Jumat, 26 Juni 2015


LEGALITAS KLAUSULA EKSONERASI
DALAM PERJANJIAN

Ditulis oleh:
Bisdan Sigalingging, SH, MH
Dosen Fakultas Hukum (Hukum Bisnis)
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

Adagium hukum yang menyatakan “fiat justitia et pereat mundus” tidak mesti harus dipandang dengan sebelah mata melainkan harus pula diimbangi dengan adagium “fiat justitia ruat coelum”. Hukum tidak wajib ditegakkan meskipun langit akan runtuh, tetapi keadilan lah yang mesti ditegakkan meskipun langit akan runtuh. Menegakkan keadilan merupakan hal yang paling esensi daripada menegakkan hukum, karena keadilan hukum belum tentu mampu memberikan rasa adil kepada setiap pencari keadilan.
Filsafat keadilan menurut Bisdan Sigalingging, SH, MH

Pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian baku telah menjadi fenomena menarik untuk dikaji. Secara yuridis perbuatan yang mencantumkan klausula eksonerasi di dalam suatu perjanjian merupakan perbuatan yang dilarang, namun pencantuman itu sering kali terjadi dalam praktik perjanjian. Sebahagian pelaku usaha cenderung mencantumkan klausula eksonerasi dalam format (formulir) perjanjian baku.
Eksonerasi (exoneration) adalah membebaskan seseorang atau badan usaha dari suatu tuntutan atau tanggung jawab hukum. Berarti klausula ini mengecualikan kewajiban atau tanggung jawab di dalam perjanjian. Klausula eksonerasi yang dicantumkan dalam perjanjian bilamana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya dengan membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melawan hukum, sehingga dapat membebaskan atau membatasi tanggung jawab salah satu pihak, padahal menurut hukum, tanggung jawab tersebut mestinya dibebankan kepadanya.
Memperhatikan pengertiannya saja sudah jelas-jelas secara hukum tidak memenuhi rasa keadilan dan tidak memenuhi asas proporsionalitas (asas keseimbangan) serta bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak sesuai Pasal 1338 KUH Perdata. Hukum perjanjian di Indonesia menganut asas kebebasan berkontrak, bukan justru dibuat pembatasan-pembatasan tanggung jawab oleh salah satu pihak yang seharusnya dilaksanakan oleh pihak tersebut.
Keseimbangan merupakan asas hukum yang menyatakan suatu kondisi dalam keadaan seimbang (evenwicht) yang menunjuk pada makna suatu keadaan pembagian beban di kedua sisi berada dalam keadaan seimbang. Keadaan hening atau keselarasan dari berbagai hak dan kewajiban tidak satupun mendominasi yang lainnya, atau tidak satupun elemen yang menguasai elemen lainnya, berarti kondisi yang tidak seimbang dalam pembagian hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian merupakan larangan dan bertentangan dengan asas ini.
Larangan pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian baku dapat ditemui dalam Pasal 18 UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Klausula baku mengandung syarat-syarat baku sekaligus merupakan aturan bagi para pihak yang terikat didalamnya dan telah dipersiapkan terlebih dahulu untuk dipergunakan oleh salah satu pihak tanpa negosiasi dengan pihak yang lain. Tujuan larangan pencantuman klausula baku sesuai Pasal 18 UUPK untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak.
Tujuan larangan pencantuman klausula eksonerasi karena berupaya membebaskan atau membatasi tanggung jawab salah satu pihak terhadap gugatan pihak lain dalam hal yang bersangkutan tidak melaksanakan kewajibannya. Bila kondisi ini terjadi maka posisi kedudukan konsumen dan pelaku usaha tidak lagi setara sesuai asas kebebasan berkontrak, seharusnya para pihak bebas menentukan klausula dalam perjanjian, pihak yang satu tidak boleh menekan pihak lain, harus sama-sama merasa puas dengan perjanjian yang dibuat. Menurut asas kebebasan berkontrak idealnya para pihak yang terikat dalam perjanjian berada dalam posisi tawar yang seimbang antara satu sama lain.
Pencantuman klausula eksonerasi dalam praktik ramai terjadi, bukan saja terjadi bagi para pihak yang melakukan perjanjian, namun dalam kehidupan sehari-hari yakni dalam kegiatan perdagangan, perjanjian baku sering mengandung klausula eksonerasi itu dicantumkan misalnya di dalam form perjanjian yang ditawarkan oleh perusahaan-perusahaan kepada masyarakat, seperti dalam penjualan tiket-tiket pesawat angkutan penumpang udara, perusahaan pengangkutan laut maupun transportasi darat, perusahaan lising (leasing corporate), perusahaan perbankan, perusahaan asuransi, kegiatan pinjam-meminjam uang, dan lain-lain, semua kesepakatan dicantumkan dalam bentuk klausula baku, ada yang sudah terlebih dahulu dibuat dalam bentuk formulir dan adapula yang dibuat dengan cara bernegosiasi langsung di antara para pihak.
Secara hukum walaupun klausula eksonerasi dilarang, namun dalam praktik perdagangan dalam perjanjian/kontrak baku tidak jarang ditemukan pencantuman klausula eksonerasi yang bersifat baku yang ujung-ujungnya untuk menguntungkan bagi pihak yang memiliki posisi tawar (bargaining position) yang kuat di dalam perjanjian/kontrak.
Penyelesaian masalah ketidakseimbangan dalam perjanjian, hakim berwenang untuk memasuki/meneliti isi suatu perjanjian jika diperlukan karena isi dan pelaksanaan suatu perjanjian/kontrak bertentangan dengan nilai-nilai dalam masyarakat. Hal ini dimaksudkan jika klausula-klausula di dalam perjanjian/kontrak tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai ketertiban umum, maka harus dibatalkan.
Prinsip kebebasan berkontrak pada masa kini dapat diterima dalam situasi bilamana para pihak memiliki persamaan atau keseimbangan dalam posisi tawar (equality in bargaining power). Sebelum abad ke-19 model perjanjian/kontrak masih bersifat klasik di mana perjanjian/kontrak semua bersifat individual, namun setelah abad ke-19 dan di awal abad ke-20 prinsip individual telah ditinggalkan menuju prinsip kolektif.
Akibat desakan paham etis dan sosialis, pada akhir abad XIX, paham individualisme mulai pudar, terlebih-lebih sejak berakhirnya Perang Dunia II. Paham ini kemudian tidak mencerminkan keadilan. Masyarakat menginginkan pihak yang memiliki posisi tawar lemah lebih banyak mendapat perlindungan. Kehendak bebas tidak lagi diberikan secara mutlak, tetapi diberi secara relatif yang selalu dikaitkan dengan kepentingan umum/negara.
Perkembangan ini menghendaki dalam perjanjian/kontrak harus diutamakan prinsip keseimbangan dan keadilan antara posisi tawar masing-masing pihak di dalam perjanjian/kontrak tersebut harus dipenuhi, bukan mementingkan kepentingan individual sebagaimana perjanjian-perjanjian yang mengandung klausula eksonerasi dipandang hanya mementingkan satu pihak saja, sementara di pihak lain tidak menimbulkan rasa keadilan.
Ketidakseimbangan hak dalam perjanjian yang mengandung klausula eksonerasi dapat dicontohkan pada si A adalah perusahaan besar, katakanlah sebauh perusahaan yang fungsinya melakukan jual beli mobil (kendaraan) kepada para konsumennya. Tentu saja dalam kondisi ini posisi tawar yang kuat itu ada pada pihak perusahaan bukan pada konsumen, sehingga perusahaan dapat dengan mudah mencantumkan klausula eksonerasi dalam perjanjian baku untuk menghindari kerugian perusahaan dan agar perusahaan itu terhindar dari tanggung jawabnya.
Contoh lain misalnya di dalam hal pengerjaan proyek pelaksanaan pembangunan yang telah diperjanjikan antara pemodal dengan pelaksanaa proyek, juga kadang-kadang ditemukan pencantuman klausula eksonerasi di dalam perjanjian/kontrak yang didominasi oleh pihak pemilik modal yang memiliki posisi tawar yang kuat di dalam perjanjian.
Kebutuhan akan suatu benda maupun suatu proyek bagi pihak konsumen maupun pelaksanaan proyek sudah merupakan hal yang lazim, tetapi yang membuat hubungan ini menjadi tidak lazim adalah karena tidak seimbang. Ketika ditemukannya suatu kalusula eksonerasi di dalam perjanjian/kontrak yang semata-mata hanya mementingkan kepentingan si pelaku usaha atau si pemilik modal yang posisi tawarnya kuat, maka perjanjian demikian adalah tidak seimbang. Memang sangat disadari suatu prinsip yang berkembang di kalangan para pelaku usaha yang dikenal dengan sebutan, “take it or leave it contract” menjadi adagium yang sangat menakutkan bagi pihak yang memiliki posisi tawar lemah, akibatnya mau tidak mau, pihak yang lemah menyetujuinya karena posisinya sangat memerlukan.
Menolak perjanjian/kontrak atau tidak menyetujui perjanjian yang mengandung klausula eksonerasi dalam kondisi yang sangat dibutuhkan, sama artinya menyianyiakan kesempatan, pihak yang posisi tawarnya lemah itu akan kehilangan kesempatan dan keuntungan, namun sebaliknya jika diambil (disetujui), maka di samping pihak yang posisi tawar yang lemah beruntung dan terpenuhi kebutuhannya, namun sebenarnya ia masih memiliki unsur yang dirugikan secara materil.
Kerugian materil itu misalnya dalam hal perjanjian leasing, pada umumnya kepada konsumen tidak diberikan copy contract perjanjian oleh perusahaan leasing. Ketika hal ini dipertanyakan oleh konsumen, perusahaan leasing mendalihkan dengan alasan yang macam-macam hingga selesainya perjanjian itu baru kemudian copy contract tersebut diberikan kepada konsumen. Ternyata di dalam copy contract terdapat klausula yang menyatakan misalnya, “perusahaan pelaku usaha (kreditor) berhak menarik mobil dengan secara sepihak jika debitor macet dalam melakukan kewajibannya”. Andaikan saja hal ini terjadi selama kredit masih berjalan, tentu saja bisa merugikan pihak debitor karena semaunya kreditor menarik tanpa ada kesepakatan penarikan.
Kerugian materil itu juga dapat dirasakan ketika suatu saat terjadi kerusakan barang atau objek yang diperjanjikan itu telah dimiliki oleh si konsumen. Misalnya ketika dilakukan klaim asuransi, umumnya para konsumen dari perusahaan leasing tidak mengetahui secara jelas apa saja yang menjadi hak-hak dan kewajibannya di dalam perjanjian/kontrak. Perusahaan leasing hanya memberikan solusi berupa penjelasan secara lisan tentang bagaimana seharusnya yang dilakukan untuk klaim asuransi tersebut.
Soal siapa yang bertanggung jawab atas kerugian yang dialamai oleh konsumen terkait dengan pencantuman klausula eksonerasi di dalam perjanjian pada praktiknya, konsumen yang merugi mengajukan gugatan wanprestasi atau perbuatan melawan hukum. Antara lain contoh dalam praktik dapat dijumpai misalnya dalam usaha kredit perbankan. Sebelum adanya UUPK, dalam memberikan kredit, bank mencantumkan syarat sepihak dicantumkannya klausula yang menyatakan bahwa bank sewaktu-waktu diperkenankan untuk merubah (menaikan/menurunkan) suku bunga pinjaman (kredit) yang diterima oleh debitur, tanpa pemberitahuan atau persetujuan dari debitur terlebih dahulu atau dengan kata lain ada kesepakatan bahwa debitur setuju terhadap segala keputusan sepihak yang diambil oleh bank untuk merubah suku  bunga kredit, yang telah diterima oleh debitur pada masa/jangka waktu perjanjian kredit berlangsung.
Contoh bank dilarang untuk menyatakan dan menundukkan debitur kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh bank dalam masa perjanjian kredit. Jika ada pencantuman klausula demikian pada perjanjian kredit bank, berdasarkan larangan dalam ketentuan Pasal 18 UUPK, terhadap perjanjian ini dapat dimintakan pembatalan oleh debitur. Ketentuan ini sepenuhnya bertujuan untuk melindungi kepentingan konsumen (debitur) pengguna jasa perbankan.
Klausula baku ini juga dapat dijumpai dalam tiket pesawat angkutan udara maupun karcis parkir, dan lain-lain. Pengadilan telah menyatakan pencantuman klausula baku dalam tiket pesawat maupun karcis parkir adalah batal demi hukum. Beberapa putusan pengadilan antara lain misalnya dalam perkara hilangnya mobil milik Anny R. Gultom saat parkir di parkiran Plaza Cempaka Mas diajukan kasasi ke MA ditolak oleh MA yang tetap mempertahankan putusan pengadilan tinggi yang memenangkan pemilik mobil yang hilang Anny R. Gultom. MA menyatakan putusan ini menjadi yurisprudensi bagi perkara yang serupa.
Kemudian dalam kasus gugatan yang diajukan oleh konsumen bernama David M.L. Tobing menggugat atas penundaan keberangkatan (delay) pesawat angkutan udara milik PT. Lion Mentari Airlines (PT. Lion Air). MA memenangkan David M.L. Tobing dengan menjatuhkan putusan ganti rugi yang harus dibayar oleh PT. Lion Air kepada David M.L. Tobing sebesar Rp.1.852.000,- (satu juta delapan ratus lima puluh dua ribu rupiah) yang terdiri dari uang ganti rugi sebesar Rp.718.500,- (tujuh ratus delapan belas ribu lima ratus rupiah) dan biaya perkara Rp.1.134.000,- (satu juta seratus tiga puluh empat ribu rupiah). Biaya perkara itu mencakup seluruh biaya mulai dari proses di pengadilan tingkat pertama hingga Pengadilan Tinggi, dan biaya teguran (aanmaning).
Klausula eksonerasi yang bersifat baku di dalam tiket pesawat PT. Lion Air itu menyatakan berikut: “Pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian apapun yang ditimbulkan oleh pembatalan dan/atau keterlambatan pengangkutan ini, termasuk segala keterlambatan datang penumpang dan/atau keterlambatan penyerahan bagasi”. Dari klausula demikian jelas-jelas PT. Lion Air ingin membebaskan kewajiban yang semestinya menjadi bertanggung jawabnya, tetapi justru dilepaskannya melalui pencantuman klausula eksonerasi ini. Majelis hakim MA menyatakan klausula baku dalam tiket PT. Lion Air adalah batal demi hukum.
Kemudian pengadilan juga menyatakan pencantuman klausula baku dalam tiket pesawat milik PT. Indonesia Air Asia (PT. Air Asia) adalah batal demi hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Dalam perkara ini, konsumen yang bernama Hastjarjo Boedi Wibowo mengajukan gugatan atas perbuatan melawan hukum kepada PT. Air Asia di Pengadilan Negeri Tangerang. Pengadilan memenangkan gugatan konsumen tersebut dengan menjatuhkan putusan ganti rugi sebesar Rp.806.000,- (delapan ratus enam ribu rupiah) dan ganti rugi immaterial sebesar Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) yang harus dibayar PT. Air Asia kepada Hastjarjo Boedi Wibowo.
Alasan pembatalan keberangkatan pesawat angkutan udara milik PT. Air Asia ini adalah terjadinya kerusakan pesawat sehingga menjadi suatu keadaan memaksa (overmacht). Pesawat baru bisa digunakan pada tanggal 13 Desember 2008 sementara jadwal penerbangan Hastjarjo Boedi Wibowo adalah tanggal 12 Desember 2008. Pertimbangan majelis hakim menilai PT. Air Asia tidak dapat membuktikan secara jelas apakah pesawat yang rusak itu adalah pesawat yang mengangkut Boedi dari Jakarta ke Yogyakarta. PT. Air Asia dinilai tidak bisa membuktikan pesawat yang rusak dalam kondisi perbaikan selama sidang pengadilan.
Pencantuman klausula eksonerasi menentukan pengalihan tanggung jawab dalam tiket pesawat PT. Air Asia jelas sangat bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) huruf a UUPK. Dalam tiket pesawat PT. Air Asia tercantum klausula eksonerasi yaitu: “Indonesia Air Asia akan mengangkut penumpang, tetapi tidak menjamin ketepatan sepenuhnya, Indonesia Air Asia dapat melakukan perubahan tanpa pemberitahuan sebelumnya”. Ketentuan lain dalam Pasal 146 UU Nomor 1 Tahun 1999 tentang Penerbangan (UU Penerbangan) juga mewajibkan pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita karena keterlambatan, kecuali pengangkut dapat membuktikan keterlambatan disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis operasional.