Senin, 27 Juni 2016



PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM TINDAK PIDANA
PENCUCIAN UANG

Oleh:
Bisdan Sigalingging, SH, MH
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

Pembuktian terbalik yang diatur secara substantif dalam 77 UUPPTPPU dalam praktik dipergunakan dalam instrumen criminal forfeiture, padahal konsep lahirnya prinsip, asas, dan doktrin dalam teori pembuktian terbalik hanya diperkenankan dalam hukum perdata yang dikenal dalam instrumen civil forfeiture. Pasal 77 UUPPTPPU pada prinsipnya menganut pembuktian terbalik murni, namun dalam praktik yang diterapkan adalah model pembuktian terbalik secara berimbang.
Ada tiga beban pembuktian, yaitu beban pembuktian pada penuntut umum, beban pembuktian pada terdakwa, dan beban pembuktian berimbang. Kedua beban pembuktian yang terakhir yaitu beban pembuktian pada terdakwa dan beban pembuktian berimbang adalah kategori pembuktian terbalik (shifting of burden of proof) untuk perkara-perkara tindak pidana khusus (vide: Pasal 37 UUPTPK dan Pasal 77 UUPPTPPU), sedangkan beban pembuktian pada penuntut umum merupakan pembuktian biasa (vide: Pasal 66 KUHAP).
Beban pembuktian pada penuntut umum yang dikenal juga dengan pembuktian biasa (konvensional). Penuntut umum lah yang diwajibkan membuktikan kesalahan terdakwa berdasarkan alat-alat bukti yang ada, sedangkan tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian (vide: Pasal 66 KUHAP). Justifikasi penggunaan beban pembuktian pada penuntut umum ini dijustifikasi dari prinsip hukum yang mengatakan terdakwa berhak untuk diam (the right to remain silent), terdakwa tidak boleh dipaksa untuk bicara dalam proses persidangan.
Ada asas actori incumbis probatio mengatakan siapa yang mendalilkan atau menyangkal hak orang maka ia harus membuktikannya, atau pihak yang mendalilkan itulah yang harus membuktikan dalilnya tersebut. Pembuktian pada penuntut umum tunduk pada asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) atau asas tidak mempersalahkan diri sendiri (non self incrimination) untuk menjunjung tinggi hak asasi terdakwa (yaitu hak untuk diam). Penuntut umum harus menganggap terdakwa bukan orang yang bersalah sebelum terbukti kesalahannya di sidang pengadilan.
Pembuktian terbalik membebankan pembuktian pada tersangka/terdakwa dan beban pembuktian berimbang. Beban pembuktian pada tersangka/terdakwa mewajibkan tersangka/terdakwa atau penasihat hukumnya lah membuktikan ketidakbersalahan tersangka/terdakwa. Beban pembuktian ini menggeser asas parduga tidak bersalah menjadi praduga bersalah. Tersangka/terdakwa sebelum diputus hakim pengadilan sudah diduga bersalah. Beban pembuktian pada tersangka atau terdakwa inilah yang merupakan model pembuktian terbalik absolut (murni).
Pembuktian yang dibebankan pada tersangka/terdakwa merupakan penyimpangan dari hukum pembuktian biasa (konvensional) pada umumnya yang dipakai dalam Pasal 66 KUHAP. Beban pembuktian pada penuntut umum (pembuktian biasa) menempatkan kedudukan hak asasi tersangka atau terdakwa paling tertinggi sedangkan beban pembuktian pada tersangka atau terdakwa (pembuktian terbalik murni) memaksa terdakwa berbicara untuk membuktikan bahwa ia maupun asetnya tidak bersalah.   
Beban pembuktian pada penuntut umum (pembuktian biasa) sebagaimana diatur dalam Pasal 66 KUHAP berbeda secara ekstrim dengan prinsip pembuktian terbalik absolut yang terdapat dalam Pasal 37 UUPTPK dan Pasal 77 UUPPTPPU. Jika penuntut umum dibebankan membuktikan kesalahan tersangka/terdakwa disebut dengan beban pembuktian biasa, sedangkan jika beban pembuktian itu dibebankan kepada si tersangka/terdakwa disebut dengan pembuktian terbalik.
Pembuktian terbalik secara berimbang atau pembuktian terbalik keseimbangan kemungkinan atau pembuktian terbalik bersifat terbatas, tetap membebankan pembuktian pada tersangka/terdakwa, tetapi penuntut umum juga dibebankan untuk membuktikan. Baik penuntut umum maupun tersangka/terdakwa dan atau kuasanya saling membuktikan di sidang pengadilan. Penuntut umum akan membuktikan kesalahan terdakwa, sebaliknya terdakwa bersama penasihat hukumnya akan membuktikan ketidakbersalahan tersangka/terdakwa. Mereka sama-sama saling membuktikan keabsahan alat-alat bukti.
Berdasarkan penjelasan dari ketiga macam model pembuktian tersebut maka inti dari pembuktian terbalik adalah mewajibkan terdakwa untuk membuktian bahwa ia tidak bersalah dan/atau asetnya tidak ternodai/tercemar dengan kejahatan. Disebut pembuktian terbalik karena berbeda dari yang biasanya yaitu menggunakan pembuktian biasa dimana beban pembuktiannya ada pada penuntut umum, sedangkan beban pembuktian terbalik ada pada tersangka/terdakwa untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah dan/atau asetnya tidak ternodai/ternodai dengan korupsi.
Ketentuan pembuktian terbalik dalam Pasal 77 UUPPTPPU pada prinsipnya yang dikejar adalah aset/harta kekayaan yang tercemar/ternodai dengan tindak pidana dengan memperkenalkan suatu instrumen hukum yang mengatur penyitaan aset secara perdata dan pidana dilaksanakan secara terpisah. Model pembuktian terbalik murni/absolut digunakan sebagai sarana hukum untuk merampas aset secara perdata melalui instrumen civil forfeiture sedangkan model pembuktian terbalik secara berimbang digunakan untuk merampas aset secara pidana melalui instrumen criminal forfeiture.
Rejim perdata dalam perspektif civil forfeiture bisa lebih evektif dalam mengembalikan aset yang dicuri oleh para pelaku dibandingkan melalui rejim pidana (criminal forfeiture). Rejim civil forfeiture mempunyai kelebihan dalam mempermudah pengambilan aset melalui proses pembuktian terbalik murni/absolut tanpa putusan pengadilan. Civil forfeiture menggunakan rejim hukum perdata yang menggunakan standar pembuktian lebih rendah dari pada standar yang dipakai dalam hukum pidana. Jika pemerintah cukup mempunyai bukti awal bahwa aset yang akan dirampas adalah aset yang tercemar/ternodai dengan tindak pidana, maka terhadap aset/harta tersebut harus dirampas tanpa melalui putusan pengadilan.
David Scott Romantz mengatakan, civil forfeiture adalah merupakan suatu instrumen penyitaan atau perampasan terhadap asetnya saja. Konsep civil forfeiture didasarkan pada doktrin mencemari (taint doctrine) dimana sebuah tindak pidana dianggap noda atau menodai (taint) sebuah aset. Jika menggunkana instrumen hukum pidana, perampasannya dilakukan melalui criminal forfeiture dan jika menggunakan instrumen hukum perdata disebut civil forfeiture. Konsep civil forfeiture tidak bergantung pada tuntutan pidana dan kedua-duanya dapat sekaligus dijalankan. Criminal forfeiture bertujuan untuk menuntut orang atau pelaku melalui gugatan in personam (gugatan terhadap orang) dan gugatan in rem sedangkan civil forfeiture bertujuan untuk merampas aset atau harta kekayaan tanpa melalui putusan pengadilan.
Perampasan aset sebagai alat yang tangguh untuk merampas kembali hasil-hasil tindak pidana, terutama dalam kasus-kasus besar dimana hasilnya telah ditranfer ke luar negeri. Sehubungan dengan hal tersebut, maka teori yang digunakan dalam pembuktian tindak pidana pencucian uang di samping dari teori pembuktian yang dianut di dalam KUHAP yaitu negatief wettelijk bewijsleer, juga digunakan teori pembuktian terbalik murni yang semata-mata bertujuan untuk merampas asetnya saja atau harta kekayaannya saja yang tercemar/ternodai kejahatan melalui undang-undang pencucian uang.
Teori pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijk bewijsleer) mengandung keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrim antara teori pembuktian menurut positief wettelijk bewijsleer dan conviction in time. Untuk menyatakan salah atau tidaknya terdakwa (kesalahan pidana), tidak cukup berdasarkan keyakinan hakim semata-mata atau hanya didasarkan atas alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang. Seorang terdakwa baru dapat dinyatakan bersalah jika kesalahan yang didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang sekaligus dibarengi dengan keyakinan hakim barulah putusan dijatuhkan.
Tampaknya ketentuan pembuktian terbalik dalam undang-undang (das sollen) berbeda dengan penerapan pembuktian terbalik dalam praktik di sidang pengadilan (das sein). Klausula normatif dalam Pasal 77 UUPPTPPU mengenai pembuktian terbalik tidak sepenuhnya diterapkan secara kongkrit terhadap pembuktian aset/harta kekayaan hasil kejahatan, akan tetapi terhadap kesalahan si pelaku juga diterapkan ketentuan syarat minimal pembuktian sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 183 KUHAP. Padahal bila dicermati ketentuan Pasal 77 UUPPTPPU dan unsur “patut diduga” maka pembuktian berdasarkan conviction in time dapat diterapkan melalui pembuktian terbalik murni khusus untuk merampas aset/harta yang tercemar/ternodai kejahatan.
Orientasi permbuktian terbalik murni adalah mengejar kesalahan perdata karena pembuktian terbalik murni berfokus pada asetnya atau harta kekayaannya saja, bukan terhadap kesalahan pidana pelakunya. Sejalan dengan teori pertanggungjawaban mutlak (strict liability) juga mengejar kesalahan perdata yang pada intinya mengenakan ganti rugi tanpa bergantung pada kesalahan pidana. Salah satu guna permbuktian terbalik murni adalah misalnya dapat digunakan untuk merampas aset/harta “tak bertuan”.
Berdasarkan penerapan teori-teori pembuktian dalam praktik beracara untuk perkara tindak pidana pencucian uang, hakim-hakim pengadilan cenderung menggunakan teori pembuktian menurut negatief wettelijk bewijsleer, di samping itu memberikan kesemapatan lebih dahulu kepada terdakwa untuk membuktikan harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. Kepada penuntut umum juga diberikan kesempatan untuk mempertahankan dalil-dalil dalam dakwaannya setelah terdakwa membuktikan lebih dahulu.
Ini berarti antara ketentuan substantif dan praktik tidak sejalan. Secara substantif dianut pembuktian terbalik murni dalam Pasal 77 UUPPTPPU, namun dalam praktik justru model pembuktian yang diterapkan adalah pembuktian terbalik secara berimbang, hanya saja terdakwa diberi kesempatan lebih dahulu untuk membuktikan, baru kemudian penuntut umum juga diberi kesempatan untuk mempertahankan alat bukti yang diajukannya.
Penerapan teori pembuktian negatief wettelijk bewijsleer dalam praktik perkara pencucian uang, tidak pula didominasi dari salah satu teori yang tergabung (gabungan antara positief wettelijk bewijsleer dan conviction in time), tetapi keduanya tetap digunakan. Sekalipun kesalahan terdakwa sudah cukup terbukti berdasarkan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, namun jika hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa, maka terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah. Sebaliknya dalam praktik, jika hakim benar-benar yakin terdakwa bersalah melakukan kejahatan yang didakwakan kepadanya, tetapi keyakinan tersebut tidak didukung dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, terdakwa tidak dapat juga dinyatakan bersalah.
Kedua model pembuktian (yaitu positief wettelijk bewijsleer dan conviction in time) dalam praktik tetap digunakan untuk saling mendukung. Sehingga dapat dikatakan bahwa dalam praktik bercara di persidangan untuk perkara-perkara tindak pidana pencucian uang tidak jauh berbeda dengan penerapan konsep pembuktian KUHAP yang menggunakan negatief wettelijk bewijsleer. Singkatnya dalam praktik pembuktian terbalik murni masih belum bisa dilaksanakan atau mungkin masih ada keraguan dalam menerapkan model pembuktian terbalik murni karena mekanismenya tidak diatur dalam undang-undang khusus perampasan aset.
Padahal Pasal 77 UUPPTPPU mengandung model pembuktian terbalik murni. Murni berarti tidak perlu dibutuhkan terbuktinya kesalahan pidana, tetapi konsepnya adalah ”bila terdakwa tidak dapat membuktikan harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana, maka harta tersebut wajib dirampas/disita”. Dalam konteks ini yang dikejar adalah kesalahan perdata, yang berorientasi pada pengejaran kesalahan asetnya, bukan pengejaran kesalahan pidana terhadap pelakunya.
Pemeriksaan pokok perkara dalam proses acara sidang pidana dimulai dengan pembukaan hakim ketua sidang dinyatakan dibuka atau terbuka untuk umum, kemudian dilanjutkan pemeriksaan terhadap identitas, dan peringatan ketua sidang kepada terdakwa supaya mendengar dan memperhatikan segala sesuatu yang terjadi dalam persidangan, pembacaan catatan/surat dakwaan, acara keberatan/eksepsi dari terdakwa dan atau penasehat hukumnya, dan mendengar pendapat penuntut umum, penetapan/keputusan sela, pemeriksaan alat bukti, tuntutan pidana (requisitoir), pembelaan (pleidooi), replik (repliek), duplik (dupliek), rereplik (re-repliek), reduplik (re-dupliek), pernyataan pemeriksaan ditutup, serta musyawarah majelis hakim dan pembacaan putusan diucapkan.
Bilamana praktik persidangan tindak pidana pencucian uang lebih dahulu mempersilahkan kepada terdakwa untuk membuktikan harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana, namun kepada penuntut umum masih diberikan kesempatan untuk mempertahankan dalil-dalil dakwaannya, tuntutan pidananya (requisitoir), repliknya (repliek), dan rerepliknya (re-repliek), maka penerapan model demikian bukanlah model pembuktian terbalik murni, melainkan model pembuktian terbalik secara berimbang.
Jika penuntut umum menurut Martiman Prodjohamidjojo masih tetap diwajibkan membuktikan dakwaannya, maka pembuktian model ini adalah bersifat terbatas dan berimbang. Sutan Remy Sjahdeini juga berpendirian sama dan mengatakan penuntut umum tetap harus mendasarkan dakwaannya dengan bukti-bukti, karena bila tidak disertai bukti-bukti berpotensi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of judiciary power), sama sekali tidak dibenarkan untuk mengajukan dakwaan tanpa bukti-bukti mengenai fakta-fakta tindak pidana pencucian uang.
Pasal 77 UUPPTPPU pada prinsipnya menganut pembuktian terbalik murni, namun dalam praktik justru yang diterapkan adalah model pembuktian terbalik secara berimbang. Untuk memahami itu bisa dibandingkan dengan Pasal 81 UUPPTPPUyang masih menegaskan kalimat ”diperoleh bukti yang cukup”. Dari redaksi “diperoleh bukti yang cukup” pasal ini berarti masih diperlukan alat-alat bukti yang cukup, sementara kata “cukup” di sini maksudnya adalah cukup menurut syarat minimal pembuktian dalam Pasal 183 KUHAP (minimal harus ada dua alat bukti). Sementara dalam teori pembuktian terbalik murni tidak diperlukan syarat minimal dua alat bukti, tetapi cukup dengan: ”bila terdakwa tidak dapat membuktikan harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana, maka harta tersebut wajib dirampas”.

Tidak ada komentar: