Minggu, 01 Mei 2016


DOKTRIN BUSINESS JUDGMENT RULE (BJR) DALAM PEMBELAAN DIREKSI PERSEROAN YANG BERITIKAD BAIK

Oleh:
Bisdan Sigalingging, SH, MH
Dosen Hukum Ekonomi
Pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

A.    Teori Salomon Melatarbelakangi Munculnya Doktrin BJR
Perseroan Terbatas sebagai suatu perusahaan atau suatu entitas ekonomi dimana salah satu karakteristiknya adalah terpusatnya manajemen di bawah struktur Direksi. Oleh karena itu sangat penting untuk mengontrol perilaku para Direksi itu. Awal dari pentingnya fungsi kontrol terhadap Direksi tidak terlepas dari perkembangan teori pemisahan kekayaan dalam hukum perusahaan itu sendiri. Teori ini berasal dari Teori Salomon yang muncul dari Putusan Pengadilan kasus Solomon v Salomon & Co. Ltd (1897).
Teori Solomon mengungkapkan bahwa: Pada sebuah pembentukan perseroan, maka perseroan itu menjadi bagian terpisah dari orang yang membentuknya atau menjalankannya, dimana perusahaan tersebut mempunyai hak dan kewajiban yang berkaitan erat dengan aktivitasnya bukan kepada orang yang memiliki atau menjalakannya.
Teori Solomon sering disalahgunakan oleh Direksi yang beritikad buruk untuk kepentingannya sendiri. Hal ini terjadi karena seorang Direksi perseroan akan selalu berurusan dengan aset milik orang lain, tidak hanya dalam aspek hukum dimana Direksi tersebut berkuasa penuh untuk mengelola aset-aset perusahaan, tetapi juga perusahaan mungkin mempunyai pemegang saham yang menginvenstasikan uangnya dalam perusahaan tersebut dengan membeli saham.
Sedangkan pemegang saham sering kali hanya mempunyai pengawasan yang kecil atau bahkan tidak ada sama sekali terhadap perilaku seorang Direksi. Dengan adanya pemisahaan kekayaan antara Direksi dan perseroan, Direksi mempunyai moral hazard yang tinggi karena mereka tidak mendapat konsekwensi finansial yang serius apabila keputusan mereka merugikan perusahaan. Akibatnya banyak Direksi yang menggunakan kekuasaanya untuk memperkaya diri sendiri yang seringkali menyebabkan perusahaan mereka mengalami kerugian. Direksi harus mengetahui tugas dan tanggung jawabnya kepada perseroan untuk menghindari kerugian perseroan. Hal ini berkaitan dengan prinsip tanggung jawab Direksi atau yang sering disebut dengan ”wajib dipercaya” atau fiduciary duty tersebut.
Prinsip wajib dipercaya ini atau fiduciary duty telah menimbulkan kekhawatiran yang mendalam bagi Direksi untuk mengambil keputusan bisnisnya. Dalam dunia bisnis adalah lazim bagi Direksi untuk mengambil sebuah keputusan yang bersifat spekulatif karena ketatnya persaingan usaha. Permasalahan timbul ketika keputusan bisnis yang diambilnya ternyata merugikan perusahaan, padahal dalam mengambil keputusan tersebut, Direksi tersebut melakukannya dengan jujur dan itikad yang baik. Untuk melindungi Direksi yang beritikad baik tersebut maka muncul doktrin Business Judgment Rule yang merupakan salah satu teori yang sangat popular untuk menjamin keadilan bagi Direksi yang mempunyai itikad baik. Penerapan teori ini mempunyai misi utama, yaitu untuk mencapai keadilan, khusunya bagi para Direksi perseroan dalam melakukan suatu keputusan bisnis.

B.     Doktrin BJR
Doktrin Business Judgment Rule awalnya berasal dari Amerika Serikat untuk mencegah pengadilan-pengadilan di Amerika Serikat untuk mempertanyakan pengambilan keputusan usaha oleh Direksi yang diambil dengan itikad baik (good faith) tanpa kepentingan pribadi dan keyakinan yang dapat dipertanggungjawabkan bahwa mereka telah mengambil suatu keputusan yang menguntungkan perseroan. Doktrin business Judgment Rule muncul sebagai jawaban dari doktrin duty of care. Berlakunya doktrin Business Judgment Rule ini menurut pendapat beberapa ahli hukum dianggap telah memberikan kelegaan karena doktrin duty of care telah menibulkan kekhawatiran yang mendalam bagi para anggota Direksi perseroan di Amerika Serikat pada waktu itu.
