Senin, 27 Juni 2016


MENDORONG KESADARAN MASYARAKAT
DALAM BERLALULINTAS*

Oleh
Bisdan Sigalingging, S.H., M.H.**


Kerusakan Sistim Dalam Hukum Lalulintas
Faktor-faktor masyarakat tidak taat pada aturan lalulintas dapat diidentifikasi dari lingkup sistim hukum meliputi: struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substances), budaya hukum (legal culture).[1] Bagian-bagian dalam sistim hukum[2] tersebut harus terorganisir dan bersama-sama[3] dalam prosesnya mencapai tujuan hukum. Kehidupan akan menjadi tertata dan kepastian dalam masyarakat akan tercipta dengan adanya sistem hukum.[4]
Menurut Ludwig Von Bertalanffy ”system are complexes of element standing in interaction”. Menurut A.D. Hall dan R.E. Fagen adalah “a set of objects together with relationship between the objects and between the attributes. Menurut Kennet Berrien adalah “a system is a set of component, interacting with each other”. Sistem memiliki komponen-komponen yang dirancang untuk mencapai tujuan tertentu sesuai dengan rencana.[5]
Struktur hukum yaitu keseluruhan institusi-institusi hukum yang ada beserta aparatnya, mencakup antara lain pemerintah atau negara, legislatif, kepolisian dengan para polisinya, kejaksaan dengan para jaksanya, pengadilan dengan para hakimnya, dan lain-lain.[6]
Struktur hukum ibarat mesin sedangkan substansi hukum adalah apa yang dihasilkan atau dikerjakan oleh mesin itu, sedangkan budaya hukum adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan mesin itu serta memutuskan bagaimana mesin itu digunakan.[7] Substansi hukum berada pada urutan kedua setelah struktur hukum.
Substansi hukum mencakup produk yang dihasilkan dan dikerjakan oleh struktur hukum dapat berupa aturan hukum, norma hukum, dan asas hukum, baik norma-norma maupun asas-asas hukum yang tertulis dalam undang-undang maupun yang tidak tertulis tetapi hidup dan berkembang di dalam masyarakat (living law) yang bersumber dari hukum alam (hukum dalam kitab suci dan hukum dalam alam semesta).
Budaya hukum mencakup suasana pikiran, pola pikir, sikap, tingkah laku, dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan, meliputi opini, kepercayaan atau keyakinan, kebiasaan, cara berfikir, dan cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga masyarakat, tentang hukum dan berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum.[8]
Budaya hukum yang positif (positive legal culture) mengandung nilai-nilai yang baik berhubungan dengan hukum,[9] baik bersumber dari hukum agama (hukum Tuhan) maupun hukum negara (hukum positif). Tanpa budaya hukum, sistim hukum itu sendiri tidak akan berdaya seperti ikan mati yang terkapar di keranjang, bukan seperti ikan hidup yang berenang di lautnya.[10]
Faktor penting dari sekian banyak faktor penyebab masyarakat dan pelaksana hukum tidak patuh terhadap hukum adalah budaya hukum (legal culture). Budaya hukum lah elemen yang paling penting dibenahi untuk menyadarkan masyarakat dan pelaksana hukum terdorong kesadarannya patuh terhadap aturan lalulintas.
Berbagai macam-ragam fakta di lapangan terkait pelanggaran lalulintas mulai dari tidak membawa Surat Tanda Kendaraan Bermotor (STNK), tidak membawa Surat Izin Mengemudi (SIM), memodifikasi standar produksi kendaraannya, menerobos lampu di persimpangan, tidak pakai helm, hingga kebiasaan membawa-bawa deking merupakan contoh-contoh tradisi, budaya, atau kebiasaan buruk (negative legal culture) masyarakat dalam berlalulintas.
Bukan saja dari sisi masyarakatnya tetapi juga dari sisi aparatur hukum pun khususnya para oknum juga terlibat sebagai pelaku dalam negative legal culture. Untuk itu kedua kelompok ini harus sama-sama diperbaiki untuk membiasakan diri secara individual maupun insitusional berperilaku positief legal culture dan meninggalkan kebiasaan negative legal culture
Sebaik dan sebagus apapun substansi hukum itu dibuat jika struktur hukumnya (masyarakat maupun aparatur hukum) tidak bermoral maka niscaya keasadaran masyarakat dan pelaksana hukum mematuhi aturan lalulintas tidak akan tercapai hingga dunia kiamat. Sebaik dan sebagus apapun substansi dalam Undang-Undang Lalulintas[11] tidak akan berguna dan tidak akan bermanfaat jika mesin-mesinnya tidak bekerja dengan baik dan bertanggung jawab serta membiasakan positive legal culture dalam kehidupannya.
Struktur hukum ibarat mesin yang harus bisa membuat atau merancang substansi hukum menjadi lebih baik. Substansi yang dihasilkan atau dikerjakan oleh mesin itu menampakkan wujudnya dalam kebijakan substantif maupun kebijakan aplikatif, baik secara tertulis maupun tidak tertulis.
Budaya hukum menyangkut siapa saja yang memutuskan atau menghidupkan mesin itu untuk digunakan atau memperbaiki mesin itu jika rusak. Jika bicara soal siapa saja yang memutuskan atau menghidupkan mesin atau memperbaiki mesin itu jika rusak, berarti bicara soal subjektifnya, baik masyarakat maupun aparatur hukum, baik individual maupun institusional. Berarti tergambarlah siapa dan apa saja faktor-faktor penyebab terjadinya pelanggaran lalulintas.
Bagaimana upaya untuk mendorong masyarakat agar sadar dan taat pada aturan lalulintas di jalan raya? Pertanyaan ini terlalu dini ditujukan kepada masyarakat saja. Pertanyaan ini jangan hanya ditujukan pada masyarakatnya tetapi yang lebih penting adalah ditujukan terlebih dahulu kepada pembuat dan pelaksana hukum itu. Pembuat dan pelaksana hukum seharusnya menjadi panutan, contoh, suri tauladan, yang berarti di depan ia harus mampu memberikan positive legal culture kepada semua orang yang diayominya, dilindunginya, dan dilayaninya yaitu masyarakat.
Dari sisi pembuatan Undang-Undang Lalulintas[12] bicara soal kebijakan dalam politik hukum dan tidak perlu dibahas di sini. Akan tetapi pembahasan ini berfokus pada pelaksana amanah dari hukum itu sendiri yaitu aparatur hukum dan masyarakatnya (struktur hukum dan budaya hukum). Masyarakat dijamin tidak akan mau atau takut melanggar rambu-rambu lalulintas atau selalu disiplin berlalulintas termasuk melengkapi surat-surat kendaraannya jika polisi lalulintas bisa menjadi panutan, contoh, suri tauladan, di depan harus mampu memberikan positive legal culture kepada semua orang tanpa ada pembedaan sekalipun terganjal karena ikatan keluarga atau sahabat dan lain-lain.


Pendekatan Hukum Alam (Natural Law Approach)
Mendorong keasadaran masyarakat dalam berlalulintas dari pendekatan hukum alam (natural law) dititikberatkan pada penyadaran pentingnya hukum moral (morality law), sumbernya adalah hukum alam (hukum agama dan hukum alam semesta). Tidak ada satu agama manapun yang mengajarkan agar kita selalu berbuat kerusakan dan pelanggaran serta perpecahaan di muka bumi ini. Lalu pertanyaannya mengapa kita tidak takut pada ajaran agama kita? Mengapa kita tidak takut pada Tuhan kita? Mengapa kita selalu melanggar aturan yang dibuat oleh penguasa (pemimpin) negara kita?
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang perlu kita harus sadari lebih dahulu untuk menginsyafi siapa kita sebenarnya, di mana kita, untuk siapa kita, untuk ke mana kita, bagiamana kita seharusnya berbuat dan bertindak sepatutnya untuk membiasakan hidup kita selalu berada dalam kerangka positive legal culture.
Undang-Undang Lalulintas[13] mewajibkan warga negara Indonesia pakai helm saat berkendaaraan betujuan untuk kebaikan dirinya sendiri dan orang lain agar dapat melindungi kepala dari benturan jika terjadi kecelakaan lalulintas (lakalantas). Ini adalah perintah Tuhan untuk menjaga diri kita dari segala mara bahaya dan berhati-hati, yang kemudian diadopsi dalam hukum nasional (hukum positif). Bukankah negara dalam UUD Tahun 1945 menjamin dan melindungi seluruh warga negaranya? Itu semua wujud dari sila ke-1 Pancasila.
Ugal-ugalan di jalan raya merupakan satu contoh masyarakat tidak sadar berlalulintas. Bukankah perbuatan ini dapat membunuh atau mencelakai pengguna jalan lainnya? Padahal Tuhan menyuruh kita harus saling sayang-menyangi, saling melindungi, termasuk tidak berbuat hal-hal yang membahayakan bagi yang lain. Kita harus menghitung-hitung kesalahan diri kita sendiri terlebih dahulu baru hitung kesalahan orang lain.
Pengguna jalan dengan sesuka hatinya berhenti atau memarkirkan kendaraannya sembarangan di jalan raya merupakan satu contoh perilaku yang tidak sadar berlalulintas. Bukankah kita diperintahkan Tuhan untuk hidup tertata, rapi, tidak saling mengganggu bagi yang lain, berada pada haknya masing-masing, tidak mengambil hak atau mengganggu hak orang lain sesama pengguna jalan raya? Semua itu kembali pada diri kita, mau sadar atau tidak, atau mau jadi warga negara yang kacau balau.
Analisis dari sisi pendekatan hukum alam ini berlaku bagi semua orang, baik bagi masyarakat maupun bagi aparatur pelaksana hukum lalulintas yaitu polisi lalulintas (polantas). Mendorong keasadaran masyarakat dalam berlalulintas dari sisi pendekatan hukum alam menyadarkan kita semua menginsyafi bagaimana mengenali diri kita lebih bermakna hingga pada makna filosofis. 
Bicara soal budaya hukum meliputi dua aspek yaitu budaya hukum negatif (negative legal culture) dan budaya hukum positif (positive legal culture). Pertanyaannya saat ini kita berada pada budaya yang mana, apakah pada budaya yang positif atau budaya negatif. Budaya hukum yang positif tentu mengandung hal-hal yang bernuansa positif, mendatangkan manfaat yang baik, bersumber dari nilai-nilai agama dan ketuhanan, serta sesuai dengan kaidah-kaidah kepatutan dan kepantasan di dalam pergaulan masyarakat.
Budaya hukum positif (positive legal culture) sudah pasti sumbernya dari hukum-hukum agama (hukum Tuhan) yang mengandung nilai-nilai tertinggi dan mengandung paradigma yang lebih bijaksana (wisdom), tidak mengandung hal-hal yang negatif yang lebih banyak mendatangkan keburukan dan kekacauan bagi diri sendiri maupun bagi semua orang.
Membiasakan hidup dengan teratur, rapi, berdisiplin dalam berlalulintas menunjukkan karakter bangsa Indonesia yang agamais, tetapi jika hidup tidak teratur, tidak rapi, dan kacau balau dalam berlalulintas, berarti perlu dipertanyakan dan dikoreksi kembali sejauh mana pemahamannya terhadap agamanya masing-masing.
Berdasarkan pendekatan hukum alam ini maka kondisi hukum lalulintas di Indonesia di masa yang akan datang (ius constituendum) dalam pelaksanaannya tidak ada lagi kolusi, korupsi, dan nepotisme, tidak ada lagi masyarakat yang tidak pakai helm, tidak ada lagi masyarakat yang melanggar lampu di persimpangan jalan raya, tidak ada lagi perilaku deking-dekingan, merasa anak polisi, merasa anak pejabat, merasa anak presiden, dan lain-lain, jika semua orang, baik masyarakat maupun aparatur hukum, baik individu maupun institusional menghilangkan semua praktik-praktik negative legal culture ini.
Untuk dapat menghilangkan semua praktik-praktik negative legal culture tersebut terutama bagi polantas harus menunjukkan dirinya sebagai polisi modern, dekat dengan masyarakat tetapi tegas dalam menindak pelanggar tanpa terkecuali. Menjadi panutan, contoh, suri tauladan yang baik di depan, mampu memberikan positive legal culture kepada semua orang yang diayominya, dilindunginya, dan dilayaninya yaitu masyarakat.
Jika pelaksana hukum lalulintas yaitu polantas mampu menunjukkan sebagai panutan, contoh, suri tauladan yang baik di depan masyarakat memberikan positive legal culture kepada semua orang yang diayominya, dilindunginya, dan dilayaninya, maka suatu waktu jika ada masyarakat yang melanggar aturan lalulintas, penindakannya dapat betul-betul dilaksanakan secara refresif, mudah-mudahan masyarakat pun tercegah dengan sendirinya dari perilaku-perlikau negative legal culture.

Pendekatan Hukum Positif (Positivistik Approach)
Jika tadi telah dibicarakan bagaimana cara mendorong keasadaran masyarakat dalam berlalulintas dari pendekatan hukum alam termasuk mendorong kesadaran aparatur hukumnya dari penyadaran hukum moral, maka tiba saatnya penguatan Undang-Undang Lalulintas[14] mesti ditegakkan secara ketat, tanpa kecuali. Tahap kedua ini lebih dititikberatkan pada penguatan positivistik dan menjunjung tinggi kepastian hukum (legal certainty).
Penguatan hukum positif merupakan alternatif paling strategis untuk memberikan efek pencegahan (detterence effect) kepada masyarakat, termasuk efek pencegahan itu betul-betul dilaksanakan oleh para petinggi-petinggi di Kepolisian untuk memberikan sanksi terhadap para oknum yang tidak mendukung penegakan hukum (law inforcement) lalulintas.
Penerapan sanksi denda bagi pelanggar harus betul-betul diterapkan dan tidak boleh main ”86” di jalan, denda wajib disetor ke negara, berapa denda disebut dalam undang-undang jangan dikurang-kurangi atau ditawar-tawar. Sehingga dengan denda dan mekanisme sidang untuk pelanggaran lalulintas (pelanggaran ringan) dengan proses panjang memaksa masyarakat harus mengukiti sidang pengadilan. Pengenaan denda melalui proses sidang terus-menerus dilaksanakan jika masyarakat melanggar lagi, sampai masyarakat bosan melanggar aturan lalulintas.
Sebagaimana telah disinggung dalam teori sistim hukum terdapat didalamnya elemen-elemen yang meliputi struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum.[15] Lawrence Milton Friedman menekankan penegakan hukum pada aspek kinerja aparatur hukum serta sarana dan prasarana hukum itu sendiri yang diibaratkannya seperti mesin.[16]
Struktur hukum mencakup keseluruhan institusi-institusi hukum baik lembaga-lembaga pemerintahan maupun aparat penegak hukum dalam criminal justice system.[17] Kinerja struktur hukum (mesin) dapat dilihat dalam pelaksanaan penegakan hukum (law inforcement) lalulintas apakah sesuai maksud undang-undang atau tidak.
Masalah prosedur merupakan bagian penting yang dibicarakan dalam penegakan hukum  (vide: JH. Merryman) dan struktur hukum (vide: LM Friedman), karena pada bagian ini hampir selalu menimbulkan masalah. Alasan memfokuskan ini pada prosedur dan struktur hukum karena prosedur dan struktur hukum menyangkut masalah penegakan hukum lalulintas dapat berjalan dengan baik jika polantas betul-betul melaksanakan prosedur hukum jika terjadi pelanggaran lalulintas yang melibatkan masyarakat.
Joseph Goldstein membedakan penegakan hukum pidana dalam tiga bagian yaitu: total enforcement, full enforcement, dan actual enforcement. Tentang total enforcement menyangkut penegakan hukum pidana sesuai rumusan substantifnya. Total enforcement tidak mungkin dilakukan sebab tugas dan wewenang para penegak hukum dibatasi secara ketat oleh hukum acara pidana mencakup aturan-aturan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan pendahuluan.[18]
Full enforcement menyangkut masalah penegakan hukum pidana yang bersifat total tersebut dikurangi area of no enforcement di mana para penegak hukum diharapkan menegakkan hukum secara maksimal (full). Actual enforcement merupakan redusi (sisa) dari full enforcement. Bahwa full enforcement dianggap not a realistic expectation karena ada keterbatasan dalam bentuk waktu, personil, alat-alat investigasi, dana dan sebagainya, yang mengakibatkan keharusan dilakukannya diskresi (discretion) dan sisanya inilah yang disebut dengan actual enforcement.[19]
Penggunaan upaya hukum pidana dalam penegakan hukum merupakan sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan penegakan hukum.[20] Pelanggaran aturan lalulintas oleh masyarakat sudah menjadi negative legal culture yang persoalannya secara terus-menerus berada dalam lingkaran setan yang sama, maka perlu ditindaklanjuti upaya penguatan positivistik dengan melaksanakan penegakan hukum lalulintas itu secara lebih baik dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan yang telah ditentukan dalam undang-undang lalulintas.
REFERENSI

Ali, Achmad, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Jakarta: Kencana, 2009.
Friedman, Lawrence M., American Law And Introduction, Second Edition, (New York: W.W. Norton & Company, 1997), diterjemahkan oleh Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, Jakarta: Tatanusa, 2001.
H.S., Salim, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Jakarta: Rajawali Press, 2012.
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 1995.
Prodjohamidjojo, Martiman, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi (UU No. 20 Tahun 2001), Bandung: Mandar Maju, 2009.
Suherman, Ade Maman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004.



* Makalah disampaikan dalam Dialog Interaktif dengan tema “Mendorong Kesadaran Masyarakat Dalam Berlalulintas”, Kerjasama Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Kantor Wilayah Sumatera Utara dan RRI Pro-2 Medan, Tanggal 27 Juni 2016. 
** Dosen Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa Medan Sumatera Utara (2009-sekarang), dan Mahasiswa Program Doktor (S3) Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan Angkatan 2015 (sekarang).
[1] Lawrence M. Friedman, American Law And Introduction, Second Edition, (New York: W.W. Norton & Company, 1997), diterjemahkan oleh Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, (Jakarta: Tatanusa, 2001), hal. 9.
[2] Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 4.
[3] Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi (UU No. 20 Tahun 2001), (Bandung: Mandar Maju, 2009), hal. 77.
[4] Salim, HS., Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 2012), hal. 71.
[5] Ludwig Von Bertalanffy, A.D. Hall dan R.E. Fagen, Kennet Berrien, Richard A. Jhonson, Fremont E. Kast, dan James E. Resonweig dalam Ade Maman Suherman, Op. cit., hal. 4-5.
[6] Lawrence M. Friedman dalam Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 204. Lihat juga: Lawrence M. Friedman, American Law...diterjemahkan oleh Wishnu Basuki, Loc. Cit.
[7] Ibid., hal. 8.
[8] Ibid.
[9] Ade Maman Suherman, Op. cit., hal. 11-13.
[10] Lawrence M. Friedman, American Law And Introduction, Second Edition, (New York: W.W. Norton & Company, 1997), diterjemahkan oleh Wishnu Basuki, Loc. Cit.
[11] Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
[12] Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
[13] Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
[14] Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
[15] Lawrence M. Friedman, American Law..Op. cit., hal. 9.
[16] Ibid.
[17] Achmad Ali, Loc. cit, hal. 204.
[18] Joseph Goldstein dalam Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 1995), hal. 40.
[19] Ibid.
[20] Ibid., hal. 35.

Tidak ada komentar: