Kamis, 01 Desember 2011

PERTANGGUNGJAWABAN PERSEKUTUAN KOMANDITER ATAU COMANDITAIRE VENNOOTSCHAP (CV) DALAM HAL TERJADINYA KERUGIAN

PERTANGGUNGJAWABAN PERSEKUTUAN KOMANDITER ATAU COMANDITAIRE VENNOOTSCHAP (CV) DALAM HAL TERJADINYA KERUGIAN

Oleh: Bisdan Sigalingging, SH, MH
Dosen Hukum Pasar Modal pada Fakultas Hukum
Universitas Dharmawangsa Medan

A.     LATAR BELAKANG
Dilihat dari kriteria jumlah pemilik, perusahaan diklasifikasikan menjadi perusahaan perseorangan dan perusahaan persekutuan. Perusahaan perseorangan didirikan dan dimiliki oleh satu orang pengusaha, sedangkan perusahaan persekutuan didirikan dan dimiliki oleh beberapa orang pengusaha yang bekerja sama dalam satu persekutuan (maatschap, partnership). Adapun jika dilihat dari status kepemilikannya, perusahaan diklasifikasikan menjadi perusahaan swasta dan perusahaan negara. Perusahaan swasta didirikan dan dimiliki oleh pihak swasta, sedangkan perusahaan negara didirikan dan dimiliki oleh negara yang lazimnya disebut dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).[1]
Perusahaan diklasifikasikan berdasarkan bentuk status hukumnya menjadi perusahaan badan hukum dan perusahaan bukan badan hukum. Perusahaan badan hukum ada yang dimiliki oleh pihak swasta misalnya Perseroan Terbatas (PT) dan koperasi, ada pula yang dimiliki oleh negara yaitu Perusahaan Umum (Perum) dan Perusahaan Perseroarangan (Persero). Perusahaan yang berbadan hukum PT dan Koperasi selalu berupa persekutuan, sedangkan perusahaan yang bukan berbadan hukum dapat berupa perusahaan perseorangan dan perusahaan persekutuan dan hanya dimiliki oleh pihak swasta. Berdasarkan klasifikasi tersebut, dapat ditentukan bahwa ada tiga jenis bentuk hukum perusahaan, yaitu: Perusahaan Perseorangan (Persero), Perusahaan Badan Hukum, dan Perusahaan Bukan Badan Hukum[2]
Perusahaan perseorangan adalah perusahaan swasta yang didirikan dan dimiliki oleh pengusaha perseorangan. Perusahaan perseorangan dapat mempunyai bentuk hukum menurut bidang usahanya, yaitu perusahaan perindustrian, perusahaan perdagangan, dan perusahaan perjasaan.[3] Perusahaan badan hukum terdiri dari perusahaan swasta yang didirikan dan dimiliki oleh beberapa orang pengusaha secara kerja sama sedangkan perusahaan negara didirikan dan dimiliki oleh negara. Perusahaan badan hukum dapat menjalankan usaha terhadap semua bidang perekonomian, yaitu perindustrian, perdagangan, perjasaan, dan pembiayaan. Perusahaan ini memiliki bentuk hukum seperti PT dan Koperasi yang dimiliki oleh pengusaha swasta sedangkan Perum dan Persero dimiliki oleh negara.[4]
Perusahaan bukan badan hukum adalah perusahaan swasta yang didirikan dan dimiliki oleh beberapa orang pengusaha secara bekerja sama. Bentuk perusahaan ini merupakan perusahaan persekutuan yang dapat menjalankan usaha dalam bidang perekonomian, misalnya perindustrian, perdagangan, dan perjasaan. Bentuk perusahaan persekutuan dapat berupa Firma (Fa) dan Persekutuan Komanditer atau Comanditaire Vennootschap (CV).
PT merupakan badan hukum yang dipersamakan kedudukannya dengan orang dan mempunyai kekayaan yang terpisah dengan kekayaan para pendirinya. Pengurus PT (khususnya Direksi) dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan sebagaimana halnya dengan orang, serta dapat memiliki harta kekayaan sendiri. Dasar hukum PT adalah UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas sementara persekutuan, perkumpulan, Firma, dan CV sebagai dasar hukumnya masih mendasarkan kepada KUH Perdata dan KUHD.
Dalam melakukan penyetoran modal pendirian CV, di dalam anggaran dasar tidak disebutkan pembagiannya seperti halnya PT. Jadi, para persero harus membuat kesepakatan tersendiri mengenai hal tersebut, atau membuat catatan yang terpisah. Semua itu karena memang tidak ada pemisahan kekayaan antara CV dengan kekayaan para perseronya.
CV adalah bentuk usaha yang merupakan salah satu alternatif yang dapat dipilih oleh para pengusaha yang ingin melakukan kegiatan usaha dengan modal yang terbatas. Berbeda dengan PT yang mensyaratkan minimal modal dasar sebesar Rp.50 juta[5] dan harus di setor ke kas Perseroan minimal 25%nya,[6] sedangkan untuk CV tidak ditentukan jumlah modal minimal. Misalnya jika seorang pengusaha ingin berusaha di industri rumah tangga, percetakan, biro jasa, perdagangan, catering, dan lain-lain dengan modal awal yang tidak terlalu besar, dapat memilih CV sebagai alternatif badan usaha yang memadai.

B.    PERMASALAHAN
Mengingat CV merupakan badan usaha yang tidak berbadan hukum dan kekayaan para pendirinya tidak terpisahkan dari kekayaan CV, menjadi permasalahan yang timbul adalah bagaimana pertanggungjawaban CV atas kerugian yang terjadi apabila ada pihak ketiga yang mengajukan gugatan terhadap CV tersebut di Pengadilan? Oleh sebab itu, maka topik yang akan dikonsentrasikan pembahasannya dalam paper ini adalah mengenai pertanggungjawaban Persekutuan Komanditer atau Commanditaire Vennootschap (CV) dalam hal terjadinya ganti rugi.

C.    PEMBAHASAN
Sebelum dibahas mengenai Persekutuan Komanditer atau Commanditaire Vennootschap (CV), mengingat CV merupakan suatu bentuk usaha yang tidak berbadan hukum, maka terlebih dahulu diuraikan tentang usaha berbentuk badan hukum, usaha tidak berbdan hukum serta karena CV juga memiliki kesamaan dengan Firma maka penting pula diuraikan mengenai Firma.
BENTUK USAHA BADAN HUKUM
“Orang” (person) dalam dunia hukum adalah subyek hukum atau pendukung hak dan kewajiban. Setiap manusia adalah pembawa hak (subyek hukum) dan mampu melakukan perbuatan hukum atau mengadakan hubungan hukum yang harus diikuti dengan adanya kecakapan hukum (rechsbekwaamheid) dan kewenangan hukum (rechtsbevoedgheid). Dua macam Subyek Hukum dalam pengertian hukum adalah:
  1. Natuurlijke Persoon (natural person) yaitu manusia pribadi (Pasal 1329 KUH Perdata).
  2. Rechtspersoon (legal entitle) yaitu badan usaha yang berbadan hukum (Pasal 1654 KUH Perdata).
Berdasarkan materinya Badan Hukum dibagi atas:
  1. Badan Hukum Publik (publiekrecht) yaitu badan hukum yang mengatur hubungan antara negara dan atau aparatnya dengan warga negara yang menyangkut kepentingan umum/publik, seperti hukum pidana, hukum tata negara, hukum tata usaha negara, hukum international dan lain sebagainya. Contoh: Negara, Pemerintah Daerah, Bank Indonesia.
  2. Badan Hukum Privat (privaatrecht) yaitu perkumpulan orang yang mengadakan kerja sama (membentuk badan usaha) dan merupakan satu kesatuan yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum. Badan Hukum Privat yang bertujuan Provit Oriented (contoh: Perseroan Terbatas) atau Non Material (contoh: Yayasan).
Bentuk-bentuk badan usaha di Indonesia (business organization) beraneka ragam dan sebagian besar merupakan peninggalan pemerintah Belanda. Ada bentuk badan usaha yang telah diganti dengan sebutan dalam bahasa Indonesia (contoh: Perseroan Terbatas/PT berasal dari sebutan Naamloze Vennootschap/NV), tetapi ada juga yang tetap mempergunakan nama aslinya (contoh: Maatschap, Firma/Fa dan Commanditaire Vennootschap/CV).
Kata "perseroan" ada yang merupakan terjemahan dari "vennootschap" (misal sebutan untuk Perseroan Firma, Perseroan Komanditer dan Perseroan Terbatas) dan ada kata "perseroan" yang artinya penyebutan perusahaan secara umum. Yang paling sesuai dalam pemakaian kata "perseroan" adalah dalam penyebutan Perseroan Terbatas karena memang mengeluarkan saham/sero.
Kata "perseroan" dengan kata dasarnya "sero" artinya saham atau andil (aandeel-Belanda). Perusahaan yang mengeluarkan saham/sero disebut perseroan, sedangkan yang memiliki sero disebut "pesero" atau pemegang saham. Karena Maatschap tidak menerbitkan saham maka sebaiknya tetap diterjemahkan dengan menggunakan kata "persekutuan" dari pada memakai kata “perseroan” agar sesuai dengan terjemahan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
BENTUK USAHA BUKAN BADAN HUKUM
Berdasarkan status pemiliknya, badan usaha dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
  1. Perusahaan Swasta adalah perusahaan yang didirikan dan dimilik oleh pihak swasta (Nasional dan Asing).
2.      Perusahaan Negara adalah perusahaan yang didirikan dan dimiliki oleh Negara dan biasa disebut dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Berdasarkan bentuk hukumnya, badan usaha dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
  1. Badan Usaha yang Bukan Berbadan Hukum adalah perusahaan yang bukan merupakan badan hukum. Contoh : Perusahaan Perorangan dan Perusahaan Persekutuan (Maatschap, Firma, CV).
2.      Badan Usaha yang Berbadan Hukum adalah perusahaan yang berbadan hukum. Misalnya Perseroan Terbatas, Koperasi, BUMN (Perum dan Persero) dan badan-badan usaha lain yang dinyatakan sebagai badan hukum serta memenuhi kriteria badan hukum.
Berdasarkan jumlah kepemilikannya, badan usaha dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
  1. Perusahaan Perorangan atau Usaha Kepemilikan Tunggal
Adalah badan usaha yang didirikan dan dimiliki oleh pengusaha perseorangan dan bukan termasuk badan hukum. Badan usaha ini paling mudah diorganisir dan dijalankan karena wewenang pengelolaannya (manajemen) dipegang oleh satu orang (pemilik tunggal) sehingga keputusan dapat dibuat dengan cepat. Pendirian badan usaha ini tidak memerlukan izin dan tata cara tententu serta bebas membuat bisnis personal/pribadi tanpa adanya batasan untuk mendirikannya. Ciri dan sifat perusahaan perseorangan antara lain:
a.      Relatif mudah didirikan dan juga dibubarkan;
b.      Tanggung jawab tidak terbatas dan bisa melibatkan harta pribadi;
c.      Tidak ada kewajiban antar pemilik, karena hanya ada satu pemilik;
d.      Tidak ada pajak, yang ada adalah pungutan dan retribusi;
e.      Seluruh keuntungan dinikmati sendiri;
f.        Sulit mengatur roda perusahaan karena diatur sendiri;
g.      Keuntungan yang kecil yang terkadang harus mengorbankan penghasilan yang lebih besar;
h.      Jangka waktu badan usaha tidak terbatas atau seumur hidup; dan
i.        Sewaktu-waktu dapat dipindah tangankan.
Tanggung jawab perusahaan perseorangan terhadap hutang (liabilitas) meliputi seluruh harta kekayaan pribadi pemiliknya. Penutupan perusahaan terjadi bila pemilik memutuskan menutup usaha tersebut, bangkrut atau karena kematian pemiliknya. Pada umumnya perusahaan perseorangan bermodal kecil, jenis serta jumlah produksinya terbatas, memiliki tenaga kerja/buruh yang sedikit dan masih menggunakan alat produksi teknologi yang sederhana. Contoh: toko kelontong, tukang bakso keliling, pedagang asongan, dan lain sebagainya.
  1. Perusahaan Persekutuan (Partnership) atau Usaha Kemitraan
Merupakan kombinasi terorganisir dari dua orang atau lebih untuk menjalankan suatu usaha sebagai mitra pemilik atau mitra pengelola dan dimiliki oleh dua orang atau lebih yang bekerja sama untuk mencapai tujuan bisnis. Pendirian badan usaha ini membutuhkan izin khusus dari instansi pemerintah yang terkait. Contoh yang termasuk dalam badan usaha persekutuan adalah:
a.      Bentuk Perusahaan yang diatur dalam KUH Perdata, yaitu Persekutuan Perdata (Maatschap).
b.      Bentuk Perusahaan yang diatur dalam KUH D, yaitu Persekutuan Firma (Fa) dan Persekutuan Komanditer (CV).
c.      Bentuk Perusahaan yang diatur dalam perundang-undangan khusus, yaitu Perseroan Terbatas (PT), Koperasi dan Perusahaan Negara (BUMN).
PERSEKUTUAN PERDATA
Diatur dalam Pasal 1618 s.d. 1652 KUHPerdata, Buku III, Bab VIII tentang Perserikatan Perdata (Burgerlijk Maatschap). Persekutuan sebagai suatu perjanjian dimana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu ke dalam persekutuan dengan maksud untuk membagi keuntungan (Pasal 1618 KUH Perdata). Unsur-unsur dalam Persekutuan Perdata meliputi:
  1. Adanya pemasukan sesuatu ke dalam perserikatan (inbreng).
  2. Inbreng dapat berupa uang, barang (materiil/immaterial), atau tenaga (Pasal 1619 KUH Perdata).
  3. Adanya pembagian keuntungan atau kemanfaatan diperoleh dari pemasukan tersebut.
Persekutuan Perdata yang bertindak keluar terhadap pihak ketiga dengan terang-terangan dan terus menerus untuk mendapatkan laba berubah menjadi Persekutuan Perdata atau Perserikatan Perdata Jenis Khusus (Pasal 1623 KUH Perdata).
Mengenai pembagian keuntungan persekutuan perdata, diatur dalam perjanjian pendirian Persekutuan Perdata, dengan ketentuan tidak boleh memberikan keuntungan hanya pada satu orang, tapi boleh membebankan kerugian pada satu sekutu (Pasal 1635 KUH Perdata). Apabila dalam perjanjian tidak diatur mengenai pembagian keuntungan, maka berpedoman pada Pasal 1633 KUH Perdata. Pembagian keuntungan berdasarkan pada asas keseimbangan pemasukan, artinya:
  1. Pembagian dilakukan menurut harga nilai dari pemasukan masing-masing sekutu kepada persekutuan.
  2. Sekutu yang hanya memasukkan kerajinan saja pembagiannya sama dengan sekutu yang nilai barang pemasukkannya terendah, kecuali ditentukan lain.
  3. Sekutu yang hanya memasukkan tenaga kerja mendapat bagian keuntungan sama rata, atau disamakan dengan sekutu yang memasukkan uang atau benda terkecil, kecuali ditentukan lain (Pasal 1633 ayat (2) KUHPerdata)
Pendirian persekutuan perdata didirikan berdasarkan perjanjian diantara para pihak (asas konsensualisme) dan tidak memerlukan pengesahan Pemerintah. Sedangkan pertanggungjawaban sekutu dalam hal perbuatan hukum seorang sekutu yang dilakukan dengan pihak ketiga hanya mengikat sekutu yang bersangkutan dan tidak mengikat sekutu-sekutu yang lain (Pasal 1644 KUH Perdata), kecuali apabila sekutu yang lain telah memberikan kuasa untuk itu dan perbuatan sekutu tersebut secara nyata memberikan manfaat bagi persekutuan.
Status hukum persekutuan perdata diatur berdasarkan Pasal 1644 KUH Perdata maka Persekutuan Perdata bukan termasuk badan hukum, karena pada suatu badan hukum, perbuatan seorang sekutu atas nama persekutuan akan mengikat persekutuan tersebut terhadap pihak ketiga. Terbentuknya Persekutuan Perdata tidak memerlukan pengesahan Pemerintah sebagai syarat formil suatu badan hukum.
Berakhirnya persekutuan perdata sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1646 KUH Perdata, maka Persekutuan Perdata dapat berakhir akibat:
  1. Lewatnya waktu dimana persekutuan diadakan.
  2. Musnahnya barang atau selesainya perbuatan yang menjadi pokok persekutuan.
  3. Atas kehendak semata-mata dari beberapa sekutu.
  4. Salah satu sekutu meninggal, berada di bawah pengampunan atau jatuh pailit.

