementara atau seluruh kegiatan transaksi bank terkait dengan temuan-temuan yang membahayakan kelangsungan usaha bank yang bersangkutan dan atau membahayakan sistem perbankan atau terjadi kesulitan perbankan yang membahayakan perekonomian nasional (vide: Pasal 33 UU No.23 Tahun 1999).
Berdasarkan ketentuan Pasal 31 dan Pasal 33 UU No.23 Tahun 1999 tersebut di atas, menentukan kewenangan BI hanya sampai sebatas memberikan penilaian terhadap bank dan menghentikan sementara kegiatan transaksi tertentu. Untuk melakukan tindakan selanjutnya, BI tidak berwenang menentukan sehat atau tidak sehatnya bank dimaksud tersebut. Sebab kewenangan BI sebagai Bank Sentral berhenti pada tahap memberikan penilaian dan penghentian sementara kegiatan transaksi tertentu, kemudian selanjutnya dialihkan menurut ketentuan Pasal 40 UU OJK yang menentukan:
a.       Dalam hal Bank Indonesia untuk melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya memerlukan pemeriksaan khusus terhadap bank tertentu, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan langsung terhadap bank tersebut dengan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis terlebih dahulu kepada OJK.
b.      Dalam melakukan kegiatan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia tidak dapat memberikan penilaian terhadap tingkat kesehatan bank.
c.       Laporan hasil pemeriksaan bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada OJK paling lama 1 (satu) bulan sejak diterbitkannya laporan hasil pemeriksaan.
Pengalihan kewenangan untuk menentukan tingkat kesehatan bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) di atas, tidak ditujukan kepada OJK dan OJK sekalipun juga tidak berwenang menentukan sehat atau tidaknya bank dimaksud. Berdasarkan Pasal 41 ayat (1) UU OJK, diketahui bahwa OJK hanya diberi kewenangan melakukan upaya penyehatan terhadap bank dan menginformasikannya kepada LPS mengenai bank bermasalah tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Jika OJK diberi kewenangan untuk menyehatkan bank dimaksud, maka tidak ada ubahnya peran OJK dalam konteks ini serupa dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 76 ayat (2) UU BI.
Baik BI maupun OJK sama-sama tidak berwenang menetapkan tingkat kesehatan bank yang bermasalah, akan tetapi OJK berwenang melakukan upaya penanganan pertama pada bank dimaksud. Jika tidak bisa ditangani untuk disehatkan, maka dapat dirujuk kepada ketentuan dimaksud dalam Pasal 44 tentang Protokol Koordinasi untuk dilakukan pengambilan keputusan secara musyawarah sesuai dengan penilaiannya masing-masing.
Sebagaimana kewenangan BI untuk melaksanakan tugas pengawasan terhadap bank seperti yang dijelaskan pada bab sebelumnya khususnya pada Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, dan Pasal 33 UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, tetap dilakukan oleh BI. Akan tetapi dalam hal wewenangnya melakukan pemeriksaan khusus, sesuai Pasal 40 ayat (1) UU OJK, BI menyampaikan atau memberitahukannya secara tertulis terlebih dahulu kepada OJK.
Ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU OJK menentukan: “Dalam hal Bank Indonesia untuk melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya memerlukan pemeriksaan khusus terhadap bank tertentu, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan langsung terhadap bank tersebut dengan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis terlebih dahulu kepada OJK”.
Ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU OJK ini tidak menentukan “kewajiban” kepada BI untuk menyampaikan terlebih dahulu kepada OJK melainkan ditentukan dengan redaksi “….dengan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis terlebih dahulu kepada OJK”. Dengan demikian tidak ada kewajiban BI untuk menyampaikan terlebih dahulu kepada OJK menurut ketentuan ini. Itu berarti, BI bisa sewaktu-waktu melakukan pemeriksaan tanpa harus memberitahukannya kepada  OJK.

5.      Tugas Pengaturan Otoritas Jasa Keuangan yang Berkaitan Dengan Pengawasan Bank
Pengaturan tugas yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank antara BI dan OJK dilakukan melalui koordinasi di mana OJK meminta penjelasan dari BI tentang keterangan data makro yang diperlukan sebagaimana dimaksud Pasal 34 ayat (1) UU BI, yang dalam penjelasan Pasal 34 ayat (1) berikut ini:
Lembaga pengawasan jasa keuangan yang akan dibentuk melakukan pengawasan terhadap bank dan perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat. Lembaga ini bersifat independen dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada di luar pemerintah dan berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan dan Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam melaksanakan tugasnya, lembaga ini (supervisory board) melakukan koordinasi dan kerjasama dengan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang akan diatur dalam Undang-undang pembentukan lembaga pengawasan dimaksud. Lembaga pengawasan ini dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank dengan koordinasi dengan Bank Indonesia dan meminta penjelasan dari Bank Indonesia keterangan dan data makro yang diperlukan”.
Dalam penjelasan tersebut sesungguhnya amanat Pasal 34 ayat (1) UU BI menentukan tugas OJK adalah mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan terhadap bank dengan koordinasi dengan BI. Jika yang dibicarakan dalam konteks ini, mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank, maka peran OJK tidak lain hanya sebagai dewan pengawas (supervisory board).
Amanat Pasal 34 ayat (1) UU BI jelas menentukan tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen dengan mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank. Amanat Pasal 34 ayat (1) UU BI menekankan kepada lembaga OJK untuk bertindak sebagai dewan pengawas (supervisory board), dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank yang sifatnya koordinasi dengan BI.
Namun ternyata setelah diundangkannya UU OJK sebagaimana telah dijelaskan di atas menentukan lain, yakni memberikan kewenangan luas kepada OJK untuk membuat pengaturan dan pengawasan bahkan kewenangannya dapat bertindak sebagai penyidik layaknya seperti KPK. Sebagai contoh dalam Pasal 5 dan Pasal 6 ditegaskan OJK berwenang melaksanakan pengaturan dan pengawasan, padahal diketahui sebelumnya seperti yang telah ditentukan dalam amanat Pasal 34 ayat (1) UU BI, wewenangnya adalah mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank, tetapi norma pengaturannya menentukan kewenangan OJK meliputi mengatur, mengawasi, memeriksa, dan bahkan sebagai penyidik. Amanat Pasal 34 ayat (1) UU BI bernuansa politis bukan mencerminkan aspek yuridisnya sebab amanat tersebut pada perkembangannya atau setelah diundangkannya UU OJK, ketentuan-ketentuan dalam UU OJK tampak menjadikan OJK sebagai lembaga super body bukan supervisory board.



Hubungan Koordinasi Antara Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Dengan Gubernur Bank Indonesia

Hubungan Koordinasi Antara Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Dengan Gubernur Bank Indonesia
Oleh: Bisdan Sigalingging, SH, MH
Dosen Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa Medan Sumatera Utara

Berangkat dari penjelasan dalam paragraf 10 UU OJK yang menjelaskan sebagai berikut:
Secara kelembagaan, Otoritas Jasa Keuangan berada di luar Pemerintah, yang dimaknai bahwa Otoritas Jasa Keuangan tidak menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah. Namun, tidak menutup kemungkinan adanya unsur-unsur perwakilan Pemerintah karena pada hakikatnya Otoritas Jasa Keuangan merupakan otoritas di sektor jasa keuangan yang memiliki relasi dan keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain, dalam hal ini otoritas fiskal dan moneter. Oleh karena itu, lembaga ini melibatkan keterwakilan unsur-unsur dari kedua otoritas tersebut secara Ex-officio. Keberadaan Ex-officio ini dimaksudkan dalam rangka koordinasi, kerjasama, dan harmonisasi kebijakan di bidang fiskal, moneter, dan sektor jasa keuangan. Keberadaan Ex-officio juga diperlukan guna memastikan terpeliharanya kepentingan nasional dalam rangka persaingan global dan kesepakatan internasional, kebutuhan koordinasi, dan pertukaran informasi dalam rangka menjaga dan memelihara stabilitas sistem keuangan.
Berdasarkan penjelasan di atas, tampaknya persoalan di institusi publik tidak terlepas dari apa yang telah pernah dituliskan oleh Zulkarnain Sitompul dalam bukunya yang berjudul “Problematika Perbankan” yang mengatakan, ”Masalah utama yang dihadapi industri keuangan khususnya perbankan saat ini adalah lemahnya penerapan Good Corporate Governance (GCG)”. Menurutnya masalah GCG tidak akan selesai dengan beralihnya kewenangan pengawasan. Bahkan diilustrasikannya masalah itu pada siapa yang lebih tepat mengawasi industri perbankan adalah soal sepele, semudah memilih ”teh sosro” atau ”teh kita”, tergantung selera.
Makna yang dapat dipetik dari tulisan tersebut adalah adanya kesamaan tugas dan fungsi dari dua lembaga berbeda pada satu sektor misalnya pada sektor perbankan. Sehingga, jika terjadi masalah pada suatu ketika dalam penanganan perbankan, maka untuk menentukan lembaga mana yang berwenang, dikhawatirkan akan ditentukan oleh selera masing-masing lembaga, apalagi dengan masuknya Ex-Officio dari Kemenkeu cq Pemerintahan. Kondisi pengaturan seperti ini berpotensi menimbulkan hubungan yang memihak pada pemerintah.
Hubungan koordinasi yang baik (tanda kitup “_”) dan terpuji antara DK OJK dengan Dewan Gubernur BI baik di dalam maupun di luar FKSSK adalah kunci utama. Dalam melaksanakan tugasnya, misalnya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 39 UU OJK, mengamanatkan OJK berkoordinasi dengan BI dalam membuat peraturan pengawasan di bidang Perbankan antara lain:
1.      Kewajiban pemenuhan modal minimum bank;
2.      Sistem informasi perbankan yang terpadu;
3.      Kebijakan penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan dana valuta asing, dan pinjaman komersial luar negeri;
4.      Produk perbankan, transaksi derivatif, kegiatan usaha bank lainnya;
5.      Penentuan institusi bank yang masuk kategori systemically important bank; dan
6.      Data lain yang dikecualikan dari ketentuan tentang kerahasiaan informasi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 39 UU OJK tersebut di atas, diketahui bahwa BI tidak bisa secara sendirian sesuai seleranya untuk membuat pengaturan menyangkut keenam aspek tersebut demikian pula OJK, akan tetapi harus melalui koordinasi dan kerjasama antara BI dan OJK, demikian pula menyangkut masalaha peangawasan bank terkait dengan keenam aspek tersebut harus berkoordinasi secara bersama-sama. Namun sejak diundangkannya UU No.21 Tahun 2011 tentang OJK ini hingga kini belum ada format baku yang menentukan petunjuk teknis pelaksanaan kerjasama dimaksud.
BI melakukan pemeriksaan terhadap bank, baik secara berkala maupun setiap waktu jika diperlukan. Pemeriksaan dapat dilakukan terhadap perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait, pihak terafiliasi dan debitur bank. Bagi bank dan pihak-pihak yang diperiksa, wajib memberikan informasi kepada BI tentang: keterangan dan data yang diminta; kesempatan untuk melihat semua pembukuan, dokumen dan sarana fisik yang berkaitan dengan kegiatan usahanya; dan hal-hal lain yang diperlukan (vide Pasal 29 UU BI).
BI dapat melakukan pemeriksaan langsung terhadap bank dengan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis terlebih dahulu kepada OJK (vide Pasal 40 ayat (1) UU OJK). Pelaksanaan langsung ini BI melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya untuk melakukan pemeriksaan khusus terhadap bank tertentu. Dalam melakukan kegiatan pemeriksaan tersebut, BI tidak dapat memberikan penilaian terhadap tingkat kesehatan bank (vide Pasal 40 ayat (2) UU OJK). Laporan hasil pemeriksaan bank oleh BI disampaikan kepada OJK paling lama 1 (satu) bulan sejak diterbitkannya laporan hasil pemeriksaan tersebut (vide Pasal 40 ayat (3) UU OJK).
Selanjutnya OJK menginformasikan kepada LPS mengenai bank bermasalah yang sedang dalam upaya penyehatan oleh OJK. Dalam hal OJK mengindikasikan bank tertentu mengalami kesulitan likuiditas dan/atau kondisi kesehatan semakin memburuk, OJK segera menginformasikan ke BI untuk melakukan langkah-langkah sesuai dengan kewenangan BI (vide Pasal 41 UU OJK). Demikian pula bagi LPS dapat melakukan pemeriksaan terhadap bank yang terkait dengan fungsi, tugas dan wewenangnya, serta berkoordinasi terlebih dahulu dengan OJK (vide Pasal 42 UU OJK).
Hubungan koordinasi antara BI dan OJK termasuk LPS dalam menentukan penilaian terhadap bank dan melakukan penyehatan terhadap bank bermasalah yang sedang diperiksa tersebut, ditentukan dalam Pasal 34 UU OJK, bahwa BI, OJK, dan LPS wajib membangun dan memelihara sarana pertukaran informasi secara terintegrasi. Berdasarkan ketentuan Pasal 43 UU OJK ini jelas ditegaskan untuk ketiga lembaga ini kewajiban untuk melakukan koordinasi dan kerjasama secara terintegrasi.
Terintegrasi maksudnya di sini adalah bahwa sistem pengawasan dibangun oleh OJK, BI, dan LPS saling terhubung satu sama lain, sehingga setiap institusi dapat saling bertukar informasi dan mengakses informasi perbankan yang dibutuhkan setiap saat (timely basis). Informasi tersebut meliputi informasi umum dan khusus tentang bank, laporan keuangan bank, laporan hasil pemeriksaan bank yang dilakukan oleh BI, LPS, atau oleh OJK, dan informasi lain dengan tetap menjaga dan mempertimbangkan kerahasiaan informasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sistem pengawasan keuangan yang terintegrasi yaitu semua lembaga keuangan diawasi oleh lembaga pengawasan yang tunggal dengan cakupan pengawasan yang luas baik untuk aspek mikroprudensial, makroprudensial dan praktek bisnisnya. Konsep ini diterapkan di Inggris, Australia dan Belanda. Model pengawasan demikian inilah yang sedang digagas dengan OJK. Masing-masing lembaga harus twin peak yaitu sistem pengawasan berbasis pada tujuan dimana ada pemisahan antara fungsi supervisi safety dan soundness di satu sisi dengan fungsi pada praktek bisnis.
Hubungan koordinasi antara OJK dan BI juga ditentukan dalam Protokol Koordinasi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 44, Pasal 45, dan Pasal 46 UU OJK. Dalam Protokol Koordinasi ini sebagai wadah untuk mempertemukan antara Kemenkeu, BI, OJK, dan LPS dalam satu forum koordinasi yang disebut dengan Forum Koordinasi Stabilitas Sistim Keuangan (FKSSK). Koordinasi dalam forum ini dilakukan jika tidak memungkinkan untuk penanganan masalah perbankan oleh OJK terkait dengan penyelesaian dan penanganan suatu bank gagal yang ditengarai berdampak sistemik.
Namun ketentuan mengenai Protokol Koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, Pasal 45, dan Pasal 46 hanya berlaku sampai dengan diundangkannya undang-undang mengenai Jaring Pengaman Sistem Keuangan (saat ini masih dalam RUU JPSK). Sehingga wadah FKSSK ini diperlukan tidak bersifat permanen sebab ditentukan dalam Pasal 69 ayat (4) UU OJK hanya bersifat sementara menunggu diundangkannya UU JPSK.
FKSSK dibentuk untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, dengan anggota terdiri atas:
1.      Menteri Keuangan selaku anggota merangkap koordinator;
2.      Gubernur Bank Indonesia selaku anggota;
3.      Ketua Dewan Komisioner OJK selaku anggota; dan
4.      Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan selaku anggota.
FKSSK dibantu kesekretariatan yang dipimpin salah seorang pejabat eselon I di Kemenkeu. Pengambilan keputusan dalam rapat FKSSK berdasarkan musyawarah untuk mufakat, jika tidak tercapai maka pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak atau voting (vide Pasal 44 UU OJK). Dalam kondisi normal (belum terjadi krisis pada sistim keuangan), maka FKSSK:
  1. Wajib melakukan pemantauan dan evaluasi stabilitas sistem keuangan;
  2. Melakukan rapat paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan;
  3. Membuat rekomendasi kepada setiap anggota untuk melakukan tindakan dan/atau membuat kebijakan dalam rangka memelihara stabilitas sistem keuangan; dan
  4. Melakukan pertukaran informasi.
Menurut Pasal 45 ayat (2) UU OJK, dalam kondisi tidak normal (telah terjadi krisis pada sistim keuangan), maka untuk pencegahan dan penanganan krisis, Menteri Keuangan, Gubernur BI, Ketua DK OJK, dan/atau Ketua DK LPS yang mengindikasikan adanya potensi krisis atau telah terjadi krisis pada sistem keuangan, masing-masing dapat mengajukan ke FKSSK untuk segera dilakukan rapat guna memutuskan langkah-langkah pencegahan atau penanganan krisis.
Berdasarkan ketentuan Pasal 45 ayat (2) UU OJK diketahui bahwa diupayakannya penanganan bank melalui FKSSK jika telah terjadi krisis pada sistem keuangan yakni suatu kondisi dimana sistem keuangan gagal menjalankan fungsi dan perannya secara efektif dalam perekonomian nasional yang ditunjukkan dengan memburuknya berbagai indikator ekonomi dan keuangan antara lain berupa kesulitan likuiditas, masalah solvabilitas, dan/atau penurunan kepercayaan publik terhadap sistem keuangan.
Oleh sebab itu, Menteri Keuangan, Gubernur BI, Ketua DK OJK, dan Ketua DK LPS berwenang mengambil dan melaksanakan keputusan untuk dan atas nama institusi yang diwakilinya dalam rangka pengambilan keputusan FKSSK (vide Pasal 45 ayat (3) UU OJK). Melalui koordinasi dalam FKSSK ditetapkan dan dilaksanakan kebijakan yang diperlukan dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis pada sistem keuangan sesuai dengan kewenangan masing-masing (vide Pasal 45 ayat (4) UU OJK) dan keputusan FKSSK terkait dengan penyelesaian dan penanganan suatu bank gagal yakni suatu kondisi bank yang mengalami kesulitan keuangan dan membahayakan kelangsungan usahanya serta dinyatakan tidak dapat lagi disehatkan oleh OJK sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya, dan keputusan FKSSK ini mengikat LPS.
Kebijakan FKSSK terkait dengan keuangan negara wajib diajukan untuk mendapat persetujuan DPR. Keputusan DPR tersebut wajib ditetapkan dalam waktu paling lama 24 (dua puluh empat) jam sejak pengajuan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima oleh DPR (vide Pasal 46 UU OJK). Berdasarkan ketentuan ini, diketahui bahwa dalam hubungannya dengan DPR, kebijakan penaganan oleh FKSSK terhadap bank yang bermasalah untuk pengucuran dana dari pemerintah wajib melalui keputusan DPR paling lama 1 x 24 jam.
Sekedar mengingatkan kembali permasalahan di sektor jasa keuangan khususnya perbankan pada masa krisis di tahun 1998 dan kasus yang dihadapi Bank Century bisa dikatakan persoalannya menyangkut masalah moral hazard, perlindungan nasabah/konsumen, dan koordinasi lintas sektoral. Namun, perlu pula diamati bahwa di samping sistem hukum sebagai penyebab krisis, dapat juga disebabkan timbulnya penurunan dalam disiplin pasar (market dicipline) atau moral hazard (sikap aji mumpung) di berbagai sektor ekonomi dan politik bahkan permasalahan moral hazard itu sudah cukup luas dan mendalam. Pembuatan sistem hukum yang efektif ditujukan pula untuk mengurangi moral hazard sekaligus untuk mengatasi krisis ekonomi. Perlindungan terhadap nasabah/konsumen dilakukan misalnya melalui penerapan prinsip kehati-hatian dalam mengelola sistem perbankan.
Oleh sebab itu, melalui koordinasi yang dibangun rezim OJK diharapkan dapat meminimalisir berbagai risiko yang mungkin timbul melalui mengatur dan mengawasi kegiatan sektor perbankan, sekurang-kurangnya mengingatkan perlunya penanganan risiko secara seksama, bahkan jika perlu melarang bank melakukan kegiatan tertentu yang cenderung mengundang risiko tinggi, agar tujuan perbankan nasional baik secara individal maupun keseluruhan menjadi sehat dan aman serta dapat memelihara kepercayaan masyarakat akan tercipta perbankan nasional yang sehat dimaksud.
Dalam ketentuan UU OJK yang mengamanatkan FKSSK tercantum dalam salah satu pokok pikiran yakni ”hubungan kelembagaan” yang berarti harus dibangun melalui koordinasi yang baik antar lembaga. Koordinasi dalam hubungan kelembagaan merupakan kunci utama untuk menciptakan perbankan nasional yang sehat dan aman. Tetapi disadari atau tidak, koordinasi merupakan barang mewah di negeri ini. Walaupun demikian, setidaknya melalui koordinasi dapat meminimalisir kendala-kendala yang membuat terhambatnya sistem perbankan. Apalagi koordinasi antar lembaga di negeri ini, meski sudah dirasakan membaik masih lebih banyak yang merupakan mimpi.
Melalui koordinasi dapat membawa dampak yang baik, pencitraan terhadap profil lembaga, jika orang-orang yang terikat didalamnya mampu menjalankan tugas dan tanggung jawabnya secara arif, bijak, dan profesional. Demikian sebaliknya, koordinasi justru akan memperburuk suatu lembaga jika para pengemban tugas dan tanggung jawab itu berperilaku cenderung mengabaikan hukum, etika, dan moral. Persoalan koordinasi mudah untuk diucapkan tetapi sulit untuk diterapkan. Melalui koordinasi dapat merusak citra lembaga-lembaga dan melalui koordinasi juga dapat mencapai tujuan yang hakiki.
Dalam melaksanakan tugasnya, lembaga OJK melakukan koordinasi dan bekerjasama dengan BI mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank, koordinasi juga dalam hal meminta penjelasan atau keterangan dari BI tentang data mikro dan makro yang diperlukan. Sedangkan BI tetap melakukan tugas dan fungsinya sesuai dengan UU BI secara independen dalam koridor-koridor tertentu dan tidak bertentangan dengan UU OJK.