Selasa, 10 Februari 2015


UPAYA HUKUM TERHADAP KEBIJAKAN PUBLIK YANG SALAH DARI PERSPEKTIF HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

Oleh
Bisdan Sigalingging, SH, MH
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
Medan 2015

Kebijakan publik yang salah sebagaimana dimaksud dalam konteks ini adalah kebijakan publik yang menimbulkan kerugian bagi masyarakat dan menimbulkan sengketa TUN. Penanganan perkara berkaitan dengan kebijakan yang berkaitan dengan administratif penal law harus dilakukan dengan cermat, agar sejalan dengan asas systematische specialiteit atau logische specialiteit untuk menghindari disparitas pemidaanaan dan ketidakpastian hukum.
Dapat dipahami bahwa ranah hukum administrasi negara secara asas systematische specialiteit atau logische specialiteit sebenarnya upaya hukum yang dapat dijalankan untuk memproses seseorang pejabat publik yang mengeluarkan kebijakan publik yang salah. Dengan kata lain seharusnya dalam konteks ini lebih dahulu diterapkan prinsip premium remedium untuk hukum administrasi negara, baru kemudian diterapkan prinsip ultimum remedium untuk hukum pidana.
Artinya kebijakan publik yang salah seharusnya lebih dahulu disikapi secara hukum administrasi dan bukan hukum pidana, kecuali bila ada unsur koruptif, maka hukum pidana bisa diterapkan sebagai upaya terakhir. Jika kesalahan (kerugian bisnis) itu dipahami secara hukum administrasi, maka tidak perlu dipidana. Oleh sebab itu, dalam konteks ini, perbuatan mana yang dapat dikategorikan (dikriminalisasi) sebagai perbuatan pidana atas kebijakan publik tersebut harus pula memenuhi unsur-unsur perbuatan melawan hukum dalam perspektif hukum pidana (wederrechtelijkheid).
Telah disinggung sebelumnya bahwa harus ada tiga parameter yang terpenuhi agar seseorang pejabat publik dapat dipidanakan. Suatu kebijakan tidak dapat di kriminalisasi, namun terhadap pembuat kebijakan (persoon) tersebut dapat dikenakan pemidanaan, apabila dibalik kebijakan tersebut terdapat unsur-unsur: 1) penyalahgunaan wewenang, 2) mendapat keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain, dan 3) perbuatan tersebut telah menimbulkan kerugian negara.
Dengan demikian seorang pejabat yang mengeluarkan suatu kebijakan tidak dapat diminta pertanggungjawaban pidananya apabila dibalik kebijakan tersebut tidak ada suatu kebalikan (kickback) yang timbul seperti 3 (tiga) kriteria di atas. Artinya jika ketiga kriteria tersebut di atas ternyata ditemukan dalam pengambilan kebijakan tersebut, maka terhadap pejabat publik yang mengeluarkan kebijakan tersebut dapat dilakukan upaya hukum pidana kepadanya.
Terhadap pembuat kebijakan (persoon) dapat dikenakan pemidanaan, apabila dibalik kebijakan tersebut terdapat unsur penyalahgunaan wewenang atau mendapat keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain dan perbuatan tersebut telah menimbulkan kerugian negara.
Tetapi pada sisi lain telah terjadi kekeliruan terhadap kebijakan yang mengandung kerugian dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum pidana. Pemehaman tersebut membahayakan sistim hukum administrasi negara yaitu akan terjadi suatu kondisi pejabat administrasi negara tidak akan mengambil tindakan hukum apapun jika fakta dan kondisi tidak sesuai dengan kondisi yang ideal dalam peraturan perundang-undangan.
Kebijakan tidak berarti sebagai kejahatan. Pandangan demikian keliru, karena kebijakan administrasi negara lahir dari wewenang yang sah diberikan hukum dan peraturan perundang-undangan kepada pejabat administrasi negara. Kendatipun sekalipun kebijakan itu ternyata salah atau memiliki menimbulkan risiko hukum berupa salah kira (dwaling).