PERSEKUTUAN FIRMA (Fa)
Persekutuan Firma diatur dalam Pasal 16 s.d. Pasal 35 KUHD. Firma berasal dari bahasa Belanda “venootschap onder firma” yang berarti sebuah perserikatan dagang antara beberapa perusahaan. Firma adalah suatu Persekutuan Perdata yang menyelenggarakan perusahaan atas nama bersama dan tiap-tiap sekutu yang tidak dikecualikan satu dengan lain hal dapat mengikatkan Firma dengan pihak ketiga dan mereka masing-masing bertanggung jawab atas seluruh hutang Firma secara tanggung-menanggung (Pasal 16 s.d. Pasal 18 KUHD). Dasar Hukum Persekutuan Firma adalah suatu “Maatschap” dan sebagai Maatschap khusus, Persekutuan Firma mempunyai unsur-unsur khusus, yaitu:
  1. Selalu menyelenggarakan perusahaan (Pasal 16 KUHD).
    Misal: membuat Pembukuan, Pendaftaran Perusahaan, dan lain-lain.
  2. Mempunyai nama bersama (Pasal 16 KUH Dagang).
  3. Kata Firma berarti nama bersama, yaitu nama sekutu yang dipakai menjadi nama perusahaan. Misal : salah satu sekutu bernama Budiman, maka nama perusahaannya menjadi “Fa. Budiman Bersaudara”.
  4. Pertanggungjawabannya tanggung-menanggung atau bersifat pribadi untuk keseluruhan (Hoofdellijk voor het geheel) dan pada asasnya tiap-tiap sekutu dapat mengikatkan Firma dengan pihak ketiga (Pasal 18 KUH Dagang).
Persekutuan Firma terbentuk sejak adanya kata sepakat secara lisan atau tertulis antara para sekutu (pendiri), baik dengan akta otentik maupun akta di bawah tangan (Pasal 16 KUH Dagang jo. Pasal 1618 KUH Perdata). Bentuk perjanjian mendirikan Persekutuan Firma adalah perjanjian konsensuil. Tata cara (prosedur) pendirian Firma menurut KUH Dagang adalah:
  1. Pembentukan Firma. Akta pendirian Firma yang dibuat di hadapan Notaris, tidak menjadi syarat mutlak terbentuknya Persekutuan Firma tetapi hanya sebagai alat bukti utama terhadap pihak ketiga mengenai keberadaan Firma tersebut (Pasal 22 KUH Dagang). Ketentuan bahwa ketiadaan akta tidak boleh dikemukakan untuk merugikan pihak ketiga dimaksudkan bahwa tidak adanya akta otentik tidak boleh digunakan sebagai dalih bagi pihak ketiga bahwa Firma itu tidak ada, sehingga dapat merugikan pihak ketiga. Sebaliknya pihak ketiga dapat membuktikan adanya Persekutuan Firma dengan alat bukti lainnya, seperti surat- surat, saksi, dan lain-lain.
  2. Pendaftaran Firma. Persekutuan Firma harus mendaftarkan akta pendiriannya atau hanya petikannya saja ke kepaniteraan Pengadilan Negeri di mana Persekutuan Firma tersebut didirikan (Pasal 23 dan Pasal 24 KUH Dagang). Petikan Akta Pendirian Persekutuan Firma harus memuat:
a.      Nama, nama depan, pekerjaan dan tempat tinggal para sekutu firma.
b.      Menyebutkan keterangan apakah persekutuan itu umum atau hanya terbatas pada suatu cabang perusahaan khusus.
c.      Penunjukan sekutu-sekutu yang dikecualikan dari hak menandatangani untuk firma.
d.      Saat mulai berlakunya dan akan berakhirnya persekutuan.
e.      Bagian-bagian dari persetujuan persekutuan guna menentukan hak-hak pihak ketiga terhadap persekutuan.
Tujuan mendaftarkan Akta Pendirian Persekutuan Firma adalah bahwa pihak ketiga tidak perlu mengetahui tentang besarnya modal Persekutuan maupun persoalan yang terjadi di antara para sekutu yang sifatnya pribadi dan tidak ada hubungannya dengan pihak ketiga.
  1. Pengumuman Firma
Akta pendirian Firma harus diumumkan dalam Berita Negara RI (Pasal 28 KUH Dagang). Sesuai Pasal 29 KUH Dagang, Persekutuan Firma yang belum melakukan pendaftaran dan pengumuman, maka Persekutuan Firma tersebut harus dianggap sebagai:
  1. Persekutuan Umum yang menangani segala urusan perniagaan.
  2. Didirikan untuk waktu tidak terbatas.
  3. Seolah-olah tidak ada seorang sekutu pun yang dikecualikan dari hak bertindak perbuatan hukum dan hak menandatangani atas nama firma. Apabila sekutu melanggar ketentuan-ketentuan dalam Anggaran Dasar sebelum Firma didaftarkan dan diumumkan, maka pihak ketiga dapat menuntut kepada Persekutuan Firma, dengan cara memperhitungkan pelanggaran yang harus dipertanggungjawabkan secara pribadi oleh sekutu yang melakukan pelanggaran tersebut.
Dalam hal pengurus Persekutuan (Pasal 17 KUH Dagang), apabila tidak dibuat peraturan-peraturan khusus mengenai cara-caranya mengurus, maka:
  1. Para sekutu dianggap secara timbal-balik telah memberi kuasa supaya yang satu melakukan pengurusan bagi yang lain.
  2. Para sekutu boleh menggunakan barang-barang kekayaan Persekutuan asalkan sesuai dengan tujuan dan kepentingan Persekutuan.
  3. Para sekutu wajib turut memikul biaya yang diperlukan untuk pemeliharaan barang-barang Persekutuan.
  4. Para sekutu tidak boleh membuat hal-hal yang baru terhadap benda-benda tidak bergerak dari Persekutuan, tanpa persetujuan sekutu-sekutu yang lain.
Pengurus Persekutuan wajib memelihara harta kekayaan Persekutuan dan mengusahakan agar Persekutuan dapat berjalan lancar sesuai dengan tujuannya.
Kewajiban untuk melakukan pemasukan (inbreng) bagi para sekutu tidak menyebabkan Persekutuan Firma berubah menjadi Persekutuan Modal. Tetapi dengan adanya perjanjian kerja sama dengan nama bersama, Persekutuan Firma merupakan Persekutuan Orang (Personen Vennootschap), yang peranan modal dan peranan sekutu-sekutunya menjadi satu. Hal ini akan bertambah jelas bahwa pada Persekutuan Firma:
  1. Penggantian dan pemasukan sekutu harus disetujui oleh semua sekutu (Pasal 1641 KUH Perdata).
  2. Tidak dibenarkan salah seorang pesero melakukan perbuatan konkurensi/persaingan terhadap perseroan (Pasal 16 KUH Dagang jo. Pasal 1618 KUH Perdata).
  3. Adanya tanggung jawab tanggung-menanggung (Pasal 18 KUH Dagang).
  4. Pada asasnya semua pesero turut serta dalam kepengurusan (Pasal 1630 KUH Perdata-Pasal 17 KUH Dagang).
  5. Adanya asas kerja sama mengharuskan pengutamaan Persekutuan di atas kepentingan pribadi para sekutu (Pasal 1628 KUH Perdata).
Para sekutu wajib menyetorkan sesuatu ke dalam Persekutuan. Apabila kewajiban tersebut belum dipenuhi, maka sekutu berhutang kepada Persekutuan (Pasal 1625 KUH Perdata). Sesuatu yang disetorkan para sekutu ke dalam Persekutuan dapat berupa:
  1. Benda atau barang tertentu. Dasar penyetorannya adalah perjanjian jual-beli. Para sekutu sebagai penjual, sedangkan Persekutuan sebagai pembeli. Jika barang yang disetorkan pada Persekutuan bukan milik pribadi sekutu dan diminta kembali oleh pemiliknya atau barang tersebut cacat dan tidak bisa digunakan, maka sekutu yang bersangkutan harus mengganti barang itu dengan sejumlah uang senilai barang atau menggantinya dengan barang lain yang sejenis.
  2. Manfaat atau penggunaan dari barang/benda. Perlu dilihat apakah barang tersebut mudah musnah/habis karena penggunaannya. Maka risiko pertama dipikul oleh para sekutu dan risiko kedua dipikul oleh persekutuan (Pasal 1631 KUH Perdata).
  3. Uang. Jika sekutu terlambat menyetorkan uang, maka akan dibebani bunga atas jumlah uang yang telah disepakati. Besarnya bunga dihitung mulai dari saat sekutu menghadap Pengadilan dan ditentukan oleh undang-undang (Pasal 1250 KUH Perdata). Apabila sekutu memakai uang dari kas persekutuan untuk keperluan pribadi, maka bunga dihitung sejak hari ia mengambil uang itu (Pasal 1626 KUH Perdata).
  4. Tenaga kerja. Digunakan untuk mencapai tujuan Persekutuan dan seluruh hasil yang diperoleh hanya untuk Persekutuan. Sekutu bertanggung jawab dan wajib memberikan perhitungan kepada persekutuan atas semua keuntungan yang diperoleh dari pekerjaannya (Pasal 1627 KUH Perdata).
Bahwa Persekutuan Firma adalah badan hukum, karena berlaku sebagai badan hukum yang berarti berlaku sebagai “persoon” terhadap hukum, juga sebagai subjek hukum yang mempunyai hak dan kewajiban hukum sendiri (Pasal 16, 17 dan 18 KUH Dagang). Tetapi pendapat yang umum di Indonesia menyatakan bahwa Persekutuan Firma belum merupakan badan hukum, karena meskipun dalam Firma sudah dipenuhi syarat-syarat materiil suatu badan hukum, tetapi syarat formilnya belum terpenuhi.
Ciri dan Sifat Firma adalah sebagai berikut:
  1. Apabila terdapat hutang tak terbayar, maka setiap pemilik wajib melunasi dengan harta pribadi.
  2. Setiap anggota firma memiliki hak untuk menjadi pemimpin.
  3. Keanggotaan firma melekat dan berlaku seumur hidup.
  4. Seorang anggota mempunyai hak untuk membubarkan firma.
  5. Pendiriannya tidak memerlukan akta pendirian.
  6. Mudah memperoleh kredit usaha.
Firma merupakan Persekutuan Perdata bentuk khusus, maka bubarnya Firma berlaku peraturan yang sama dengan Persekutuan Perdata yang diatur dalam Bab VIII, Buku III, KUH Perdata, mulai dari Pasal 1646 s.d. Pasal 1652 KUH Perdata, serta Pasal 31 s.d. Pasal 35 KUH Dagang.
PERSEKUTUAN KOMANDITER ATAU COMMANDITAIRE VENNOOTSCHAP (CV) ATAU LIMITED PARTNERSHIP
Pendapat yang umum di Indonesia menyatakan bahwa CV belum merupakan badan hukum, karena meskipun dalam CV sudah memenuhi syarat-syarat materiil suatu badan hukum, tetapi pengesahan dari Pemerintah belum dipenuhi sebagai syarat formilnya. CV merupakan salah satu bentuk perusahaan yang bukan badan hukum ang diatur dalam buku pertama, titel ketiga, bagian kedua Pasal 16-35 KUHD. Pasal 19 KUHD menegaskan:
Persekutuan dengan jalan meminjam uang atau disebut juga persekutuan komanditer, diadakan antara seorang sekutu atau lebih yang bertanggung jawab secara pribadi dan untuk seluruhnya dengan seorang atau lebih sebagai peminjam uang.