Doktrin Business Judgment Rule ini secara tradisional dikonsep untuk melindungi kepentingan anggota Direksi dari pertanggungjawaban diambilnya keputusan usaha tertentu yang menyebabkan kerugian pada perseroan. Mengenai Busines Judgment Rule dalam putusan Mahkamah Agung Delaware di Amerika Serikat, menyebutkan bahwa, Business Judgment Rule melibatkan 2 (dua) hal, yaitu proses dan substansi. Sebagai proses, Business Judgment Rule melibatkan formalitas pengambilan keputusan dalam perseroan. Sedangkan sebagai substansi, Business Judgment Rule menjawab pertanyaan yang berkenaan dengan klaim pembelaan Direksi.
Dalam ilmu hukum doktrin Business Judgment Rule diartikan sebagai aplikasi spesifik dari standar tingkah laku Direksi pada sebuah situasi dimana setelah pemeriksaan secara wajar, Direksi yang tidak mempunyai kepentingan pribadi menggunakan serangkaian tindakan dengan itikad baik, jujur dan secara rasional percaya bahwa tindakannya dilakukan hanya semata-mata untuk kepentingan perusahaan.
Sutan Remy Sjahdeni, menyatakan bahwa menurut Doktrin Business Judgment Rule, pertimbangan bisnis (business judgment) para anggota Direksi tidak dapat ditantang (diganggu gugat) atau ditolak oleh pengadilan atau oleh pemgeng saham. Para anggota Direksi tidak dapat dibebani tanggung jawab atas akibat-akibat yang timbul karena telah diambilnya suatu pertimbangan bisnis (business judgment) oleh anggota Direksi yang bersangkutan sekalipun pertimbangan itu keliru, kecuali dalam hal-hal tertentu. Perbuatan-perbuatan dan pertimbangan bisnis apa saja yang tidak dilindungi oleh Business Judgment Rule sangat penting diketahui oleh masyarakat dan hakim. Hal ini mengingat bahwa apabila dipelajari putusan-putusan pengadilan Amerika Serikat, dapat diketahui ternyata pengadilan-pengadilan itu tidak seragam dalam merumuskan pengecualian-pengecualian dari Business Judgment Rule tersebut.
Beberapa pengadilan berpendapat bahwa pertimbangan (judgment) seorang anggota Direksi tidak dapat diganggu gugat kecuali apabila pertimbangan (judgment) tersebut didasarkan atas suatu kecurangan (fraud), menimbulkan benturan kepentingan (conflict of interest), atau merupakan perbuatan yang melanggar hukum (illegality). Sementara itu, beberapa pengadilan yang lain berpendapat bahwa seorang Direksi yang dalam mengambil pertimbangan telah menimbulkan kerugian bagi perseroan tidak dilindungi oleh Business Judgment Rule, jika kerugian tersebut merupakan akibat kelalaian berat (gross negligence) anggota Direksi yang bersangkutan.
Sehubungan dengan perlindungan berdasarkan Doktrin Business Judgent Rule dikatakan tidak berlaku bagi anggota Direksi perseroan jika dalam transaksi bisnis yang dilakukan oleh Direksi diketahui bahwa Direksi tersebut telah berupaya mengedepankan kepentingan pribadinya atau telah terdorong untuk membuat syarat-syarat tarnsaksi yang dilakukannya demi kepentingan pribadinya. Dengan demikian pertimbangan yang telah diambilnya itu, dapat dikatakan sebagai tindakan yang mengandung kecurangan (fraud) dan benturan kepentingan (conflict of interest).
Menurut Gunawan Widjaja, bahwa dalam doktrin Business Judgment Rule menyisihkan kekuatan berlakunya doktrin duty of care dimana bahwa secara praktis semua pengadilan di Amerika Serikat sepakat bahwa anggota Direksi tidak harus bertanggung jawab atas kerugian perseroan apabila anggota Direksi dalam mengambil suatu pertimbangan (judgment)  tersebut diketahui telah melakukannya berdasarkan itikad baik (good faith). Namun di samping itu kebanyakan pengadilan juga berpendapat bahwa tidak seharusnya para anggota Direksi itu bertindak sembrono (act negligently) atau melakukan kelalaian yang berat (act in grossly negligent way). Karena apabila demikian halnya, maka anggota Direksi yang bersangkutan itu harus bertanggung jawab atas kerugian perseroan yang telah ditimbulkannya.
Salah satu tolak ukur untuk memutuskan apakah suatu kerugian tidak disebabkan oleh keputusan bisnis (business judgment) yang tidak tepat sehingga dapat menghindar dari pelanggaran prinsip duty of care adalah sebagai berikut:
  1. Memiliki informasi tentang masalah yang akan diputuskan dan percaya bahwa informasi tersebut benar;
2.      Tidak memiliki kepentingan dengan keputusan dan memutuskan dengan itikad baik; dan
3.      Memiliki dasar rasional untuk mempercayai bahwa keputusan yang diambil adalah yang terbaik bagi perusahaan.
Aplikasi secara implisit atau eksplisit dari teori Business Judgment Rule dapat dilihat dari pengalaman di Kanada dimana pengadilan lebih menfokuskan perhatian hukum (judicial attention) dari proses pengambilan keputusan dari hasil dari keputusan yang dibuat tersebut. Pengadilan lebih cenderung melihat apakah duty of care sudah dipenuhi, walaupun keputusan tersebut dilihat dari sudut pandang bisnis. Oleh karena itu penting bagi Direksi untuk menjamin telah melakukan hal-hal yang sesuai dengan standard dan prosedur yang terdapat dalam perusahaannya sebelum mengambil sebuah keputusan bisnis. Tindakan tersebut harus sesuai dan konsisten dengan aktivitas due diligence yang dibutuhkan agar terhindar dari pelanggaran-pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan. Hal ini penting agar Direksi mempunyai landasan hukum yang kuat dalam bertindak sesuai dengan undang-undang perseroan terhadap para pemegang saham. Lebih penting lagi bahwa tindakan di atas mengacu pada keputusan bisnis yang akan memenuhi secara objektif kenaikan nilai dari perusahaan.
Dalam kasus gugatan derivatif oleh pemegang saham terhadap keadilan dalam transaksi bisnis yang diajukan terhadap Direksi perseroan, seorang Direksi haruslah memenuhi syarat agar terlindungi Business Judgment Rule yaitu: tidak terlibat, independen,dan mengetahui hal tersebut.
Jika Direksi gagal dalam memperoleh dukungan terhadap 3 (tiga) persyaratan di atas, maka Direksi tersebut tidak akan dilindungi oleh Business Judgment Rule. Hal ini tidaklah berarti semua keputusan bisnis itu salah, hanya untuk mengalihkan perlindungan yang diberikan oleh Business Judgment Rule bila Direksi tersebut tidak dapat membuktikannya. Jika ternyata Business Judgment Rule itu memang ternyata tidak dapat diterapkan terhadap Direksi maka pengadilan lah yang akan berperan menentukan kebenaran keputusan bisnis tersebut. Apabila hal ini terjadi, tidak berarti bahwa Direksi tersebut bertanggung jawab secara pribadi. Jika dalam kasus dimana dititikberatkan pada tanggung jawab pribadi Direksi yang menimbulkan keputusan bisnis tersebut dari pada keputusan bisnis itu sendiri, maka Direksi tersebut tidak dapat bertanggung jawab secara pribadi kecuali pengadilan telah membuktikan bahwa keputusan tersebut adalah tidak wajar dan merupakan kegagalan dari Direksi tersebut.
Mengutip pandangan Clark dalam Gunawan Widjaja, dikatakannya bahwa, “agar kedua doktrin ini satu sama lain tidak berbenturan tetapi dapat sejalan antara satu sama lainnya, maka dalam penerapannya harus konsisten”. Sehubungan dengan itu, Yurisprudensi Amerika Serikat menawarkan pedoman yang sangat berguna untuk dijadikan rujukan bagi setiap anggota Direksi dalam menjalankan tugasnya, yaitu bahwa anggota Direksi harus:
  1. Memiliki pemahaman yang baik mengenai bisnis perseroan yang dipimpinnya;
  2. Dari waktu ke waktu mengetahui mengenai kegiatan usaha perseroan;
  3. Melakukan pemantauan kegiatan perseroan;
  4. Menghadiri rapar-rapat Direksi secara teratur dan disiplin;
  5. Melakukan review atas laporan-laporan keuangan perseroan secara teratur;
  6. Menanyakan apabila menjumpai masalah-masalah yang meragukan;
  7. Menyatakan keberatan terhadap dilakukannya perbuatan-perbuatan yang jelas-jelas melanggar hukum;
  8. Berkonsultasi dengan penasihat (counsel) perseroan; dan
  9. Mengundurkan diri apabila perbaikan-perbaikan yang harus dilakukan ternyata tidak dilakukan.
Sebenarnya dengan diberlakukannya doktrin Business Judgment Rule, terjadi beban pembuktian terbalik, dimana pihak yang menduga bahwa Direksi tidak boleh bertindak secara baik untuk keuntungan perseroan wajib membuktikan adanya dugaan tersebut.

C.    Doktrin BJR Bertujuan Untuk Pembelaan Direksi Yang Beritikad Baik
Sebelum keluarnya UUPT 2007, di Indonesia tidak secara jelas mengadopsi doktrin Business Judgment Rule ini. Sehubungan dengan itu, ketentuan dalam Pasal 82 UUPT 1995 disebutkan, bahwa Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Pasal 85 UUPT 1995 menetapkan bahwa setiap anggota Direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan. Pelanggaran terhadap hal ini dapat menyebabkan Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya tersebut.
Akan tetapi setelah revisi terhadap UUPT 1995 dan mengundangkan UUPT 2007 dalam beberapa ketentuan pasal-pasal di dalamnya misalnya Pasal 1 Ayat (5) Pasal 97 Ayat (2), (3) UUPT 2007 ditentukan pula mengenai tanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan oleh Direksi. Pasal 1 Ayat (5) ditegaskan bahwa, “Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar”. Pasal 97 Ayat (2) menegaskan pula bahwa, “Pengurusan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab”. Kemudian dipertegas lagi dalam Ayat (3) bahwa, “Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2)”.
Sehubungan dengan pasal-pasal yang disebutkan di atas, dihubungkan dengan Pasal 97 Ayat (5) UUPT 2007 barulah nampak di situ adanya pengecualian tanggung jawab penuh Direksi dalam pengurusan perseroan sebagaimana dimaksud di atas. Lebih lengkapnya Pasal 97 Ayat (5) UUPT 2007 ditegaskan bahwa, “Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada Ayat (3) apabila dapat membuktikan:
  1. Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
  2. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan;
  3. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
  4. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.
Pasal-pasal dal UUPT 2007 ini, saling ketergantungan antara satu sama lainnya sehingga dalam Pasal 97 Ayat (5) dikaitkan dengan Pasal 97 Ayat (3) yakni, “Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2). Sementara Ayat (2) menyebutkan bahwa, “Pengurusan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab”. Kemudian Ayat (1) menyebutkan bahwa, “Direksi bertanggung jawab atas pengurusan perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1)”.
Jika pasal-pasal di atas dihubungkan dengan Pasal 92 Ayat (1), maka jelaslah bahwa dalam Pasal 92 Ayat (1) UUPT 2007 disebutkan bahwa, “Direksi menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan”. Dikatakan hanya untuk kepentingan maksud dan tujuan perseroan. Ini berarti selain dari pada kepentingan maksud dan tujuan perseroan, tidak dibenarkan oleh undang-undang bahwa Direksi dapat bertindak dalam hal itu. Akan tetapi karena Direksi adalah organ perseroan yang dipercaya dan diberikan tanggung jawab yang penuh dalam bertindak baik menjalankan undang-undang dan Anggaran Dasar maupun kebijakan yang dianggapnya tepat. Sehubungan dengan itu Pasal 92 Ayat (2) dicantumkan ketentuan mengenai kebijakan itu, yaitu, “Direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang ini dan/atau anggaran dasar”.
Jadi, berdasarkan bunyi Pasal 92 Ayat (2) di atas, jika Direksi melakukan tindakan yang tidak tepat menurut undang-undang dan Anggaran Dasar, akan tetapi menurut Direksi itu sendiri bahwa kebijakan yang diambilnya itu sudah tepat, maka dikembalikan kepada Pasal 97 Ayat (5) di atas. Apabila keempat syarat-syarat dalam Pasal 97 Ayat (5) di atas dapat dibuktikan oleh Direksi, maka berdasarkan Doktrin Busines Judgment Rule Direksi tersebut terbebas dari unsur itikad buruk. Business Judgment Rule inilah yang mengawal Direksi dapat membuktikan atau tidaknya Direksi tersebut baik dalam rapat Direksi maupun dalam persidangan di Pengadilan.
Jadi, jika berdasarkan UUPT 2007 terdapat bayangan mengenai pertanggungjawaban yang belum jelas karena harus dibuktikan terlebih dahulu. Dalam prakteknya penerapan UUPT 2007 tersebut sebenarnya mengalami kendala, khususnya dalam hal pertanggungjawaban Direksi. Hal ini terjadi karena masih belum adanya standar yang jelas untuk mengukur pertanggungjawaban Direksi tersebut. Misalnya ukuran “itikad baik” dalam Pasal 97 Ayat (2) belum ada ukuran yang jelas, mungkin persoalannya menurut penulis karena ini persoalan yang berhubungan erat dengan moral atau hati kecil dari anggota Direksi sehingga dalam penerapannya sulit untuk menentukan ukuran kapan seorang Direksi itu bertindak dengan itikad baik atau tidak.
Berdasarkan atas ketidakjelasan standar itikad baik inilah makanya muncul doktrin-doktrin seperti fiduciary duty, duty of care, dan doktrin pembelaan Direksi melalui Business Judgment Rule. Hal itu mengingat pentingnya untuk menentukan apakah seorang Direksi dapat dimintai pertanggungjawabannya atau tidak. Karena perusahaan adalah (risk taker) yang bertujuan untuk mencari keuntungan dimana direksi sebagai organ perusahaan dalam mengambil keputusan bisnis seringkali bersifat spekulatif yang bertendensi untuk mengalami kerugian. Di sinilah pentingnya standar mengenai pertanggungjawaban untuk dapat melihat keputusan bisnis manakah yang diambil sesuai dengan prosedur demi kepentingan perusahaan ataukah keputusan bisnis yang diambil untuk kepentingan si direktur itu sendiri. Sehingga dalam prakteknya UUPT 1995 mempunyai berbagai hambatan untuk melindungi keputusan bisnis dari Direksi maka dengan berlakunya UUPT 2007 sedikit terbantu dalam menentukan unsur-unsur seorang Direksi dapat dikatakan bersalah atau tidak berdasarkan Pasal 97 Ayat (5) UUPT 2007 tersebut.
 Hal inilah yang merupakan salah satu unsur penting dalam amandemen UUPT 1995. Tanpa adanya standar yang jelas mengenai pertanggungjawaban Direksi maka dikhawatirkan bahwa Direksi itu tidak akan berani mengambil keputusan bisnis. Hal ini bertentangan dengan posisi perusahaan sebagai risk taker sehingga secara tidak langsung akan menghentikan continuos improvement dari perusahaan itu sendiri. Oleh karena itu, masuknya prinsip Business Judgment Rule dalam UUPT 2007 adalah hal yang sangat positif untuk mendukung perkembangan iklim usaha di Indonesia.
Sehubungan dengan ketentuan dalam Pasal 97 (5) UUPT 2007 seorang Direksi perseroan bebas dari tanggung jawab atas kerugian perseroan apabila dapat membuktikan hal-hal yang telah disebutkan di atas. Kemudian Bismar Nasutin, merumuskannya menjadi 5 (lima) syarat yaitu:
1.      Kerugian yang timbul bukan karena kesalahan atau kelalainnya;
2.      Direktur melakukan kepengurusan dengan beritikad baik dan hati-hati;
3.      Kepengurusan dilakukan untuk kepentingan dan tujuan perusahaan;
4.      Direktur tidak mempunyai conflict of interest; dan
5.      Telah mengambil langkah-langkah untuk mencegah kerugian.
Secara umum, ketentuan 4 (empat) syarat dalam UUPT 2007 da 5 (lima) syarat yang disebutkan Bismar Nasution di atas merupakan prinsip Business Judgment Rule yang biasa ditemukan di Negara yang menganut sistem hukum common law. Namun demikian ada sedikit perbedaan versi menurut Bismar Nasution dengan ketentuan Business Judgment Rule yang biasa di temui di Negara-negara common law yaitu:
  1. Pada umumnya prinsip Business Judgment Rule hanya berlaku pada keputusan bisnis saja. Dalam UUPT, prinsip ini berlaku pada “pengurusan perseroan” yang merupakan aspek yang lebih luas di bandingkan dengan keputusan bisnis. Hal ini berarti direktur dapat dibebaskan dari tanggung jawabnya bukan hanya dalam hal keputusan bisnis yang dia ambil, tetapi juga dalam aspek manejemen perusahaan jika direktur tersebut dapat membuktikan kelima unsur di atas;
  2. Tidak ada kejelasan definisi mengenai “kesalahan” dan “kelalaian”. Akan sangat sulit untuk membuktikan bahwa tidak ada unsur kesalahan atau kelalaian dalam keputusan bisnis atau kepengurusan tanpa parameter yang jelas tentang apa yang dapat dikategorikan sebagai kesalahan atau kelalaian. Dalam struktur perseroan yang semakin rumit tidak jarang Direksi mendelegasikan kewenangannya kepada bawahannya yang mungkin menyalahgunakan kewenangan tersebut. Hal yang sama juga terjadi dalam hal keputusan bisnis. Dalam iklim usaha yang semakin kompetitif, tidak jarang direktur harus mengambil keputusan yang bersifat spekulatif untuk dapat bersaing dengan kompetitornya. Pertanyaannya adalah apakah apabila nantinya keputusan tersebut mengakibat kerugian, Direksi dapat dianggap salah atau lalai? Hal ini sedikit berbeda dengan Negara common law yang pada umumnya tidak mencantumkan unsur ini dalam bunyi pasalnya. Standar yang dilakukan adalah standar kewajaran (reasonable) dimana pengadilan akan melihat keputusan yang diambil oleh direktur dengan melihat apa yang akan dilakukan oleh orang lain yang mempunyai posisi dan dalam kondisi yang sama. Apabila orang lain tersebut cenderung akan mengambil keputusan yang sama, maka keputusan bisnis tersebut dapat dikatakan merupakan keputusan bisnis yang wajar. Hal ini dilakukan untuk mendorong para direktur untuk berani mengambil keputusan-keputusan yang bersifat inovatif. Tanpa adanya keberanian ini dikhawatirkan perkembangan ekonomi dapat terhambat apalagi di masa globalisasi dimana para direktur dihadapkan dengan pesaing dari berbagai Negara.
  3. Permasalahan ukuran “itikad baik” dan “kehati-hatian” masih juga terdapat di UUPT. Seperti juga ketidakjelasan dalam definisi kesalahan dan kelalaian, tidak adanya unsur yang jelas dari ketentuan itikad baik dan kehati-hatian dapat mengakibatkan ketidakpastian bagi para Direksi. Oleh karena itu, para Direksi haruslah tetap berhati-hati dalam kepengurusan dan pengambilan keputusan bisnisnya agar dapat mendapat perlindungan dari UUPT.
  4. Pasal 155 UUPT 2007 juga mengatur bahwa ketentuan tanggung jawab Direksi tidak mengurangi kesalahan dan kelalaian yang diatur oleh Undang-Undang Hukum Pidana. Artinya walaupun menurut ketentuan UUPT 2007 ini seorang Direksi dapat dibebaskan dari tanggung jawabnya, tidak menutup kemungkinan Direksi tersebut masih dapat dituntut dengan ketentuan lain dalam peraturan undang-undang lainnya.
Hal ini tentunya dapat mengaburkan dari penerapan prinsip Business Judgment Rule itu sendiri. Di satu sisi ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan keamanan kepada para Direksi. Namun di sisi lain UUPT 2007 tidak secara otomatis melindungi Direksi dari tanggung jawabnya terhadap ketentuan dalam hukum pidana lainnya.
D.    Penutup

Doktrin Business Judgment Rule adalah untuk melindungi dan membela Direksi dari pertanggungjawaban yang diambilnya apabila memenuhi syarat-syarat doktrin Business Judgment Rule. Di sini doktrin Business Judgment Rule muncul sebagai pembelaan Direksi. Ide Business Judgment Rule dapat dilihat dalam Pasal 97 Ayat (5) UUPT 2007. Mengkaji substansi dari Pasal 155 UUPT 2007 yakni, “Ketentuan mengenai tanggung jawab Direksi dan/atau Dewan Komisaris atas kesalahan dan kelalaiannya yang diatur dalam undang-undang ini tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam undang-undang tentang Hukum Pidana.” Walaupun menurut ketentuan UUPT 2007 ini seorang Direksi dapat dibebaskan dari tanggung jawabnya, tidak menutup kemungkinan Direksi tersebut masih dapat dituntut dengan ketentuan lain dalam peraturan undang-undang lainnya. Hal ini tentunya dapat mengaburkan dari penerapan prinsip Business Judgment Rule itu sendiri. Di satu sisi ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan keamanan kepada para Direksi. Namun di sisi lain yakni tepat pada Pasal 155 UUPT 2007 di atas, tidak secara otomatis melindungi Direksi dari tanggung jawabnya terhadap ketentuan dalam hukum pidana lainnya. Jadi, diharapkan untuk mengoptimalkan doktrin Business Judgment Rule dalam membela Direksi seyogianya tidak disertakan lagi alasannya seperti substansi dalam Pasal 155 khususnya dalam hal tanggung jawab hukum pidana lainnya. Dengan kata lain kalau Direksi sudah ditetapkan tidak bersalah berdasarkan pembelaan doktrin Business Judgment Rule secara otomatis hapuslah unsur-unsur pelanggarannya termasuk pidananya.
REFERENSI

Undang-Undang:
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT 2007). 
Buku:
Block, Dennis J., Nancy R. Barton., dan Stephen A. Radin., The Business judgement Rule Fiduciary Duties of Corporate Directors, Prentice Hall law & Business, Third edition, 1990.
Branson, Douglas M., Corporate Governance, Virginia: The Michie Company, 1993.
Cox, James D., Thomas Lee Hazen & F Hodge O’Neal., Corporations, Aspen Law & Business, New York: 1997.
Davies, Paul L., Gower’s Principles of Modern Company Law, London: Sweet Maxweel, 1997.
Dine, Janet., Company Law, London: Macmillan Press Ltd., 1998.
Frod, Haj., Principle of Company Law, London: Butterworths, 5th ed, 1990.
Fuady, Munir., Hukum Bisnis Bandung : PT.Citra Aditya Bakti, 1994.
______Perseroan Terbatas Paradigma Baru, Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 2003.
Harahap, M. Yahya., Hukum Perseroan Terbatas, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Huijbers, Theo., Filsafat Hukum., Yogyakarta: Kanisius, 1995.
Keenan, Denis., dan Josephine Biscare., Smith & Keenan’s Company Law For Students, Financial Times, Pitman Publishing, 1999.
LCB, Gower., Principles Of Modern Company Law, London: Sweet & Maxwell, 1992.
Lipton, Philip., dan Abraham Herzberg., Understanding Company Law, Brisbane, The Book Law Company Ltd, 1992.
Metzger, Michael B., dan Jane P. Mallor., dan A. James Barnes., Business Law and The Regulatory Environment, Homewood, Illinois: Irwin, 1986.
Nasution, Bismar, Keterbukaan Dalam Pasar Modal, Jakarta: Universitas Indonesia Fakultas Hukum Program Pascasarjana, 2001.
Pennington, Robert R., Directors’ Personal Liability, Collin: Professional Books, 1997.
Priest, Margot., R. Mecredy Williams., Barbara R.C. Doherty., dan James W. O’reilly., Directors’ Duties in Canada, Kanada: CCH Canadian Limited, 1995.
Ryan, Christopher L., Company Directors, Liabilities, Rights and Duties, CCH Editions Limited, Third Edition, 1990.
Salomon, Lewis D., Donald E. Schwartz., Jeffry D. Bauman., dan Elliot J. Weiss., Corporation Law and Policy Materials and Problems, 4th ad, ST. Paul Minn: West Group, 1998.
Seligman, Joel., Corporations Cases and Materials, Boston &Toronto: Little, Brown and Company, 1995.
Scott, Charity., “Caveat Vendor: Broker-Dealer Liability Under the Securities Exchange Act,” Securities Regulation Law Journal, Vol. 17, 1989.
Sitompul, Zulkarnain.,  dan Bismar Nasution, Pengelolaan Perseroan Terbatas, Medan: BooksTerrace & Library, 2006.
Vagts, Detlev F., Basic Corporation Law Materials-Cases Text, New York: The Foundation Press Inc. 1989.
Woon, Walter., Company Law, Longman Singapore, Publisher Pte. Ltd., 1998.
Yani, Ahmad., dan Gunawan Widjaja.,  Seri Hukum Bisnis: Perseroan Terbatas, Jakarta: Rajawali Press, 1999.
Makalah, Jurnal, dan Diktat:
Bagir Manan, ”Undang-Undang Perseroan Terbatas Mengha­dapi Pasar Bebas”, Makalah  yang disampaikan pada Seminar Sehari Penera­pan UUPM dan UUPT Serta Kaitannya Dengan Aspek Manajemen, Investor dan Profesi Akuntan, di Fakutas Ekonomi UNPAR Bandung, tanggal 2 Desember 1995.
Djalil, Sofyan A., Good Corporate Governance,” Makalah disampaikan pada “Lokakarya Pengelolaan Perusahaan,” kerjasama Program Pascasarjana Universitas Indonesia dan University of South Carolina, Jakarta, tanggal 4 Mei 2000.
Gregory, Holly J., dan Marshal E. Simms., “Pengelolaan Perusahaan (Corporate Governance): Apa dan Mengapa Hal Tersebut Penting,” Makalah disampaikan pada “Lokakarya Pengelolaan Perusahaan (Corporate Governance), kerjasama, Program Pascasarjana Universitas Indonesia dan University of South Carolina, Jakarta, tanggal 4 Mei 2000.
Nasution, Bismar., ”Penerapan Good Corporate Governance Dalam Penyalahgunaan Kredit” Makalah, Disampaikan pada “Seminar Hukum Perkreditan,” PT. Bank Rakyat Indonesia, Medan, tanggal 12-13 Maret 2002.
______“Tanggung Jawab Direksi dan Komisaris Dalam Pengelolaan Perseroan Terbatas Bank”, Makalah yang Disampaikan pada Seminar Sehari “Tanggung Jawab Pengurus Bank dalam Penegakan dan Penanganan Penyimpanan di Bidang Perbankan Menurut Undang-undang Perseroan Terbatas dan Undang-undang  Perbankan,” diselenggarakan oleh Bank Indonesia dan Forum Komunikasi Direktur Kepatuhan Perbankan, Surabaya, tanggal 21 Februari 2008.
______”Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum”, Makalah, disampaikan pada dialog interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, Tanggal 18 Februari 2003.
______“Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Dalam Perspektif Hukumum Bisnis: Pembelaan Direksi Melalui Prinsip Business Judgment Rule”, Makalah, Disampaikan pada Seminar Bisnis 46 tahun FE USU: “Pengaruh UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas terhadap Iklim Usaha di Sumatera Utara”, Aula Fakultas Ekonomi USU, 24 November 2007.
______”Kewajiban Melaksanakan RUPS dan Saat Pembagian Dividen Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas”, Makalah, Disampaikan pada In House Training yang Diselenggarakan oleh Kanwil DJP Sumbagut I, Tanggal 21 Desember 2005.
______“Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi”, Diktat, Disampaikan pada Kuliah Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2005.
______”Pertanggungjawabn Direksi Dalam Pengelolaan Perseroan”, Makalah, Disampaikan pada Seminar Nasional Sehari Dalam Rangka Menciptakan Good Corporate Governance pada Sistem Pengelolaan dan Pembinaan PT. BUMN (Persero), dalam topik, “Optimalisasi Sistem Pengelolaan, Pengawasan, Pembinaan , dan Pertanggungjawaban Keberadaan PT (Persero) di Lingkungan BUMN Ditinjau dari Aspek Hukum dan Transparansi”, Diselenggarakan oleh Inti Sarana Informatika, Hotel Borobudur Jakarta, Kamis, tanggal 8 Maret 2007.
Sitompul, Zulkarnaen., ”Bankir Perlu Berhati-Hati”, Harian Ekonomi Pembaca, tanggal 18 Januari 2008.
Sjahdeni, Sutan Remy., “Tanggung Jawab Pribadi Direksi dan Komisaris”, dalam Jurnal Hukum Bisnis, Volume 14, Juli 2001.
Tumbuan, Fred B.G., anggung Jawab Direksi dan Komisaris Serta Kedudukan RUPS Perseroan Terbatas Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995”, Makalah Kuliah S2 Fakultas Hukum Universitas Indonesia Tahun Ajaran 2001-2002.
______“Perseroan Terbatas dan Organ­-organnya”, Makalah Disampaikan Pada Kursus IV, Surabaya, tanggal 30 Mei 1988.