Selasa, 10 Februari 2015


UPAYA HUKUM TERHADAP KEBIJAKAN PUBLIK YANG SALAH DARI PERSPEKTIF HUKUM PIDANA

Oleh
Bisdan Sigalingging, SH, MH
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara


Seharusnya dalam kasus-kasus kebijakan publik yang salah atau karena penyalahgunaan wewenang, lebih dahulu diterapkan prinsip primum remedium baru kemudian diterapkan prinsip ultimum remedium. Artinya terhadap kebijakan publik yang salah seharusnya lebih dahulu disikapi secara hukum administrasi dan bukan hukum pidana.
Penegakan hukum pidana terhadap kebijakan publik dengan memperhatikan asas ultimum remedium berarti mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Tetapi dalam hal kasus-kasus kebijakan dikaitkan dengan UU Tipikor tidak dengan tegas disebutkan dalam undang-undang asas ini, berbeda dengan UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup terhadap asas ultimum remedium dengan tegas disebutkan dalam undang-undang ini.
Dalam perspektif teoritis pengambilan kebijakan tidak dapat dipidanakan, tetapi yang dikenakan pidana adalah perilaku si pengambil kebijakan yang telah dilarang oleh hukum pidana. Ini berarti tidak menutup kemungkinan hukum pidana dapat dijalankan atau dikenakan kepada si pengambil kebijakan, jika perilakunya melanggar ketentuan hukum yang dilarang dalam hukum pidana.
Perilaku koruptif dirumuskan adalah orang yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Beliau juga mengatakan bahwa perilaku koruptif tersebut dirumuskan sebagai orang yang mempunyai tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Kedua pendapat dapat dibenarkan, sesuai pula dengan asas hukum pidana yang bersifat ultimum remedium, ini berarti upaya mengajukan perkara terhadap si pengambil kebijakan ke ranah hukum pidana merupakan sebagai upaya terakhir setelah upaya hukum yang lain telah dijalankan seperti upaya hukum administrasi dan perdata. Ketika upaya hukum administrasi negara tidak berhasil dilakukan dan karena terdapatnya dugaan kuat bahwa perkara tersebut memenuhi rumusan delik pidana, maka upaya hukum pidana dapat diajukan tuntutan kepada si pengambil kebijakan tersebut.
Bila ada unsur koruptif, maka hukum pidana bisa diterapkan sebagai upaya terakhir. Oleh sebab itu, dalam konteks ini, mana perbuatan yang dapat dikategorikan (dikriminalisasi) sebagai perbuatan pidana atas tindakan pejabat yang mengeluarkan kebijakan publik tersebut harus pula memenuhi unsur-unsur tindak pidana dan perbuatan melawan hukum dalam perspektif hukum pidana (wederrechtelijkheid).
Pertimbangan tersebut didasarkan bahwa tidak semua kebijakan publik yang dikeluarkan oleh para pejabat publik bisa dipidanakan dan tidak semua pula kebijakan publik dapat dikategorikan sebagai produk hukum administrasi negara yang tidak dapat dipidana meskipun kebijakan tersebut adalah salah. Pertimbangan inilah yang semestinya dipahami agar tidak keliru dalam menafsirkan hukum mana yang akan diterapkan. Apakah hukum administrasi negara atau hukum pidana.
Untuk menentukan parameter terhadap kebijakan publik yang memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana, perlu dibedakan mana kebijakan publik yang dapat dikategorikan sebagai wederrechtelijkheid (dalam ranah hukum pidana) dan mana kebijakan publik yang dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum dalam bentuk onrechtmatige overheids daad atau detornement de pouvoir (dalam ranah hukum administrasi negara).
Asas ultimum remedium merupakan salah satu asas yang terdapat dalam hukum pidana Indonesia yang berarti bahwa hukum pidana hendaklah dijadikan upaya terakhir dalam hal penegakan hukum. Hal ini memiliki makna apabila suatu perkara dapat diselesaikan melalui jalur lain (kekeluargaan, negosiasi, mediasi, perdata, ataupun hukum administrasi) hendaklah jalur tersebut terlebih dahulu dilalui.
Jika dikaitkan dengan asas hukum pidana yang bersifat publik memang disadari bertolak belakang antara asas hukum pidana yang bersifat publik dengan asas ultimum remedium. Dengan asas bersifat publik menyebabkan hukum pidana memiliki karakteristik bahwa walaupun terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang telah dibuat perjanjian perdamaian dengan pihak korban, maka terhadap perkara tersebut tetap juga dapat dilakukan pemeriksanaan lanjutan ditingkat kepolisian. Selain itu dengan karekteristik “publik” tersebut, maka terhadap suatu tindak pidana yang telah terjadi, pihak kepolisian tetap dapat memproses tindak pidana tersebut.
Namun dalam pelaksanaannya di Indonesia seringkali asas ultimum remedium ini terabaikan. Banyak perkara pidana yang walaupun pihak dari korban maupun keluarga korban merasa bahwa perkara tersebut dapat diselesaikan melalui jalur kekeluargaan, tetapi tetap saja pihak kepolisian terus melanjutkan pemeriksanaan terhadap kasus tersebut. Demikian pula dalam hal keputusan administrasi negara atau kebijakan publik yang dikeluarkan oleh pejabat pemerintah yang berindikasi menimbulkan kerugian atau tidak sesuai dengan yang diharapkan, juga bisa diarahkan menjadi perbuatan pidana.
Sanksi  pidana dalam beberapa kasus tertentu telah bergeser kedudukannya. Tidak lagi sebagai ultimum remedium melainkan sebagai primum remedium (alat yang utama). Ketentuan pengaturan mengenai sanksi pidana sebagai primum remedium dapat dilihat dalam UU tentang Anti Terorisme dan dalam praktek termasuk UU Tipikor. Argumentasinya dari perspektif sosiologis hal ini dikarenakan perbuatan yang diatur dalam dua undang-undang tersebut merupakan tindakan yang “luar biasa” dan besar dampaknya bagi masyarakat.
Sehingga dampaknya tidak lagi mempertimbangkan penggunaan sanksi lain, karena mungkin dirasa sudah tepat apabila langsung menggunakan atau menjatuhkan sanksi pidana terhadap para pelaku tindak pidana tersebut. Kini faktanya sanksi pidana itu bukan merupakan ultimum remedium lagi,  banyak perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan aturan undang-undang yang berlaku dan masyarakat merasa dirugikan, maka yang diberlakukan adalah sanksi pidana sebagai pilihan utama (premium remedium).
Hal inilah yang menyebabkan seolah-olah asas ultimum remedium tersebut hanyalah teori belaka yang sulit untuk ditegakkan. Jika dikaitkan dengan tujuan pemidanaan, maka apabila terhadap suatu tindak pidana pihak korban maupun keluarga telah terpenuhi rasa keadilannya, pemidanaan terhadap pelaku menjadi tidak diperlukan lagi. Dalam konteks terhadap si pengambil kebijakan publik seharusnya diajukan gugatannya ke ranah hukum administrasi, dan tidak perlu dilanjutkan ke ranah hukum pidana jika permasalahan perkara telah berkekuatan hukum tetap di PTUN.
Tentang penerapan asas ultimum remedium ini, norma-norma atau kaidah-kaidah dalam bidang hukum tata negara dan hukum tata usaha negara harus pertama-tama ditanggapi dengan sanksi administrasi, begitu pula norma-norma dalam bidang hukum perdata pertama-tama harus ditanggapi dengan sanksi perdata. Hanya, apabila sanksi administrasi dan sanksi perdata ini belum mencukupi untuk mencapai tujuan meluruskan neraca kemasyarakatan, maka baru diadakan juga sanksi pidana sebagai pamungkas (terakhir) atau ultimum remedium.
Sifat keberlakuan dari sanksi pidana sebagai alat terakhir atau ultimum remedium jika dibandingkan dengan sanksi perdata atau sanksi administrasi. Sifat ini sudah menimbulkan kecenderungan untuk menghemat dalam mengadakan sanksi pidana. Dapat diketahui bahwa asas ultimum remedium merupakan istilah yang menggambarkan suatu keberlakuan dari sifat sanksi pidana.
Selain dikenal dalam hukum pidana, asas ultimum remedium juga dikenal dalam hukum penyelesaian sengketa. Sebagaimana Frans Hendra Winarta, dalam bukunya Hukum Penyelesaian Sengketa, dikatakan bahwa penyelesaian sengketa secara litigasi merupakan sarana akhir (ultimum remedium) setelah alternatif penyelesaian sengketa lain tidak membuahkan hasil.
Dari uraian di atas, maka berdasarkan asas ultimum remedium inilah hukum pidana dapat diupayakan sebagai alat terakhir untuk menjerat pelaku atau pejabat publik yang mengeluarkan kebijakan yang salah atau menimbulkan kerugian negara. Dengan demikian, sekalipun upaya penegakan hukum administrasi telah dijalankan, namun tidak menutup pula kemungkinan hukum pidana dapat digunakan sebagai upaya terkahir.

UPAYA HUKUM TERHADAP KEBIJAKAN PUBLIK YANG SALAH DARI PERSPEKTIF HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

Oleh
Bisdan Sigalingging, SH, MH
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
Medan 2015

Kebijakan publik yang salah sebagaimana dimaksud dalam konteks ini adalah kebijakan publik yang menimbulkan kerugian bagi masyarakat dan menimbulkan sengketa TUN. Penanganan perkara berkaitan dengan kebijakan yang berkaitan dengan administratif penal law harus dilakukan dengan cermat, agar sejalan dengan asas systematische specialiteit atau logische specialiteit untuk menghindari disparitas pemidaanaan dan ketidakpastian hukum.
Dapat dipahami bahwa ranah hukum administrasi negara secara asas systematische specialiteit atau logische specialiteit sebenarnya upaya hukum yang dapat dijalankan untuk memproses seseorang pejabat publik yang mengeluarkan kebijakan publik yang salah. Dengan kata lain seharusnya dalam konteks ini lebih dahulu diterapkan prinsip premium remedium untuk hukum administrasi negara, baru kemudian diterapkan prinsip ultimum remedium untuk hukum pidana.
Artinya kebijakan publik yang salah seharusnya lebih dahulu disikapi secara hukum administrasi dan bukan hukum pidana, kecuali bila ada unsur koruptif, maka hukum pidana bisa diterapkan sebagai upaya terakhir. Jika kesalahan (kerugian bisnis) itu dipahami secara hukum administrasi, maka tidak perlu dipidana. Oleh sebab itu, dalam konteks ini, perbuatan mana yang dapat dikategorikan (dikriminalisasi) sebagai perbuatan pidana atas kebijakan publik tersebut harus pula memenuhi unsur-unsur perbuatan melawan hukum dalam perspektif hukum pidana (wederrechtelijkheid).
Telah disinggung sebelumnya bahwa harus ada tiga parameter yang terpenuhi agar seseorang pejabat publik dapat dipidanakan. Suatu kebijakan tidak dapat di kriminalisasi, namun terhadap pembuat kebijakan (persoon) tersebut dapat dikenakan pemidanaan, apabila dibalik kebijakan tersebut terdapat unsur-unsur: 1) penyalahgunaan wewenang, 2) mendapat keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain, dan 3) perbuatan tersebut telah menimbulkan kerugian negara.
Dengan demikian seorang pejabat yang mengeluarkan suatu kebijakan tidak dapat diminta pertanggungjawaban pidananya apabila dibalik kebijakan tersebut tidak ada suatu kebalikan (kickback) yang timbul seperti 3 (tiga) kriteria di atas. Artinya jika ketiga kriteria tersebut di atas ternyata ditemukan dalam pengambilan kebijakan tersebut, maka terhadap pejabat publik yang mengeluarkan kebijakan tersebut dapat dilakukan upaya hukum pidana kepadanya.
Terhadap pembuat kebijakan (persoon) dapat dikenakan pemidanaan, apabila dibalik kebijakan tersebut terdapat unsur penyalahgunaan wewenang atau mendapat keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain dan perbuatan tersebut telah menimbulkan kerugian negara.
Tetapi pada sisi lain telah terjadi kekeliruan terhadap kebijakan yang mengandung kerugian dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum pidana. Pemehaman tersebut membahayakan sistim hukum administrasi negara yaitu akan terjadi suatu kondisi pejabat administrasi negara tidak akan mengambil tindakan hukum apapun jika fakta dan kondisi tidak sesuai dengan kondisi yang ideal dalam peraturan perundang-undangan.
Kebijakan tidak berarti sebagai kejahatan. Pandangan demikian keliru, karena kebijakan administrasi negara lahir dari wewenang yang sah diberikan hukum dan peraturan perundang-undangan kepada pejabat administrasi negara. Kendatipun sekalipun kebijakan itu ternyata salah atau memiliki menimbulkan risiko hukum berupa salah kira (dwaling).
Salah kira merupakan kondisi bilamana pejabat administrasi negara memahami berbeda, antara tindakannya berbeda dengan fakta yang terjadi setelah kebijakan diambil. Dengan adanya kemungkinan salah kira tersebut, jika administrasi negara mengambil kebijakan dalam perkiraan yang salah atau insformasi yang salah, tindakan tersebut merupakan salah kira. Salah kira (dwaling) merupakan persoalan hukum dalam hukum administrasi negara, dan penyelesaiannya harus melalui hukum administrasi negara berdasarkan prinsip contractus actus.
Bukan kebijakannya yang dianggap sebagai perbuatan melawan hukum, tetapi perilaku pengambil kebijakan itu yang dianggap sebagai perbuatan melawan hukum pidana. Suatu kebijakan tidak dapat di kriminalisasi, namun terhadap si pembuat kebijakan dapat dikenakan pidana, jika dibalik kebijakannya terdapat unsur penyalahgunaan wewenang atau mendapat keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain dan perbuatan tersebut telah menimbulkan kerugian negara.
Merupakan suatu kekeliruan walaupun perilaku pengambil kebijakan mengandung perbuatan melawan hukum dipidanakan. Walaupun perilaku pejabat dalam mengambil kebijakan mengandung perilaku berikut ini:
1.      Melakukan paksaan dalam bentuk ancaman (dwang),
2.      Menerima dan melakukan suap (omkoperij) yang menyebabkan alasan membuat kebijakan tidak ada (valse oorzaak),
3.      Melakukan tipuan bersifat muslihat (kuntsgrepen).
Sekalipun mengandung perilaku pejabat publik yang mengambil kebijakan sebagaimana di atas, tidak berarti si pengambil kebijakan itu dipidanakan. Pejabat yang demikian bukan melakukan unsur pebuatan melawan hukum pidana tetapi merupakan penyalahgunaan wewenang (detornement de pouvoir). Sekalipun demikian, kebijakan tersebut merupakan tindakan kepemerintahan yang sah dan menjadi wewenang pejabat administrasi negara. Oleh sebabnya, tidak dapat dipidanakan karena adanya wewenang yang sah pada administrasi negara.
Dipandang dari sisi kerugian ekonomis, terutama kebijakan pemerintah dalam pengelolaan perusahaan negara atau BUMN, doktrin Business Judgment Rule dapat digunakan untuk membebaskan direksi perusahaan dari pertanggungjawaban atas kerugian perseroan. Kerugian itu mungkin bisa timbul dari kebijakan direksi yang diambilnya dan seorang direksi perusahaan negara atau BUMN merupakan kategori pejabat pemerintah dalam arti luas, menyangkut semua pejabat yang turut dalam penyelenggaraan tugas-tugas negara.
Secara hukum administrasi negara, berdasarkan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (disingkat UU PTUN), seorang pejabat publik dapat digugat melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) jika memenuhi syarat untuk diajukan gugatan TUN. Gugatan tersebut berisi tuntutan terhadap badan atau pejabat TUN dan diajukan ke PTUN untuk mendapatkan putusan.
Berdasarkan Pasal 2 UU PTUN, ada 7 (tujuah) macam keputusan yang tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut undang-undang ini adalah:
1.      Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;
2.      Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;
3.      Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;
4.      Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;
5.      Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
6.      Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia;
7.      Keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum.
Berdasarkan Pasal 2 UU PTUN tersebut di atas, jelas disebutkan bahwa Keputusan TUN yang merupakan perbuatan hukum perdata, umpamanya keputusan yang menyangkut masalah jual-beli yang dilakukan antara instansi pemerintah dan perseorangan yang didasarkan pada ketentuan hukum perdata. Jenis Keputusan TUN ini tidak dapat diselesaikan dalam PTUN melainkan dalam peradilan perdata (peradilan umum).
Kemudian Keputusan TUN yang merupakan pengaturan yang bersifat umum, yang dimaksud dengan pengaturan yang bersifat umum adalah pengaturan yang memuat norma-norma hukum yang dituangkan dalam bentuk peraturan yang kekuatan berlakunya mengikat setiap orang. Jenis Keputusan TUN ini juga tidak dapat diselesaikan atau diajukan gugatannya di PTUN dan termasuk dalam hal kebijakan hukum pidana (criminal polcy).
Dengan demikian sesuai Pasal 1 angka 3 UU PTUN dari ketujuh macam tersebut, maka Keputusan TUN yang masuk dalam ranah hukum administrasi negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat dimengerti bahwa ada 4 (empat) karakteristik Keputusan TUN yang boleh diajukan gugatannya melalui PTUN adalah:
1.      Keputusan TUN yang merupakan penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN.
2.      Keputusan TUN itu dikeluarkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3.      Keputusan TUN itu bersifat konkret, individual, dan final.
4.      Keputusan TUN itu menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Keputusan TUN yang merupakan penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN. Istilah penetapan tertulis terutama menunjuk kepada isi dan bukan kepada bentuk keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN. Keputusan itu memang diharuskan tertulis, namun yang disyaratkan tertulis bukanlah bentuk formalnya seperti surat keputusan pengangkatan dan sebagainya. Menurut M. Makhfudz tindakan diam dari pejabat administrasi negara disamakan dengan keputusan tertulis.
Persyaratan tertulis itu diharuskan untuk kemudahan segi pembuktian. Oleh karena itu sebuah memo atau nota dapat memenuhi syarat tertulis tersebut dan akan merupakan suatu Keputusan Badan atau Pejabat TUN menurut UU PTUN ini apabila sudah jelas tentang:
  1. Badan atau Pejabat TUN mana yang mengeluarkannya;
  2. Maksud serta mengenai hal apa isi tulisan itu; dan
  3. Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan di dalamnya.
Badan atau Pejabat TUN dimaksud adalah badan atau pejabat di pusat dan daerah yang melakukan kegiatan yang bersifat eksekutif. Tindakan hukum TUN merupakan perbuatan hukum Badan atau Pejabat TUN yang bersumber pada suatu ketentuan hukum Tata Usaha Negara yang dapat menimbulkan hak atau kewajiban pada orang lain.
Bersifat konkret, artinya objek yang diputuskan dalam Keputusan TUN itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan, umpamanya keputusan mengenai rumah si A, izin usaha bagi si B, pemberhentian si A sebagai pegawai negeri. Dicontohkan lagi oleh Darda Syahrizal misalnya keputusan memberikan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk si A.
Bersifat individual artinya Keputusan TUN itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju. Kalau yang dituju itu lebih dari seorang, tiap-tiap nama orang yang terkena keputusan itu disebutkan. Umpamanya, keputusan tentang perbuatan atau pelebaran jalan dengan lampiran yang menyebutkan nama-nama orang yang terkena keputusan tersebut. Individual artinya Keputusan TUN itu tidak ditujukan untuk umum melainkan pada tujuan tertentu, baik dengan menyebut nama, alamat, maupun hal yang dituju.
Sedangkan bersifat final tidak lagi memerlukan persetujuan dari atasan. Dengan kata lain sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum. Keputusan yang masih memerlukan persetujuan instansi atasan atau instansi lain belum bersifat final karenanya belum dapat menimbulkan suatu hak atau kewajiban pada pihak yang bersangkutan. Umpamanya, keputusan pengangkatan seorang pegawai negeri memerlukan persetujuan dari Badan Administrasi Kepegawaian Negara.
Pejabat pemerintah diberi wewenang untuk melakukan perbuatan administrasi negara seperti: mengeluarkan keputusan (beschikking), mengeluarkan peraturan (regeling), dan melakukan perbuatan materil. Dari ketiga perbutan administrasi negara itu, yang tidak termasuk dalam kompetensi PTUN adalah mengeluarkan peraturan (regeling) karena hanya mengatur hal-hal yang bersifat general (umum) dan mengikat. Sedangkan keputusan (beschikking) juga merupakan peristiwa yang melaksanakan hal-hal yang bersifat umum tetapi diaktualisasikan ke dalam hal-hal yang kongkrit sehingga dapat dilaksanakan gugatannya di PTUN.
Mengeluarkan peraturan (regeling) dikenal pula dalam istilah peraturan kebijakan (beleidsregels) yang dikeluarkan dengan menggunakan wewenang diskresi. Beleidregels merupakan jenis peraturan yang tidak termasuk dalam peraturan perundang-undangan, sehingga tidak dapat diuji secara hukum, karena memang tidak ada peraturan perundang-undangan sebagai dasar pembuatannya melainkan berdasarkan pada wewenang diskresi (freies ermessen). Dengan demikian pejebata yang mengeluarkan beleidregels tidak dapat digugat di PTUN.
Pembuatan Keputusan TUN dalam bentuk beschikking harus memperhatikan beberapa persyaratan agar keputusan tersebut menjadi sah menurut hukum (rechtgeldig) dan memiliki kekuatan hukum (rechtskracht) untuk dilaksanakan. Syarat-syarat yang harus diperhatikan dalam pembuatan keputusan mencakup syarat materil dan syarat formil sebagai berikut:
1.      Syarat-syarat materil terdiri atas:
a.       Organ pemerntah yang membuat keputusan harus berwenang.
b.      Keputusan tidak boleh mengandung kekurangan-kekurangan yuridis, seperti, penipuan (bedrog), paksaan (dwang), atau suap (omkoping), kesesatan (dwaling).
c.       Keputusan harus didasarkan pada suatu keadaan atau situasi tertentu.
d.      Keputusan harus dapat dilaksanakan tanpa melanggar peraturan-peraturan lain, serta isi dan tujuan keputusan itu harus sesuai dengan isi dan peraturan dasarnya.
2.      Syarat-syarat formal terdiri atas:
a.       Syarat-syarat yang ditentukan berhubungan dengan persiapan dibuatnya keputusan dan cara-cara (prosedur) dibuatnya keputusan harus sesuai.
b.      Keputusan harus diberi bentuk yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya keputusan itu.
c.       Syarat-syarat yang berhubungan dengan pelaksanaan keputusan itu harus terpenuhi.
d.      Jangka waktu harus ditentukan antara timbulnya hal-hal yang menyebabkan dibuatnya dan diumumkannya keputusan itu harus diperhatikan.
Apabila syarat materil dan syarat formil tersebut terpenuhi, maka keputusan itu sah menurut hukum artinya dapat diterima sebagai suatu bagian dari tertib hukum atau sejalan dengan ketentuan hukum yang ada baik secara proseduran/formal maupun materil. Sebaliknya, bila satu atau beberapa persyaratan itu tidak terpenuhi, maka keputusan itu mengandung kekuarangan dan menjadi tidak sah. Upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap suatu Keputusan TUN yang tidak sah, dapat diajukan upaya hukum ke PTUN guna pembatalan.
Suatu Keputusan TUN dianggap tidak sah jika dibuat oleh organ yang tidak berwenang (onbevoegdheid), mengandung cacat hukum (vormgebreken), cacat isi (inhoudsgebreken), dan cacat kehendak (wilsgebreken). Jika kepeutusan itu tidak sah, maka keputusan itu harus dibatalkan melalui gugatan ke PTUN. Dapat pula dilakukan pembatalan melalui jabatan yaitu diajukan kepada pihak pemerintah itu sendiri agar dibatalkan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dipahami bahwa upaya-upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap kebijakan publik yang salah atau yang menimbulkan kerugian negara atau perekonomian negara jika dari dikaji perspektif hukum administrasi negara adalah mengajukan gugatan terhadap kasus tersebut ke PTUN yang berada dalam ranah hukum administrasi negara bukan mengajukan tuntutan pidana ke peradilan pidana.
Sekalipun Keputusan TUN itu menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata berupa kerugian ekonomis, bagi pejabat pemerintah yang mengambil Keputusan TUN tersebut hanya bisa diajukan gugatan perbuatan penyalahgunaan wewenang ke PTUN bukan ke pengadilan negeri. Karena hal itu sesuai pula dengan prinsip primum remedium agar sejalan dengan asas systematische specialiteit.
PERAN PEMERINTAH DALAM TEORI WALFARE STATE
Oleh
Bisdan Sigalingging, SH, MH
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
Medan 2015

Ada tiga tipe negara, pertama tipe negara penjaga malam, kedua tipe negara hukum formal, dan ketiga tipe negara hukum materil. Tipe negara penjaga malam (nachtwachtterstaat) merupakan tipe negara yang menganut sistem pemerintahan liberal. Tipe negara hukum formal ditandai dengan campur tangan dari aktivitas kebebasan bertindak yang dilakukan oleh pejabat pemerintahnya dibatasi dengan undang-undang artinya harus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan tipe negara hukum materil ada dalam sistem negara kesejahteraan (walfare state). Dalam sistem negara kesejahteraan dalam hal pelayanan publik diberikan kewenangan kepada pejabat pemerintahnya untuk bertindak diluar daripada ketentuan undang-undang yang disebut dengan wewenang diskresi atau disebut juga dengan freies ermessen. Dengan demikian peran kebijakan publik dalam pembangunan nasional sangat penting, terutama dalam dalam tipe negara hukum materil seperti di Indonesia yang menganut sistem negara kesejahteraan (walfare state).
Konsep freies ermessen ini senantiasa dapat dijumpai dalam sistim pemerintahan modern dalam bentuk negara kesejahteraan. Walaupun asas diskresi ini diberikan kepada pejabat pemerintah, tetapi dalam melaksanakannya harus berhati-hati yang didasarkan pada kebijaksanaan, sebab asas diskresi menyangkut kebebasan pemerintah mengeluarkan keputusan, sehingga bisa tidak terkontrol, oleh sebab itu harus dilaksanakan dengan bijaksana dan penuh dengan pertimbangan.
Wewenang diskresi berupa freies ermessen merupakan kebebasan yang diberikan kepada tata usaha negara dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, sejalan dengan peningkatan tuntutan pelayanan publik (bestuurszorg), yang harus diberikan oleh pejabat tata usaha negara terhadap kehidupan sosial ekonomi para warga yang semakin kompleks. Wewenang freies ermessen merupakan hal yang tidak terelekkan dalam tatanan tipe negara kesejahteraan modern dalam memenuhi tuntutan ekonomi global.
Tipe negara meteril atau sistem negara kesejahteraan ini berkembang akibat pergeseran ideologi liberal yang bersifat individualistis ke arah ideologi sosialis yang lebih mengutamakan kepentingan masyarakat. Dalam hubungannya dengan sistem perekonomian masyarakat, sistem negara kesejahteraan, pemerintahnya turut campur dalam masalah ekonomi masyarakat dengan memberikan pelayanan publik melalui kebijakan-kebijakan pemerintah.
Kelahiran negara hukum materil atau negara kesejahteraan didorong oleh perkembangan tugas-tugas pemerintah yang semakin kompleks dan luas, terutama dalam masalah sosial dan ekonomi. Negara hukum kesejahteraan merupakan negara hukum yang sangat kompleks. Dalam konsep negara hukum kesejahteraan, selain pemerintahnya bersifat penjaga malam, juga aktif atau turut serta dalam penyelenggaraan ekonomi nasional, sebagai pembagi jasa-jasa, penengah terhadap berbagai kelompok yang bersengketa, dan ikut aktif dalam berbagai bidang kehidupan lainnya.
Tujuan negara hukum materil atau negara kesejahteraan adalah memberikan kesejahteraan kepada warga masyarakatnya (kesejahteraan umum). Dalam melaksanakan tujuan tersebut, dihadapi berbagai masalah yang bersifat prinsip, berkenaan dengan upaya-upaya yang harus ditempuh oleh pemerintah supaya kesejahteraan umum dapat dinikmati secara merata untuk menghindari sifat kapitalis.
Negara hukum materil (kesejahteraan) lebih fleksibel dari tipe negara hukum formal, sebab pemerintah dalam menjalankan tugas-tugasnya tidak terikat secara kaku kepada ketentuan perundang-undangan berdasarkan asas legalitas. Namun tidak berarti bahwa pemerintah dapat melanggar atau mengabaikan ketentuan perundang-undangan tanpa dasar atau alasan yang kuat.
Peran pemerintah dalam negara hukum materil (kesejahteraan) tidak semata-mata sebagai pelaksana undang-undang yang bertindak pasif tanpa inisiatif. Pemerintah harus aktif dan kreatif sehingga berbeda dengan fungsi pemerintah dalam tipe negara formal yang bersifat pasif dan kaku pada undang-undang semata. Dalam negara hukum materil (kesejahteraan) ada diberikan wewenang bertindak bebas kepada pejabat pemerintahnya dalam menanggapi perkembangan-perkembangan baru yang timbul dalam masyarakat.
Jika sangat darurat dan genting, pemerintah dalam konsep negara kesejehteraan dapat bertindak dengan cepat mendahului badan legislatif supaya pemerintah dapat mencegah kerugian yang lebih besar yang mungkin saja akan timbul jika senadainya pemerintah bersikap pasif. Namun, fleksibilitas yang dimiliki oleh pemerintah dalam bertindak tersebut, tentu saja akan membuka kemungkinan penyalahgunaan wewenang kekuasaan yang menjadi masalah tersendiri dalam penyelenggfaraan negara.
Keterlibatan pemerintah dalam ranah kehidupan individu dengan tujuan untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum membuat pemerintah tidak boleh bersifat pasif sebagai penjaga ketertiban dan keamanan saja. Untuk menyelenggarakan kepentingan umum dan kemakmuran rakyat, pemeirintah harus aktif dalam mengatur, mengurus, dan melayani masyarakat.
Segenap permasalahan yang terjadi dalam masyarakat yang menuntut penyelesaian harus diurus dan ditangani oleh pemerintah. Bahkan pemerintah harus dapat memberikan bimbingan dan arahan berkenaan dengan hal-hal yang akan terjadi di masa depan supaya masyarakat terhindar dari segenap masalah yang mungkin terjadi.
Pemerintah tidak boleh menolak melayani segenap kepentingan dan kebutuhan masyarakat dengan alasan apapun. Kepentingan dan kebutuhan masyarakat sangat kompleks dan setiap hari akan semakin bertambah macamnya sehingga setiap hari jumlah urusan yang harus diselenggarakan oleh pemerintah juga ikut bertambah. Oleh sebab itulah pemerintah diberikan kewenangan kebebasan bertindak dalam memberikan pelayanan publik.
Oleh karena luas dan rumit serta kompleksnya permasalahan dalam masyarakat, pemerintah dituntut bertindak cepat dan luwes dalam mengantisipasi dan menangani segenap permasalahan yang terjadi dalam masyarakat yang tidak selalu dapat diperkirakan dapat terjadi. Situasi dan kondisi masyarakat yang selalu berkembang dengan sangat cepat menimbulkan masalah tersendiri bagi pemerintah dalam konsep negara kesejahteraan.
Dalam rangka menyikapi situasi dan kondisi yang selalu berkembang dengan cepat tersebut, pemerintah tidak mungkin hanya berpegang pada asas legalitas yang bersifat kaku hendak dipertahankan dalam menyikapi perkembangan-perkembangan baru yang terjadi dalam masyarakat dengan alasan demi kepastian hukum, mustahil tidak akan terjadi kerugian yang lebih besar jika kepada pemerintah tidak diberikan kebebasan bertindak dalam mengeluarkan kebijakan publik.
Prinsip kepastian hukum dan asas legalitas dalam negara kesejahteraan tidak lagi harus dijalankan secara kaku dan totonom. Prinsip kepastian hukum dan asas legalitas harus diterobos. Penorobosan prinsip ini tidak berarti melemahkan atau mengesampingkan, tetapi harus dinilai sebagai tindakan yang melengkapi asas legalitas dan prinsip kepastian hukum.
Kebebasan bertindak yang dimiliki oleh administrasi negara dapat diterima dengan makna yang positif dan bukan dalam makna yang negatif, yakni sebagai bentuk wewenang baru. Hal itu perlu ditekankan di sini karena lapangan hukum administrasi negara, kebebasan bertindak (diskresi) tidak selalu dipandang dalam arti negatif oleh para pakar. Kurang dapat diterima jika diksresi pemerintah dipandang sebagai bentuk kesewenang-wenangan.
Kebebasan bertindak atas inisiatif sendiri yang diberikan kepada pemerintah dalam negara hukum kesejahteraan menunjukkan suatu proses perubahan pola pikir mengenai tujuan negara hukum. Dalam negara hukum formal, kepastian hukum (rechtmatig) merupakan tujuan utama dan untuk mewujudkan tujuan inilah asas legalitas diterima sebagai asas pokok dalam negara hukum formal.
Sedangkan dalam negara hukum kesejahteraan (negara hukum materil), tujuan utamanya adalah kemanfaatan (doelmatig) hukum demi mencapai kesejehateraan masyarakat umum. Untuk itulah ide negara hukum materil (kesejahteraan) memberikan kebebasan bertindak atas inisiatifnya sendiri bagi para pejabat pemerintah dalam memberikan pelayanan publik misalnya dalam mengeluarkan kebijakan publik.
Sebagaimana telah dijelaskan demikian pentingnya kebijakan publik dalam tipe negara materil atau negara kesejahteraan di atas, pada prinsipnya pentingnya kebijakan publik tersebut dalam rangka mendukung pembangunan nasional. Jika sekiranya dalam negara kesejahteraan, pemerintah dikekang atau dibatasi dalam mengeluarkan kebijakan publik hanya berdasarkan pada undang-undang (beschikking) dan tidak diberikan kewenangan bertindak di luar ketentuan undang-undanga berdasarkan wewenang diskresi (freies ermessen) atau disebut juga dengan peraturan kebijakan (beleidsregels), maka dipastikan pemerintah akan bersifat kaku dalam menghadapi segala persoalan dalam masyarakat, sehingga pembangunan nasional juga terikut imbasnya yakni terjadinya stagnasi (hambatan) dalam pencapaian pembangunan nasional.
Terutama isu-isu yang berkembang yang berupaya mengkirminalisasi kebijakan publik dan terhadap pejabat yang mengambil kebijakan merupakan hal yang menakutkan dan bisa berpotensi menimbulkan kemunduran bangsa. Padahal diketahui, bahwa kebijakan tersebut adalah bagian dari suatu sistem pembangunan nasional.
Jika seorang pejabat pemerintah takut mengambil suatu kebijakan, maka roda pemerintahan tidak akan berjalan sebagaimana yang diharapkan. Lebih-lebih jika kegiatan tersebut terkait dengan bisnis, maka akan berdampak terhadap investasi kalau khawatir kebijakan tersebut terjerat pidana.

PERAN PEMERINTAH DALAM TEORI WALFARE STATE
Oleh
Bisdan Sigalingging, SH, MH
Dosen Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa
Medan 2015

Ada tiga tipe negara, pertama tipe negara penjaga malam, kedua tipe negara hukum formal, dan ketiga tipe negara hukum materil. Tipe negara penjaga malam (nachtwachtterstaat) merupakan tipe negara yang menganut sistem pemerintahan liberal. Tipe negara hukum formal ditandai dengan campur tangan dari aktivitas kebebasan bertindak yang dilakukan oleh pejabat pemerintahnya dibatasi dengan undang-undang artinya harus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan tipe negara hukum materil ada dalam sistem negara kesejahteraan (walfare state). Dalam sistem negara kesejahteraan dalam hal pelayanan publik diberikan kewenangan kepada pejabat pemerintahnya untuk bertindak diluar daripada ketentuan undang-undang yang disebut dengan wewenang diskresi atau disebut juga dengan freies ermessen. Dengan demikian peran kebijakan publik dalam pembangunan nasional sangat penting, terutama dalam dalam tipe negara hukum materil seperti di Indonesia yang menganut sistem negara kesejahteraan (walfare state).
Konsep freies ermessen ini senantiasa dapat dijumpai dalam sistim pemerintahan modern dalam bentuk negara kesejahteraan. Walaupun asas diskresi ini diberikan kepada pejabat pemerintah, tetapi dalam melaksanakannya harus berhati-hati yang didasarkan pada kebijaksanaan, sebab asas diskresi menyangkut kebebasan pemerintah mengeluarkan keputusan, sehingga bisa tidak terkontrol, oleh sebab itu harus dilaksanakan dengan bijaksana dan penuh dengan pertimbangan.
Wewenang diskresi berupa freies ermessen merupakan kebebasan yang diberikan kepada tata usaha negara dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, sejalan dengan peningkatan tuntutan pelayanan publik (bestuurszorg), yang harus diberikan oleh pejabat tata usaha negara terhadap kehidupan sosial ekonomi para warga yang semakin kompleks. Wewenang freies ermessen merupakan hal yang tidak terelekkan dalam tatanan tipe negara kesejahteraan modern dalam memenuhi tuntutan ekonomi global.
Tipe negara meteril atau sistem negara kesejahteraan ini berkembang akibat pergeseran ideologi liberal yang bersifat individualistis ke arah ideologi sosialis yang lebih mengutamakan kepentingan masyarakat. Dalam hubungannya dengan sistem perekonomian masyarakat, sistem negara kesejahteraan, pemerintahnya turut campur dalam masalah ekonomi masyarakat dengan memberikan pelayanan publik melalui kebijakan-kebijakan pemerintah.
Kelahiran negara hukum materil atau negara kesejahteraan didorong oleh perkembangan tugas-tugas pemerintah yang semakin kompleks dan luas, terutama dalam masalah sosial dan ekonomi. Negara hukum kesejahteraan merupakan negara hukum yang sangat kompleks. Dalam konsep negara hukum kesejahteraan, selain pemerintahnya bersifat penjaga malam, juga aktif atau turut serta dalam penyelenggaraan ekonomi nasional, sebagai pembagi jasa-jasa, penengah terhadap berbagai kelompok yang bersengketa, dan ikut aktif dalam berbagai bidang kehidupan lainnya.
Tujuan negara hukum materil atau negara kesejahteraan adalah memberikan kesejahteraan kepada warga masyarakatnya (kesejahteraan umum). Dalam melaksanakan tujuan tersebut, dihadapi berbagai masalah yang bersifat prinsip, berkenaan dengan upaya-upaya yang harus ditempuh oleh pemerintah supaya kesejahteraan umum dapat dinikmati secara merata untuk menghindari sifat kapitalis.
Negara hukum materil (kesejahteraan) lebih fleksibel dari tipe negara hukum formal, sebab pemerintah dalam menjalankan tugas-tugasnya tidak terikat secara kaku kepada ketentuan perundang-undangan berdasarkan asas legalitas. Namun tidak berarti bahwa pemerintah dapat melanggar atau mengabaikan ketentuan perundang-undangan tanpa dasar atau alasan yang kuat.
Peran pemerintah dalam negara hukum materil (kesejahteraan) tidak semata-mata sebagai pelaksana undang-undang yang bertindak pasif tanpa inisiatif. Pemerintah harus aktif dan kreatif sehingga berbeda dengan fungsi pemerintah dalam tipe negara formal yang bersifat pasif dan kaku pada undang-undang semata. Dalam negara hukum materil (kesejahteraan) ada diberikan wewenang bertindak bebas kepada pejabat pemerintahnya dalam menanggapi perkembangan-perkembangan baru yang timbul dalam masyarakat.
Jika sangat darurat dan genting, pemerintah dalam konsep negara kesejehteraan dapat bertindak dengan cepat mendahului badan legislatif supaya pemerintah dapat mencegah kerugian yang lebih besar yang mungkin saja akan timbul jika senadainya pemerintah bersikap pasif. Namun, fleksibilitas yang dimiliki oleh pemerintah dalam bertindak tersebut, tentu saja akan membuka kemungkinan penyalahgunaan wewenang kekuasaan yang menjadi masalah tersendiri dalam penyelenggfaraan negara.
Keterlibatan pemerintah dalam ranah kehidupan individu dengan tujuan untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum membuat pemerintah tidak boleh bersifat pasif sebagai penjaga ketertiban dan keamanan saja. Untuk menyelenggarakan kepentingan umum dan kemakmuran rakyat, pemeirintah harus aktif dalam mengatur, mengurus, dan melayani masyarakat.
Segenap permasalahan yang terjadi dalam masyarakat yang menuntut penyelesaian harus diurus dan ditangani oleh pemerintah. Bahkan pemerintah harus dapat memberikan bimbingan dan arahan berkenaan dengan hal-hal yang akan terjadi di masa depan supaya masyarakat terhindar dari segenap masalah yang mungkin terjadi.
Pemerintah tidak boleh menolak melayani segenap kepentingan dan kebutuhan masyarakat dengan alasan apapun. Kepentingan dan kebutuhan masyarakat sangat kompleks dan setiap hari akan semakin bertambah macamnya sehingga setiap hari jumlah urusan yang harus diselenggarakan oleh pemerintah juga ikut bertambah. Oleh sebab itulah pemerintah diberikan kewenangan kebebasan bertindak dalam memberikan pelayanan publik.
Oleh karena luas dan rumit serta kompleksnya permasalahan dalam masyarakat, pemerintah dituntut bertindak cepat dan luwes dalam mengantisipasi dan menangani segenap permasalahan yang terjadi dalam masyarakat yang tidak selalu dapat diperkirakan dapat terjadi. Situasi dan kondisi masyarakat yang selalu berkembang dengan sangat cepat menimbulkan masalah tersendiri bagi pemerintah dalam konsep negara kesejahteraan.
Dalam rangka menyikapi situasi dan kondisi yang selalu berkembang dengan cepat tersebut, pemerintah tidak mungkin hanya berpegang pada asas legalitas yang bersifat kaku hendak dipertahankan dalam menyikapi perkembangan-perkembangan baru yang terjadi dalam masyarakat dengan alasan demi kepastian hukum, mustahil tidak akan terjadi kerugian yang lebih besar jika kepada pemerintah tidak diberikan kebebasan bertindak dalam mengeluarkan kebijakan publik.
Prinsip kepastian hukum dan asas legalitas dalam negara kesejahteraan tidak lagi harus dijalankan secara kaku dan totonom. Prinsip kepastian hukum dan asas legalitas harus diterobos. Penorobosan prinsip ini tidak berarti melemahkan atau mengesampingkan, tetapi harus dinilai sebagai tindakan yang melengkapi asas legalitas dan prinsip kepastian hukum.
Kebebasan bertindak yang dimiliki oleh administrasi negara dapat diterima dengan makna yang positif dan bukan dalam makna yang negatif, yakni sebagai bentuk wewenang baru. Hal itu perlu ditekankan di sini karena lapangan hukum administrasi negara, kebebasan bertindak (diskresi) tidak selalu dipandang dalam arti negatif oleh para pakar. Kurang dapat diterima jika diksresi pemerintah dipandang sebagai bentuk kesewenang-wenangan.
Kebebasan bertindak atas inisiatif sendiri yang diberikan kepada pemerintah dalam negara hukum kesejahteraan menunjukkan suatu proses perubahan pola pikir mengenai tujuan negara hukum. Dalam negara hukum formal, kepastian hukum (rechtmatig) merupakan tujuan utama dan untuk mewujudkan tujuan inilah asas legalitas diterima sebagai asas pokok dalam negara hukum formal.
Sedangkan dalam negara hukum kesejahteraan (negara hukum materil), tujuan utamanya adalah kemanfaatan (doelmatig) hukum demi mencapai kesejehateraan masyarakat umum. Untuk itulah ide negara hukum materil (kesejahteraan) memberikan kebebasan bertindak atas inisiatifnya sendiri bagi para pejabat pemerintah dalam memberikan pelayanan publik misalnya dalam mengeluarkan kebijakan publik.
Sebagaimana telah dijelaskan demikian pentingnya kebijakan publik dalam tipe negara materil atau negara kesejahteraan di atas, pada prinsipnya pentingnya kebijakan publik tersebut dalam rangka mendukung pembangunan nasional. Jika sekiranya dalam negara kesejahteraan, pemerintah dikekang atau dibatasi dalam mengeluarkan kebijakan publik hanya berdasarkan pada undang-undang (beschikking) dan tidak diberikan kewenangan bertindak di luar ketentuan undang-undanga berdasarkan wewenang diskresi (freies ermessen) atau disebut juga dengan peraturan kebijakan (beleidsregels), maka dipastikan pemerintah akan bersifat kaku dalam menghadapi segala persoalan dalam masyarakat, sehingga pembangunan nasional juga terikut imbasnya yakni terjadinya stagnasi (hambatan) dalam pencapaian pembangunan nasional.
Terutama isu-isu yang berkembang yang berupaya mengkirminalisasi kebijakan publik dan terhadap pejabat yang mengambil kebijakan merupakan hal yang menakutkan dan bisa berpotensi menimbulkan kemunduran bangsa. Padahal diketahui, bahwa kebijakan tersebut adalah bagian dari suatu sistem pembangunan nasional.
Marwan Effendy dengan tegas menyatakan jika seorang pejabat pemerintah takut mengambil suatu kebijakan, maka roda pemerintahan tidak akan berjalan sebagaimana yang diharapkan. Lebih-lebih jika kegiatan tersebut terkait dengan bisnis, maka akan berdampak terhadap investasi kalau khawatir kebijakan tersebut terjerat pidana.