Berdasarkan ketentuan tersebut, tampak bahwa Persekutuan Komanditer atau Commanditaire Vennootschap (CV) atau limited partnership, terdapat satu atau beberapa orang sekutu komanditer. Sekutu komanditer hanya menyerahkan uang, barang atau tenaga sebagai pemasukan pada CV. Sekutu komanditer yang hanya meminjamkan modal kepada perusahaan tidak turut campur tangan dalam pengurusan dan penguasaan dalam persekutuan.[7]
Status hukum seorang sekutu komanditer dapat disamakan dengan seorang yang meminjamkan atau menanamkan modal pada suatu perusahaan dan diharapkan dari penanaman modal itu adalah hasil keuntungan dari modal yang dipinjamkan atau ditanamkan tersebut.
Sekutu komanditer sama sekali tidak ikut terlibat mencampuri pengurusan dan pengelolaan CV. Seolah-olah sekutu komanditer ini tidak berbeda dengan ”pelepas uang” (geldschieter, financial backer) yang diatur dalam UU Pelepas Uang (Geldschietersordonantie Staatsblad 1938-523).[8]
Dapat diliat bahwa pada Persekutuan Komanditer atau CV ini terdiri dari dua macam sekutu:
1.      Sekutu Pengurus atau Sekutu Komplementer (Complementaris) yang bertindak sebagai pesero pengurus dalam CV. Selain Sekutu Komanditer yang juga ikut memberikan pemasukan modal, Sekutu Komplementaris sekaligus menjadi pengurus dalam CV;[9]
2.      Sekutu Komanditer yang disebut juga dnegan sekutu tidak kerja dan statusnya hanya sebagai pemberi modal atau pemberi pinjaman. Oleh karena Sekutu Komanditer tidak ikut mengurus CV, dia tidak ikut bertindak ke luar.[10]
Sekutu Kerja/Sekutu Aktif/Sekutu Komplementer adalah sekutu yang memasukkan modal dalam persekutuan, menjadi pengurus Persekutuan, mengelola usaha secara aktif yang melibatkan harta pribadi, termasuk membuat perikatan atau hubungan hukum dengan pihak ketiga. Tanggung jawab sekutu ini sampai pada harta pribadinya (Pasal 18 KUH D).
Sekutu Tidak Kerja/Sekutu Pasif/Sekutu Komanditer (Sleeping Partners/stille vennoot) adalah sekutu yang wajib menyerahkan uang/benda/tenaga pada persekutuan sebagai pemasukan dan berhak menerima keuntungan tapi tidak bertugas mengurus Persekutuan. Sekutu ini hanya sebagai pelepas uang (geldschieter), pemberi uang atau orang yang mempercayakan uangnya. Tanggung jawab sekutu ini terbatas pada jumlah pemasukannya dalam persekutuan, sehingga tidak berwenang ikut campur dalam pengurusan persekutuan. Bila dilanggar maka tanggung jawabnya diperluas yaitu tanggung jawab pribadi untuk keseluruhan seperti pada sekutu kerja (Pasal 21 KUH D).
Menurut Pasal 20 KUHD mengenal Sekutu Komanditer dengan penanaman modal, dimana bahwa status dan tanggung jawabnya adalah sebagai berikut:
  1. Tidak mencampuri pengurusan perusahaan atau tidak bekerja dalam CV tersebut;
  2. Sekutu Komanditer ini hanya menyediakan modal atau uang untuk mendapatkan keuntungan dari laba perusahaan, sehingga Sekutu Komanditer disebut juga sekutu penanam modal terbatas (commanditeire vennootschap, limited by shares);
  3. Kerugian CV yang ditanggung oleh Sekutu Komanditer, hanya terbatas pada sejumlah modal atau uang yang disetorkan atau ditanamkan (beperkte aansprakelijkheid, limited liability); dan
  4. Nama Sekutu Komanditer tidak boleh diketahui, itu sebabnya disebut komanditer atau commanditeire vennoot yang berarti sleeping partner atau silent partner.[11]
Anggota atau sekutu dalam CV yang bertindak ke luar adalah anggota yang melakukan pengurusan. Mereka inilah yang disebut ”Sekutu Komplementaris” (daden van beheer). Sekutu Komplementaris berbeda kedudukannya dengan Sekutu Komanditer. Dimana bahwa Sekutu Komplementaris dapat bertindak ke luar dan sebagai pengurus CV sedangkan Sekutu Komanditer hanya sebagai penanam modal. Sehubungan dengan itu, dapat dikemukakan beberapa patokan:
  1. Hanya anggota penguruslah yang dapat bertindak ke luar dari CV yang disebut dengan ”Sekutu Komplementaris”;
  2. Apabila anggota Sekutu Komanditer ikut mencampuri pengurusan CV, maka anggota tersebut harus mamikul akibat hukumnya yakni dianggap dengan sukarela ikut mengikatkan diri terhadap semua tindakan pengurusan CV. Oleh karena itu, anggota tersebut ikut bertanggung jawab secara pribadi memikul seluruh utang CV secara solider; dan
  3. Kepada mereka berlaku ketentuan mengenai keanggotaan Firma (Fa), sehingga ikut bertanggung jawab terhadap tindakan yang dilakukan anggota Fa lainnya sebab mereka mencampuri pengurusan itu.
Dalam praktiknya telah terjadi perkembangan CV. Dimana perkembangan yang terjadi berkenaan dengan kedudukan permodalan. Apabila modal SC dianggap belum mencukupi, maka CV yang semula atas nama perseorangan dapat dikembangkan menjadi CV (yang terdiri dari Sekutu Komanditer dan Sekutu Komplementaris) yang terbagi atas saham. Melalui cara ini, tujuannya untuk dapat menghimpun dana yang besar. Kekurangan modal yang diperlukan dibagi-bagi atas beberapa saham dan masing-masing pemegang saham bertindak sebagai Sekutu Komanditer dalam kedudukannya sebagai pemegang saham CV tersebut.[12] 
Ada dua cara untuk memperoleh pemilikan saham oleh Sekutu Komanditer:
Pertama: dibayar penuh secara tunai. Apabila Komanditaris membayar saham penuh secara tunai, kepadanya dapat diberikan “saham atas tunjuk” atau pembawa (aandelen aantonder, bearer shares) atau disebut juga dengan share issue in bearer form. Jadi, nama Komanditaris sebagai pemegang saham atau pemilik saham tidak disebut dan siapa yang dapat menunjukkan saham tersebut dianggap sebagai pemilik.[13]
Dalam kehidupan sehari-hari, saham atas tunjuk yang tidak disebutkan pemiliknya sering dinamai dengan istilah “saham blanko”. Peralihan haknya kepada orang lain, cukup dilakukan dengan penyerahan biasa tanpa formalitas, namun harus melalui persetujuan Komplementaris atau Sekutu Komplementer dalam CV.
Kedua: tidak dibayar penuh secara tunai. Kalau pengambilan saham oleh Komanditaris tidak dibayar penuh secara tunai, maka yang harus diberikan kepadanya saham “atas nama” (aandelen op naam, registered share). Sehingga, nama Komanditaris harus disebut di atas saham agar pemiliknya tertentu. Pihak yang berwenang mangalihkannya kepada pihak lain, hanya dapat dilakukan Komanditaris yang bersangkutan atau penggantian persero dengan cara “endosemen” yang disertai dengan penyerahan saham tersebut. Dalam hal ini dapat dilihat, terdapat persamaan kedudukan pemegang saha (shareholders) dalam PT dengan CV atas saham.[14]
Terlepas dari adanya persamaan itu, terdapat pula perbedaan kedudukan pemegang saha (shareholders) dalam PT dengan CV atas saham sebagai berikut:
  1. Anggota atau pemegang saham dalam CV yang bertindak sebagai pengurus (daden van beheer) yang disebut Sekutu Komplementaris memiliki tanggung jawab yang tidak terbatas (unlimited liability) sampai meliputi harta pribadinya; dan
  2. Sebaliknya, anggota Direksi dalam PT yang bertindak sebagai pengurus, tidak ikut memikul tanggung jawab pelaksanaan perjanjian maupun utang PT. Mereka hanya bertanggung jawab sebatas pelaksanaan tugas dan fungsi pengurusan yang diberikan kepadanya sesuai dengan yang ditentukan dalam Anggaran Dasar (AD).
Dapat dikatakan bahwa CV atas saham merupakan bentuk perusahaan antara CV dengan PT. Maka dalam praktiknya, terhadap bentuk CV atas saham berlaku ketentuan yang mengatur tentang CV, di sampin itu diterapkan pula secara analogis ketentuan-ketentuan yang berlaku terhadap PT terutama yang berkenaan dnegan bidang yang mengatur perusahaan.  
Perlu diketahu bahwa apabila anggota dalam Sekutu Komanditer (Komanditaris) atau Pemegang Saham CV meninggal dunia atau pailit, sama sekali tidak mempengaruhi eksistensi kelangsungan CV tersebut. Sebaliknya, kalau yang meninggal dunia atau pailit itu adalah anggota dalam Sekutu Komplementer (Komplementaris) atau pengurus CV, maka CV tersebut berakhir dan bubar, selanjutnya diadakan pemberesan. Hal ini berbeda dengang PT.bahwa meninggalnya atau digantinya anggota Direksi, tidak mempengaruhi eksistensi kelanjutan kehidupan PT.[15]
Mengenai cara mendirikan CV atas saham adalah ”bebas” atau tidak diperlukan formalitas pengesahannya dari Menteri Hukum dan HAM bahkan tidak mesti berbentuk akta notaris. Tetapi dalam praktik, umumnya para pelaku usaha membuatnya dalam akta notaris.
Tidak ada pengaturan khusus bagi pendirian Persekutuan Komanditer, sehingga dalam pendirian Persekutuan Komanditer sama dengan peraturan dalam pendirian Firma. Persekutuan Komanditer bisa didirikan secara lisan (perjanjian konsensuil) atau membuat akta pendirian di hadapan Notaris yang dijadikan sebagai alat bukti (Pasal 22 KUH D). Dalam mendirikan Persekutuan Komanditer harus berdasarkan Akta Notaris, didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang berwenang dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara R.I. Adapun ihtisar isi resmi dari Akta Pendirian Persekutuan Komanditer meliputi:
  1. Nama lengkap, pekerjaan & tempat tinggal para pendiri.
  2. Penetapan nama Persekutuan Komanditer.
  3. Keterangan mengenai Persekutuan Komanditer itu bersifat umum atau terbatas untuk menjalankan sebuah perusahaan cabang secara khusus.
  4. Nama sekutu yang tidak berkuasa untuk menandatangani perjanjian atas nama persekutuan.
  5. Waktu mulai dan berlakunya Persekutuan Komanditer.
  6. Hal-hal penting lainnya yang berkaitan dengan pihak ketiga terhadap sekutu pendiri.
  7. Tanggal pendaftaran akta pendirian ke Pengadilan Negeri.
  8. Pembentukan kas uang dari Persekutuan Komanditer yang khusus disediakan bagi penagih dari pihak ketiga, yang jika sudah kosong berlakulah tanggung jawab sekutu secara pribadi untuk keseluruhan.
  9. Pengeluaran satu atau beberapa sekutu dari wewenangnya untuk bertindak atas nama persekutuan.
CV dapat didirikan dengan syarat dan prosedur yang lebih mudah daripada PT, yaitu hanya mensyaratkan pendirian oleh 2 orang, dengan menggunakan akta Notaris yang berbahasa Indonesia. Walaupun dewasa ini pendirian CV mengharuskan adanya akta notaris, namun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dinyatakan bahwa pendirian CV tidak mutlak harus dengan akta Notaris.
Pada saat para pihak sudah sepakat untuk mendirikan CV, maka dapat datang ke kantor Notaris dengan membawa KTP. Untuk pendirian CV, tidak diperlukan adanya pengecekan nama CV terlebih dahulu. Oleh karena itu proses nya akan lebih cepat dan mudah dibandingkan dengan pendirian PT. Namun demikian, dengan tidak didahuluinya dengan pengecekan nama CV, menyebabkan nama CV sering sama antara satu dengan yang lainnya.
Pada waktu pendirian CV, yang harus dipersiapkan sebelum datang ke Notaris adalah adanya persiapan mengenai:
1.      Calon nama yang akan digunakan oleh CV tersebut;
2.      tempat kedudukan dari CV;
3.      Siapa yang akan bertindak selaku Persero aktif, dan siapa yang akan bertindak selaku persero diam; dan.
4.      Maksud dan tujuan yang spesifik dari CV tersebut (walaupun tentu saja dapat mencantumkan maksud dan tujuan yang seluas-luasnya).
Untuk menyatakan telah berdirinya suatu CV, sebenarnya cukup hanya dengan akta Notaris tersebut, namun untuk memperkokoh posisi CV tersebut, sebaiknya CV tersebut di daftarkan pada Pengadilan Negeri setempat dengan membawa kelengkapan berupa Surat Keterangan Domisili Perusahaan (SKDP) dan NPWP atas nama CV yang bersangkutan.
Apakah itu akta, SKDP, NPWP dan pendaftaran pengadilan saja sudah cukup? Sebenarnya semua itu tergantung pada kebutuhannya. Dalam menjalankan suatu usaha yang tidak memerlukan tender pada instansi pemerintahan, dan hanya digunakan sebagai wadah berusaha, maka dengan surat-surat tersebut saja sudah cukup untuk pendirian suatu CV. Namun, apabila menginginkan ijin yang lebih lengkap dan akan digunakan untuk keperluan tender, biasanya dilengkapi dengan surat-surat lainnya yaitu:[16]
1.      Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP);
2.      Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP);
3.      Tanda Daftar Perseroan (khusus CV); dan
4.      Keanggotaan pada KADIN Jakarta.
Pengurusan ijin-ijin tersebut dapat dilakukan bersamaan sebagai satu rangkaian dengan pendirian CV dimaksud, dengan melampirkan berkas tambahan berupa:[17]
1.      Copy kartu keluarga Persero Pengurus (Direktur) CV;
2.      Copy NPWP Persero Pengurus (Direktur) CV;
3.      Copy bukti pemilikan atau penggunaan tempat usaha, dimana;
a.      Apabila milik sendiri, harus dibuktikan dengan copy sertifikat dan copy bukti pelunasan PBB th terakhir;
b.      Apabila sewa kepada orang lain, maka harus dibuktikan dengan adanya; dan
c.      Perjanjian sewa menyewa, yang dilengkapi dengan pembayaran pajak sewa (Pph) oleh pemilik tempat.
Dalam KUHD tidak terdapat pengaturan khusus mengenai cara mendirikan CV karena CV adalah Firma jadi Pasal 22 KUHD juga dapat diberlakukan kepada CV. Dengan demikian, CV didirikan dengan pembuatan AD yang dituangkan dalam akta pendirian dan dibuat di muka notaris. Akta pendirian kemudian didaftarkan di kepaniteraan pengadilan negeri setempat. Akta pendirian yang sudah didaftarkan itu kemudian diberitakan atau diumumkan dalam Tambahan Berita Negara.[18]
Sama halnya dengan Firma, syarat pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM tidak diperlukan karena CV bukanlah badan hukum. Praktik perusahaan yang berbentuk CV di Indonesia membuktikan hal bahwa pada CV tidak ada pemisahan antara kekayaan CV dengan kekayaan pribadi para Sekutu Komplementer karena CV adalah Firma, maka tanggung jawab Sekutu Komplementer secara pribadi untuk keseluruhan. Seperti halnya Firma, pada CV juga terdapat hubungan hukum ke dalam (internal) antara sesama sekutu dan hubungan hukum ke luar (eksternal) antara sekutu dengan pihak ketiga.    
  1. Hubungan hukum ke dalam
Hubungan hukum antara sesama Sekutu Komplemennter sama seperti pada Firma. Hubungan hukum antara Sekutu Komplementer dan Sekutu Komanditer tunduk pada ketentuan Pasal 1623 sampai dengan Pasal 1641 KUH Perdata. Pemasukan modal diatur dalam Pasal 1625 KUH Perdata sementara dalam hal pembagian keuntungan dan kerugian diatur dalam Pasal 1634 KUH Perdata. Pasal-pasal ini berlaku apabila dalam AD tidak diatur.
Menurut ketentuan Pasal 1633 KUH Perdata, Sekutu Komanditer mendapat bagian keuntungan sesuai dengan ketentuan AD CV. Jika dalam AD tidak ditentukan, Sekutu Komanditer mendapat keuntungan sebanding dengan jumlah pemasukannya. Jika CV menderita kerugian, Sekutu Komanditer hanya bertanggung jawab sampai pada banyaknya jumlah pemasukannya itu saja. Bagi Sekutu Komplementer beban kerugian tidak terbatas, kekayaannya pun ikut menjadi jaminan seluruh kerugian persekutuan, hal ini ditegaskan dalam Pasal 18 KUHD, Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata. Sekutu Komanditer tidak boleh dituntut supaya menambah pemasukannya guna menutupi kerugian dan tidak dapat diminta supaya mengembalikan keuntungan yang telah diterimanya, hal ini dipertegas dalam Pasal 20 ayat (3) KUHD.
Berkaitan dengan dalam soal pengurusan CV, Sekutu Komanditer dilarang melakukan pengurusan meskipun dengan surat kuasa. Sekutu Komanditer hanya boleh mengawasi CV jika ditentukan dalam AD CV tersebut. Apabila ketentuan ini dilanggar, maka sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 21 KUHD memberi sanksi bahwa tanggung jawab Sekutu Komanditer disamakan dengan tanggung jawab Sekutu Komplementer secara pribadi untuk keseluruhan. Untuk menjalankannya, CV dapat menempatkan sejumlah modal atau barang sebagai harta kekayaan CV dan ini dianggap sebagai harta kekayaan yang dipisahkan dari harta kekayaan pribadi Sekutu Komplementer. Hal ini dibolehkan berdasarkan rumusan Pasal 33 KUHD mengenai pemberesan Firma. Kekayaan terpisah ini dapat diperjanjikan dalam AD walaupun bukan badan hukum.[19]
  1. Hubungan hukum ke luar
Hanya Sekutu Komplementer yang dapat mengadakan hubungan hukum dengan pihak ketiga (pihak luar). Pihak ketiga hanya dapat menagih kepada Sekutu Komplementer sebab sekutu inilah yang bertanggung jawab penuh. Sekutu Komanditer hanya bertanggung jawab kepada Sekutu Komplementer dengan menyerahkan sejumlah pemasukan ditegaskan dalam Pasal 19 ayat (1) KUHD. Sedangkan yang bertanggung jawab kepada pihak ketiga hanya Sekutu Komplementer. Dengan kata lain Sekutu Komplementer bertanggung jawab ke luar dan ke dalam dari pada CV yang bersangkutan.
Dalam Pasal 20 ayat (1) KUHD ditentukan bahwa Sekutu Komplementer tidak boleh memakai namanya sebagai nama Firma. Sedangkan dalam ayat (2) ditentukan bahwa Sekutu Komanditer tidak boleh melakukan pengurusan walaupun dengan suart kuasa. Apabila Sekutu Komanditer melanggar pasal 20 KUHD, maka menurut ketentuan Pasal 21 KUHD ditegaskan bahwa Sekutu Komanditer harus bertanggung jawab secara pribadi untuk keseluruhan. Hal ini berarti tanggung jawabnya sama dengan Sekutu Komplementer. Mengenai hal ini, Soekardono berpendapat bahwa, adalah adil apabila sekutu yang melanggar Pasal 20 KUHD itu dibebani tanggung jawab hanya mengenai utang-utang yang berjalan dan yang akan timbul selama keadaan pelanggaran itu masih berlangsung. Jika pelanggaran itu sudah berhenti, tidak ada lagi tanggung jawab secara pribadi untuk keseluruhan.[20]
CV diatur dalam Pasal 19 s.d. Pasal 25 KUHD. Pasal 19 ayat (1) KUHD menentukan persekutuan secara melepas uang dinamakan CV, didirikan antara satu orang atau beberapa orang sekutu yang bertanggung jawab secara pribadi untuk seluruhnya, dengan satu atau beberapa orang sebagai pelepas uang pada pihak lain. Sementara dalam Pasal 19 ayat (2) KUHD ditentukan bahwa yang dimaksud dengan CV adalah persekutuan firma dengan suatu keistimewaan yang dibentuk oleh satu atau beberapa orang sekutu komanditer, dimana modal komanditernya berasal dari pemasukan para sekutu komanditer, sehingga CV mempunyai harta kekayaan yang terpisah.
Berdasarkan kedua ketentuan tersebut, CV merupakan Persekutuan Firma dengan bentuk khusus yaitu adanya Sekutu Komanditer yang hanya menyerahkan uang, barang atau tenaga sebagai pemasukan bagi CV dan tidak ikut campur dalam pengurusan maupun penguasaan dalam persekutuan. Ciri dan Sifat CV sebagai berikut:
  1. Sulit untuk menarik modal yang telah disetor;
  2. Modal besar karena didirikan banyak pihak;
  3. Mudah mendapatkan kredit pinjaman;
  4. Ada anggota aktif yang memiliki tanggung jawab tidak terbatas dan ada yang pasif tinggal menunggu keuntungan;
  5. Relatif mudah untuk didirikan; dan
  6. Kelangsungan hidupnya tidak menentu.
Persekutuan Komanditer mempunyai beberapa bentuk yaitu:
  1. CV diam-diam adalah CV yang belum menyatakan diri secara terang-terangan kepada pihak ketiga sebagai CV. Jadi, persekutuan ini keluar menyatakan diri sebagai persekutuan firma, tetapi ke dalam sudah menjadi CV karena terdapat satu atau beberapa Sekutu Komanditer.
  2. CV terang-terangan adalah CV yang secara terang-terangan menyatakan diri sebagai CV kepada pihak ketiga. Misalnya papan nama, kop surat, tindakan-tindakan hukum bagi kepentingan persekutuan dengan mengatasnamakan CV.
  3. CV atas saham adalah CV terang-terangan yang modalnya terdiri atas saham-saham (biasanya adalah saham atas nama).
Dilihat dari banyaknya sekutu yang bertanggung jawab tanggung-menanggung seperti dalam hal Sekutu Komplementer, maka CV dibagi menjadi dua jenis yaitu:
  1. CV yang sekutu komplementernya terdiri dari satu orang. CV dengan seorang sekutu yang bertanggung jawab mempunyai kekuatan berlaku ke dalam saja dan tidak mempunyai kekuatan keluar (externewerking) walaupun CV itu bertindak secara terang-terangan.
  2. CV yang sekutu komplementernya terdiri dari beberapa orang.
Sekutu Komanditer adalah pihak-pihak yang meminjamkan modal kepada CV dan berhak atas suatu pembagian keuntungan dan saldo likuidasi, sepanjang perseroan mendapatkan keuntungan atau masih mempunyai saldo (sisa pemberesan).
Sebagai modal dalam CV wajib dimasukkan modal ke dalam CV demi tercapainya tujuan persekutuan. CV terikat dari modal yang dikumpulkan, sehingga layak disediakan objek tuntutannya dan dapat pula bertindak sebagai pribadi. Para kreditur pribadi tidak mungkin dapat menuntut modal dari CV, jadi tidak mungkin dapat menuntut bagian modal yang dimasukkan oleh para Sekutu Komanditer ke dalam CV tersebut.
Sebagai konsekuensinya, para kreditur pribadi dari Sekutu Komplementer dapat melakukan sitaan terhadap modal yang dimasukkan dalam persekutuan, termasuk bagian modal yang dimasukkan oleh para Sekutu Komanditer. Oleh karena CV merupakan Persekutuan Firma dalam bentuk khusus, maka berakhirnya CV berlaku ketentuan yang sama dengan Persekutuan Firma.

D.    Penutup
Karakteristik CV yang tidak dimiliki badan usaha lainnya adalah CV didirikan minimal oleh dua orang, dimana salah satunya akan bertindak selaku Persero Aktif (persero pengurus) yang nantinya akan bergelar Direktur, sedangkan yang lain akan bertindak selaku Persero Komanditer (Persero Diam). Seorang persero aktif akan bertindak melakukan segala tindakan pengurusan atas CV, dengan demikian, dalam hal terjadi kerugian maka Persero Aktif akan bertanggung jawab secara penuh dengan seluruh harta pribadinya untuk mengganti kerugian yang dituntut oleh pihak ketiga. Sedangkan untuk Persero Komanditer, karena dia hanya bertindak selaku sleeping partner, maka dia hanya bertanggung jawab sebesar modal yang disetorkannya ke dalam perseroan. Disarankan agar dalam mendirikan suatu bidang usaha, alangkah baiknya untuk dipertimbangkan dari segala segi, tidak hanya dari segi kepraktisannya, namun juga dari segi pembagian risiko di antara para persero, agar tidak terjadi pertentangan di kemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA
Harahap, M. Yahya, Hukum Perseroan Terbatas, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Ihsan, Achmad, Hukum Dagang, Lembaga Persekutuan, Surat-Surat Berharga, Aturan-Aturan Angkutan, Cetakan Keempat, Jakarta: Pradnya Paramita, 1987.
Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perusahaan Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010.
Purwosutjipto, H.M.N., Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Bentuk-Bentuk Perusahaan, Jilid II, Jakarta: Djambatan, 1992.
Soekardono, R., Hukum Dagang Indonesia, Jilid I Bagian Pertama, Jakarta: Dian Rakyat, 1977.
Thermorshuizen, Marjanne, Kamus Hukum Belanda-Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1999.
http://irmadevita.com/2007/prosedur-cara-dan-syarat-pendirian-cv, diakses tanggal 7 Oktober 2011.



* Mahasiswa Jurusan Hukum Bisnis pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan 2011.
[1] Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010), hal. 83.
[2] Ibid.
[3] Contoh perusahaan perindustrian adalah perusahaan batik, perusahaan batu bata, dan kerajinan perak. Contoh perusahaan perdagangan adalah toko barang kelontong, toko barang elektronik, dan restoran. Contoh perusahaan perjasaan adalah salon kecantikan, bengkel kendaraan bermotor, dan penjahitan busana.
[4] Ibid.
[5] Pasal 32 ayat (1) UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
[6] Ibid., Pasal 33.
[7] Marjanne Thermorshuizen, Kamus Hukum Belanda-Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1999), hal. 139.
[8] Ibid.
[9] Ibid., hal. 82.
[10] H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Bentuk-Bentuk Perusahaan, Jilid II, (Jakarta: Djambatan, 1992), hal. 73.
[11] M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 18.
[12] Ibid., hal. 19.
[13] Ibid.
[14] Ibid., hal. 20.
[15] Achmad Ihsan, Hukum Dagang, Lembaga Persekutuan, Surat-Surat Berharga, Aturan-Aturan Angkutan, Cetakan Keempat, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1987), hal. 113.
[16] http://irmadevita.com/2007/prosedur-cara-dan-syarat-pendirian-cv, diakses tanggal 7 Oktober 2011.
[17] Ibid.
[18] Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Op. cit., hal. 94.
[19] Ibidi., hal. 95.
[20] R. Soekardono, Hukum Dagang Indonesia, Jilid I Bagian Pertama, (Jakarta: Dian Rakyat, 1977), hal. 35.

ANALISIS TERHADAP BEBERAPA PRAKTIK INSIDER TRADING

Oleh: Bisdan Sigalingging[*]

Salah satu teori yang melandasi larangan terhadap praktik insider trading dalam Pasar Modal dikenal dengan asymetris information theory yang mengatakan “orang dalam lebih dahulu mengetahui informasi dari pada orang luar”. Tentunya jika orang dalam menggunakan informasi yang lebih lebih dahulu diketahuinmya itu untuk kepentingan pribadinya atau kolektif dapat dikategorikan sebagai suatu perbuatan yang dilarang. Secara philosofis larangan terhadap orang dalam menggunakan informasi yang telah diketahuinya lebih dahulu itu pada hakikatnya untuk membuat adil bagi setiap pelaku bisnis dalam pasar modal. Berikut ini tiga contoh kasus dianalisis:

1.      KASUS CHIARELLA
Chiarella adalah seorang karyawan perusahaan Pandick Press (perusahaan percetakan) yang mencetak surat-surat berharga di bidang perdagangan dan keuangan. Chiarella mengetahui isi dokumen-dokumen yang dicetak ternyata dokumen rahasia tentang rencana take over sebuah perusahaan. Chiarella memanfaatkan rencana take over itu dengan membeli saham perusahaan yang akan take over. Ketika Chiarella membeli saham yang akan di-take over, harga sahamnya masih murah hingga Chiarella memperoleh keuntungan pada saat informasi take over disampaikan, karena harga saham perusahaan ketika dilakukan take over akan menjadi naik.
Atas perintah SEC, Chiarella pun ditangkap dan dituntut atas dasar Section 10 (b) The 1933 Act dan Rule 10b-5 ‘34 yang melarang penipuan dalam perdagangan saham. Pertimbangan dari Hakim Powel pada kasus Chiarella melalui Putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat (Chiarella versus United States) memutuskan dengan pertimbangan “seseorang yang mempelajari dokumen rahasia sebuah perusahaan dalam hubungannya dengan pembelian atau penjualan saham sebelum saat informasi disampaikan kepada publik adalah termasuk dalam perbuatan melanggar hukum”.
Menurut hukum pasar modal Amerika Serikat pada kasus Chiarella menentukan kategori insider adalah orang yang menggunakan informasi non public dan orang tersebut mempunyai fudiciary duty dengan perusahaan. Namun oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat, Chiarella tidak dikategorikan sebagai insider dan tidak dapat diberikan sanksi larangan insider trading.
Chiarella dibebaskan dari tuntutan hukum dan hanya dikenakan sanksi “pengembalian uang atau ganti rugi” yang didasarkan kepada tord. Chiarella hanya dikenakan sanksi untuk mengembalikan kerugian akibat perbuatannya atas dasar bahwa pada posisi Chiarella sebagai karyawan perusahaan percetakan memiliki hubungan kepercayaan (fiduciary duty) secara tidak langsung dengan perusahaan yang akan take over tersebut karena pihak perusahaan yang akan melakukan take over menggunakan jasa percetakan yang seharusnya perusahaan percetakan itu bersama karyawannya harus merahasiakan isi dokumen-dokumen perusahaan dimaksud. Tindakan Chiarella yang memanfaatkan dokumen rahasia perusahaan termasuk menegasi atau melawan sebuah teori yaitu teori penyalahgunaan (misappropriation theory) yang mengatakan bagi siapapun dilarang untuk menggunakan suatu informasi yang bukan miliknya untuk digunakan demi kepentingan pribadi ataupun kepentingan kolektif.
Jika dibandingkan dengan ketentuan dalam Pasal 95 UUPM dan penjelasannya menetapkan insider masih menganut kategori traditional insiders. Ketentuan ini menetapkan kategori  insider mutlak” yang berarti hanya orang-orang yang bekerja dalam perusahaan dan terafiliasi dengan perusahaan sedangkan dalam hal misalnya kasus Chiarella dikaitkan dengan UUPM perbuatan Chiarella tidak termasuk insider trading karena tidak terkait dengan apa yang dimaksud dengan hubungan kepercayaan (fiduciary duty).

2.      KASUS CARPENTER
Apabila sebuah tulisan dalam kolom media menilai entitas sebuah perusahaan yang akan listing dengan prospek ke depannya baik, harga sahamnya akan cenderung membaik demikian sebaliknya apabila tulisan itu menilai perusahaan yang akan listing di bursa saham dengan prospek ke depannya suram atau buruk, harga sahamnya dapat dipastikan akan menurun. Seperti itulah yang terjadi dalam  kasus  Carpenter atas terdakwa R. Foster Winans sebagai penulis ternama dan handal di The Wall Street Journal yang menulis “Heard on the Street Column” tentang hasil penilaian dan analisisnya terhadap kondisi perusahaan tertentu yang akan segera melakukan listing di bursa saham Amerika Serikat.
Ekspose tulisan R. Foster Winans sebagai penulis ternama dan handal di The Wall Street Journal menulis “Heard on the Street Column,” dalam sebuah kolom dapat mempengaruhi harga saham dari perusahaan yang dinilai. Pada esensinya sebenarnya Winans memanfaatkan peluang akan mendapatkan untung besar dari perusahaan yang akan listing untuk kepentingan dirinya sendiri dengan cara bersekongkol dengan temannya dan memberitahukan isi dalam kolom tersebut kemudian menganjurkan temannya itu untuk melakukan transaksi saham sebelum listing di bursa. Akibat persekongkolan itu mereka memperoleh keuntungan besar dari transaksi tersebut. Praktik Winans oleh SEC dituduh melakukan insider trading berdasarkan tuduhan bahwa Winans menyalahgunakan informasi milik The Wall Street Journal untuk kepentingan pribadinya.
Teori yang mendasari tuduhan terhadap Wianans oleh Pengadilan adalah misappropriation theory yang menyatakan Winans melakukan penipuan  melalui The Wall S treet Journal sehingga menetapkan Winans melanggar ketentuan insider trading. Penerapan misappropriation theory diterapkan oleh Pengadilan USA dalam kasus Carpenter versus United States. Dengan mendasarkan pada misapprotiation theory, menetapkan kategori seseorang melakukan pelanggaran didasarkan karena:
a.       Melakukan penyalahgunaan materiel nonpublic information;
b.      Termasuk orang yang tidak mempunyai hubungan dari suatu trust dan confidence;
c.       Informasi itu digunakan untuk perdagangan saham; dan
d.      Termasuk orang yang mempunyai kewajiban kepada pemegang saham dan perdagangan saham.
Pada putusan kasus Carpenter yang menerapkan konsep hukum berdasarkan misappropriation theory tidak menganut lagi konsep hukum SEC yang menentukan kategori insider berdasarkan adanya fiduciary duty seperti  yang diterapkan dalam kasus Chiarella.
Jika dikaitkan putusan atas kasus Chiarella dengan Carpenter menunjukkan suatu hal bahwa tidak ada kepastian hukum dalam hukum pasar modal Amerika Serikat. Inilah menurut Jeremy Bentham sebagai penganut paham utilitarianisme disebutnya sebagai hukum anjing. Mengenai hal ini petikannya:

Meski pun sudah dialami manfaat dari utilitarisme bukan berarti utilitarisme secara teoritis tidak memiliki masalah. Jika semua yang dikategorikan sebagai baik hanya diperoleh dari manfaat terbanyak bagi orang terbanyak, maka apakah akan ada orang yang dikorbankan? Anggap saja ada anjing gila, anjing tersebut suka menggigit orang yang lewat. 7 dari 10 orang menyarankan anjing tersebut dibunuh sedangkan 3 lainnya menyarankan jangan dibunuh. Penganut utilitarisme akan menjawab tentu yang baik jika anjing itu dibunuh. Lalu saran 3 orang tadi dikemanakan? Apakah mereka harus menerima itu begitu saja? Kalau menurut teori ini YA. Kasus di atas hanyalah sebatas anjing bagaimana jika manusia? Bukan tidak mungkin hal ini terjadi bahkan sudah terjadi, tentu dalam perkembangan peradaban ada sejarah diskriminasi rasmau pun etnis. Kasus diskriminasi ras kulit hitam dan diskriminasi etnis Tionghoa sebelum tahun1997 tampaknya tidak terdengar asing lagi di telinga. Salah satu sebab mereka didiskriminasikan karena mereka minoritas, sementara mayoritas berhak atas mereka. Oleh utilitarisme hal ini dibenarkan selama diskriminasi membawa manfaat. Dibalik kengerian dari aplikasi teori utilitarisme ini, ada pula hal yang melegakan. Salah satunya adalah ketika berkenaan dengan bisnis dan keuangan. Perhitungan ala utilitaris ini dapat berlaku sebagai tinjauan atas keputusan yang akan diambil. Mengingat dalam keuangan yang ada kebanyakan adalah angka-angka, jadi keputusan dapat diambil secara mudah berdasarkan jumlah terbanyak bagi manfaat terbanyak. Teori ini juga dikatakan sebagai konsekuensionalisme karena segala keputusan diambil atas tinjauan konsekuensi. Konsekuensi paling menguntungkan adalah konsekuensi yang akan diambil.  

Tampaknya penerapan hukum pasar modal Amerika Serikat pada kasus Carpenter melihat kepada asas manfaat terbanyak dari dari banyak orang. Mungkin oleh karena teori inilah mendasari bahwa walaupun Carpenter tidak termasuk insiders akan tetapi jika perbuatannya itu dihukum akan membawa manfaat terbanyak dari banyak orang.  Kategori insiders yang terdiri dari komisaris, direktur, pemegang saham utama dan karyawan perusahaan adalah contoh klasik dari seseorang  yang mempunyai fiduary duty atau yang disebut dengan traditional insiders.
Jika dibandingkan dengan konsep hukum yang menentukan seseorang dikategorikan insider di Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 95 UUPM jelas bahwa dalam Pasal 95 UUPM menganut teori fiduciary duty seperti putusan kasus Chiarella. Lalu bagaimana kesiapan UUPM jika terjadi kasus yang sama dengan Carpenter di Indonesia???
Perlu pasal tersebut dikaji ulang untuk diterapkan ketentuannya dengan perkembangan penentuan kategori insider sesuai dengan misappropriation theory di dalam peraturan pasar modal di Indonesia (UUPM).

3.      KASUS TEXAS GULF SULPHUR Co (TGS Co)
Penerapan teori kemungkinan (propability theory) misalnya dapat dilihat dari kasus SEC versus Texas Gulf Sulphur Co, 401 F.2d 833 (1968) (TGS Co) di Amerika Serikat. Informasi material yang berhubungan dengan pengeboran barang-barang tambang oleh perusahaan TGS di Timmins (Ontario) dan informasi itu belum di-disclose untuk publik. Pegawai TGS Co Darke dan Coates (seorang ahli geologi) mengetahui adanya berbagai macam barang tambang di setiap kali pengeboran dilakukan di tempat yang berbeda. Informasi yang bersifat rahasia itu oleh pegawai TGS Co Darke dan Coates dibuka dan disampaikan serta merekomendasikannya kepada beberapa manajemen TGS Co.
Pada tanggal 12 Nopember 1963 TGS Co melakukan penggeboran (eksplorasi) bijih besi atau bahan tembaga, perak dan sebagainya, dekat Timmins, Ontario, Canada. Dalam pengeboran tersebut diperoleh indikasi yang sangat menjanjikan dari lobang bor pertama (K-55-1) dalam suatu anomali di sebuah sektor yang dikenal sebagai Kidd-55. Selanjutnya TGS melakukan program pembebasan tanah, dan setelah tanah yang tersedia dibeli, pengeboran dilaksanakan dan dua lobang susulan (K-55-3 dan K-55-4) pada 31 Maret 1964, hasilnya ditemukan bijih besi bernilai tinggi.
Pada tanggal 31 Maret 1964 pengeboran telah selesai dilakukan. Pada tanggal 9 April setelah beberapa hasil tes diselesaikan, berkembanglah informasi mengenai penemuan tersebut. TGS Co membantah informasi temuan itu melalui press release dan mengatakan informasi itu berlebihan lagi pula disebutkan bahwa hasil penelitian belum selesai.
Sebelum di-disclose mereka yang mengetahui informasi itu yakni delapan orang tetap melakukan transaksi saham pada tanggal 12 Nopember dan 16 April 1964. Lima orang menerima opsi saham dari perusahaan tanpa mengungkapkan informasi hasil pengeboran, sementara empat orang menyampaikan informasi pengeboran dan membelinya berdasarkan informasi tersebut selanjutnya dua orang membeli saham pada hari dilangsungkannya konferensi pers tanggal 16 April 1964.
Dihadapan The US Financial Media di New York pada tanggal 16 April 1964 TGS Co mengumumkan secara resmi hasil penemuan di Timmins dalam Press Conference mulai dari jam 10.00 am  sampai dengan jam 10.15 am.  Beberapa menit kemudian barulah berita tersebut dibuka (disclose) ke publik.
Perbuatan kedua pegawai TGS Co Darke dan Coates bersama rekan-rekannya dinilai sebagai perbuatan melanggar hukum. District court berpendapat bahwa dua orang insiders itu telah melanggar Rule 10b-5. Pengadilan USA memutuskan perbuatan kedua pegawai TGS Co Darke dan Coates sebagai insider trading dan terhadap keduanya dikategorikan sebagai orang dalam (insiders). Beberapa orang direksi TGS Co juga dijatuhi hukuman karena melakukan insider trading.
Seharusnya karyawan emiten atau perusahaan publik (employee of the issuer) dikategorikan sebagai insiders yang tentunya memiliki tugas dan kewajiban untuk menjaga loyalitas (duty of loyality) termasuk tanggung jawabnya untuk tidak memanfaatkan keuntungan pribadi atau kolektif dari informasi rahasia (confidential information) yang diperoleh sehubungan dengan pekerjaannya di perusahaan dimaksud.
Penerapan teori kemungkinan (propability theory) di pasar modal Amerika Serikat baru pertama kali diterapkan tepatnya pada kasus antara SEC versus Texas Gulft Sulphur. Berangkat dari pemikiran kemungkinan (probability magnitude) pada kasus TGS Co akhirnya ditetapkan kriteria atau standar materiel yang dirinci dengan pengujian:
a.       Apabila disampaikan kepada publik, dapat mengakibatkan fluktuasi harga saham;
b.      Informasi yang dapat diprediksi oleh orang luar perusahaan (outsiders) melalui keahliannya yang dapat mempengaruhi keputusan untuk berinvestasi;
c.       Fakta materiel tidak hanya terbatas pada sesuatu informasi melainkan dapat pula membawa dampak bagi perusahaan di masa akan datang dan dapat membawa akibat yang mempengaruhi keinginan investor untuk membeli atau menjual saham.
Terhadap perbuatan kedua pegawai TGS Co Darke dan Coates oleh Pengadilan USA dalam mengambil keputusan dengan menggunakan ukuran atau standar material terhadap kasus Texas Gulf Sulphur dan pengadilan berpendapat bahwa informasi yang dihilangkan adalah materiel karena besarnya dan luasnya potensi pelanggaran serta pelanggaran tersebut aktual terjadi di banyak tempat sehingga dimungkinkannya dilakukan tuntutan hukum terhadap kedua pegawai yaitu TGS Co Darke dan Coates.
Untuk menentukan fakta material menurut tes dalam kasus TGS Co bergantung pada keseimbangan indikasi kemungkinan bahwa suatu peristiwa akan terjadi dan antisipasi ukuran dari peristiwa berdasarkan totalitas kegiatan perusahaan. Pengadilan dalam kasus TGS Co menyimpulkan bahwa pengetahuan tentang hasil penemuan mungkin penting terhadap investor yang rasional dan mungkin telah mempengaruhi harga saham.

SEPUTAR PERDAGANGAN ORANG DALAM
(INSIDER TRADING)

Pasal 1 angka 13 UU No.8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (selanjutnya disingkat UUPM) ditentukan bahwa yang dimaksud dengan Pasar Modal adalah suatu kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek.
Orang-orang yang terlibat langsung di dalam Pasar Modal merupakan pihak yang menempati posisi terpenting dan sebagai orang yang dipercaya menjaga rahasia berkenaan dengan dokumen-dokumen perusahaan termasuk orang-orang yang berkedudukan sebagai Komisaris, Pemegang Saham, Perantara, Pialang, Profesi Penunjang Pasar Modal (Konsultan Hukum; Notaris; Penilai; Akuntan publik) dan Karyawan serta orang-orang yang memiliki hubungan dengan insiders yaitu underwriter. Orang-orang yang menempati posisi tersebut disebut sebagai insiders sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 95 UUPM sebagi pihak-pihak yang tergolong insiders adalah:
1.      Emiten atau Perusahaan Publik dimaksud; atau
2.     Perusahaan lain yang melakukan transaksi dengan Emiten atau Perusahaan Publik yang bersangkutan.
Dijelaskan dalam penjelasan Pasal 95 yang dimaksud dengan “orang dalam” dalam termasuk:
  1. Komisaris, direktur, atau pegawai Emiten atau Perusahaan Publik;
  2. Pemegang saham utama Emiten atau Perusahaan Publik;
  3. Orang perseorangan yang karena kedudukan atau profesinya atau karena hubungan usahanya dengan Emiten atau Perusahaan Publik memungkinkan orang tersebut memperoleh informasi orang dalam; atau
  4. Pihak yang dalam waktu 6 (enam) bulan terakhir tidak lagi menjadi Pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, atau huruf c di atas.
Para investor yang berinvestasi dalam pasar modal dapat memperoleh dana segar melalui penjualan efek dalam prosedur pasar perdana atau Initial Public Offering (IPO) dan pasar sekunder, tetapi di dalam pasar modal tidak berarti bahwa kejahatan dan pelanggaran tidak ada, justru tindak kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran dalam pasar modal dapat dilakukan oleh orang-orang dalam yang disebut dengan perdagangan orang dalam (insider trading).
Insider trading adalah praktik penjualan saham yang dilaksanakan oleh orang-orang dalam pasar modal berdasarkan informasi orang dalam yang belum diinformasikan ke publik. Dalam arti lain insider trading adalah praktik penjualan saham yang dilaksanakan oleh orang dalam berdasarkan inside information. Apabila suatu informasi itu sudah di-disclose ke publik, maka informasi tersebut tidak dikatakan lagi sebagai inside information. Atau insider trading bisa juga diartikan transaksi saham berdasarkan bocoran informasi rahasia dari pihak-pihak yang terkait dengan emiten, konsultan perusahaan, atau regulator (insider information). Transaksi seperti ini biasanya melibatkan orang-orang yang menurut aturan tidak boleh melakukan transaksi. Dicontohkan misalnya seorang direksi perusahaan yang memperdagangkan saham perusahaan sendiri.
Perdagangan orang dalam (insider trading) adalah perdagangan efek yang dilakukan mereka yang tergolong “orang dalam” perusahaan (dalam artian luas), perdagangan mana yang didasarkan karena adanya suatu “informasi orang dalam” (inside information) yang penting dan belum terbuka untuk umum, dengan perdagangan mana, pihak insiders tersebut mengharapkan akan mendapatkan keuntungan ekonomi secara pribadi, langsug atau tidak langsung atau yang merupakan keuntungan jalan pintas. Insiders trading dalam bahasa hukum dikategorikan sebagai tindakan memperkaya diri sendiri secara tidak sah atau memiliki apa yang sebenarnya bukan merupakan haknya.
Informasi yang wajib diungkapkan (disclose) adalah fakta materil yang dapat mempengaruhi keputusan investor untuk berinvestasi. Fakta materil merupakan informasi yang relevan mengenai peristiwa, kejadian atau fakta yang dapat mempengaruhi harga efek pada pasar modal atas keputusan pemodal, calon pemodal, dan pihak lain yang berkepentingan atas fakta materil tersebut. Wajib hukumnya fakta materil itu diungkapkan ke publik akan tetapi oleh insiders, fakta materil tersebut terkadang demi kepentingan pribadinya tidak diungkapkan ke publik.
Salah satu prinsip yang bertentangan dengan insdier trading adalah prinsip keterbukaan, karena yang bersangkutan membeli atau menjual saham berdasarkan informasi fakta materil dari orang dalam yang sifatnya tidak terbuka ke publik atau tidak fair yang dapat merugikan pihak lain yang tidak menerima informasi yang sama, sehingga pihak lain tersebut tidak dapat mengambil keputusan untuk membeli atau menjual saham.
Namun, perbuatan insiders dalam pasar modal belum tentu dapat dikatakan melakukan tindak pidana dalam konteks insider trading atau insider trading itu tidak selamanya diasumsikan sebagai kejahatan. Sebagaimana insiders yang membeli saham perusahaan kemudian menjualnya ketika harganya naik, merupakan suatu peristiwa biasa. Adapun hal yang membuatnya menjadi tidak biasa adalah apabila dalam melakukan pembelian dan penjualan saham, insiders itu mendasarkan perbuatannya kepada adanya informasi mengenai fakta materil perusahaan yang belum diinformasikan kepada publik, misalnya tentang rencana perusahaan untuk melakukan merger, atau rencana akan mengakuisisi perusahaan lain yang akan membuat nilai perusahaan itu akan menajdi naik. Perbuatan yang demikian inilah yang dikategorikan sebagai insider trading. Secara teknis, bentuk-bentuk insider trading dibatasi dalam hal:
1.     Pihak yang mengemban kepercayaan secara langsung maupun tidak langsung dari emiten atau perusahaan oknum atau disebut juga sebagai pihak yang berada dalam fiduciary position; dan
2.     Pihak yang menerima informasi orang dalam dari pihak pertama (fiduciary position) atau dikenal dengan tippees.
Insider trading hanya dikenakan terhadap pihak-pihak atau orang-orang yang melakukan perdagangan efek atau sekuritas. Jadi, meskipun pihak penjual atau pembeli tidak memperoleh informasi yang sama tentang suatu barang atau jasa lain yang menjadi objek jual-beli, maka pihak-pihak tersebut tidak dikenakan tuduhan melakukan insider trading. Oleh sebab itu, maka harus ditentukan terlebih dahulu mengenai objek transaksi yang dilakukan itu adalah efek atau sekuritas.

PEMBUKTIAN INSIDER TRADING
Berdasarkan praktiknya sulit untuk dibuktikkan insider trading karena pembuktiannya memerlukan standar pembuktian yang tinggi dan tidak mudah membuktikan ada atau tidaknya insiders itu melakukan insider trading. Banyak contoh kasus pembuktian pelaku insider trading dibebaskan oleh pengadilan karena pengadilan tidak mampu membuktikan kesalahan pelaku.
Pembuktian praktik insider trading dapat dilakukan melalui investigasi para pihak yang dideteksi telah melakukan praktik tersebut dan juga dari pemeriksaan dokumen-dokumen tertulis, termasuk di dalamnya lembaran transaksi elektronik. Dalam dalam Pasal 95 sampai Pasal 99 dan Pasal 104 UUPM diatur larangan perdagangan orang dalam. Aturan ini melarang insiders perusahaan berbadan hukum yang memiliki informasi orang dalam untuk membeli atau menjual saham perusahaan atau perusahaan lain yang bertransaksi dengan perusahaan tersebut. Orang dalam juga dilarang mempengaruhi pihak lain untuk menjual atau membeli saham tersebut. Orang dalam dilarang membocorkan informasi kepada pihak lain yang untuk menggunakannya untuk jual-beli saham tersebut.

----------------




[*] Mahasiswa Semester III Kelas Hukum Bisnis pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan 2011.

Jumat, 23 September 2011

TINDAK PIDANA DESERSI MENURUT HUKUM PIDANA MILITER

Tindak pidana militer adalah tindak pidana yang dilakukan oleh subjek hukumnya yaitu militer. Tindak pidana semacam ini disebut tindak pidana militer murni (zuiver militaire delict). Tindak pidana militer murni adalah suatu tindak pidana yang hanya dilakukan oleh seorang militer, karena sifatnya khusus untuk militer. Contoh: Tindak pidana desersi sebagaimana diatur Pasal 87 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM); tindak pidana insubordinasi sebagaimana diatur dalam Pasal 105-109 KUHPM dan lain-lain. Maksudya tindak pidana insubordinasi ini adalah seorang bawahan dengan tindakan nyata mengancam dengan kekerasan yang ditujukan kepada atasannya atau komandannya. Tindakan nyata itu dapat berbentuk perbuatan dan dapat juga dengan suatu mimik atau isyarat. Tindak pidana meninggalkan pos penjagaan sebagaimana diatur dalam Pasal 118 KUHPM. Maksudya: Penjaga yang meninggalkan posnya dengan semuanya, tidak melaksanakan suatu tugas yang merupakan keharusan baginya dimana dia tidak mampu menjalankan tugasnya sebagai penjaga sebagaimana mestinya diancam dengan pidana penjara maksimal empat tahun.
Tindak pidana yang dilakukan oleh anggota TNI murni militer didasarkan kepada peraturan terkait dengan militer. Anggota TNI yang melakukan tindak pidana murni militer sebagaimana disebutkan dalam hukum pidana militer termasuk kejahatan yakni: kejahatan terhadap keamanan negara; kejahatan dalam pelaksanaan kewajiban perang, kejahatan menarik diri dari kesatuan dalam pelaksanaan kewajiban dinas (desersi); kejahatan-kejahatan pengabdian, kejahatan pencurian, penipuan, dan penadahan, kejahatan merusak, membinasakan atau menghilangkan barang-barang keperluan angkatan perang.
Tindak pidana militer campuran (germengde militaire delict) adalah tindak pidana mengenai perkara koneksitas artinya suatu tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama antara sipil dan militer yang dalam hal ini dasarnya kepada undang-undang militer dan KUH Pidana. Contoh: tindak pidana pencurian yang dilakukan secara bekerja sama antara sipil dan militer; tindak pidana pembunuhan yang korbannya adalah sipil; dan lain-lain. Tindak pidana campuran ini selalu melibatkan subjek hukum yakni sipil baik pelaku maupun sebagai korban tindak pidana.
Salah satu jenis tindak pidana yang menjadi fokus pembahasan dalam penelitian ini adalah tindak pidana desersi. Tindak pidana desersi ini merupakan contoh tindak pidana murni dilakukan oleh militer. Desersi adalah tidak beradanya seorang militer tanpa izin atasannya langsung, pada suatu tempat dan waktu yang sudah ditentukan oleh dinas, dengan lari dari kesatuan dan meninggalkan dinas kemiliteran, atau keluar dengan dengan cara pergi, melarikan diri tanpa ijin. Perbuatan tersebut adalah suatu perbuatan yang tidak boleh terjadi dalam kehidupan militer. Istilah desersi terdapat dalam KUHPM pada Bab III tentang ”Kejahatan-Kejahatan Yang Merupakan Suatu Cara Bagi Seorang Militer Menarik Diri dari Pelaksanaan Kewajiban-Kewajiban Dinas”.
Tindak pidana desersi merupakan suatu tindak pidana yang secara khusus dilakukan oleh seorang militer karena bersifat melawan hukum dan bertentangan dengan undang-undang khususnya hukum pidana militer. Tindak pidana desersi ini diatur dalam Pasal 87 KUHPM, yaitu:
1)      Diancam karena desersi, militer:
Ke-1,   yang pergi dengan maksud menarik diri untuk selamanya dari kewajiban-kewajiban dinasnya, menghindari bahaya perang, menyebrang ke musuh atau memasuki dinas militer pada suatu negara atau kekuasaan lain tanpa dibenarkan untuk itu.
Ke-2,   yang karena salahnya atau dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa izin dalam waktu damai lebih lama dari 30 (tiga puluh) hari, dalam waktu perang lebih lama dari empat hari.
Ke-3    yang dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa izin dan karenanya tidak ikut melaksanakan sebagian atau seluruhnya dari suatu perjalanan yang diperintahkan, seperti yang diuraikan dalam Pasal 85 ke-2.
2)      Desersi yang dilakukan dalam waktu damai, diancam dengan pidana penjara maksimum dua tahun delapan bulan.
3)      Desersi yang dilakukan dalam waktu perang, diancam dengan pidana pencara maksimum delapan tahun enam bulan.
Setelah mencermati substansi rumusan pasal tersebut mengenai ketentuan cara bagi seorang prajurit untuk menarik diri dari pelaksanaan kewajiban dinas, bahwa hakikat dari tindak pidana desersi harus dimaknai bahwa pada diri anggota TNI yang melakukan desersi harus tercermin sikap bahwa ia tidak ada lagi keingginanya untuk berada dalam dinas militer. Maksudnya bahwa seorang anggota militer yang karena salahnya atau dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa ijin dan tanpa ada suatu alasan untuk menghindari bahaya perang dan menyeberang ke wilayah musuh atau dalam keadaan damai tidak hadir pada tempatnya yang telah ditentukan untuk melakukan tugas yang dibebankan kepadanya.
Hal tersebut dapat saja terealisasi dalam perbuatan yang bersangkutan pergi meninggalkan kesatuan dalam batas tenggang waktu minimal 30 hari secara berturut-turut atau perbuatan menarik diri untuk selama-lamanya. Bahwa dalam kehidupan sehari-hari, seorang anggota militer dituntut kesiapsiagaannya ditempat dimana seharusnya berada, tanpa ia sukar dapat diharapkan padanya untuk menjadi militer yang mampu menjalankan tugasnya.
Tindakan-tindakan ketidakhadiran anggota militer pada suatu tempat untuk menjalankan tugas dinas ditentukan sebagai suatu kejahatan, karena penghayatan disiplin merupakan hal yang sangat urgen dari kehidupan militer karena disiplin merupakan tulang punggung dalam kehidupan militer. Lain halnya dengan kehidupan organisasi bukan militer, bahwa perbuatan tersebut bukan merupakan suatu kejahatan, melainkan sebagai pelanggaran disiplin organisasi.
Makna dari rumusan perbuatan menarik diri untuk selamanya apabila dicermati dari kewajiban-kewajiban dinasnya, secara sepintas perbuatan tersebut menunjukkan bahwa anggota militer yang melakukan desersi (petindak) itu tidak akan kembali ke tempat tugasnya yang harus ditafsirkan bahwa pada diri anggota militer tersebut terkandung kehendak bahwa dirinya tidak ada lagi keingginan untuk tetap berada dalam dinas militer.
Bentuk-bentuk desersi, disebutkan disebutkan dalam buku Badan Pembinaan Hukum TNI berdasarkan pada ketentuan Pasal 87 KUHPM ada dua bentuk desersi yaitu:
1.      Bentuk desersi murni, yaitu desersi karena tujuan antara lain:
a.       Pergi dengan maksud menarik diri untuk selama-lamanya dari kewajiban dinas. Arti dari untuk selamanya ialah tidak akan kembali lagi ke tempat tugasnya. Dari suatu kenyataan bahwa pelaku telah bekerja pada suatu jawatan atau perusahaan tertentu tanpa suatu perjanjian dengan kepala perusahaan tersebut bahwa pekerjaan itu bersifat sementara sebelum ia kembali ke kesatuannya. Bahkan jika si pelaku itu sebelum pergi sudah mengatakan tekadnya kepada seorang teman dekatnya tentang maksudnya itu, kemudian tidak lama setelah pergi ia ditangkap oleh petugas, maka kejadian tersebut sudah termasuk kejahatan desersi. Dari kewajiban-kewajiban dinasnya, maksudnya jika pelaku itu pergi dari kesatuannya, dengan maksud untuk selama-lamanya dan tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai seorang militer, maka perbuatan itu adalah desersi.
b.      Pergi dengan maksud menghindari bahaya perang. Maksudnya seorang militer yang kepergiannya itu dengan maksud menghindari bahaya dalam pertempuran dengan cara melarikan diri, dalam waktu yang tidak ditentukan, tindakan yang demikian dapat dikatakan sebagai desersi dalam waktu perang.
c.       Pergi dengan maksud menyeberang ke musuh. Untuk menyeberang ke musuh adalah maksud atau tujuan dari pelaku untuk pergi dan memihak pada musuh yang tujuannya dapat dibuktikan (misalnya sebelum kepergianya ia mengungkapkan kepada teman-teman dekatnya untuk pergi memihak musuh), maka pelaku telah melakukan desersi.
d.      Pergi dengan tidak sah memasuki dinas militer asing. Pengertian memasuki dinas militer apabila tujuan pelaku bermaksud memasuki kekuasaan lain pasukan, laskar, partisan dan lain sebagainya dari suatu organisasi pembrontak yang berkaitan dengan persoalan spionase, tindakan tersebut sudah termasuk melakukan kejahatan desersi.
2.      Bentuk desersi karena waktu sebagai peningkatan kejahatan dari ketidakhadiran tanpa ijin, yaitu:
a.       Tidak hadir dengan tidak sah karena kesalahannya, lamanya melebihi 30 (tiga puluh) hari waktu damai, contoh: seorang anggota militer yang melakukan kejahatan ketidakhadiran yang disengaja atau dengan sengaja dalam waktu damai selama 30 hari berlanjut.
b.      Tidak hadir dengan tidak sah karena kesalahannya, lebih lama dari 4 (empat) hari dalam masa perang, contoh seorang militer yang melakukan kejahatan ketidakhadiran dengan sengaja disaat Negara dalam keadaan sedang perang atau militer tersebut sedang ditugaskan kesatuannya di daerah konflik.
3.      Bentuk desersi karena sebagai akibat. Hal ini sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) ke-3, umumnya termasuk dalam pengertian Pasal 85 ke-2 ditambah dengan adanya unsur kesengajaan dari si pelaku.
Ada empat macam cara atau keadaan yang dirumuskan sebagai bentuk desersi murni yaitu:
1.      Anggota militer yang pergi dengan maksud (oogmerk) untuk menarik diri selamanya dari kewajiban-kewajiban dinasnya;
2.      Anggota militer yang pergi dengan maksud untuk menghindari bahaya perang;
3.      Anggota militer yang pergi dengan maksud untuk menyeberang ke musuh; dan
4.      Anggota militer yang pergi dengan maksud untuk memasuki dinas militer pada suatu negara atau kekuasaan lain tanpa dibenarkan untuk tiu.
Pengertian pergi ditegaskan dalam Pasal 95 KUHPM yaitu perbuatan menjauhkan diri dari, ketidakhadiran pada atau membuat diri tertinggal untuk sampai pada suatu tempat atau tempat-tempat dimana militer itu seharusnya berada untuk memenuhi kewajiban-kewajiban dinas yang ditugaskan kepadanya; yang disebut dengan ketidakhadiran adalah tidak hadir pada tempat atau tempat-tempat tersebut. Unsur bersifat melawan hukum yang tersirat dalam Pasal 87 KUHPM di atas jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 95 KUHPM, bahwa yang dimaksud dengan pergi (verwijderen) adalah perbuatan-perbuatan:
1.       Menjauhkan diri dari (zich verwijderen);
2.       Menyembunyikan diri dari;
3.       Meneruskan ketidakhadiran pada; atau
4.       Membuat diri sendiri tertinggal untuk sampai pada suatu tempat atau tempat-tempat dimana militer itu seharusnya berada untuk memenuhi kewajiban-kewajiban dinas yang ditugaskan kepadanya.
Sebagaimana diketahui salah satu unsur dari tiap-tiap kejahatan adalah bersifat melawan hukum baik secara tersurat maupun secara tersirat. Unsur bersifat melawan hukum dalam Pasal 87 ayat (1) ke-1 hanya secara tersirat dirumuskan yang dapat disimpulkan dari salah satu maksud tersebut adalah: Menjauhkan diri dari (zich verwijderen); Menyembunyikan diri dari; dan Meneruskan ketidakhadiran yang terkandung bagi pelaku dan harus dikaitkan dengan perbuatan kepergiannya itu.
Seorang anggota militer yang bermaksud menarik diri untuk selamanya dari kewajiban-kewajiban dinasnya, menghindari bahaya perang, selama maksud tersebut berada pada hati sanubarinya sendiri, tidak diwujudkan dengan suatu tindakan yang nyata, maka selama itu maksud tersebut belum dapat dikatakan sebagai perbuatan yang bersifat melawan hukum. Demikian juga perbuatan ”pergi”, belum tentu sudah merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum, jika kepergian itu tanpa ijin, sudah jelas sifat melawan hukumnya terdapat pada kata-kata ”tanpa ijin”, namun jika kepergian itu sudah mendapat ijin (misalnya cuti) maka kepergian itu tidak bersifat melawan hukum. Oleh karena itu, baru setelah maksud tersebut diwujudkan secara nyata dalam suatu tindakan (dalam hal kepergiannya itu) terdapat sifat melawan hukum dari tindakan tersebut.
Berdasarkan hal tersebut, jika seorang anggota militer meninggalkan tempat dan tugasnya keran sudah mendapatkan ijin cuti, tetapi ternyata kemudian anggota militer tersebut bermaksud untuk tidak akan kembali lagi untuk selamanya ke tempat tugasnya, perbuatan tersebut sudah merupakan perbuatan melawan hukum walaupu kepergiannya itu ”dengan ijin” dan sekaligus tindakan atau perbuatan sedemikian itu telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana desersi.
  Pasal 87 ayat (1) ke-2 menegaskan bahwa yang karena salahnya atau dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa izin dalam waktu damai lebih lama dari 30 (tiga puluh) hari, dalam waktu perang lebih lama dari empat hari. Berdasarkan pasal ini dapat dipahami bahwa sebagai batas tindak pidana desersi dari segi waktu adalah tiga puluh hari. Desersi yang dilakukan sesuai dengan Pasal 87 KUHPM sanksinya adalah penjara dan pemecatan dari anggota militer, karena terdapat ancaman pidana dalam pasal tersebut. Jika ketidakhadiran dilakukan kurang dari 30 (tiga puluh) hari atau setidak-tidaknya satu hari maka belum bisa dikatakan sebagai tindak pidana desersi tetapi disebut tidak hadir tanpa ijin yang dapat diselesaikan secara hukum disiplin militer (misalnya karena keterlambatan hadir dalam kesatuan militer. Tidak hadir tanpa ijin selama satu hari di sini adalah selama 1 x 24 jam. Sebagai patokan untuk menentukan ketidakhadiran itu dihitung mulai tidak hadir saat apel, atau pada saat dibutuhkan/penting tidak hadir pada tempatnya yang telah ditentukan untuk melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya.
Secara administratif, berdasarkan Juklak Kasal disebutkan deseri yang lebih dari 30 (tiga puluh) hari atau setidak-tidaknya pada hari ke-31 sudah dinyatakan desersi. Desersi yang dimaksud di sini adalah yang diancam dengan pidana dan pemecatan bukan penyelesaiannya secara hukum disiplin militer sebab waktunya sudah lebih dari 30 (tiga puluh) hari atau setidak-tidaknya hari ke-31 sejak dinyatakan desersi.
Terhadap anggota TNI yang akan dijatuhi hukuman disiplin perbuatannya harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam ketentuan Pasal 5 UU No.26 Tahun 1997 tentang Disiplin Militer (selanjutnya disingkat dengan UU Disiplin Prajurit TNI). Pasal 5 UU Disiplin Prajurit TNI, menegaskan, ”Pelanggaran disiplin prajurit adalah ketidaktaatan dan ketidakpatuhan yang sungguh-sungguh pada diri prajurit yang bersendikan Sapta Marga dan Sumpah Prajurit untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sesuai dengan aturan-aturan atau tata kehidupan prajurit”.
Pelanggaran disiplin anggota TNI sesuai dengan ketentuan Pasal 5 UU Disiplin Prajurit TNI meliputi pelanggaran hukum disiplin murni dan pelanggaran hukum disiplin tidak murni. Pelanggaran disiplin murni adalah setiap perbuatan yang bukan merupakan tindak pidana, tetapi bertentangan dengan perintah kedinasan atau peraturan kedinasan atau perbuatan yang tidak sesuai dengan tata kehidupan prajurit, contohnya: terlambat apel, berpakaian kurang rapi/baju tidak dikancingkan atau kotor, berambut gondrong dan sepatu tidak disemir. Jenis hukuman untuk pelanggaran ini berupa hukuman disiplin prajurit berupa tindakan fisik atau teguran lisan untuk menumbuhkan kesadaran dan mencegah terulangnya pelanggaran ini seperti push up dan lari keliling lapangan. Sedangkan pelanggaran hukum disiplin tidak murni adalah setiap perbuatan yang merupakan tindak pidana yang sedemikian ringan sifatnya sehingga dapat diselesaikan secara hukum disiplin militer.Tindak pidana ringan sifatnya adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan atau kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling tinggi Rp.6.000.000 (enam juta rupiah), perkaranya sederhana dan mudah pembuktiannya serta tindak pidana yang terjadi tidak akan mengakibatkan terganggunya kepentingan TNI atau kepentingan umum, contohnya: Penganiayaan ringan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan. Jenis hukuman untuk pelanggaran ini berupa hukuman disiplin prajurit berupa penahanan ringan paling lama selama 14 (empat belas hari) atau penahanan berat paling lama 21 (dua puluh satu hari). Pihak yang berhak menjatuhkan semua jenis hukuman disiplin kepada setiap anggota TNI yang berada di bawah wewenang komandonya adalah Komandan atau Atasan yang berhak Menghukum (selanjutnya disebut Ankum) yang dilaksanakan dalam sidang disiplin.
Bentuk-bentuk desersi yang dilakukan anggota TNI atau anggota militer sebagaimana dimaksud di atas, dapat diberlakukan kepada si pelaku ketentuan Pasal 88 KUHPM.
(1)   Maksimum diancam pidana yang diteapkan dalam Pasal 86 dan 87 diduakalikan:
1.      Apabila ketika melakukan kejahatan itu belum lewat lima tahun, sejak petindak telah menjalani seluruhnya atau sebahagian dari pidana yang dijatuhkan kepadanya dnegan putusan karena melakukan desersi atau dengan sengaja melakukan ketidakhadiran dengan tanpa ijin atau sejak pidana itu seluruhnya dihapuskan baginya, atau apabila ketika melakukan kejahatan itu hak untuk menjalankan pidana tersebut belum kadaluarsa.
2.      Apabila dua orang atau lebih, masing-masing untuk diri sendiri dalam melakukan salah satu kejahatan-kejahatan tersebut dalam Pasal 86 dan 87, pergi secara bersama-sama atau sebagai kelanjutan dari pemufakatan jahat.
3.      Apabila petindak adalah militer pemegang komando.
4.      Apabila dia melakukan kejahatan itu sedang dalam menjalankan dinas.
5.      Apabial dia pergi ke atau di luar negeri.
6.      Apabila dia melakukan kejahatan itu dengan menggunakan suatu perahu laut, pesawat terbang, atau kenderaan yang termasuk pada angkatan perang.
7.      Apabila dia melakukan kejahatan itu dengan membawa serta suatu binatang yang digunakan untuk kebutuhan angkatan perang, senjata, atau amunisi.
(2)   Apabila kejahatan tersebut dalam Pasal 86 atau kejahatan desersi dalam keadaan damai dibarengi dengan dua atau lebih keadaan-keadaan dalam ayat (1) nomor 1 s/d 7, maka maksimum ancaman pidana yang ditentukan pada ayat tersebut ditambah dengan setengahnya.
Maksud dari pasal di atas adalah pemberatan. Pemberatan dimaksud Pasal 88 ayat (1) nomor 1 KUHPM lazim disebut perulangan atau recidive yakni si pelaku sudah pernah dijatuhi hukuman oleh hakim karenamelakukan kejahatan yang serupa dengan kejahatan yang dilakukannya sekarang, maka dalam hal seperti ini, desersi atau tidak hadir dengan tidak sah dilakukannya dengan sengaja. Perbuatan itu baru dapat dikatakan pengulangan apabila masa kadaluarsa dari kejahatan itu belum habis. Tenggang masa kadaluarsa (verjaring) perbuatan tersebut adalah: satu tahun untuk pelanggaran ringan; dua tahun untuk pelanggaran berat; dua tahun untuk pelanggaran ringan; dan lima tahun untuk pelanggaran ringan. Khusus untuk kejahatan desersi masa kadaluarsanya dua belas tahun sesuai dengan ketentuan Pasal 41 KUHPM.
Maksud dari Pasal 88 ayat (1) nomor 2 KUHPM di atas, pemberatan dikarenakan adanya kerja sama antara para pelaku, baik yang dilakukan secara sadar atau secara tidak sadar dan tidak perlu terjadinya kejahatan-kejahatan itu pada saat yang bersamaan. Pemberatan yang dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) nomor 3 KUHPM diberikan apabila yang memerlukan kejahatan dengan sengaja tidak hadir dengan tidak sah bagi seseorang anggota militer yang memegang pimpinan. Anggota militer yang memegang komando adalah suatu pasukan yang berdiri sendiri.
Pemberatan dimaksud Pasal 88 ayat (1) nomor 4 KUHPM bagi anggota militer yang sedang melakukan dinas dimana mereka yang secara nyata-nyata sedang dalam keadaan melakukan tugas dinas. Arti melaksanakan dinas lebih luas daripada pengertian sedang melaksanakan tugas. Hal yang juga memberatkan bagi pelaku dalam Pasal 88 ayat (1) nomor 5 KUHPM jika kejahatan desersi itu tidak hadir dengan tidak sah dilakukan dengan jalan pergi ke laur negeri atau dilakukan di luar negeri atau melakukan desersi pergi ke laur wilayah NKRI. Memberatkan dimaksud Pasal 88 ayat (1) nomor 6 apabila kejahatan itu dilakukan dengan membawa perahu atau kapal, pesawat terbang, atau kendaraan-kendaraan yang termasuk kepunyaan TNI. Kajahatan ini mungkin suatu perbuatan yang merupakan rangkaian tindak pidana yaitu seial melakukan desersi, juga melakukan pencurian terhadap perlengkapan militer. Hal yang memberatkan dimaksud Pasal 88 ayat (1) nomor 7 KUHPM di atas ialah kejahatan tersebut dilakukan dengan membawa binatang, senjata atau mesiu yang seharusnya digunakan untuk kepentingan TNI. Binatang yang dimaksud di sini yaitu binatang-binatang yang bisa digunakan untuk kepentingan TNI misalnya kuda, anjing, merpati pos, dan lain-lain yang dianggap penting untuk membantu peperangan dalam situasi medan yang sulit.
Sementara maksud pada ketentuan Pasal 88 ayat (2) KUHPM menentukan hal yang lebih memberatkan lagi hingga ancaman hukumannya ditambah dengan setengahnya, setelah hukuman dalam Pasal 88 ayat (2) KUHPM ini diduakalikan. Hal yang memberatkan itu apabila si pelaku melakukan kejahatan yang disertai atau tidak dengan sah karena disengaja, disertai dengan dua orang atau lebih dari ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) dari nomor 1 s/d 7 KUHPM.      
Desersi yang dimaksud dalam Pasal 87 KUHPM merupakan suatu tindak pidana militer murni dan bukan merupakan pelanggaran disiplin sehingga untuk penyelesaian tidak bisa diselesaikan melalui hukum disiplin militer melainkan harus diselesaikan melalui sidang pengadilan. Oleh karena itu yang berhak mengadili tindak pidana desersi adalah Hakim Militer dalam Sistim Peradilan Pidana Militer, dimana bentuk penjatuhan pidana militernya terdapat di dalam Pasal 6 KUHPM yaitu berupa pidana pokok (yakni: pidana mati; penjara; kurungan; pidana tutupan) sampai dengan pidana tambahan (yakni: pemecatan dari dinas militer dengan atau tanpa pencabutan haknya untuk memasuki TNI; penurunan pangkat; dan pencabutan hak-hak yang disebutkan dalam Pasal 35 KUHPM).
Bagi anggota TNI yang terlibat masalah perdata (baik sebagai tergugat maupun penggugat) maka untuk penyelesaiannya melalui pengadilan di lingkungan peradilan umum, dan apabila yang dihadapi adalah masalah yang ada hubungan dengan perceraian maupun waris menurut hukum islam maka penyelesaian melalui peradilan Agama. Mengenai gugatan tata usaha militer, apabila ada orang atau badan hukum perdata yang merasa dirugikan atas dikeluarkannya suatu keputusan yang dikeluarkan badan atau pejabat tata usaha militer maka sesuai dengan hukum acara tata usaha militer pada Bab V Pasal 265 UU No.31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer, gugatan diajukan, ke Pengadilan Militer Tinggi, namun sampai saat ini Peradilan Tata Usaha Militer tersebut belum terwujud, karena belum ada Peraturan Pemerintahnya.
Unsur-unsur tindak pidana desersi dalam ketentuan Pasal 87 ayat (1) ke-2 KUHPM yang ditegaskan berikut: “yang karena salahnya atau dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa ijin dalam waktu damai lebih lama dari tiga puluh hari”. Berdasarkan pada Pasal 87 ayat (1) ke-2, maka ada 5 (lima) unsur tindak pidana desersi, yaitu:
  1. Militer;
  2. Dengan sengaja;
  3. Melakukan ketidakhadiran tanpa ijin;
  4. Dalam masa damai; dan
  5. Lebih lama dari tiga puluh hari.
Terhadap unsur-unsur tersebut di atas terdapat pengertian bahwa unsur:
  1. Militer
a.       Menurut Pasal 46 KUHPM ialah mereka yang berkaitan dinas secara sukarela pada Angkatan Perang yang diwajibkan berada dalam dinas secara terus menerus dalam tenggang waktu dinas tersebut (disebut militer) ataupun semua sukarelawan lainnya pada angkatan perang dan para wajib militer selama mereka berada dalam dinas.
b.      Baik militer sukarela maupun militer wajib adalah merupakan yustisiabel peradilan militer yang berarti kepada mereka dapat dikenakan atau diterapkan ketentuan-ketentuan hukum pidana militer di samping ketentuan-ketentuan hukum pidana umum, termasuk di sini terdakwa sebagai anggota militer/TNI.
c.       Bahwa di Indonesia yang dimaksud dengan militer adalah kekuatan angkatan perang dari suatu Negara.
d.      Bahwa seorang militer ditandai dengan mempunyai: Pangkat, NRP (Nomor Registrasi Pusat), Jabatan, Kesatuan didalam melaksanakan tugasnya atau berdinas memakai pakaian seragam sesuai dengan Matranya lengkap dangan tanda Pangkat, Lokasi Kesatuan dan Atribut lainnya.
  1. Dengan sengaja. Bahwa yang dimaksud dengan sengaja (dolus) di dalam KUH Pidana tidak ada pengertian maupun penafsirannya secara khusus, tetapi penafsiran “Dengan sengaja atau kesengajaan” disesuaikan dengan perkembangan dan kesadaran hukum masyarakat oleh karena itu terdapat banyak ajaran, pendapat dan pembahasan mengenai istilah kesengajaan ini.
  2. Melakukan ketidakhadiran tanpa ijin. Bahwa melakukan ketidakhadiran tanpa ijin berarti tidak hadir di kesatuan sebagaimana lazimnya seorang anggota TNI antara lain didahului dengan apel pagi, melaksanakan tugastugas yang dibebankan atau yang menjadi tanggung jawabnya, kemudian apel siang. Sedangkan yang dimaksud tanpa ijin artinya ketidakhadiran tanpa sepengetahuan atau seijin yang sah dari Komandan atau Kesatuannya atau kewajibannya sebagai anggota TNI.
  3. Dalam waktu damai. Bahwa yang dimaksud dimasa damai berarti bahwa terdakwa atau seorang anggota TNI melakukan ketidakhadiran tanpa ijin itu Negara Republik Indonesia dalam keadaan damai atau kesatuannya tidak melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 KUHPM yaitu perluasan dari keadaan perang.
  4. Lebih lama dari tiga puluh hari. Bahwa melakukan ketidakhadiran lebih lama dari tiga puluh hari berarti terdakwa tidak hadir tanpa ijin secara berturutturut lebih dari waktu tiga puluh hari.
Desersi kepada musuh merupakan pengertian dengan maksud menyebarang kepada musuh, ancaman pidananya yaitu pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana maksimum dua puluh tahun. Ketentuannya diatur dalam Pasal 89 KUHPM yaitu:
Diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau sementara maksimum dua puluh tahun:
  1. Desersi ke musuh;
  2. (Diubah dengan UU No.39 Tahun 1947). Desersi dalam waktu perang, dari satuan pasukan, perahu laut, atau pesawat terbang yang ditugaskan untuk dinas pengamanan, ataupun dari suatu tempat atau pos yang diserang atau terancam serangan oleh musuh.
Desersi kepada musuh berarti si pelaku sudah berada di daerah atau sudah berada di pihak musuh atau dengan kalimat lain, si pelaku sudah betul-betul bekerja pada pihak musuh. Perbuatan ini dapat digolongkan sebagai pengkhianatan militer sebagaiman dimaksud dalam Pasal 64 KUHPM junto Pasal 124 KUH Pidana. Maksud Pasal 89 ayat (2) KUHPM di atas adalah desersi khusus yaitu desersi yang disertai perbuatan-perbuatan khusus karena dilakukan dalam keadaan perang yang dilakukan oleh pasukan-pasukan, perahu atau kapal, atau pesawat udara yang diserahi tugas pengamanan. Mengenai pengertian tugas pengamanan tersebut oleh undang-undang tidak diberikan penjelasan yang rinci namun hal ini dapat dihubungkan dengan pelajaran taktik penyerangan dalam militer, maka yang dimaksud dengan tugas pengamanan itu adalah perlindungan ata perlindungan depan, perlindungan lambung, perlindungan belakang, dan sebagainya.
Perbuatan dengan sengaja menarik diri dari kewajiban-kewajiban dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 KUHPM yaitu: dengan akal bulus atau suatu rangkaian karangan bohong, menarik diri dari kewajiban untuk sementara waktu; menarik diri untuk selamanya; dan sengaja membuat dirinya tidak terpakai. Sedangkan perbuatan pemalsuan surat cuti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 KUHPM adalah: perbuatan memalsu surat cuti; perbuatan menuruh orang lain atau meminta surat cuti itu dengan nama palsu; dan surat cuti itu dipakai sendiri atau dipakai oleh orang lain. Militer yang sengaja menggunakan pas jalan, kartu keamanan, perintah jalan, surat cuti, dari orang lain, seolah-olah dialah oknum yang disebutkan didalamnya, diancam dengan pidana pencara maksimum dua tahun. Sehubungan dengan Pasal 91 KUHPM dan Pasal 92 KUHPM ditegaskan kembali dalam Pasal 93 KUHPM bahwa apabila salah satu kejahatan-kejahatan yang dirumuskan pada Pasal 91 dan Pasal 92 KUHPM atau Pasal 267, Pasal 268, atau Pasal 270 KUH Pidana dilakukan oleh militer dalam waktu perang, untuk mempermudah kejahatan desersi, diancam dengan pidana penjara maksimum tujuh tahun.