Kamis, 28 Maret 2013

TUGAS DAN KEWENANGAN OTORITAS JASA KEUANGAN DAN BANK INDONESIA MENURUT UNDANG-UNDANG OTORITAS

TUGAS DAN KEWENANGAN OTORITAS JASA KEUANGAN DAN BANK INDONESIA MENURUT UNDANG-UNDANG OTORITAS
JASA KEUANGAN
Oleh: Bisdan Sigalingging, SH, MH
Dosen Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa Medan Sumatera Utara

Amanat Pasal 34 ayat (1) UU BI menentukan tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen dengan mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank. Dalam penjelasannya dikemukakan bahwa lembaga tersebut berfungsi antara lain melakukan pengawasan terhadap bank…. dan seterusnya. Amanat Pasal 34 ayat (1) UU BI menekankan kepada lembaga tersebut untuk bertindak sebagai dewan pengawas (supervisory board), dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank secara berkoordinasi dengan BI.
Namun ternyata setelah diundangkannya UU OJK menentukan lain, yakni memberikan kewenangan luas kepada OJK untuk membuat pengaturan dan pengawasan bahkan kewenangannya dapat bertindak sebagai penyidik layaknya seperti KPK. Sebagai contoh dalam Pasal 5 dan Pasal 6 ditegaskan OJK berwenang melaksanakan pengaturan dan pengawasan, padahal diketahui sebelumnya seperti yang telah ditentukan dalam amanat Pasal 34 ayat (1) UU BI, wewenangnya adalah mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank, namun fakta yuridisnya menentukan kewenangan OJK meliputi mengatur, mengawasi, memeriksa, dan bahkan sebagai penyidik. Oleh sebab itu, ketentuan-ketentuan dalam UU OJK tampak menjadikan OJK sebagai lembaga super body bukan supervisory board.
1.      Tugas Pengaturan dan Pengawasan antara Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia
Ketentuan tugas pengaturan dan pengawasan yang ditentukan dalam Pasal 5 UU OJK berarti tugas mengatur dikombinasi dengan tugas mengawai, dengan kata lain OJK memiliki kewenangan kedua-duanya secara sekaligus yakni mengatur dan mengawasi. Kombinasi antara kedua tugas tersebut sebagaimana ditentukan lebih lanjut pada Pasal 6 huruf a UU OJK yang ditentukan, “OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan”. Oleh karena OJK memiliki tugas untuk melaksanakan pengaturan dan pengawasan tersebut, maka OJK diberi kewenangan untuk itu.
Wewenang adalah sesuatu yang dilimpahkan atau dari kekuasaan, hak yang dimiliki untuk mengambil keputusan, sikap atau tindakan berdasarkan tanggung jawab yang diberikan. Dengan demikian, kewenangan berarti hak bagi yang menerimanya dan tidak bisa dilakukan oleh orang lain atau lembaga lain kecuali dialihkan oleh otoritas terkait melalui surat kuasa untuk mengalihkan kewenangan tersebut atau perintah dari yang berhak kepada pihak lain untuk melakukan kewenangan dimaksud.
Kombinasi kewenangan OJK dalam melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan, dapat dilihat ketentuan Pasal 7 UU OJK, bahwa untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor Perbankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, OJK mempunyai wewenang:
  1. Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi:
a.       Perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank; dan
b.      Kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa;
  1. Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi:
1)      Likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank;
2)      Laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank;
3)      Sistem informasi debitur;
4)      Pengujian kredit (credit testing); dan
5)      Standar akuntansi bank;
  1. Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi:
1)      Manajemen risiko;
2)      Tata kelola bank;
3)      Prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan
4)      Pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; dan
5)      Pemeriksaan bank.
Selain menjadi kewenangan OJK tentang perizinan untuk pendirian bank maupun pembukaan kantor bank, juga menjadi kewenangan BI sebagaimana ditentukan pada Pasal 15 ayat (1) huruf b UU BI, yakni “melaksanakan dan memberikan persetujuan dan izin atas penyelenggaraan jasa sistem pembayaran”, kemudian ditentukan pula dalam Pasal 24 UU BI yakni “…Bank Indonesia menetapkan peraturan memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank, melaksanakan pengawasan bank dan mengenakan sanksi terhadap Bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Mengenai merger, konsolidasi, dan akusisi bank menjadi kewenangan OJK untuk membuat pengaturan dan pengawasannya, kewenangan ini juga menjadi kewenangan BI sebagaimana ditentukan dalam Pasal 25 ayat (2) huruf e UU BI pada penjelasannya disebutkan salah satu pokok ketentuan yang akan ditetapkan dalam PBI adalah merger, konsolidasi, dan akuisisi bank. Pencabutan izin usaha bank yang menjadi kewenangan OJK juga menjadi kewenangan BI untuk mengatur dan mengawasi sebagaimana pada penjelasan Pasal 25 ayat (2) huruf j UU BI, ditentukan pencabutan izin usaha, likuidasi, dan pembubaran bentuk hukum bank juga menjadi kewenangan BI.
Mengenai kewenangan OJK tentang pengaturan dan pengawasan yang berkaitan dengan kesehatan bank sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 UU OJK, tidak ditentukan sebagai kewenagan BI dalam Pasal 24 sampai dengan Pasal 33 UU BI akan tetapi mengenai pengaturan dan pengawasan kesehatan bank menjadi wewenang BI dalam rangka menetapkan dan melaksanakan kebijakan monter sebagaimana yang dijelaskan dalam penjelasan Pasal 11 ayat (3) UU BI. Hal ini berarti BI juga dapat bertindak untuk membuat pengaturan dan pengawasan terhadap bank jika menyangkut pelaksanaan kebijakan moneter. 
Kewenangan OJK untuk membuat pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi sebagaimana yang ditentukan pada Pasal 7 UU BI juga menjadi kewenangan BI sebagaimana ditentukan dalam Pasal 25 ayat (1) UU BI bahwa, “Dalam rangka melaksanakan tugas mengatur bank, Bank Indonesia berwenang menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian”.
Berdasarkan kesamaan kewenangan antara BI dan OJK sebagaimana ditentukan di atas, merupakan kombinasi kewenangan tugas mengatur dan mengawasi antara BI dan OJK. Oleh sebab itu, dalam rangka menjalankan tugas dan kewenangan mengatur dan mengawasi bank sebagaimana dimaksud di atas, dilakukan kedua lembaga ini melalui koordinasi yang terintegrasi. Jika tidak dilakukan melalui koordinasi yang terintegrasi, niscaya sinergi pembuatan pengaturan dan pengawasan bank antara BI dan OJK tidak akan sinkron artinya pada suatu waktu bisa menimbulkan ketidaksesuaian substansi dalam pengaturan dan menimbulkan benturan kepentingan dalam rangka pengawasan terhadap bank.
2.      Tugas Pengaturan Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia
Dalam UU OJK terdapat ketentuan yang menentukan secara khusus tentang kewenangan OJK yang berkaitan dengan tugas mengatur bank yakni terdapat pada Pasal 8 UU OJK. Akan tetapi ketentuan ini dipandang tidak konsisten menentukan tugas OJK sebagai pembuat peraturan sebab aspek yang ditentukan dalam Pasal 8 UU OJK adalah “Untuk melaksanakan tugas pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang”. Sedangkan yang dimaksud dalam Pasal 6 UU OJK itu adalah kombinasi antara pengaturan dan pengawasan terhadap bank. Selengkapnya ketentuan Pasal 8 UU OJK menentukan sebagai berikut:
Untuk melaksanakan tugas pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang:
a.       Menetapkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini;
b.      Menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
c.       Menetapkan peraturan dan keputusan OJK;
d.      Menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan;
e.       Menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK;
f.       Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu;
g.      Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada Lembaga Jasa Keuangan;
h.      Menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan
i.        Menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
Persoalannya adalah, jika yang dimaksud dalam Pasal 8 UU OJK adalah tugas pengaturan, mengapa disebutkan dalam redaksinya “…..sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, …….”. Sedangkan yang dimaksud dalam Pasal 6 UU OJK itu adalah kombinasi antara pengaturan dan pengawasan terhadap bank. Hal ini berarti Pasal 8 UU OJK juga mengkombinasi kewenangan pengaturan dan pengwasan OJK terhadap bank, berarti sama saja dengan ketentuan dalam Pasal 7 UU OJK tentang kewenangan pengaturan dan pengawasan.
Jika dianalisa pasal-pasal dalam UU OJK secara keseluruhan, tidak ada satupun pasal yang mengamanatkan pembentukan Peraturan Pemerintah yang dibuat oleh pemerintah dalam arti luas. Akan tetapi dalam ketentuan Pasal 37 ayat (6) UU OJK di bagian penjelasannya dijelaskan bahwa yang menyiapkan rancangan Peraturan Pemerintah memuat antara lain: tata cara penetapan, jenis, besaran, waktu penagihan dan pembayaran pungutan, dan sanksi denda adalah OJK itu sendiri. Demikian pula halnya dalam UU BI tidak ada satupun pasal yang mengamanatkan kepada BI untuk membuat Peraturan Pemerintah, melainkan BI diberikan amanat oleh undang-undang untuk membuat PBI. Hal ini berarti dalam rangka menjalankan kewenangan tugas mengatur, BI dan OJK berwenang membuat peraturan pelaksananya bukan pemerintah dalam arti luas.
3.      Tugas Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia
Dalam UU OJK terdapat ketentuan yang menentukan secara khusus tentang kewenangan OJK yang berkaitan dengan tugas pengawasan terhadap bank yakni terdapat pada Pasal 9 UU OJK. Ketentuan ini juga dipandang tidak konsisten menentukan tugas OJK untuk pengawasan bank sebab aspek yang ditentukan dalam Pasal 9 UU OJK adalah “Untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang”. Pasal 9 UU OJK ini juga menentukan “….sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, …” yang berarti adalah kombinasi antara pengaturan dan pengawasan terhadap bank. Selengkapnya ketentuan Pasal 9 UU OJK menentukan sebagai berikut:
Untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang:
a.       Menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan;
b.      Mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh kepala eksekutif;
c.       Melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan konsumen, dan tindakan lain terhadap lembaga jasa keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
d.      Memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan dan/atau pihak tertentu;
e.       Melakukan penunjukan pengelola statuter;
f.       Menetapkan penggunaan pengelola statuter;
g.      Menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan
h.      Memberikan dan/atau mencabut:
1)      Izin usaha;
2)      Izin orang perseorangan;
3)      Efektifnya pernyataan pendaftaran;
4)      Surat tanda terdaftar;
5)      Persetujuan melakukan kegiatan usaha;
6)      Pengesahan;
7)      Persetujuan atau penetapan pembubaran; dan
8)      Penetapan lain,
sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
Aspek yang dikritik dalam hal ini tepatnya berada pada bagian pengantar Pasal 9 dan juga Pasal 8 UU OJK bahwa ketentuan ini tidak konsisten menentukan mana yang menjadi tugas mengawasi, mana tugas mengatur serta mana tugas mengawasi dan mengatur. Jika yang ingin dimaksud oleh pembuat undang-undang dalam Pasal 9 UU OJK adalah tugas pengawasan, mengapa mesti disebutkan lagi dengan redaksi “…..sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, …….”. Sedangkan yang dimaksud dalam Pasal 6 UU OJK itu adalah kombinasi antara pengaturan dan pengawasan terhadap bank. Hal ini berarti Pasal 9 UU OJK juga mengkombinasi kewenangan pengaturan dan pengwasan OJK terhadap bank, seperti dalam Pasal 7 UU OJK tentang kewenangan pengaturan dan pengawasan.
Jika dibaca sepintas lalu maksud ketentuan Pasal 9 UU OJK adalah menentukan kewenangan OJK yang berkaitan dengan pengawasan. Akan tetapi karena digunakan redaksi “…..sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, …….”, sehingga tampak ketentuannya benar-benar tidak konsisten sebab Pasal 9 UU OJK juga merupakan kombinasi kewenangan OJK untuk mengatur dan mengawasi bank.
Jika maksud pembuat undang-undang untuk menentukan kewenangan OJK untuk mengawasi dalam ketentuan ini, maka seharusnya redaksi yang digunakan di bagian pengantar Pasal 6 UU OJK adalah:
”OJK melaksanakan tugas pengaturan, pengawasan, pengaturan dan pengawasan terhadap:
a.       Kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;
b.      Kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan
c.       Kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.”
Sehingga dengan redaksi yang demikian di atas, akan tampak dengan jelas bidang-bidang apa saja yang menjadi kewenangan OJK untuk pengaturan, bidang apa saja yang menjadi kewenangan OJK untuk pengawasan, serta bidang apa saja yang menjadi kewenangan OJK untuk pengaturan dan pengawasan. Jika UU OJK khususnya Pasal 6 tetap menggunakan redaksi “….pengaturan dan pengawasan…” saja, maka ketentuan ini jelas bisa membuka peluang besar kepada lembaga OJK untuk masuk pada semua aspek dan termasuk hal-hal yang bersifat khusus yang seharusnya hal itu menjadi kewenangan BI. Selanjutnya dengan menggunakan redaksi “….pengaturan dan pengawasan…” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UU OJK tersebut, jelas-jelas DPR ingin menjadikan OJK adalah lembaga super body bukan dewan pengawas (supervisory board) sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 34 ayat (1) UU BI.

4.      Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia Tentang Penilaian Terhadap Kesehatan Bank
Berkaitan dengan tugas pengawasan BI khususnya masalah penilaian kesehatan terhadap bank yang bermasalah. Misalnya ketentuan dalam Pasal 31 UU No.23 Tahun 1999, yang menentukan:
a.       Bank Indonesia dapat memerintahkan bank untuk menghentikan sementara sebagian atau seluruh kegiatan transaksi tertentu apabila menurut penilaian Bank Indonesia terhadap suatu transaksi patut diduga merupakan tindak pidana di bidang perbankan.
b.      Berdasarkan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia wajib mengirim tim pemeriksa untuk meneliti kebenaran atas dugaan tersebut.
c.       Apabila dari hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diperoleh bukti yang cukup, Bank Indonesia pada hari itu juga mencabut perintah penghentian transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Selanjutnya, berkaitan dengan penilaian BI terhadap bank, juga ditentukan dalam Pasal 33 UU No.23 Tahun 1999, sebagai berikut:
Dalam hal keadaan suatu menurut penilaian Bank Indonesia membahayakan kelangsungan usaha bank yang bersangkutan dan atau membahayakan sistem perbankan atau terjadi kesulitan perbankan yang membahayakan perekonomian nasional, Bank Indonesia dapat melakukan tindakan sebagimana diatur dalam undang-undang tentang perbankan yang berlaku.
Makna dari ketentuan Pasal 31 UU No.21 Tahun 1999 tersebut, sesungguhnya BI berwenang memberikan penilaian terhadap bank yang melakukan transaksi yang patut diduga merupakan tindak pidana di bidang perbankan, bahkan BI berwenang dapat memerintahkan bank untuk menghentikan sementara sebagian atau seluruh kegiatan transaksi tertentu menurut penilaiannya.
Melalui penilaian BI juga berpeluang untuk menghentikan sementara atau seluruh kegiatan transaksi bank terkait dengan temuan-temuan yang membahayakan kelangsungan usaha bank yang bersangkutan dan atau membahayakan sistem perbankan atau terjadi kesulitan perbankan yang membahayakan perekonomian nasional (vide: Pasal 33 UU No.23 Tahun 1999).
Berdasarkan ketentuan Pasal 31 dan Pasal 33 UU No.23 Tahun 1999 tersebut di atas, menentukan kewenangan BI hanya sampai sebatas memberikan penilaian terhadap bank dan menghentikan sementara kegiatan transaksi tertentu. Untuk melakukan tindakan selanjutnya, BI tidak berwenang menentukan sehat atau tidak sehatnya bank dimaksud tersebut. Sebab kewenangan BI sebagai Bank Sentral berhenti pada tahap memberikan penilaian dan penghentian sementara kegiatan transaksi tertentu, kemudian selanjutnya dialihkan menurut ketentuan Pasal 40 UU OJK yang menentukan:
a.       Dalam hal Bank Indonesia untuk melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya memerlukan pemeriksaan khusus terhadap bank tertentu, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan langsung terhadap bank tersebut dengan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis terlebih dahulu kepada OJK.
b.      Dalam melakukan kegiatan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia tidak dapat memberikan penilaian terhadap tingkat kesehatan bank.
c.       Laporan hasil pemeriksaan bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada OJK paling lama 1 (satu) bulan sejak diterbitkannya laporan hasil pemeriksaan.
Pengalihan kewenangan untuk menentukan tingkat kesehatan bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) di atas, tidak ditujukan kepada OJK dan OJK sekalipun juga tidak berwenang menentukan sehat atau tidaknya bank dimaksud. Berdasarkan Pasal 41 ayat (1) UU OJK, diketahui bahwa OJK hanya diberi kewenangan melakukan upaya penyehatan terhadap bank dan menginformasikannya kepada LPS mengenai bank bermasalah tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Jika OJK diberi kewenangan untuk menyehatkan bank dimaksud, maka tidak ada ubahnya peran OJK dalam konteks ini serupa dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 76 ayat (2) UU BI.
Baik BI maupun OJK sama-sama tidak berwenang menetapkan tingkat kesehatan bank yang bermasalah, akan tetapi OJK berwenang melakukan upaya penanganan pertama pada bank dimaksud. Jika tidak bisa ditangani untuk disehatkan, maka dapat dirujuk kepada ketentuan dimaksud dalam Pasal 44 tentang Protokol Koordinasi untuk dilakukan pengambilan keputusan secara musyawarah sesuai dengan penilaiannya masing-masing.
Sebagaimana kewenangan BI untuk melaksanakan tugas pengawasan terhadap bank seperti yang dijelaskan pada bab sebelumnya khususnya pada Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, dan Pasal 33 UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, tetap dilakukan oleh BI. Akan tetapi dalam hal wewenangnya melakukan pemeriksaan khusus, sesuai Pasal 40 ayat (1) UU OJK, BI menyampaikan atau memberitahukannya secara tertulis terlebih dahulu kepada OJK.
Ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU OJK menentukan: “Dalam hal Bank Indonesia untuk melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya memerlukan pemeriksaan khusus terhadap bank tertentu, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan langsung terhadap bank tersebut dengan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis terlebih dahulu kepada OJK”.
Ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU OJK ini tidak menentukan “kewajiban” kepada BI untuk menyampaikan terlebih dahulu kepada OJK melainkan ditentukan dengan redaksi “….dengan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis terlebih dahulu kepada OJK”. Dengan demikian tidak ada kewajiban BI untuk menyampaikan terlebih dahulu kepada OJK menurut ketentuan ini. Itu berarti, BI bisa sewaktu-waktu melakukan pemeriksaan tanpa harus memberitahukannya kepada  OJK.

5.      Tugas Pengaturan Otoritas Jasa Keuangan yang Berkaitan Dengan Pengawasan Bank
Pengaturan tugas yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank antara BI dan OJK dilakukan melalui koordinasi di mana OJK meminta penjelasan dari BI tentang keterangan data makro yang diperlukan sebagaimana dimaksud Pasal 34 ayat (1) UU BI, yang dalam penjelasan Pasal 34 ayat (1) berikut ini:
Lembaga pengawasan jasa keuangan yang akan dibentuk melakukan pengawasan terhadap bank dan perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat. Lembaga ini bersifat independen dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada di luar pemerintah dan berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan dan Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam melaksanakan tugasnya, lembaga ini (supervisory board) melakukan koordinasi dan kerjasama dengan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang akan diatur dalam Undang-undang pembentukan lembaga pengawasan dimaksud. Lembaga pengawasan ini dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank dengan koordinasi dengan Bank Indonesia dan meminta penjelasan dari Bank Indonesia keterangan dan data makro yang diperlukan”.
Dalam penjelasan tersebut sesungguhnya amanat Pasal 34 ayat (1) UU BI menentukan tugas OJK adalah mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan terhadap bank dengan koordinasi dengan BI. Jika yang dibicarakan dalam konteks ini, mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank, maka peran OJK tidak lain hanya sebagai dewan pengawas (supervisory board).
Amanat Pasal 34 ayat (1) UU BI jelas menentukan tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen dengan mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank. Amanat Pasal 34 ayat (1) UU BI menekankan kepada lembaga OJK untuk bertindak sebagai dewan pengawas (supervisory board), dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank yang sifatnya koordinasi dengan BI.
Namun ternyata setelah diundangkannya UU OJK sebagaimana telah dijelaskan di atas menentukan lain, yakni memberikan kewenangan luas kepada OJK untuk membuat pengaturan dan pengawasan bahkan kewenangannya dapat bertindak sebagai penyidik layaknya seperti KPK. Sebagai contoh dalam Pasal 5 dan Pasal 6 ditegaskan OJK berwenang melaksanakan pengaturan dan pengawasan, padahal diketahui sebelumnya seperti yang telah ditentukan dalam amanat Pasal 34 ayat (1) UU BI, wewenangnya adalah mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank, tetapi norma pengaturannya menentukan kewenangan OJK meliputi mengatur, mengawasi, memeriksa, dan bahkan sebagai penyidik. Amanat Pasal 34 ayat (1) UU BI bernuansa politis bukan mencerminkan aspek yuridisnya sebab amanat tersebut pada perkembangannya atau setelah diundangkannya UU OJK, ketentuan-ketentuan dalam UU OJK tampak menjadikan OJK sebagai lembaga super body bukan supervisory board.



Hubungan Koordinasi Antara Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Dengan Gubernur Bank Indonesia

Hubungan Koordinasi Antara Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Dengan Gubernur Bank Indonesia
Oleh: Bisdan Sigalingging, SH, MH
Dosen Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa Medan Sumatera Utara

Berangkat dari penjelasan dalam paragraf 10 UU OJK yang menjelaskan sebagai berikut:
Secara kelembagaan, Otoritas Jasa Keuangan berada di luar Pemerintah, yang dimaknai bahwa Otoritas Jasa Keuangan tidak menjadi bagian dari kekuasaan Pemerintah. Namun, tidak menutup kemungkinan adanya unsur-unsur perwakilan Pemerintah karena pada hakikatnya Otoritas Jasa Keuangan merupakan otoritas di sektor jasa keuangan yang memiliki relasi dan keterkaitan yang kuat dengan otoritas lain, dalam hal ini otoritas fiskal dan moneter. Oleh karena itu, lembaga ini melibatkan keterwakilan unsur-unsur dari kedua otoritas tersebut secara Ex-officio. Keberadaan Ex-officio ini dimaksudkan dalam rangka koordinasi, kerjasama, dan harmonisasi kebijakan di bidang fiskal, moneter, dan sektor jasa keuangan. Keberadaan Ex-officio juga diperlukan guna memastikan terpeliharanya kepentingan nasional dalam rangka persaingan global dan kesepakatan internasional, kebutuhan koordinasi, dan pertukaran informasi dalam rangka menjaga dan memelihara stabilitas sistem keuangan.
Berdasarkan penjelasan di atas, tampaknya persoalan di institusi publik tidak terlepas dari apa yang telah pernah dituliskan oleh Zulkarnain Sitompul dalam bukunya yang berjudul “Problematika Perbankan” yang mengatakan, ”Masalah utama yang dihadapi industri keuangan khususnya perbankan saat ini adalah lemahnya penerapan Good Corporate Governance (GCG)”. Menurutnya masalah GCG tidak akan selesai dengan beralihnya kewenangan pengawasan. Bahkan diilustrasikannya masalah itu pada siapa yang lebih tepat mengawasi industri perbankan adalah soal sepele, semudah memilih ”teh sosro” atau ”teh kita”, tergantung selera.
Makna yang dapat dipetik dari tulisan tersebut adalah adanya kesamaan tugas dan fungsi dari dua lembaga berbeda pada satu sektor misalnya pada sektor perbankan. Sehingga, jika terjadi masalah pada suatu ketika dalam penanganan perbankan, maka untuk menentukan lembaga mana yang berwenang, dikhawatirkan akan ditentukan oleh selera masing-masing lembaga, apalagi dengan masuknya Ex-Officio dari Kemenkeu cq Pemerintahan. Kondisi pengaturan seperti ini berpotensi menimbulkan hubungan yang memihak pada pemerintah.
Hubungan koordinasi yang baik (tanda kitup “_”) dan terpuji antara DK OJK dengan Dewan Gubernur BI baik di dalam maupun di luar FKSSK adalah kunci utama. Dalam melaksanakan tugasnya, misalnya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 39 UU OJK, mengamanatkan OJK berkoordinasi dengan BI dalam membuat peraturan pengawasan di bidang Perbankan antara lain:
1.      Kewajiban pemenuhan modal minimum bank;
2.      Sistem informasi perbankan yang terpadu;
3.      Kebijakan penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan dana valuta asing, dan pinjaman komersial luar negeri;
4.      Produk perbankan, transaksi derivatif, kegiatan usaha bank lainnya;
5.      Penentuan institusi bank yang masuk kategori systemically important bank; dan
6.      Data lain yang dikecualikan dari ketentuan tentang kerahasiaan informasi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 39 UU OJK tersebut di atas, diketahui bahwa BI tidak bisa secara sendirian sesuai seleranya untuk membuat pengaturan menyangkut keenam aspek tersebut demikian pula OJK, akan tetapi harus melalui koordinasi dan kerjasama antara BI dan OJK, demikian pula menyangkut masalaha peangawasan bank terkait dengan keenam aspek tersebut harus berkoordinasi secara bersama-sama. Namun sejak diundangkannya UU No.21 Tahun 2011 tentang OJK ini hingga kini belum ada format baku yang menentukan petunjuk teknis pelaksanaan kerjasama dimaksud.
BI melakukan pemeriksaan terhadap bank, baik secara berkala maupun setiap waktu jika diperlukan. Pemeriksaan dapat dilakukan terhadap perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait, pihak terafiliasi dan debitur bank. Bagi bank dan pihak-pihak yang diperiksa, wajib memberikan informasi kepada BI tentang: keterangan dan data yang diminta; kesempatan untuk melihat semua pembukuan, dokumen dan sarana fisik yang berkaitan dengan kegiatan usahanya; dan hal-hal lain yang diperlukan (vide Pasal 29 UU BI).
BI dapat melakukan pemeriksaan langsung terhadap bank dengan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis terlebih dahulu kepada OJK (vide Pasal 40 ayat (1) UU OJK). Pelaksanaan langsung ini BI melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya untuk melakukan pemeriksaan khusus terhadap bank tertentu. Dalam melakukan kegiatan pemeriksaan tersebut, BI tidak dapat memberikan penilaian terhadap tingkat kesehatan bank (vide Pasal 40 ayat (2) UU OJK). Laporan hasil pemeriksaan bank oleh BI disampaikan kepada OJK paling lama 1 (satu) bulan sejak diterbitkannya laporan hasil pemeriksaan tersebut (vide Pasal 40 ayat (3) UU OJK).
Selanjutnya OJK menginformasikan kepada LPS mengenai bank bermasalah yang sedang dalam upaya penyehatan oleh OJK. Dalam hal OJK mengindikasikan bank tertentu mengalami kesulitan likuiditas dan/atau kondisi kesehatan semakin memburuk, OJK segera menginformasikan ke BI untuk melakukan langkah-langkah sesuai dengan kewenangan BI (vide Pasal 41 UU OJK). Demikian pula bagi LPS dapat melakukan pemeriksaan terhadap bank yang terkait dengan fungsi, tugas dan wewenangnya, serta berkoordinasi terlebih dahulu dengan OJK (vide Pasal 42 UU OJK).
Hubungan koordinasi antara BI dan OJK termasuk LPS dalam menentukan penilaian terhadap bank dan melakukan penyehatan terhadap bank bermasalah yang sedang diperiksa tersebut, ditentukan dalam Pasal 34 UU OJK, bahwa BI, OJK, dan LPS wajib membangun dan memelihara sarana pertukaran informasi secara terintegrasi. Berdasarkan ketentuan Pasal 43 UU OJK ini jelas ditegaskan untuk ketiga lembaga ini kewajiban untuk melakukan koordinasi dan kerjasama secara terintegrasi.
Terintegrasi maksudnya di sini adalah bahwa sistem pengawasan dibangun oleh OJK, BI, dan LPS saling terhubung satu sama lain, sehingga setiap institusi dapat saling bertukar informasi dan mengakses informasi perbankan yang dibutuhkan setiap saat (timely basis). Informasi tersebut meliputi informasi umum dan khusus tentang bank, laporan keuangan bank, laporan hasil pemeriksaan bank yang dilakukan oleh BI, LPS, atau oleh OJK, dan informasi lain dengan tetap menjaga dan mempertimbangkan kerahasiaan informasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sistem pengawasan keuangan yang terintegrasi yaitu semua lembaga keuangan diawasi oleh lembaga pengawasan yang tunggal dengan cakupan pengawasan yang luas baik untuk aspek mikroprudensial, makroprudensial dan praktek bisnisnya. Konsep ini diterapkan di Inggris, Australia dan Belanda. Model pengawasan demikian inilah yang sedang digagas dengan OJK. Masing-masing lembaga harus twin peak yaitu sistem pengawasan berbasis pada tujuan dimana ada pemisahan antara fungsi supervisi safety dan soundness di satu sisi dengan fungsi pada praktek bisnis.
Hubungan koordinasi antara OJK dan BI juga ditentukan dalam Protokol Koordinasi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 44, Pasal 45, dan Pasal 46 UU OJK. Dalam Protokol Koordinasi ini sebagai wadah untuk mempertemukan antara Kemenkeu, BI, OJK, dan LPS dalam satu forum koordinasi yang disebut dengan Forum Koordinasi Stabilitas Sistim Keuangan (FKSSK). Koordinasi dalam forum ini dilakukan jika tidak memungkinkan untuk penanganan masalah perbankan oleh OJK terkait dengan penyelesaian dan penanganan suatu bank gagal yang ditengarai berdampak sistemik.
Namun ketentuan mengenai Protokol Koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, Pasal 45, dan Pasal 46 hanya berlaku sampai dengan diundangkannya undang-undang mengenai Jaring Pengaman Sistem Keuangan (saat ini masih dalam RUU JPSK). Sehingga wadah FKSSK ini diperlukan tidak bersifat permanen sebab ditentukan dalam Pasal 69 ayat (4) UU OJK hanya bersifat sementara menunggu diundangkannya UU JPSK.
FKSSK dibentuk untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, dengan anggota terdiri atas:
1.      Menteri Keuangan selaku anggota merangkap koordinator;
2.      Gubernur Bank Indonesia selaku anggota;
3.      Ketua Dewan Komisioner OJK selaku anggota; dan
4.      Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan selaku anggota.
FKSSK dibantu kesekretariatan yang dipimpin salah seorang pejabat eselon I di Kemenkeu. Pengambilan keputusan dalam rapat FKSSK berdasarkan musyawarah untuk mufakat, jika tidak tercapai maka pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak atau voting (vide Pasal 44 UU OJK). Dalam kondisi normal (belum terjadi krisis pada sistim keuangan), maka FKSSK:
  1. Wajib melakukan pemantauan dan evaluasi stabilitas sistem keuangan;
  2. Melakukan rapat paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan;
  3. Membuat rekomendasi kepada setiap anggota untuk melakukan tindakan dan/atau membuat kebijakan dalam rangka memelihara stabilitas sistem keuangan; dan
  4. Melakukan pertukaran informasi.
Menurut Pasal 45 ayat (2) UU OJK, dalam kondisi tidak normal (telah terjadi krisis pada sistim keuangan), maka untuk pencegahan dan penanganan krisis, Menteri Keuangan, Gubernur BI, Ketua DK OJK, dan/atau Ketua DK LPS yang mengindikasikan adanya potensi krisis atau telah terjadi krisis pada sistem keuangan, masing-masing dapat mengajukan ke FKSSK untuk segera dilakukan rapat guna memutuskan langkah-langkah pencegahan atau penanganan krisis.
Berdasarkan ketentuan Pasal 45 ayat (2) UU OJK diketahui bahwa diupayakannya penanganan bank melalui FKSSK jika telah terjadi krisis pada sistem keuangan yakni suatu kondisi dimana sistem keuangan gagal menjalankan fungsi dan perannya secara efektif dalam perekonomian nasional yang ditunjukkan dengan memburuknya berbagai indikator ekonomi dan keuangan antara lain berupa kesulitan likuiditas, masalah solvabilitas, dan/atau penurunan kepercayaan publik terhadap sistem keuangan.
Oleh sebab itu, Menteri Keuangan, Gubernur BI, Ketua DK OJK, dan Ketua DK LPS berwenang mengambil dan melaksanakan keputusan untuk dan atas nama institusi yang diwakilinya dalam rangka pengambilan keputusan FKSSK (vide Pasal 45 ayat (3) UU OJK). Melalui koordinasi dalam FKSSK ditetapkan dan dilaksanakan kebijakan yang diperlukan dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis pada sistem keuangan sesuai dengan kewenangan masing-masing (vide Pasal 45 ayat (4) UU OJK) dan keputusan FKSSK terkait dengan penyelesaian dan penanganan suatu bank gagal yakni suatu kondisi bank yang mengalami kesulitan keuangan dan membahayakan kelangsungan usahanya serta dinyatakan tidak dapat lagi disehatkan oleh OJK sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya, dan keputusan FKSSK ini mengikat LPS.
Kebijakan FKSSK terkait dengan keuangan negara wajib diajukan untuk mendapat persetujuan DPR. Keputusan DPR tersebut wajib ditetapkan dalam waktu paling lama 24 (dua puluh empat) jam sejak pengajuan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima oleh DPR (vide Pasal 46 UU OJK). Berdasarkan ketentuan ini, diketahui bahwa dalam hubungannya dengan DPR, kebijakan penaganan oleh FKSSK terhadap bank yang bermasalah untuk pengucuran dana dari pemerintah wajib melalui keputusan DPR paling lama 1 x 24 jam.
Sekedar mengingatkan kembali permasalahan di sektor jasa keuangan khususnya perbankan pada masa krisis di tahun 1998 dan kasus yang dihadapi Bank Century bisa dikatakan persoalannya menyangkut masalah moral hazard, perlindungan nasabah/konsumen, dan koordinasi lintas sektoral. Namun, perlu pula diamati bahwa di samping sistem hukum sebagai penyebab krisis, dapat juga disebabkan timbulnya penurunan dalam disiplin pasar (market dicipline) atau moral hazard (sikap aji mumpung) di berbagai sektor ekonomi dan politik bahkan permasalahan moral hazard itu sudah cukup luas dan mendalam. Pembuatan sistem hukum yang efektif ditujukan pula untuk mengurangi moral hazard sekaligus untuk mengatasi krisis ekonomi. Perlindungan terhadap nasabah/konsumen dilakukan misalnya melalui penerapan prinsip kehati-hatian dalam mengelola sistem perbankan.
Oleh sebab itu, melalui koordinasi yang dibangun rezim OJK diharapkan dapat meminimalisir berbagai risiko yang mungkin timbul melalui mengatur dan mengawasi kegiatan sektor perbankan, sekurang-kurangnya mengingatkan perlunya penanganan risiko secara seksama, bahkan jika perlu melarang bank melakukan kegiatan tertentu yang cenderung mengundang risiko tinggi, agar tujuan perbankan nasional baik secara individal maupun keseluruhan menjadi sehat dan aman serta dapat memelihara kepercayaan masyarakat akan tercipta perbankan nasional yang sehat dimaksud.
Dalam ketentuan UU OJK yang mengamanatkan FKSSK tercantum dalam salah satu pokok pikiran yakni ”hubungan kelembagaan” yang berarti harus dibangun melalui koordinasi yang baik antar lembaga. Koordinasi dalam hubungan kelembagaan merupakan kunci utama untuk menciptakan perbankan nasional yang sehat dan aman. Tetapi disadari atau tidak, koordinasi merupakan barang mewah di negeri ini. Walaupun demikian, setidaknya melalui koordinasi dapat meminimalisir kendala-kendala yang membuat terhambatnya sistem perbankan. Apalagi koordinasi antar lembaga di negeri ini, meski sudah dirasakan membaik masih lebih banyak yang merupakan mimpi.
Melalui koordinasi dapat membawa dampak yang baik, pencitraan terhadap profil lembaga, jika orang-orang yang terikat didalamnya mampu menjalankan tugas dan tanggung jawabnya secara arif, bijak, dan profesional. Demikian sebaliknya, koordinasi justru akan memperburuk suatu lembaga jika para pengemban tugas dan tanggung jawab itu berperilaku cenderung mengabaikan hukum, etika, dan moral. Persoalan koordinasi mudah untuk diucapkan tetapi sulit untuk diterapkan. Melalui koordinasi dapat merusak citra lembaga-lembaga dan melalui koordinasi juga dapat mencapai tujuan yang hakiki.
Dalam melaksanakan tugasnya, lembaga OJK melakukan koordinasi dan bekerjasama dengan BI mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank, koordinasi juga dalam hal meminta penjelasan atau keterangan dari BI tentang data mikro dan makro yang diperlukan. Sedangkan BI tetap melakukan tugas dan fungsinya sesuai dengan UU BI secara independen dalam koridor-koridor tertentu dan tidak bertentangan dengan UU OJK.

Kamis, 07 Maret 2013

PRINSIP KETERBUKAAN DI PASAR MODAL
Oleh:
Bisdan Sigalingging, SH, MH
Dosen Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa Medan

Investor sangat membutuhkan informasi dari perusahaan yang melakukan emisi di bursa efek guna mengukur nilai imbalan dan pengelolaan risiko investasinya. Dengan demikian tingkat efisiensi pasar modal ditentukan oleh ketersediaan informasi tersebut. Keterbukaan informasi perusahaan yang menerbitkan saham sangat dibutuhkan oleh investor.
Prinsip keterbukaan menjadi persoalan inti di pasar modal dan sekaligus merupakan jiwa pasar modal itu sendiri. Keterbukaan tentang fakta materiel sebagai jiwa pasar modal didasarkan pada keberadaan prinsip keterbukaan yang memungkinkan tersedianya bahan pertimbangan bagi investor, sehingga ia secara rasional dapat mengambil keputusan untuk melakukan pembelian atau penjualan saham.
Prinsip keterbukaan merupakan pedoman umum yang mensyaratkan emiten, perusahaan publik dan pihak lain tunduk pada UU No.8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal untuk menginformasikan kepada masyarakat pada waktu yang tepat seluruh informasi mengenai efek emiten yang dapat berpengaruh terhadap keputusan investor terhadap harga efek dimaksud.
Kepatuhan melaksanakan prinsip keterbukaan merupakan kunci utama dalam menciptakan Pasar Modal yang adil dan efisien.
Prinsip keterbukaan menjadi persoalan yang sangat penting di Pasar Modal dan sekaligus merupakan jiwa pasar modal itu sendiri. Penegasan prinsip keterbukaan ditemukan dalam Pasal 1 angka (25) UU No.8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, menentukan:
Prinsip keterbukaan adalah pedoman umum yang mensyaratkan Emiten, Perusahaan Publik, dan Pihak lain yang tunduk pada Undang-undang ini untuk menginformasikan kepada masyarakat dalam waktu yang tepat seluruh Informasi Material mengenai usahanya atau efeknya yang dapat berpengaruh terhadap keputusan pemodal terhadap Efek dimaksud dan atau harga dari Efek tersebut.
Tujuan dari prinsip keterbukaan untuk menciptakan efisiensi dalam transaksi efek di mana para investor dalam perdagangan efek dapat melakukan perdagangan secara transparan, adil, dan bijaksana.
Tanpa kewajiban keterbukaan ini mustahil tercipta pasar efisien, bahkan sebaliknya bisa terjadi kemungkinan investor yang tidak memperoleh informasi karena tidak meratanya informasi kepada investor yang disebabkan ada informasi yang tidak di-disclose atau terdapat suatu informasi yang belum tersedia untuk publik, tetapi telah disampaikan kepada orang-orang tertentu.
Keterbukaan sebagai jiwa Pasar Modal akan memberikan peluang bagi investor yang memungkinkan sehingga dengan pertimbangan bagi investor secara rasional dapat mengambil keputusan untuk melakukan pembelian atau penjualan saham.
Keterbukaan dalam transaksi efek menyangkut seluruh informasi mengenai keadaan usahanya yang meliputi aspek keuangan, hukum, manajemen, dan harta kekayaan perusahaan yang akan melakukan emisi saham di bursa.
Pelanggaran terhadap prinsip keterbukaan dapat menyebabkan informasi yang diterima investor adalah menyesatkan, gambaran semu, sehingga dari informasi yang menyesatkan atau gambaran semu tersebut pihak investor menjadi rugi. Selama go public keterbukaan wajib terus berlangsung.
Keterbukaan berlaku sejak emiten atau perusahaan publik tersebut didaftarkan (listing) di bursa, maka sejak itu emiten tersebut wajib melaporkan dan membuka ke publik mengenai segala sesuatunya yang ada di dalam prospektus.
Antara Pasal 80 UU No.8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan paragraf 6 penjelasan umum tidak relevan sebab penegasan Pasal 80 UU No.8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal sebenarnya prinsip keterbukaan sudah diwajibkan untuk dilaksanakan dalam pengungkapan fakta materil di dalam prospektus ketika didaftarkan di bursa.
Tetapi dalam paragraf 6 penjelasan umum disebutkan, ”....Dalam undang-undang ini diatur mengenai adanya ketentuan yang mewajibkan pihak yang melakukan penawaran umum dan memperdagangkan efeknya di pasar sekunder untuk memenuhi prinsip keterbukaan. Penjelasan ini seolah-olah keterbukaan mulai dilaksanakan di pasar sekunder.
Sesungguhnya menurut Pasal 80 UU No.8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal keterbukaan diwajibkan kepada emiten untuk menyampaikan prospektus kepada Bapepam. Sedangkan yang dimaksud dalam paragraf 6 penjelasan umum tersebut adalah pembukaan informasi ke publik (disclosed).
Jadi ada dua tahapan keterbukaan ini yakni pada saat pendaftaran dan pada saat diumumkan ke publik. Pada saat pendaftaran prospektus harus benar-benar dibuat secara jujur mengenai fakta materil emiten. Pada tahap inilah insider bisa melakukan pelanggaran, misalnya menginformasikan kepada orang-orang tertentu di luar bursa untuk melakukan atau tidak melakukan transkasi efek emiten yang telah terdaftar.
Pelaksanaan prinsip keterbukaan mulai diterapkan di Pasar Modal menurut penjelasan di atas ketika melakukan penawaran umum dan memperdagangkan efeknya di pasar sekunder harus memenuhi prinsip keterbukaan.
Hal ini berarti sebelum informasi di buka ke publik, informasi tersebut dilarang untuk dibuka atau disampaikan kepada siapapun atau pihak manapun. Di sinilah batasan mulai berlakunya prinsip keterbukaan dalam kegiatan di Pasar Modal.
Pelaksanaan prinsip keterbukaan yang paling awal dalam mekanisme pasar modal sudah dimulai pada saat perusahaan memasuki tahap prapencatatan pernyataan pendaftaran. Pernyataan pendaftaran yang wajib diserahkan kepada Bapepam terdiri dari prospektus awal (preliminary prospectus) dan dokumen-dokumen pendukung.
Pelaksanaan prinsip keterbukaan merupakan perintah undang-undang, apabila diperhatikan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU No.8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, pengaturannya tersebar pada pasal-pasal misalnya: Pasal 75 ayat (1) menentukan, “Bapepam wajib memperhatikan kelengkapan, kecukupan, objektivitas, kemudahan untuk dimengerti, dan kejelasan dokumen Pernyataan Pendaftaran untuk memastikan bahwa Pernyataan Pendaftaran memenuhi Prinsip Keterbukaan”.
Selanjutnya Pasal 83 menentukan, “Setiap Pihak yang melakukan penawaran tender untuk membeli Efek Emiten atau Perusahaan Publik wajib mengikuti ketentuan mengenai keterbukaan, kewajaran, dan pelaporan yang ditetapkan oleh Bapepam”.
Pasal 84 menentukan, “Emiten atau Perusahaan Publik yang melakukan penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan perusahaan lain wajib mengikuti ketentuan mengenai keterbukaan, kewajaran, dan pelaporan yang ditetapkan oleh Bapepam dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku”, dan dalam pasal-pasal di Bab X yakni Pasal 85, Pasal 86, Pasal 87, dan Pasal 89 juga menghendaki kewajiban dalam hal Pelaporan dan Keterbukaan Informasi.
Bahkan salah satu alasan diundangkannya UU No.8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal menggantikan UU No.15 Tahun 1952 tentang penetapan Undang-Undang Darurat Tentang Bursa sebagai Undang-Undang adalah karena UU No.15 Tahun 1952 tidak mengatur kewajiban pelaksanaan prinsip keterbukaan. UU No.8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal mempertegas pengaturan prinsip keterbukaan merupakan hal-hal yang sangat penting dalam kegiatan Pasar Modal.
Menurut Bismar Nasution, sangat banyak ketentuan kewajiban keterbukaan (mandatory disclosure) bagi emiten atau perusahaan publik. Fokus sentral dari hukum pasar modal  ini adalah prinsip keterbukaan, oleh karena perannya membuat investor atau pemegang saham dan pelaku-pelaku bursa mempunyai informasi yang cukup dan akurat dalam pengambilan keputusannya dalam berinvestasi.
Dengan informasi ini dapat diantisipasi terjadinya perbuatan curang (fraudulent acts) atau pernyataan menyesatkan (misleading statement) atau penghilangan (omission) atau insider trading di pasar modal.

KEADILAN UTILITARIAN

Oleh:
Bisdan Sigalingging, SH, MH
Dosen Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa Medan

Keadilan menurut Plato adalah nilai kebijakan yang paling tertinggi. Keadilan menurut H.L.A. Hart adalah nilai kebajikan yang paling legal atau atribut pribadi (habitus animi). Para filosof Yunani memandang bahwa keadilan sebagai suatu kebijakan individual. Makna keadilan yang dikemukakan tersebut pada prinsipnya bertujuan sama bergantung pada sudut pandang masing-masing. Namun menjadi persoalan adalah ketika terjadi tindakan yang tidak adil (unfair prejudice) di dalam kehidupan, maka sektor hukum jugalah yang berperan untuk menemukan dan mengembalikan keadilan yang telah hilang (the lost justice) inilah yang disebut Aristoteles sebagai keadilan korektif.
John Rawls mengolaborasi keadilan dengan mencampur unsur-unsur keadilan menurut Aristoteles dan keadilan yang hilang itu mesti dikembalikan oleh hukum. Hasil kolaborasinya diperoleh secara tajam jika dilakukan maksimum penggunaan barang secara merata dengan memperhatikan kepribadian masing-masing dengan menggunakan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1.      Terpenuhinya hak yang sama terhadap dasar;
2.      Perbedaan ekonomi dan sosial harus diatur sehingga akan terjadi kondisi yang positif yaitu:
a.       Terciptanya keuntungan maksimum yang reasonable untuk setiap orang termasuk bagi setiap yang lemah;
b.      Terciptanya kesempatan bagi semua orang.
Pandangan John Rawls tersebut sejalan dengan keadilan yang ingin dicapai oleh aliran utilitarian yang menitikberatkan pada kemanfaatan. Jika mesin diukur dari manfaatnya (utility), maka institusi sosial, termasuk institusi hukum pun harus diukur dari manfaatnya. Karena itu, unsur manfaat sebagai kriteria bagi manusia dalam mematuhi hukum.
Teori manfaat yang paling terkenal dikemukakan dari Jeremy Bentham dalam karyanya berjudul An Introduction to the Principles of  Morals and Legislation. Asas manfaat melandasi segala kegiatan berdasarkan sejauh mana tindakan itu meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan kelompok itu atau dengan kata lain meningkatkan atau melawan kebahagiaan itu sendiri. Sehingga tujuan hukum untuk mencapai kesejahteraan akan tercapai.
Teori utilitiarisme berpandangan bahwa kualitas etis suatu perbuatan diperoleh dengan dicapainya tujuan kesejahteraan bersama. Perbuatan yang baik diukur dari hasil yang bermanfaat, jika hasilnya tidak bermanfaat, maka tidak pantas disebut baik.
Pengambilan keputusan berdasarkan etika dengan pertimbangan manfaat terbesar bagi banyak pihak sebagai hasil akhirnya yang dikenal dengan istilah the greatest good for the greatest number. Semakin bermanfaat akan semakin banyak orang dan perbuatan itu semakin etis. Dasar moral dari perbuatan adalah manfaat terbesar sehingga sering disebut dengan aliran konsekuensialisme karena sangat berorientasi pada hasil perbuatan.
Teori utilitarisme sangat menekankan pentingnya konsekuensi perbuatan dalam menilai baik atau buruk. Baik buruknya kualitas moral suatu perbuatan bergantung pada konsekuensi atau akibat yang dibawakan oleh mereka sebagai pengemban amanah atau orang-orang yang dipercaya. Jika suatu perbuatan mengakibatkan manfaat paling besar, artinya paling memajukan kemakmuran, kesejahteraan, dan kebahagiaan masyarakat, maka perbuatan itu adalah baik. Sebaliknya, jika perbuatan membawa lebih banyak kerugian daripada manfaatnya, maka perbuatan itu dinilai buruk. Konsekuensi perbuatan di sini menentukan seluruh kualitas moral.
Prinsip utilitarian menganggap suatu tindakan menjadi benar jika jumlah total manfaat yang dihasilkan dari tindakan tersebut lebih besar dari jumlah manfaat total yang dihasilkan oleh tindakan lain yang dilakukan. Penelantaran para penyandang cacat, eksploitasi kaum minoritas yang rentan, ketidakotentikan, dan hilangnya otonomi adalah bahaya-bahaya yang ditentang utilitarianisme ini.
Utilitarisme ini tidak bisa dimengerti dengan cara egoistis. Sebab kriteria untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan adalah kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar atau perbuatan yang mengakibatkan paling banyak orang merasa senang dan puas adalah perbuatan yang terbaik.
Masalahnya adalah mengapa dalam pengambilan keputusan bisnis dari otoritas suatu lembaga misalkan otoritas pengawas perbankan merupakan tanggung jawab moral induvidu dari orang-orang yang dipercaya? Jika dijawab melalui teori utilitarisme, karena hal itu membawa manfaat paling besar bagi umat manusia sebagai keseluruhan (masyarakat) khususnya nasabah atau konsumen bank. Jawaban ini dapat diterima untuk menciptakan suatu konsep yang sering disebut sebagai upaya pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Prinsip keadilan utilitarisme adalah menekankan kebijaksanaan yang masuk akal untuk mencapai tujuan kesejahteraan bersama.
Mudah dipahami bahwa utilitarisme sebagai teori etika sesuai dengan pemikiran ekonomis. Misalnya, teori ini cukup dekat dengan analisis biaya manfaat (cost benefit analysis) yang banyak dipakai dalam konteks ekonomi. Manfaat yang dimaksudkan utilitarisme seperti menghitung untung dan rugi atau kredit dan debet dalam konteks bisnis.
Ukuran utilitarisme menambahkan kuantitas keuntungan yang dihasilkan oleh suatu tindakan dan menguranginya dengan jumlah kerugian dari tindakan, selanjutnya menentukan tindakan mana yang menghasilkan keuntungan paling besar atau biaya yang paling kecil. Teori utilitarisme tentang hukum moral berbanding terbalik atau suatu bentuk penolakan keras terhadap tindakan aji mumpung (moral hazard) dari pengemban amanah. 
John Stuart Mill melakukan revisi dan mengembangkan lebih lanjut teori ini. Dalam bukunya Utilitarianism yang diterbitkan pada tahun 1861, John Stuart Mill mengasumsikan bahwa pengejaran manfaat bagi masyarakat adalah sasaran aktivitas moral individual. John Stuart Mill mempostulatkan suatu nilai tertinggi kebahagiaan yakni kesenangan heterogin dalam berbagai bidang kehidupan.
Semua pilihan dapat dievaluasi dengan mereduksi kepentingan yang dipertaruhkan sehubungan dengan kontribusinya bagi kebahagiaan individual yang tahan lama. Kriteria utilitas menurutnya harus mampu menunjukkan keadaan sejahtera individual yang lebih awet atau resisten sebagai hasil yang diinginkan yakni kebahagiaan. Tindakan harus menciptakan manfaat yang positif untuk bisnis. Baik bermanfaat untuk pelaku bisnis maupun kepada masyarakat konsumen.

METODE PENEMUAN HUKUM DENGAN INTERPRETASI TERHADAP TEKS HUKUM SEBAGAI SEBUAH TELAAH FILSAFAT HUKUM

METODE PENEMUAN HUKUM DENGAN INTERPRETASI TERHADAP TEKS HUKUM SEBAGAI SEBUAH TELAAH FILSAFAT HUKUM

Oleh: Bisdan Sigalingging, SH, MH
Dosen Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa Medan

A.    Pendahuluan
Hanya dalam kepastian berkeadilan manusia mampu untuk mengaktualisasikan segala potensi kemanusiannya secara wajar dan baik. Oleh sebab itu, manusia mempuyai kecenderungan dan kebutuhan akan kepastian dan keadilan. Salah satu fungsi dari hukum ialah sebagai alat untuk menciptakan kepastian dan keadilan tersebut. Upaya yang semestinya dilakukan guna menciptakan kepastian dan keadilan ialah hukum harus dilaksanakan secara layak. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara damai, normal tetapi dapat terjadi pula karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar tersebut haruslah ditegakkan, dan diharapkan dalam penegakan hukum inilah hukum tersebut menjadikan kenyataan sehingga ketertiban berkeadilan terwujud.
Tanpa kepastian hukum, orang tidak mengetahui apa yang harus diperbuat yang pada akhirnya akan menimbulkan keresahan. Akan tetapi terlalu menitikberatkan pada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati peraturan hukum akibatnya juga akan kaku serta tidak menutup kemungkinan akan dapat menimbulkan rasa ketidakadilan. Apapun yang terjadi peraturannya adalah demikian dan harus ditaati dan dilaksanakan.
Undang-undang itu sering terasa kejam apabila dilaksanakan secara ketat (lex dura sed tamen scripta). Berbicara tentang hukum pada umumnya, masyarakat umumnya hanya melihat kepada peraturan hukum dalam arti kaidah atau peraturan perundang-undangan, terutama bagi para praktisi. Sedang kita sadar bahwa undang-undang itu tidaklah sempurna, undang-undang tidaklah mungkin dapat mengatur segala kegiatan kehidupan manusia secara tuntas. Ada kalanya undang-undang itu tidak lengkap atau ada kalanya undang-undang tersebut tidak jelas. Dalam hal terjadinya pelanggaran undang-undang, penegak hukum (khususnya Hakim) harus melaksanakan atau menegakkan undang-undang.
Hakim tidak dapat dan tidak boleh menangguhkan atau menolak menjatuhkan putusan dengan alasan karena hukumnya tidak lengkap atau tidak jelas. Hakim dilarang menolak menjatuhkan putusan dengan dalih tidak sempurnanya undang-undang dan alasan karena undang-undang yang mengatur akan peristiwa kongkrit tidak lengkap ataupun tidak jelas, maka dalam hal ini penegak hukum (Hakim) haruslah mencari, menggali, dan mengkaji hukumnya, Hakim harus menemukan hukumnya dengan jalan melakukan penemuan hukum (rechtsvinding).
Penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh Hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa hukum yang kongkrit. Hal ini merupakan proses kongkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa kongkrit.

B.     Permasalahan
Terdapat beberapa aliran dan metode-metode dalam penemuan hukum, namun dalam makalah ini tidak akan membahas secara mendalam tentang aliran-aliran (mazhab) dalam penemuan hukum tersebut, melainkan hanya ingin mengkaji bagaimanakah interpretasi terhadap teks hukum dalam perspektif filsafat hukum sebagai metode penemuan hukum baru?

C.    Pembahasan
1.      Pengertian Interpretasi Terhadap Teks Hukum
Interpretasi terhadap teks dikenal dengan istilah “hermeneutika” atau “hermeneutica”. Supaya tidak terjadi distorsi pemaknaan sejarah hermeneutika, maka perlu dibahas kronologi asal-usul kata hermeneutika tersebut. Secara etimologis kata “hermeneutika” berasal dari bahasa Yunani. Kata kerjanya “hermeneuein” yang berarti “menafsirkan” atau “menginterpretasi”. Kata bendanya “hermenia” yang berarti “penafsiran” atau “interpretasi”. Dari kata kerja hermeneuein, dapat ditarik tiga makna dasar dalam pengertian aslinya, yaitu: (1) mengungkapkan kata-kata, misalnya “to say”; (2) menjelaskan, seperti menjelaskan sebuah situasi; (3) menerjemahkan, seperti di dalam transliterasi bahasa asing. Ketiga-tiga makna itu bisa diwakilkan dengan bentuk kata kerja Inggris “to interpret”, namun masing-masing dari ketiga makna tersebut membentuk sebuah makna yang independen dan signifikan bagi interpretasi.
Pada mitologi Yunani kuno, kata hermeneutika merupakan derivasi dari kata Hermes, yaitu seorang dewa yang bertugas menyampaikan dan menjelaskan pesan (message) dari Sang Dewa kepada manusia. Menurut versi mitos lain, Hermes adalah seorang utusan yang memiliki tugas menafsirkan kehendak dewata dengan bantuan kata-kata manusia. Pengertian dari mitologi ini kerapkali dapat menjelaskan pengertian hermeneutika teks-teks kitab suci, yaitu menafsirkan kehendak Tuhan sebagaimana terkandung di dalam ayat-ayat kitab suci. Dapat disimpulkan bahwa hermeneutika adalah ilmu dan seni menginterpretasikan (the art of interpretation) suatu teks/kitab suci. Sedangkan dalam perspektif filosofis, hermeneutika merupakan aliran filsafat yang mempelajari hakikat hal mengerti atau memahami sesuatu. Sesuatu yang dimaksud di sini dapat berupa teks, naskah-naskah kuno, peristiwa, pemikiran dan kitab suci, yang kesemua hal ini adalah merupakan objek penafsiran hermeneutika.
Menurut B. Arief Sidharta, asal mula pengembangan hermeneutika dikembangkan sebagai metode atau seni untuk menafsirkan teks. Kemudian lewat karya Scleiermacher dan Wilhelm Dilthey mengembangkan dan menggunakan hermeneutika sebagai metode untuk ilmu-ilmu manusia, khususnya ilmu sejarah. Akhirnya, lewat karya Hegel dan karya Heidegger, Gadamer mengembangkan hermeneutika sebagai landasan kefilsafatan ilmu-ilmu manusia dalam bukunya “Truth and Method”. Gadamer menyisishkan paragrap khusus dengan judul “the exemplary significance of legal hermeneutics” yang intinya berbicara mengenai signifikansi hermeneutika hukum. Kemudian dalam karya Heidegger dan karya Gadamer, hermeneutika sebagai metode dikembangkan menjadi filsafat hermeneutika yang berintikan konsep-konsep kunci berikut: pendidikan (bildung), tradisi (ueberliefrung), prasangka (vorurteil), pemahaman (verstehen), lingkaran hermeneutika (hermeneutische zirkel), pengalaman (erfahrung), sejarah pengaruh (wirkungsgeschichte), kesadaran sejarah pengaruh (effective historical conciousness), dan perpaduan cakrawala (fusion of horizons).
Makna hermeneutika apabila diintegrasikan ke dalam hukum, maka yang dimaksud dengan hermeneutika hukum, sebagaimana yang didefinisikan oleh Gregory Leyh dalam buku “Legal Hermeneutics: History, Theory and Practice”, dimana Gregory mengutip pendapat Gadamer yang menyatakan bahwa hermeneutika hukum bukanlah merupakan suatu kasus yang khusus, tetapi ia hanya merekonstruksikan kembali dari seluruh problema hermeneutika dan kemudian membentuk kembali kesatuan hermeneutika secara utuh, dimana ahli hukum dan teologi bertemu dengan para ahli humaniora.
Jazim Hamidi, menjelaskan bahwa untuk mengetahui definisi hermeneutika hukum itu seperti apa, dapat dikaji kembali kepada definisi hermeneutika secara umum di atas. Dari sini dapat ditarik definisi hermeneutika hukum adalah ajaran filsafat mengenai hal mengerti/memahami sesuatu, atau sebuah metode interpretasi terhadap teks dimana metode dan teknik menafsirkannya dilakukan secara holistik dalam bingkai keterkaitan antara teks, konteks, dan kontekstualisasi. Teks tersebut bisa berupa teks hukum, peristiwa hukum, fakta hukum, dokumen resmi negara, naskah kuno atau kitab suci.
Fungsi dan tujuan dari hermeneutika hukum menurut James Robinson adalah untuk memperjelas sesuatu yang tidak jelas supaya lebih jelas. Sedangkan menurut Greogry, tujuan hermeneutika hukum adalah untuk menempatkan perdebatan kontemporer tentang interpretasi hukum didalam kerangka hermeneutika pada umumnya. Secara filosofis, sebagaimana dijelaskan oleh Gadamer, hermeneutika hukum mempuyai tugas ontologis yaitu menggambarkan hubungan yang tidak dapat dihindari antara teks dan pembaca, masa lalu dan masa sekarang, yang memungkinkan untuk memahami kejadian yang pertama kali (genuine).
Pentingnya kajian hermeneutika hukum ini, dimaksudkan tidak hanya akan membebaskan kajian-kajian hukum dari otoritarianisme para yuris positif yang elitis, tetapi juga dari kajian-kajian hukum kaum strukturalis atau behaviorial yang terlalu empirik sifatnya. Kajian hermeneutika hukum juga telah membuka kepada para pengkaji hukum untuk tidak hanya berkutat pada pradigma positivisme dan metode logis formal saja. Tetapi sebaliknya hermeneutika hukum menganjurkan agar para pengkaji hukum menggali dan meneliti makna-makna hukum dari perspektif para pengguna dan atau para pencari keadilan.
2.      Hermeneutika Hukum Sebagai Metode Penemuan Hukum dengan Interpretasi Teks Hukum
Kajian hermeneutika hukum mempuyai dua makna sekaligus. Pertama, hermeneutika hukum dapat dipahami sebagai metode interpretasi atas teks-teks hukum. Dimana interpretasi yang benar terhadap teks hukum itu harus selalu berhubungan dengan isi (kaidah hukumnya), baik yang tersurat maupun yang tersirat, atau antara bunyi hukum dan semangat hukum. Menurut Gadamer ada tiga syarat yang harus dipenuhi oleh seorang penafsir yaitu: memenuhi subtilitas intelegendi (ketepatan pemahaman), subtilitas explicandi (ketepatan penjabaran), dan subtilitas applicandi (ketepatan penerapan). Maka tidak berlebihan jika para pakar hukum, ilmu sosial dan filsafat beranggapan bahwa hermeneutika hukum merupakan alternatif yang tepat dan praktis untuk memahami naskah normatif.
Kedua, hermeneutika hukum juga mempuyai pengaruh besar dengan teori penemuan hukum. Hal ini ditunjukkan dalam kerangka lingkaran spiral hermeneutika, yaitu proses timbal balik antara kaidah-kaidah dan fakta-fakta. Karena dalil hermeneutika menjelaskan bahwa orang harus mengkualifikasi fakta-fakta dalam bingkai kaidah-kaidah dan menginterpretasi kaidah-kaidah dalam bingkai fakta-fakta. Hermeneutika sebagai metode penemuan hukum melalui interpretasi teks hukum selalu menjadi diskursus utama dalam setiap kajian hermeneutika hukum. Hal ini tidak terlepas dari substansi filsafat hermeneutika adalah tentang hakikat hal mengerti atau memahami sesuatu, yakni refleksi kefilsafatan yang menganalisis syarat-syarat kemungkinan bagi semua pengalaman dan pergaulan manusiawi dengan kenyataan, termasuk peristiwa mengerti dan/atau interpretasi.
Menurut B. Arief Sidharta, dalam filsafat hermeneutika khususnya pada peristiwa memahami atau menginterpretasi sesuatu, subyek (interpretator) tidak dapat memulai upayanya dengan mendekati obyek pemahamannya sebagai tabula rasa (tidak bertolak dari titik nol). Sebab setiap orang terlahir ke dalam suatu dunia produk sejarah yang selalu menjalani proses menyejarah terus menerus, yakni tradisi yang bermuatan nilai-nilai, wawasan-wawasan, pengertian-pengertian, asas-asas, arti-arti, kaidah-kaidah, pola-pola perilaku dan sebagainya, yang terbentuk dan berkembang oleh dan dalam perjalanan sejarah. Jadi, tiap subyek, terlepas dan tidak tergantung dari kehendaknya sendiri, selalu menemukan dirinya sudah berada dalam suatu tradisi yang sudah ada sebelum ia dilahirkan dan ia menemukan dirinya sudah ada di situ.
Lewat proses interaksi dengan dunia sekelilingnya, tiap orang menyerap atau diresapi muatan tradisi tersebut, dan dengan itu membentuk pra-pemahaman terhadap segala sesuatu, yakni prasangka berupa putusan yang diberikan sebelum semua unsur yang menentukan sesuatu atau suatu situasi ditelaah secara tuntas, dan dengan itu juga terbentuk cakrawala pandang, yakni medan pengamatan (range of vision) yang memuat semua hal yang tampak dari sebuah titik pandang subyektif tertentu. Pra pemahaman dan cakrawala pandang itu akan menentukan persepsi individual terhadap segala sesuatu yang tertangkap dan teregistrasi dalam wilayah pandang pengamatan individu yang bersangkutan. Dalam dinamika proses insterpretasi, pra-pemahaman dan cakrawala pandang dapat mengalami pergeseran, dalam arti meluas, melebar dan meningkat derajat kedalamannya. Pergeseran ini dapat mengubah pengetahuan subyek, karena akan dapat memunculkan hal-hal baru dan aspek-aspek baru dari hal-hal yang tertangkap dalam cakrawala pandang.
Proses interpretasi itu berlangsung dalam proses lingkaran pemahaman yang disebut lingkaran hermeneutik (hermeneutische zirkel), yakni gerakan bolak-balik antara bagian atau unsur-unsur dan keseluruhan sehingga terbentuk pemahaman yang utuh. Dalam proses pemahaman ini, tiap bagian hanya dapat dipahami secara tepat dalam konteks keseluruhan, sebaliknya keseluruhan ini hanya dapat dipahami berdasarkan pemahaman atas bagian-bagian yang mewujudkannya. Lingkaran pemahaman ini dimungkinkan, karena pada diri interpretator sudah ada cakrawala pandang dan pra-pemahaman yang terbentuk lewat interaksi dengan tradisi yang didalamnya ia menjalani kehidupan. Bertolak dari pra-pemahaman dalam kerangka cakrawala pandangnya tentang interpretandum (ihwal yang mau dipahami) sebagai suatu keseluruhan, interpretator berusaha menemukan makna dari bagian-bagian lalu berdasarkan pemahaman atas bagian-bagian tersebut dalam hubungan antara yang satu dengan yang lainnya berupaya memahami interpretandum, hasilnya disorotkan pada bagian-bagian guna memperoleh pemahaman yang lebih tepat untuk kemudian hasilnya disorotkan balik pada keseluruhan, dan demikian seterusnya sampai tercapai suatu pemahaman yang utuh dan tepat.
Filsafat hermeneutika memberikan landasan kefilsafatan (ontologikal dan epsitemologikal) pada ilmu hukum, atau filsafat ilmu dari ilmu hukum. Sebab, dalam mengimplementasikan ilmu hukum untuk menyelesaikan suatu masalah hukum, misalnya di pengadilan, kegiatan interpretasi itu tidak hanya dilakukan terhadap teks yuridis, melainkan juga terhadap kenyataan yang menimbulkan masalah hukum yang bersangkutan (misalnya menetapkan fakta-fakta yang relevan dan makna yuridikalnya).
Pengembangan ilmu hukum berintikan kegiatan menginterpretasi teks yuridik untuk mendistilasi atau mengekstraksi kaidah hukum yang (secara implisit) ada pada teks yuridik tersebut dan dengan itu menetapkan makna dan wilayah penerapannya. Antara ilmuwan hukum (interpretator) dan teks yuridik itu terdapat jarak waktu. Teks yuridis adalah produk pembentuk hukum untuk menetapkan perilaku apa yang seyogianya dilakukan atau tidak dilakukan orang yang berada dalam situasi tertentu karena hal itu oleh pembentuk hukum dipandang merupakan tuntutan ketertiban berkeadilan. Jadi, terbentuknya teks yuridis itu terjadi dalam kerangka cakrawala pandang pembentuk hukum berkenaan dengan kenyataan kemasyarakatan yang dipandang memerlukan pengaturan hukum dengan mengacu cita-cita hukum yang dianut dan hidup dalam masyarakat. Upaya mendistilasi kaidah hukum dari dalam teks yuridis dengan menginterpretasi teks tersebut, interpretator tidak dapat lain kecuali dalam kerangka pra-pemahaman dan cakrawala pandangnya dengan bertolak dari titik berdirinya sendiri, jadi terikat pada waktu yang didalamnya interpretsi itu dilakukan.
Dengan demikian, pada setiap interpretasi teks yuridik terjadi proses lingkaran hermeneutik yang didalamnya berlangsung pertemuan antara dua cakrawala pandang, yakni cakrawala dari interpretandum (teks yuridis) dan cakrawala dari interpretator. Perpaduan cakrawala tersebut dapat menghasilkan pemahaman baru pada interpretator tentang kaidah hukum yang terkandung dalam teks yuridik itu. Subyektivitas dari hasil interpretasi itu akan dapat dikurangi hingga ketingkat yang paling minimal, karena pertama-tama kegiatan interpretasi itu harus selalu mengacu cita hukum (keadilan, kepastian hukum, kehasilgunaan), nilai-nilai kemanusiaan yang fundamental dan sistem hukum yang berlaku. Kedua, produk interpretasi selalu terbuka bagi pengkajian rasional terhadap argumentasi yang melandasi produk interpretasi tersebut oleh forum hukum dengan cita hukum, nilai-nilai kemanusiaan yang fundamental dan sistem hukum sebagai kriteria pengujinya. Jadi, lewat berbagai perpaduan cakrawala dalam dialog rasional dalam forum hukum dapat diharapkan akan dihasilkan produk interpretasi yang paling akseptabel, yakni secara rasional dapat dipertanggungjawabkan karena kekuatan argumentasinya, sehingga memiliki keberlakuan intersubyektif.
Menurut Fahruddin Faiz, hermeneutika berusaha menggali makna dengan mempertimbangkan horison/cakrawala yang melingkupi teks. Horison yang dimaksud adalah horison teks, horison pengarang dan horison pembaca. Dengan memperhatikan ketiga horison tersebut, diharapkan suatu upaya pemahaman atau penafsiran menjadi kegiatan rekonstruksi dan reproduksi makna teks, di samping melacak bagaimana suatu teks itu dilahirkan oleh pengarangnya dan muatan apa yang masuk atau ingin dimasukkan oleh pengarang kedalam teks yang dibuatnya. Selain dari itu seorang interpretator senantiasa berusaha melahirkan kembali makna tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi saat teks tersebut dibaca atau dipahami. Simpulan yang bisa diambil adalah sebagai sebuah metode penemuan makna teks, hermeneutika harus selalu memperhatikan tiga komponen pokok, yaitu teks, konteks, kemudian upaya kontekstualisasi.
Pada proses penemuan hukum (rechtsvinding), perlu dibedakan dua hal yaitu mengenai tahap sebelum pengamblan putusan (ex ante) dan tahap sesudah pengambilan putusan (ex post). Dalam perspektif teori penemuan hukum modern, yang terjadi sebelum pengambilan putusan disebut “heuristika”, yaitu proses mencari dan berfikir yang mendahului tindakan pengambilan putusan hukum. Pada tahap ini berbagai argument pro-kontra terhadap suatu putusan tertentu ditimbang-timbang antara yang satu dengan yang lain, kemudian ditemukan makna yang tepat.
Penemuan hukum yang terjadi sesudah putusan disebut “legitimasi”, dan legitimasi selalu berkenaan dengan pembenaran dari putusan yang sudah diambil. Pada tahap ini putusan diberi motivasi (pertimbangan) da argumentasi secara substansial, dengan cara menyusun suatu penalaran yang secara rasional dapat dipertanggungjawabkan. Apabila suau putusan hukum tidak bisa diterima oleh forum hukum, maka berarti putusan itu tidak memperoleh legitimasi. Konsekuensinya, premis-premis yang baru harus diajukan, dengan tetap berpegang pada penalaran ex ante, untuk menyakinkan forum hukum tersebut agar putusan tersebut dapat diterima. Disinilah pentingnya hermeneutika hukum berperan sekaligus digunakan oleh para hakim pada saat menemukan hukum.
Penemuan hukum oleh Hakim tidak semata-mata hanya penerapan peraturan-peraturan hukum terhadap peristiwa konkrit, tetapi sekaligus penciptaan hukum dan pembentukan hukumnya. Menurut Gadamer, metode hermeneutika hukum pada hakikatnya sangat berguna, ketika seorang hakim menganggap dirinya berhak untuk menambah makna orisinal dari teks hukum. Bahkan menurut Charter, pengalaman Hakim pada saat menemukan hukum dalam praktek dipengadilan memberikan dukungan bagi konsepsi pragmatis dan interpretasinya. Oleh karena itulah hermeneutika hukum berfungsi sebagai metode untuk interpretasi atas teks hukum/peraturan perundangan yang dijadikan dasar pertimbangannya serta interpretasi atas peristiwa dan fakta akan sangat membantu Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara dipengadilan.
Memperjelas penerapan hermeneutika hukum dalam aras praksis, dalam makalah ini akan dipaparkan putusan pengadilan di Amerika sebagai ilustrasi dalam penerapan metode hermeneutika hukum oleh Hakim dipengadilan. Putusan tersebut adalah putusan pengadilan kasus Marbury versus Madison (1803). Putusan terhadap kasus Marbury versus Madison ini, menandai lahirnya lembaga “Judicial Review, untuk pertama kalinya dalam tatanan sistem hukum di Amerika Serikat. Dimana dalam kasus ini John Marshal selaku Chief of Justice dari Supreme Court, telah menolak untuk mengeluarkan writ of mandamus, yaitu suatu perintah pengadilan kepada pejabat pemerintah untuk melakukan perbuatan tertentu yang merupakan salah satu kewajiban dari pejabat tersebut, yang dituntut oleh William Marbury kepada James Madison selaku secretary of state. Alasannya, dasar hukum penuntutan hak tersebut yaitu pasal 13 judicial act (UU Kekuasaan Kehakiman) tahun 1789 yang dirumuskan oleh kongres, dianggap menambahkan kewenangan supreme court dari kewenangan yang tercantum dalam konstitusi Amerika Serikat. Oleh karena itu, ketentuan tersebut adalah inkonstitutional dan tidak sah. Sebab, undang-undang tidak bisa mengubah konstitusi yang merupakan “the supreme law of the land” (asas lex superior derogate leg inferiori).
Doktrin judicial review memperoleh kekuatan hukum ketika John Marshal memutuskan kasus Marbury versus Madison tersebut pada bulan Februrai 1803, dengan mengatakan bahwa:
It one of the purpose of written constitution to define and limit the powers of the legislature. The legislature cannot be permittes to pass statutes contrary to a constitution, if the letter is to prevail as superior law. A court avoid choosting between the constitution and a conflicting statute when both are relevant to a case which the court is asked to decide. Since the constitution is paramount law, judges have no choise but to prefer it to refuse to give effect to the latter.
Sebenarnya dibalik kasus itu sarat dengan muatan politis, meskipun jika dilihat dari posisi kasus yang sebenarnya sekedar merupakan sengketa kepentingan antara Marbury (sebagai Penggugat) dan Madison (sebagai Tergugat). Tetapi John Marshall tahu bahwa dibalik sengketa itu tersembuyi masalah yang lebih besar dan menyangkut kepentingan rakyat banyak. Dalam usahanya memberikan putusan yang tepat, Marshall menalar secara hermeneutika. Premis yang muncul berdasarkan penalaran secara hermeneutika (premis tak terberi), antara lain:
a.       Masa lalu: masalah itu muncul karena kelalaian Jhon Marshall sendiri.
b.      Masa kini: ada perseteruan politik antara partai republik (Thomas Jefferson) dengan partai federalis (John Adam).
c.       Masa depan: kemungkinan muncul konflik terbuka antara lembaga kepresidenan dengan supreme court, bila tuntutan Marbury dikabulkan, yang bisa membahayakan keutuhan nasional.
Dengan dalih mempertimbangkan dan menyelaraskan ketiga kepentingan di atas, John Marshall dalam putusannya berusaha mencari titik temu dalam kasus tersebut dengan cara mendialogkan antara konstitusi Amerika Serikat, judicial act, fakta yuridis, kondisi sosial politik, serta kepentingan dirinya dan lembaga yang dia pimpin. Pertimbangan yang dia lakukan itu merupakan pertimbangan atas dasar nilai, dan keputusan yang dia ambil merupakan wujud dari kebijaksanaannya.
Menurut analisa Samuel Jaya Kusuma, keputusan akhir bahwa judicial act adalah inkonstitusional itu muncul secara heuristika. Mengapa, karena kesimpulan ini merupakan suatu pengembangan (inovasi) secara kreatif dari asas “lex superior derogate leg inferiori”. Selain itu pula diperkuat dengan interpretasi hermeneutika atas lafal sumpah jabatannya sebagai hakim dengan asas “ius curia novit” dan pada akhirnya dapat memperjelas maksud konstitusi. Akibatnya lahir suatu temuan baru dibidang hukum berupa lembaga judicial review, yang keberadaannya diakui di AS hingga sekarang. Penemuan hukum dengan perspektif hermeneutika yang spektakuler ini, bisa muncul berkat “cakrawala pandang yang luas” dari Hakim Marshall. Penemuan hukum seperti ini juga membuktikan bahwa supreme court lewat hakim Marshall ini tidak sekedar bertindak sebagai corong undang-undang, tapi telah sanggup menemukan dan membentuk nilai hukum baru. Pada akhirnya, setelah mendapat pengakuan dari forum hukum dan masyarakat, temuannya itu menjadi suatu asas hukum yang mempuyai kekuatan sebagai preseden, karena “ratio decidendi”-nya yang akseptabel.
Hermeneutika hukum mempunyai relevansi dengan teori penemuan hukum, yang ditampilkan dalam kerangka pemahaman proses timbal balik antara kaedah-kaedah dan fakta-fakta. Dalil hermeneutika menjelaskan bahwa orang harus mengkualifikasi fakta-fakta dalam cahaya kaedah-kaedah dan mengintepretasi kaedah-kaedah dalam cahaya fakta-fakta termasuk paradikma dari teori penemuan hukum modern saat ini. Jadi hermeneutika hukum dapat dipahami sebagai metode interpretasi tek hukum atau metode memahami terhaap suatu naskah normatif.
Peristiwa hukum maupun peraturan perundang-undangan tidak semata-mata dilihat atau ditafsirkan dari aspek legal formal berdasarkan bunyi teksnya semata, tetapi juga harus dilihat dari faktor-faktor yang melatar belakangi peristiwa atau sengketa yang muncul, apa akar masalahnya adakah intervensi politik (atau intervensi lainnya) yang melahirkan dikeluarkan suatu putusan, serta tindakkan dampak dari putusan itu dipikirkan bagi proses penegakan hukum dan keadilan di kemudian hari.
Praktik di peradilan tampaknya metode hermeneutika hukum ini tidak banyak atau jarang sekali di pergunakan sebagai metode penemuan hukum. Hal ini disebabkan karena dominannya metode interptestasi dan kontruksi hukum yang sudah sangat mengakar dalam praktek di Peradilan Indonesia. Mungkin juga para hakim belum begitu familiar dengan metode hermeneutika ini sehingga tidak menggunakannya dalam penemuan hukum. Padahal metode ini dianggap paling baik sebab ia merupakan sutau metode menginterpretasikan tek hukum yang tidak semata-mata melihat teknya saja, tetapi juga kontek-kontek hukum itu dilahirkan serta bagaimana kontektualisasi atau penerapan hukumnya dimasa kini dan masa mendatang.
Penggunaan dan penerapan hermeneutika hukum sebagai teori dan metode penemuan hukum baru akan sangat membantu para hakim dalam memeriksa serta memutus perkara yang diadilinya. Kelebihan metode hermeneutika hukum terletak pada cara dan lingkup interpretasinya yang tajam, mendalam dan holistik dalam bingkai keastuan antara teks, kontek dan kontektualisasinya.

D.    Penutup
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.      Hermeneutika hukum adalah ajaran filsafat mengenai hal mengerti/memahami sesuatu, atau sebuah metode interpretasi terhadap teks dimana metode dan teknik menafsirkannya dilakukan secara holistik dalam bingkai keterkaitan antara teks, konteks, dan kontekstualisasi. Teks tersebut bisa berupa teks hukum, peristiwa hukum, fakta hukum, dokumen resmi negara, naskah kuno atau kitab suci.
2.      Filsafat hermeneutika adalah filsafat tentang hakikat hal mengerti atau memahami sesuatu, yakni refleksi kefilsafatan yang menganalisis syarat-syarat kemungkinan bagi semua pengalaman dan pergaulan manusiawi dengan kenyataan, termasuk peristiwa mengerti dan/atau interpretasi. Pada peristiwa memahami atau menginterpretasi sesuatu, subyek (interpretator) tidak dapat memulai upayanya dengan mendekati obyek pemahamannya sebagai tabula rasa (tidak bertolak dari titik nol). Sebab setiap orang terlahir kedalam suatu dunia produk sejarah yang selalu menjalani proses menyejarah terus menerus, yakni tradisi yang bermuatan nilai-nilai, wawasan-wawasan, pengertian-pengertian, asas-asas, arti-arti, kaidah-kaidah, pola-pola perilaku dan sebagainya, yang terbentuk dan berkembang oleh dan dalam perjalanan sejarah.
3.      Interpretasi teks yuridik berlangsung dalam proses lingkaran pemahaman yang disebut lingkaran hermeneutik (hermeneutische zirkel), yakni gerakan bolak-balik antara bagian atau unsur-unsur dan keseluruhan sehingga terbentuk pemahaman yang utuh. Dalam proses pemahaman ini, tiap bagian hanya dapat dipahami secara tepat dalam konteks keseluruhan, sebaliknya keseluruhan ini hanya dapat dipahami berdasarkan pemahaman atas bagian-bagian yang mewujudkannya. Dengan demikian, pada setiap interpretasi teks yuridis berlangsung pertemuan antara dua cakrawala pandang, yakni cakrawala dari interpretandum (teks yuridis) dan cakrawala dari interpretator. Perpaduan cakrawala tersebut dapat menghasilkan pemahaman baru pada interpretator tentang kaidah hukum yang terkandung dalam teks yuridik itu.
Sedangkan saran terhadap beberapa kesimpulan tersebut di atas sebagai berikut:
  1. Hermeneutika hukum penting digunakan oleh para hakim pada saat menemukan hukum. Penemuan hukum oleh Hakim tidak semata-mata hanya penerapan peraturan-peraturan hukum terhadap peristiwa konkrit, tetapi sekaligus penciptaan hukum dan pembentukan hukumnya. Metode hermeneutika hukum berguna, ketika seorang hakim menganggap dirinya berhak untuk menambah makna orisinal dari teks hukum. Oleh karena itulah hermeneutika hukum diharapkan berfungsi sebagai metode untuk interpretasi atas teks hukum/peraturan perundangan yang dijadikan dasar pertimbangannya serta interpretasi atas peristiwa dan fakta akan sangat membantu Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara dipengadilan.
  2. Sebagai sebuah metode penemuan makna teks, hermeneutika harus selalu memperhatikan tiga komponen pokok, yaitu teks, konteks, kemudian upaya kontekstualisasi.




DAFTAR PUSTAKA

Faiz, Fahruddin, Hermeneutika Qur’ani: Antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi, Yogyakarta: Qalam, 2002.
Hamidi, Jazim, Hermeneutika Hukum, Yogyakarta: UII Press: 2005.
Kusuma, Samuel Jaya, Proses Penemuan Hukum Dalam Perspektif Hermeneutika Hukum, Skripsi pada Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 2002.
Manan, Abdul, “Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Praktek Hukum Acara Di Peradilan Agama”, Makalah disampaikan pada acara Rakernas Mahkamah Agung RI, Tanggal 10 s/d 14 Oktober 2010, di Balikpapan, Kalimantan Timur.
Mertokusumo, Sudikno, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 2009.
Nasr, Sayyed Hossein, Knowledge and The Secred, New York: State University Press, 1989.
Sahidah, Ahmad, Kebenaran dan Metode, Pengantar Filsafat Hermeneutika, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1965.
Sidharta, B. Arief, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Bandung: Mandar Maju, 1999.
______“Hermeneutik: Landasan Kefilsafatan Ilmu Hukum“, Makalah dalam Bahan Kuliah pada Mata Kuliah Filsafat Hukum, Program Doktor (S3) Ilmu Hukum UII Yogyakarta, Tahun 2007.
www.badilag.net.