Kamis, 28 Maret 2013

Hubungan Koordinasi Antara Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Dengan Gubernur Bank Indonesia

Hubungan Koordinasi Antara Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Dengan Gubernur Bank Indonesia
Oleh: Bisdan Sigalingging, SH, MH
Dosen Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa Medan Sumatera Utara

Berangkat dari penjelasan dalam paragraf 10 UU OJK yang menjelaskan sebagai berikut:
Secara kelembagaan, Otoritas Jasa Keuangan berada di luar Pemerintah, yang dimaknai bahwa Otoritas Jasa Keuangan tidak menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah. Namun, tidak menutup kemungkinan adanya unsur-unsur perwakilan Pemerintah karena pada hakikatnya Otoritas Jasa Keuangan merupakan otoritas di sektor jasa keuangan yang memiliki relasi dan keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain, dalam hal ini otoritas fiskal dan moneter. Oleh karena itu, lembaga ini melibatkan keterwakilan unsur-unsur dari kedua otoritas tersebut secara Ex-officio. Keberadaan Ex-officio ini dimaksudkan dalam rangka koordinasi, kerjasama, dan harmonisasi kebijakan di bidang fiskal, moneter, dan sektor jasa keuangan. Keberadaan Ex-officio juga diperlukan guna memastikan terpeliharanya kepentingan nasional dalam rangka persaingan global dan kesepakatan internasional, kebutuhan koordinasi, dan pertukaran informasi dalam rangka menjaga dan memelihara stabilitas sistem keuangan.
Berdasarkan penjelasan di atas, tampaknya persoalan di institusi publik tidak terlepas dari apa yang telah pernah dituliskan oleh Zulkarnain Sitompul dalam bukunya yang berjudul “Problematika Perbankan” yang mengatakan, ”Masalah utama yang dihadapi industri keuangan khususnya perbankan saat ini adalah lemahnya penerapan Good Corporate Governance (GCG)”. Menurutnya masalah GCG tidak akan selesai dengan beralihnya kewenangan pengawasan. Bahkan diilustrasikannya masalah itu pada siapa yang lebih tepat mengawasi industri perbankan adalah soal sepele, semudah memilih ”teh sosro” atau ”teh kita”, tergantung selera.
Makna yang dapat dipetik dari tulisan tersebut adalah adanya kesamaan tugas dan fungsi dari dua lembaga berbeda pada satu sektor misalnya pada sektor perbankan. Sehingga, jika terjadi masalah pada suatu ketika dalam penanganan perbankan, maka untuk menentukan lembaga mana yang berwenang, dikhawatirkan akan ditentukan oleh selera masing-masing lembaga, apalagi dengan masuknya Ex-Officio dari Kemenkeu cq Pemerintahan. Kondisi pengaturan seperti ini berpotensi menimbulkan hubungan yang memihak pada pemerintah.
Hubungan koordinasi yang baik (tanda kitup “_”) dan terpuji antara DK OJK dengan Dewan Gubernur BI baik di dalam maupun di luar FKSSK adalah kunci utama. Dalam melaksanakan tugasnya, misalnya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 39 UU OJK, mengamanatkan OJK berkoordinasi dengan BI dalam membuat peraturan pengawasan di bidang Perbankan antara lain:
1.      Kewajiban pemenuhan modal minimum bank;
2.      Sistem informasi perbankan yang terpadu;
3.      Kebijakan penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan dana valuta asing, dan pinjaman komersial luar negeri;
4.      Produk perbankan, transaksi derivatif, kegiatan usaha bank lainnya;
5.      Penentuan institusi bank yang masuk kategori systemically important bank; dan
6.      Data lain yang dikecualikan dari ketentuan tentang kerahasiaan informasi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 39 UU OJK tersebut di atas, diketahui bahwa BI tidak bisa secara sendirian sesuai seleranya untuk membuat pengaturan menyangkut keenam aspek tersebut demikian pula OJK, akan tetapi harus melalui koordinasi dan kerjasama antara BI dan OJK, demikian pula menyangkut masalaha peangawasan bank terkait dengan keenam aspek tersebut harus berkoordinasi secara bersama-sama. Namun sejak diundangkannya UU No.21 Tahun 2011 tentang OJK ini hingga kini belum ada format baku yang menentukan petunjuk teknis pelaksanaan kerjasama dimaksud.
BI melakukan pemeriksaan terhadap bank, baik secara berkala maupun setiap waktu jika diperlukan. Pemeriksaan dapat dilakukan terhadap perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait, pihak terafiliasi dan debitur bank. Bagi bank dan pihak-pihak yang diperiksa, wajib memberikan informasi kepada BI tentang: keterangan dan data yang diminta; kesempatan untuk melihat semua pembukuan, dokumen dan sarana fisik yang berkaitan dengan kegiatan usahanya; dan hal-hal lain yang diperlukan (vide Pasal 29 UU BI).
BI dapat melakukan pemeriksaan langsung terhadap bank dengan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis terlebih dahulu kepada OJK (vide Pasal 40 ayat (1) UU OJK). Pelaksanaan langsung ini BI melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya untuk melakukan pemeriksaan khusus terhadap bank tertentu. Dalam melakukan kegiatan pemeriksaan tersebut, BI tidak dapat memberikan penilaian terhadap tingkat kesehatan bank (vide Pasal 40 ayat (2) UU OJK). Laporan hasil pemeriksaan bank oleh BI disampaikan kepada OJK paling lama 1 (satu) bulan sejak diterbitkannya laporan hasil pemeriksaan tersebut (vide Pasal 40 ayat (3) UU OJK).
Selanjutnya OJK menginformasikan kepada LPS mengenai bank bermasalah yang sedang dalam upaya penyehatan oleh OJK. Dalam hal OJK mengindikasikan bank tertentu mengalami kesulitan likuiditas dan/atau kondisi kesehatan semakin memburuk, OJK segera menginformasikan ke BI untuk melakukan langkah-langkah sesuai dengan kewenangan BI (vide Pasal 41 UU OJK). Demikian pula bagi LPS dapat melakukan pemeriksaan terhadap bank yang terkait dengan fungsi, tugas dan wewenangnya, serta berkoordinasi terlebih dahulu dengan OJK (vide Pasal 42 UU OJK).
Hubungan koordinasi antara BI dan OJK termasuk LPS dalam menentukan penilaian terhadap bank dan melakukan penyehatan terhadap bank bermasalah yang sedang diperiksa tersebut, ditentukan dalam Pasal 34 UU OJK, bahwa BI, OJK, dan LPS wajib membangun dan memelihara sarana pertukaran informasi secara terintegrasi. Berdasarkan ketentuan Pasal 43 UU OJK ini jelas ditegaskan untuk ketiga lembaga ini kewajiban untuk melakukan koordinasi dan kerjasama secara terintegrasi.
Terintegrasi maksudnya di sini adalah bahwa sistem pengawasan dibangun oleh OJK, BI, dan LPS saling terhubung satu sama lain, sehingga setiap institusi dapat saling bertukar informasi dan mengakses informasi perbankan yang dibutuhkan setiap saat (timely basis). Informasi tersebut meliputi informasi umum dan khusus tentang bank, laporan keuangan bank, laporan hasil pemeriksaan bank yang dilakukan oleh BI, LPS, atau oleh OJK, dan informasi lain dengan tetap menjaga dan mempertimbangkan kerahasiaan informasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sistem pengawasan keuangan yang terintegrasi yaitu semua lembaga keuangan diawasi oleh lembaga pengawasan yang tunggal dengan cakupan pengawasan yang luas baik untuk aspek mikroprudensial, makroprudensial dan praktek bisnisnya. Konsep ini diterapkan di Inggris, Australia dan Belanda. Model pengawasan demikian inilah yang sedang digagas dengan OJK. Masing-masing lembaga harus twin peak yaitu sistem pengawasan berbasis pada tujuan dimana ada pemisahan antara fungsi supervisi safety dan soundness di satu sisi dengan fungsi pada praktek bisnis.
Hubungan koordinasi antara OJK dan BI juga ditentukan dalam Protokol Koordinasi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 44, Pasal 45, dan Pasal 46 UU OJK. Dalam Protokol Koordinasi ini sebagai wadah untuk mempertemukan antara Kemenkeu, BI, OJK, dan LPS dalam satu forum koordinasi yang disebut dengan Forum Koordinasi Stabilitas Sistim Keuangan (FKSSK). Koordinasi dalam forum ini dilakukan jika tidak memungkinkan untuk penanganan masalah perbankan oleh OJK terkait dengan penyelesaian dan penanganan suatu bank gagal yang ditengarai berdampak sistemik.
Namun ketentuan mengenai Protokol Koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, Pasal 45, dan Pasal 46 hanya berlaku sampai dengan diundangkannya undang-undang mengenai Jaring Pengaman Sistem Keuangan (saat ini masih dalam RUU JPSK). Sehingga wadah FKSSK ini diperlukan tidak bersifat permanen sebab ditentukan dalam Pasal 69 ayat (4) UU OJK hanya bersifat sementara menunggu diundangkannya UU JPSK.
FKSSK dibentuk untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, dengan anggota terdiri atas:
1.      Menteri Keuangan selaku anggota merangkap koordinator;
2.      Gubernur Bank Indonesia selaku anggota;
3.      Ketua Dewan Komisioner OJK selaku anggota; dan
4.      Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan selaku anggota.
FKSSK dibantu kesekretariatan yang dipimpin salah seorang pejabat eselon I di Kemenkeu. Pengambilan keputusan dalam rapat FKSSK berdasarkan musyawarah untuk mufakat, jika tidak tercapai maka pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak atau voting (vide Pasal 44 UU OJK). Dalam kondisi normal (belum terjadi krisis pada sistim keuangan), maka FKSSK:
  1. Wajib melakukan pemantauan dan evaluasi stabilitas sistem keuangan;
  2. Melakukan rapat paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan;
  3. Membuat rekomendasi kepada setiap anggota untuk melakukan tindakan dan/atau membuat kebijakan dalam rangka memelihara stabilitas sistem keuangan; dan
  4. Melakukan pertukaran informasi.
Menurut Pasal 45 ayat (2) UU OJK, dalam kondisi tidak normal (telah terjadi krisis pada sistim keuangan), maka untuk pencegahan dan penanganan krisis, Menteri Keuangan, Gubernur BI, Ketua DK OJK, dan/atau Ketua DK LPS yang mengindikasikan adanya potensi krisis atau telah terjadi krisis pada sistem keuangan, masing-masing dapat mengajukan ke FKSSK untuk segera dilakukan rapat guna memutuskan langkah-langkah pencegahan atau penanganan krisis.
Berdasarkan ketentuan Pasal 45 ayat (2) UU OJK diketahui bahwa diupayakannya penanganan bank melalui FKSSK jika telah terjadi krisis pada sistem keuangan yakni suatu kondisi dimana sistem keuangan gagal menjalankan fungsi dan perannya secara efektif dalam perekonomian nasional yang ditunjukkan dengan memburuknya berbagai indikator ekonomi dan keuangan antara lain berupa kesulitan likuiditas, masalah solvabilitas, dan/atau penurunan kepercayaan publik terhadap sistem keuangan.
Oleh sebab itu, Menteri Keuangan, Gubernur BI, Ketua DK OJK, dan Ketua DK LPS berwenang mengambil dan melaksanakan keputusan untuk dan atas nama institusi yang diwakilinya dalam rangka pengambilan keputusan FKSSK (vide Pasal 45 ayat (3) UU OJK). Melalui koordinasi dalam FKSSK ditetapkan dan dilaksanakan kebijakan yang diperlukan dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis pada sistem keuangan sesuai dengan kewenangan masing-masing (vide Pasal 45 ayat (4) UU OJK) dan keputusan FKSSK terkait dengan penyelesaian dan penanganan suatu bank gagal yakni suatu kondisi bank yang mengalami kesulitan keuangan dan membahayakan kelangsungan usahanya serta dinyatakan tidak dapat lagi disehatkan oleh OJK sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya, dan keputusan FKSSK ini mengikat LPS.
Kebijakan FKSSK terkait dengan keuangan negara wajib diajukan untuk mendapat persetujuan DPR. Keputusan DPR tersebut wajib ditetapkan dalam waktu paling lama 24 (dua puluh empat) jam sejak pengajuan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima oleh DPR (vide Pasal 46 UU OJK). Berdasarkan ketentuan ini, diketahui bahwa dalam hubungannya dengan DPR, kebijakan penaganan oleh FKSSK terhadap bank yang bermasalah untuk pengucuran dana dari pemerintah wajib melalui keputusan DPR paling lama 1 x 24 jam.
Sekedar mengingatkan kembali permasalahan di sektor jasa keuangan khususnya perbankan pada masa krisis di tahun 1998 dan kasus yang dihadapi Bank Century bisa dikatakan persoalannya menyangkut masalah moral hazard, perlindungan nasabah/konsumen, dan koordinasi lintas sektoral. Namun, perlu pula diamati bahwa di samping sistem hukum sebagai penyebab krisis, dapat juga disebabkan timbulnya penurunan dalam disiplin pasar (market dicipline) atau moral hazard (sikap aji mumpung) di berbagai sektor ekonomi dan politik bahkan permasalahan moral hazard itu sudah cukup luas dan mendalam. Pembuatan sistem hukum yang efektif ditujukan pula untuk mengurangi moral hazard sekaligus untuk mengatasi krisis ekonomi. Perlindungan terhadap nasabah/konsumen dilakukan misalnya melalui penerapan prinsip kehati-hatian dalam mengelola sistem perbankan.
Oleh sebab itu, melalui koordinasi yang dibangun rezim OJK diharapkan dapat meminimalisir berbagai risiko yang mungkin timbul melalui mengatur dan mengawasi kegiatan sektor perbankan, sekurang-kurangnya mengingatkan perlunya penanganan risiko secara seksama, bahkan jika perlu melarang bank melakukan kegiatan tertentu yang cenderung mengundang risiko tinggi, agar tujuan perbankan nasional baik secara individal maupun keseluruhan menjadi sehat dan aman serta dapat memelihara kepercayaan masyarakat akan tercipta perbankan nasional yang sehat dimaksud.
Dalam ketentuan UU OJK yang mengamanatkan FKSSK tercantum dalam salah satu pokok pikiran yakni ”hubungan kelembagaan” yang berarti harus dibangun melalui koordinasi yang baik antar lembaga. Koordinasi dalam hubungan kelembagaan merupakan kunci utama untuk menciptakan perbankan nasional yang sehat dan aman. Tetapi disadari atau tidak, koordinasi merupakan barang mewah di negeri ini. Walaupun demikian, setidaknya melalui koordinasi dapat meminimalisir kendala-kendala yang membuat terhambatnya sistem perbankan. Apalagi koordinasi antar lembaga di negeri ini, meski sudah dirasakan membaik masih lebih banyak yang merupakan mimpi.
Melalui koordinasi dapat membawa dampak yang baik, pencitraan terhadap profil lembaga, jika orang-orang yang terikat didalamnya mampu menjalankan tugas dan tanggung jawabnya secara arif, bijak, dan profesional. Demikian sebaliknya, koordinasi justru akan memperburuk suatu lembaga jika para pengemban tugas dan tanggung jawab itu berperilaku cenderung mengabaikan hukum, etika, dan moral. Persoalan koordinasi mudah untuk diucapkan tetapi sulit untuk diterapkan. Melalui koordinasi dapat merusak citra lembaga-lembaga dan melalui koordinasi juga dapat mencapai tujuan yang hakiki.
Dalam melaksanakan tugasnya, lembaga OJK melakukan koordinasi dan bekerjasama dengan BI mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank, koordinasi juga dalam hal meminta penjelasan atau keterangan dari BI tentang data mikro dan makro yang diperlukan. Sedangkan BI tetap melakukan tugas dan fungsinya sesuai dengan UU BI secara independen dalam koridor-koridor tertentu dan tidak bertentangan dengan UU OJK.

2 komentar:

Unknown mengatakan...

slamat malam bang
terimakasih atas postingannya yang sangat berguna ini
saya ingin menanyakan beberapa hal mengenai topik ini
yg ada di postingan ini membahas tentang koordinasi antara OJK dengan BI, yang ingin saya tanyakan
bagaimana koordinasi antara OJK dengan LPS bang
terimakasih
oiiiaa, saya juga dari medan juga :)
email:jordie.alba@yahoo.com

Dr. Bisdan Sigalingging, S.H., M.H. mengatakan...

Dalam FKKSK kedudukan LPS adlah sbgai anggota, jika menurut penilaian OJK bha suatu lembaga keuangan misalnya bank dinyatakan bermasalah, maka OJK menginformasikan kpd LPS untuk melakukan upaya penyehatan (lihat pasal 41 ayat 1 uu pjk). Bila OJK mengindikasikan bank tersebut mengalami kesulitan likuiditas ya, maka OJK menginformasikan kpd BI untuk dilakukan langkah2 penanganan sesuai kewenangannya (pasal 41 ayat 2 uu ojk). Dlm kondisi tdk normal LPS dapat mengindikasikan adanya potensi krisis atau telah terjadi krisis pada suatu lembaga keuangan kpd FKKSK (lihat pasal 45 ayat 2 uu pjk). Inti dari koordinasi OJK dan LPS adlah koordinasi dlm hak menyehatkan lembaga jasa keuangan seperti bank. Tks.