Salah kira merupakan kondisi bilamana pejabat administrasi negara memahami berbeda, antara tindakannya berbeda dengan fakta yang terjadi setelah kebijakan diambil. Dengan adanya kemungkinan salah kira tersebut, jika administrasi negara mengambil kebijakan dalam perkiraan yang salah atau insformasi yang salah, tindakan tersebut merupakan salah kira. Salah kira (dwaling) merupakan persoalan hukum dalam hukum administrasi negara, dan penyelesaiannya harus melalui hukum administrasi negara berdasarkan prinsip contractus actus.
Bukan kebijakannya yang dianggap sebagai perbuatan melawan hukum, tetapi perilaku pengambil kebijakan itu yang dianggap sebagai perbuatan melawan hukum pidana. Suatu kebijakan tidak dapat di kriminalisasi, namun terhadap si pembuat kebijakan dapat dikenakan pidana, jika dibalik kebijakannya terdapat unsur penyalahgunaan wewenang atau mendapat keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain dan perbuatan tersebut telah menimbulkan kerugian negara.
Merupakan suatu kekeliruan walaupun perilaku pengambil kebijakan mengandung perbuatan melawan hukum dipidanakan. Walaupun perilaku pejabat dalam mengambil kebijakan mengandung perilaku berikut ini:
1.      Melakukan paksaan dalam bentuk ancaman (dwang),
2.      Menerima dan melakukan suap (omkoperij) yang menyebabkan alasan membuat kebijakan tidak ada (valse oorzaak),
3.      Melakukan tipuan bersifat muslihat (kuntsgrepen).
Sekalipun mengandung perilaku pejabat publik yang mengambil kebijakan sebagaimana di atas, tidak berarti si pengambil kebijakan itu dipidanakan. Pejabat yang demikian bukan melakukan unsur pebuatan melawan hukum pidana tetapi merupakan penyalahgunaan wewenang (detornement de pouvoir). Sekalipun demikian, kebijakan tersebut merupakan tindakan kepemerintahan yang sah dan menjadi wewenang pejabat administrasi negara. Oleh sebabnya, tidak dapat dipidanakan karena adanya wewenang yang sah pada administrasi negara.
Dipandang dari sisi kerugian ekonomis, terutama kebijakan pemerintah dalam pengelolaan perusahaan negara atau BUMN, doktrin Business Judgment Rule dapat digunakan untuk membebaskan direksi perusahaan dari pertanggungjawaban atas kerugian perseroan. Kerugian itu mungkin bisa timbul dari kebijakan direksi yang diambilnya dan seorang direksi perusahaan negara atau BUMN merupakan kategori pejabat pemerintah dalam arti luas, menyangkut semua pejabat yang turut dalam penyelenggaraan tugas-tugas negara.
Secara hukum administrasi negara, berdasarkan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (disingkat UU PTUN), seorang pejabat publik dapat digugat melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) jika memenuhi syarat untuk diajukan gugatan TUN. Gugatan tersebut berisi tuntutan terhadap badan atau pejabat TUN dan diajukan ke PTUN untuk mendapatkan putusan.
Berdasarkan Pasal 2 UU PTUN, ada 7 (tujuah) macam keputusan yang tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut undang-undang ini adalah:
1.      Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;
2.      Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;
3.      Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;
4.      Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;
5.      Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
6.      Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia;
7.      Keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum.
Berdasarkan Pasal 2 UU PTUN tersebut di atas, jelas disebutkan bahwa Keputusan TUN yang merupakan perbuatan hukum perdata, umpamanya keputusan yang menyangkut masalah jual-beli yang dilakukan antara instansi pemerintah dan perseorangan yang didasarkan pada ketentuan hukum perdata. Jenis Keputusan TUN ini tidak dapat diselesaikan dalam PTUN melainkan dalam peradilan perdata (peradilan umum).
Kemudian Keputusan TUN yang merupakan pengaturan yang bersifat umum, yang dimaksud dengan pengaturan yang bersifat umum adalah pengaturan yang memuat norma-norma hukum yang dituangkan dalam bentuk peraturan yang kekuatan berlakunya mengikat setiap orang. Jenis Keputusan TUN ini juga tidak dapat diselesaikan atau diajukan gugatannya di PTUN dan termasuk dalam hal kebijakan hukum pidana (criminal polcy).
Dengan demikian sesuai Pasal 1 angka 3 UU PTUN dari ketujuh macam tersebut, maka Keputusan TUN yang masuk dalam ranah hukum administrasi negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat dimengerti bahwa ada 4 (empat) karakteristik Keputusan TUN yang boleh diajukan gugatannya melalui PTUN adalah:
1.      Keputusan TUN yang merupakan penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN.
2.      Keputusan TUN itu dikeluarkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3.      Keputusan TUN itu bersifat konkret, individual, dan final.
4.      Keputusan TUN itu menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Keputusan TUN yang merupakan penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN. Istilah penetapan tertulis terutama menunjuk kepada isi dan bukan kepada bentuk keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN. Keputusan itu memang diharuskan tertulis, namun yang disyaratkan tertulis bukanlah bentuk formalnya seperti surat keputusan pengangkatan dan sebagainya. Menurut M. Makhfudz tindakan diam dari pejabat administrasi negara disamakan dengan keputusan tertulis.
Persyaratan tertulis itu diharuskan untuk kemudahan segi pembuktian. Oleh karena itu sebuah memo atau nota dapat memenuhi syarat tertulis tersebut dan akan merupakan suatu Keputusan Badan atau Pejabat TUN menurut UU PTUN ini apabila sudah jelas tentang:
  1. Badan atau Pejabat TUN mana yang mengeluarkannya;
  2. Maksud serta mengenai hal apa isi tulisan itu; dan
  3. Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan di dalamnya.
Badan atau Pejabat TUN dimaksud adalah badan atau pejabat di pusat dan daerah yang melakukan kegiatan yang bersifat eksekutif. Tindakan hukum TUN merupakan perbuatan hukum Badan atau Pejabat TUN yang bersumber pada suatu ketentuan hukum Tata Usaha Negara yang dapat menimbulkan hak atau kewajiban pada orang lain.
Bersifat konkret, artinya objek yang diputuskan dalam Keputusan TUN itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan, umpamanya keputusan mengenai rumah si A, izin usaha bagi si B, pemberhentian si A sebagai pegawai negeri. Dicontohkan lagi oleh Darda Syahrizal misalnya keputusan memberikan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk si A.
Bersifat individual artinya Keputusan TUN itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju. Kalau yang dituju itu lebih dari seorang, tiap-tiap nama orang yang terkena keputusan itu disebutkan. Umpamanya, keputusan tentang perbuatan atau pelebaran jalan dengan lampiran yang menyebutkan nama-nama orang yang terkena keputusan tersebut. Individual artinya Keputusan TUN itu tidak ditujukan untuk umum melainkan pada tujuan tertentu, baik dengan menyebut nama, alamat, maupun hal yang dituju.
Sedangkan bersifat final tidak lagi memerlukan persetujuan dari atasan. Dengan kata lain sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum. Keputusan yang masih memerlukan persetujuan instansi atasan atau instansi lain belum bersifat final karenanya belum dapat menimbulkan suatu hak atau kewajiban pada pihak yang bersangkutan. Umpamanya, keputusan pengangkatan seorang pegawai negeri memerlukan persetujuan dari Badan Administrasi Kepegawaian Negara.
Pejabat pemerintah diberi wewenang untuk melakukan perbuatan administrasi negara seperti: mengeluarkan keputusan (beschikking), mengeluarkan peraturan (regeling), dan melakukan perbuatan materil. Dari ketiga perbutan administrasi negara itu, yang tidak termasuk dalam kompetensi PTUN adalah mengeluarkan peraturan (regeling) karena hanya mengatur hal-hal yang bersifat general (umum) dan mengikat. Sedangkan keputusan (beschikking) juga merupakan peristiwa yang melaksanakan hal-hal yang bersifat umum tetapi diaktualisasikan ke dalam hal-hal yang kongkrit sehingga dapat dilaksanakan gugatannya di PTUN.
Mengeluarkan peraturan (regeling) dikenal pula dalam istilah peraturan kebijakan (beleidsregels) yang dikeluarkan dengan menggunakan wewenang diskresi. Beleidregels merupakan jenis peraturan yang tidak termasuk dalam peraturan perundang-undangan, sehingga tidak dapat diuji secara hukum, karena memang tidak ada peraturan perundang-undangan sebagai dasar pembuatannya melainkan berdasarkan pada wewenang diskresi (freies ermessen). Dengan demikian pejebata yang mengeluarkan beleidregels tidak dapat digugat di PTUN.
Pembuatan Keputusan TUN dalam bentuk beschikking harus memperhatikan beberapa persyaratan agar keputusan tersebut menjadi sah menurut hukum (rechtgeldig) dan memiliki kekuatan hukum (rechtskracht) untuk dilaksanakan. Syarat-syarat yang harus diperhatikan dalam pembuatan keputusan mencakup syarat materil dan syarat formil sebagai berikut:
1.      Syarat-syarat materil terdiri atas:
a.       Organ pemerntah yang membuat keputusan harus berwenang.
b.      Keputusan tidak boleh mengandung kekurangan-kekurangan yuridis, seperti, penipuan (bedrog), paksaan (dwang), atau suap (omkoping), kesesatan (dwaling).
c.       Keputusan harus didasarkan pada suatu keadaan atau situasi tertentu.
d.      Keputusan harus dapat dilaksanakan tanpa melanggar peraturan-peraturan lain, serta isi dan tujuan keputusan itu harus sesuai dengan isi dan peraturan dasarnya.
2.      Syarat-syarat formal terdiri atas:
a.       Syarat-syarat yang ditentukan berhubungan dengan persiapan dibuatnya keputusan dan cara-cara (prosedur) dibuatnya keputusan harus sesuai.
b.      Keputusan harus diberi bentuk yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya keputusan itu.
c.       Syarat-syarat yang berhubungan dengan pelaksanaan keputusan itu harus terpenuhi.
d.      Jangka waktu harus ditentukan antara timbulnya hal-hal yang menyebabkan dibuatnya dan diumumkannya keputusan itu harus diperhatikan.
Apabila syarat materil dan syarat formil tersebut terpenuhi, maka keputusan itu sah menurut hukum artinya dapat diterima sebagai suatu bagian dari tertib hukum atau sejalan dengan ketentuan hukum yang ada baik secara proseduran/formal maupun materil. Sebaliknya, bila satu atau beberapa persyaratan itu tidak terpenuhi, maka keputusan itu mengandung kekuarangan dan menjadi tidak sah. Upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap suatu Keputusan TUN yang tidak sah, dapat diajukan upaya hukum ke PTUN guna pembatalan.
Suatu Keputusan TUN dianggap tidak sah jika dibuat oleh organ yang tidak berwenang (onbevoegdheid), mengandung cacat hukum (vormgebreken), cacat isi (inhoudsgebreken), dan cacat kehendak (wilsgebreken). Jika kepeutusan itu tidak sah, maka keputusan itu harus dibatalkan melalui gugatan ke PTUN. Dapat pula dilakukan pembatalan melalui jabatan yaitu diajukan kepada pihak pemerintah itu sendiri agar dibatalkan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dipahami bahwa upaya-upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap kebijakan publik yang salah atau yang menimbulkan kerugian negara atau perekonomian negara jika dari dikaji perspektif hukum administrasi negara adalah mengajukan gugatan terhadap kasus tersebut ke PTUN yang berada dalam ranah hukum administrasi negara bukan mengajukan tuntutan pidana ke peradilan pidana.
Sekalipun Keputusan TUN itu menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata berupa kerugian ekonomis, bagi pejabat pemerintah yang mengambil Keputusan TUN tersebut hanya bisa diajukan gugatan perbuatan penyalahgunaan wewenang ke PTUN bukan ke pengadilan negeri. Karena hal itu sesuai pula dengan prinsip primum remedium agar sejalan dengan asas systematische specialiteit.

Tidak ada komentar: