Senin, 27 Oktober 2014


ASAS-ASAS DAN PRINSIP-PRINSIP DASAR ASURANSI

Oleh:
Bisdan Sigalingging, SH, MH
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara)
Emai:
bilqisadzkia@gmail.com
bisdansigalingging@yahoo.com




Asas-Asas Perjanjian Asuransi
Pengaturan asuransi dalam KUH Perdata terdapat pada Buku III tentang Perikatan yaitu pada bab I, bab II, bab III, bab IV, bab V, dan bab XV. Pengaturan asuransi dalam buku III KUH Perdata tersebut mengandung aturan mengenai syarat-syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Pengaturan asuransi dalam buku III juga mengandung 4 (empat) asas penting yaitu asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas pacta sunt servanda, asas itikad baik, dan asas kepribadian.
Asas kebebasan berkontrak freedom of contract) ditentukan pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk: membuat atau tidak membuat perjanjian, mengadakan perjanjian dengan siapa pun, menentukan isis perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, serta menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.
Tetapi asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) bukan berarti bebas sebebas-bebasnya. Konsekuensi asas ini adalah dilarang membuat kontrak yang bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku atau kesusilaan atau ketertiban umum, maka akan mengakibatkan kontrak tersebut menjadi batal demi hukum atau dapat dibatalkan.
Asas konsensualisme terkandung di dalam Pasal 1320 KUH Perdata sebagaimana telah dijelaskan di muka, bahwa asas ini menentukan kata sepakat antara para pihak yang berkontrak khususnya dalam perjanjian asuransi. Herlien Budionon mengatakan terkait asas konsensualisme ini bahwa perjanjian pada pokoknya dapat dibuat bebas tidak terikat bentuk dan tercapai tidak secara formal tetapi cukup melalui konsensus belaka.
Asas pacta sunt servanda terkandung di dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, menentukan, “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi mereka yang membuatnya sebagai undang-undang”. Dalam pasal ini terkandung asas asas pacta sunt servanda, asas kebebasan berkontrak, dan asas kepastian hukum. Kepastian hukum dalam pasal ini berarti janji harus ditepati.
Asas itikad baik (good faith) tersurat dengan tegas (eksplisit) di dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, menentukan, “suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Sependapat dengan Mariam Darus, bahwa asas itikad baik pada Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata ini sebagai penyeimbang dari asas pacta sunt servanda yang terkandung dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Sehingga dengan gabungan kedua asas ini memberikan perlindungan pada pihak yang lebih lemah sehingga kedudukan para pihak dalam perjanjian asuransi yaitu antara penanggung dan tertanggung menjadi seimbang.
Asas kepribadian terkandung dalam Pasal 1315 KUH Perdata, menentukan, “pada umumnya tak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri”. Asas yang terkandung dalam pasal ini mengisyaratkan bahwa perjanjian antara para pihak hanya berlaku mengikat bagi kedua belah pihak saja (mereka saja).

Prinsip Itikad Baik (good fait)
Praktik asuransi sebagai suatu sarana pengendalian risiko telah berkembang selama bertahun-tahun, sehingga telah menjadi suatu ilmu pengetahuan yang semakin rumit dan butuh pengkajian lebih dalam. Ilmu asuransi telah dikembangkan melalui berbagai cara, sarana, dan teknis perasuransian yang mencakup bidang-bidang dokumentasi, penjaminan (underwriting), pemasaran, klaim, dan sebagainya.
Agar pengetahuan teoritis maupun kemampuan teknis mengenai perasuransian dan penerapannya bisa dikuasai harus berpedoman pada prinsip-prinsip yang dianut dalam kegiatan perasuransian. Prinsip-prinsip dasar tersebut antara lain adalah: prinsip itikad baik (good faith), kepentingan yang dapat diasuransikan (insurable interest), prinsip ganti rugi atau pemberian ganti rugi atas kerusakan atau kehilangan (indemmity), prinsip pengaliharn risiko.
Pemahaman itikad baik (good faith) berasal dari basaha Latin uberrimai fides yang dapat diterjemahkan dengan itikad baik, itikad yang amat baik (utmost good faith) bahkan ada yang menerjemahkannya sebagai kejujuran yang sempurna. Dalam melaksanakan perjanjian, peran itikad baik sungguh memiliki arti yang sangat penting sekali. Pengertian itikad baik (good faith) adalah sikap batiniah ketika melaksanakan hubungan hukum dengan penuh tanggung jawab dijalankan.
Subekti menyebutkan itikad baik sebagai suatu sendi yang terpenting dalam hukum perjanjian, sehingga dapat dikatakan sebagai landasan utama untuk dapat melaksanakan suatu perjanjian dengan sebaik-baiknya dan sebagaimana mestinya. Itikad baik dapat dilaksanakan pada saat mengadakan hubungan hukum dalam perjanjian dan pada saat melaksanakan hak dan kewajiban yang timbul dari hubungan hukum tersebut.
Itikad baik pada saat melakukan hubungan hukum dalam perjanjian merupakan wujud dari dalam hati sanubari para pihak. Persyaratan yang dilakukan untuk mengadakan hubungan hukum secara sah menurut hukum sudah terpenuhi seluruhnya. Seseorang yang hendak membeli suatu barang, dalam sanubarinya mengira bahwa penjual barang tersebut benar-benar sebagai pemiliknya. Jika kemudian hari ternyata penjual barang tersebut bukan pemilik yang sesungguhnya atas barang yang diperjualbelikan, maka pembeli tersebut merupakan pembeli yang beritikad baik. Oleh karena dilakukan dengan itikad baik, maka pembeli tersebut dilindungi oleh hukum.
Namun harus dipahami bahwa perkiraan pembeli pada ilustrasi di atas bukanlah perkiraan yang sembarangan. Perkiraan tersebut harus merupakan perkiraan yang benar-benar meyakinkan yaitu perkiraan yang didasarkan pada kepantasan dalam masyarakat, dan kepantasan itu harus diukur secara objektif atau kepatuhan dan kepatutan, bukan subjektif.
Itikad baik dilaksanakan pada saat melaksanakan hak dan kewajiban yang timbul dari hubungan hukum terletak pada hati sanubari manusia. Pelaksanaan perjanjian selalu mengingatkan para pihak untuk mengindahkan norma keputusan dan keadilan, dengan menjauhkan diri dari perbuatan yang mungkin menimbulkan kerugian terhadap pihak lain.
Itikad baik erat kaitannya dengan sikap sanubari seseorang dalam melaksanakan suatu hubungan hukum, oleh karena itu, peratnggungjawaban itikad baik secara bathiniah adalah melaksanakan tanggung jawab yang didasarkan kepada tanggung jawab hukum dan moral. Itikad baik berarti menempatkan kejujuran pada derajat yang tinggi (high degree).
Dengan itikad baik tersebut, perusahaan asuransi dalam menjalankan usahanya sebagai penjual polis dilindungi dari kemungkinan adanya kesalahan informasi yang diberikan oleh calon tertanggung mengenai objek pertanggungan yang jika penanggung (perusahaan asuransi) mengetahuinya pada prinsipnya pertanggungan itu tidak pantas diterimanya. Prinsip itikad baik di sini dikenal dengan caveat vendor yaitu penjual yang harus dilindungi.
Prinsip itikad baik ini ternyata ditemukan dalam Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) yang menentukan:
Setiap keterangan yang keliru, atau tidak benar, ataupun setiap orang tidak memberitahukan hal-hal yang diketahui oleh si tertanggung betapapun itikad baik ada padanya. Yang demikian sifatnya, sehingga seandainya sipenanggung telah mengetahui keadaan yang sebenarnya, perjanjian itu tidak akan ditutup, atau tidak ditutup dengan syarat-syarat yang sama, mengakibatkan batalnya pertanggungan.
Prinsip itikad baik tersebut berlainan pula dengan prinsip perdagangan pada umumnya di mana dalam perdagangan pada umumnya berlaku prinsip atau doktrin caveat emptor (let the buyer beware). Prinsip ini menentukan bahwa pembelilah yang seharusnya berhati-hati sebelum melakukan pembelian atas suatu barang dan atau jasa. Prinsip ini dapat ditemukan dalam The Sale of Goods Act 1979, Mispresentation Act 1967, The Supplay of Goods Act 1973, dan The Unfair Contract Act 1977 yang bersumber dari sistim hukum anglo saxion atau common law system dari Inggris.
Pada hakikatnya, kedua belah pihak tetap bertanggung jawab penuh untuk melaksanakan setiap hubungan hukum dalam perdagangan. Kewajiban masing-masing pihak baik penjual maupun pembeli dilaksanakan secara bertanggung jawab. KUH Perdata menentukan:
Sipenjual diwajibkan menanggung terhadap cacat tersembunyinya pada barang yang dijual, yang membuat barang itu tak sanggup untuk pemakaian yang dimaksudkan, atau yang demikian mengurangi pemakaian sehingga, seandainya sipembeli mengetahui cacat itu, ia sama sekali tidak akan membelinya selain dengan harga yang kurang…(vide: Pasal 1504 KUH Perdata).
Sipenjual tidak diwajibkan menanggung terhadap cacat yang kelihatan, yang dapat diketahui sendiri oleh si pembeli. (vide: Pasal 1505 KUH Perdata). Kemudian ditentukan: Ia diwajibkan menanggung terhadap cacat yang tersembunyi, meskipun ia, sendiri tidak mengetahui tentang adanya cacat itu, kecuali jika ia dalam hal yang demikian, telah meinta diperjanjikan bahwa ia tidak diwajibkan menanggung sesuatu apa. (vide: Pasal 1506 KUH Perdata).
Ketentuan tersebut di atas merupakan ketentuan yang bermaksud untuk melindungi kepentingan pembeli atau konsumen. Dengan demikian jelas bahwa prinsip dalam perdagangan secara umum mengenai prinsip itikad baik tidak sama dengan prinsip yang dianut dalam perasuransian.
Prinsip itikad baik dalam kegiatan perasuransian, dapat diterapkan dalam praktiknya, seperti penerapan berikut ini:
  1. Perjanjian pertanggungan batal demi huku jika setelah perjanjian pertanggungan ditandatangani ternyata ditemukan ketentuan-ketentuan yang tidak benar, maka si penanggung harus membatalkan perjanjian pertanggungan tersebut kecuali ketentuan yang tidak benar itu terjadi karena tanpa disengaja.
  2. Pihak perusahaan asuransi (penanggung) harus menjelaskan secara lengkap dan benar kepada tertanggung mengenai kondisi pertanggungan.
Perjanjian pertanggungan harus dibatalkan (melalui para pihak khususnya perusahaan asuransi) atau dapat dibatalkan (melalui pengadilan) jika terdapat hal-hal seperti tidak mengungkapkan informasi secara benar dan lengkap atau menyembunyikan fakta atau pengingkaran secara keliru ataupun perusahaan asuransi dengan sengaja memberikan informasi yang tidak benar kepada tertanggung.
Informasi yang dimaksud adalah informasi materil yang penting dan dapat menyebabkan ditolaknya suatu permohonan pertanggungan atau diterima tetapi dengan syarat-syarat pertanggungan dengan premi yang berbeda melalui kesepakatan ulang. Tidak semua informasi merupakan informasi materil dan tidak mudah pula menentukan suatu informasi yang materil itu. Hal ini juga menjadi persoalan penting dalam pertanggungan. Secara umum bahwa informasi materil itu adalah informasi yang seharusnya diperoleh baik pihak penanggung maupun pihak tertanggung dan dapat berpengaruh terhadap kegiatan pertanggungan.

Prinsip Kepentingan yang dapat Diasuransikan (insurable interest)
Prinsip kepentingan yang dapat diasuransikan (insurable interest) atau lebih tepat disebut kepentingan finansial yang dapat diasuransikan. Jika seseorang memiliki kepentingan atau interest dengan suatu perusahaan asuransi maka secara finansial seseorang tersebut memiliki ketertarikan untuk mengasuransikan terhadap perusahaan tersebut.
Sehingga prinsip ini dapat dipahami bahwa prinsip kepentingan yang dapat diasuransikan (insurable interest) bahwa hak yang sah dimiliki oleh seseorang untuk mempertanggungkan kepentingan keuangannya pada objek pertanggungan. Sehingga jika terjadi suatu peristiwa merugikan yang menimpa objek pertanggungan, tertanggung akan mengalami kerugian keuangan. Mengasuransikan harta benda tanpa didukung dengan insurable interest sama halnya dengan perjudian yang tidak memiliki kekuatan hukum. Singkatnya prinsip insurable interest ini sesungguhnya memiliki relevansi dengan prisinp itikad baik yakni harus memiliki keinginan dan keinginan itu harus dilaksanakan dengan kejujuran dan kepatutan.

Prinsip Pengalihan Risiko
Risiko adalah suatu kondisi yang mengandung kemungkinan terjadinya penyimpangan yang lebih buruk dari hasil penerapan. Isitilah risiko memiliki berbagai pengertian dalam bisnis dan dalam kehidupan sehari-hari. Pada tingkatan yang paling umum, istilah risiko dipergunakan untuk menggambarkan keadaan di mana terdapat ketidakpastian tentang hasil apa yang akan timbul.
Asuransi dilakukan untuk meminimalisasi kerugian, guna untuk menanggulangi ketidakpastian terhadap kerugian yang bersifat spekulatif, yang dapat terjadi karena ketidakpastian peristiwa atau tidak terjadinya suatu peristiwa. Pihak yang mengalihkan risiko adalah masyarakat atau pihak tertanggung sedangkan perusahaan asuransi bertindak sebagai penjaminan pengalihan risiko tersebut.
Prinsip pengalihan risiko ini seminimal mungkin risiko didistribusi. Itu sebabnya asuransi sering dianggap sebagai alat atau sarana pembagian risiko (risk sharing device). Asuransi merupakan suatu bentuk penyebaran risiko yang kemungkinan akan terjadi atau yang lebih tepat disebut sebagai alat pengalihan risiko.
Prinsip ini diilustrasikan misalnya dalam hal perusahaan manufactur (pihak tertanggung) membayar premi kepada untuk jaminan asuransi akan menjadi biaya tetap bagi bisnisnya yang akan diperhitungkan dalam komponen biaya perusahaan, maka dalam hal ini akan tercermin dalam harga yang dikenakan atas barang yang diproduksinya. Biaya klaim lalu dibagi antara semua pembeli barang yang dijualnya yang memungkinkan suatu risiko dapat disebarkan (didistribusikan) secara luas.
Jika dikaitkan dengan tujuan dan fungsi asuransi dalam hal melaksanakan prinsip pengalihan risiko simaksud, maka sesungguhnya terdapat pula sebuah prinsip di sini bahwa tujuan dan fungsi asuransi bagi penanggung dan tertanggung berlaku pula prinsip the losses of a few are borne by a group maksud prinsip ini adalah bahwa dalam bisnis asuransi tidak semua peserta akan mengalami kerugian atau kehilangan pada waktu yang sama maupun pada waktu yang berbeda tetapi klaim yang diajukan oleh sebahagian dari peserta asuransi ditanggung oleh seluruh peserta asuransi yang lain.
Dengan prinsip the losses of a few are borne by a group ini perusahaan asuransi tidak akan dirugikan atau pailit jika ada klaim dari pihak tertanggung, karena dalam suatu kejadian yang dikalim tertanggung tersebut, semua peserta atau tertanggung yang lainnya juga ikut berpartisipasi secara tidak langsung membiayai klaim tersebut. Secara tidak langsung disebut karena tertanggung yang lain telah memberikan premi yang terus-menerus dikumpulkan oleh perusahaan asuransi dan perusahaan asuransi tersebut dipastikan tetap memperoleh keuntungan dari premi.
Kecuali jika terjadi risiko inti (core risk), sebab core risk ini adalah risko yang terjadi karena kegagalan strategi bisnis dan investasi serta salah kelola (mismanagement) dan kegagalan ini potensial mengakibatkan munculnya tuntutan pihak ketiga untuk mempailitkan perusahaan asuransi. Sedangkan risiko perusahaan asuransi yang diperlukan klaim asuransi adalah terjadi karena risiko bisnis yang murni disebabkan karena peristiwa yang tidak pasti.

Kamis, 23 Oktober 2014


PENGERTIAN KREDITOR

Oleh:
Bisdan Sigalingging, SH, MH
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara)
Emai:
bilqisadzkia@gmail.com
bisdansigalingging@yahoo.com

Istilah kreditor memiliki padanan kata dengan creditor di mana istilah creditor ini berasal dari kata credit (kredit) dari Bahasa Latin yaitu credo yang berarti “saya percaya”, dikombinasi dengan Bahasa Sanskerta yaitu cred yang berarti “kepercayaan”. Kemudian juga kata creditor dikombinasi dengan akhiran or (Bahasa Inggris) yang berarti menyebutkan pada orangnya atau pihak atau lembaga yang memberikan kepercayaan.
Atas dasar kepercayaan, kreditor memberikan sejumlah uang atau jasa kepada seseorang debitor yang memerlukan dengan syarat debitor tersebut membayar kembali atau memberikan penggantinya dalam suatu jangka waktu yang telah diperjanjian. Namun perjanjian dimaksud dalam pengertian ini belum menunjukkan suatu makna yuridis, sebab perjanjian akan dapat mengikat dan memberikan kepastian hukum, bila perjanjian itu dilakukan dengan cara tertulis.
Pengertian kreditor dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah penyebutan kepada pihak yang memberi utang atau orang atau lembaga yang berpiutang sedangkan debitor adalah orang atau lembaga yang menerima utang atau berutang kepada kreditor. Dalam Kamus Hukum disebut dengan istilah crediteur yang pada prinsipnya tetap mengandung arti kreditor yaitu pihak yang berpiutang. Kreditor dan debitor dapat berbentuk pihak orang perorangan, lembaga atau organisasi, atau perusahaan maupun pemerintah.
Pengertian kreditor dalam Black’s Law Dictionary diartikan dengan creditor yaitu: “A person to whom a debt is owing by another person who is the debtor. Pengertian kreditor di sini hanya ditujukan pada orang, belum menunjukkan pada suatu badan atau lembaga. Tetapi pengertian ini telah mengarah pada suatu subjek hukum yang memberikan utang kepada debitor. Sedangkan kreditor itu adalah orang yang memiliki piutang atau tagihan.
Pengertian kreditor secara yuridis ditentukan dalam Pasal 1 angka 2 UUK dan PKPU yang ditentukan berikut, “Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan”. Sedangkan debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan (Pasal 1 angka 3 UUK dan PKPU) dan yang dimaksud dengan debitor pailit adalah debitor yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan (Pasal 1 angka 4 UUK dan PKPU).
Berdasarkan ketentuan yuridis tersebut di atas juga tidak disebutkan sama sekali tentang perjanjian itu dilakukan secara tertulis. Walaupun demikian, UUK dan PKPU tidak dengan tegas menentukan perjanjian tertulis antara kreditor dan debitor, tetapi dalam praktiknya perjanjian utang piutang antara kreditor dan debitor selalu dilakukan dengan cara tertulis, dengan tujuan untuk kepastian hukum bagi para pihak.
Kreditor memiliki tagihan kepada pihak lain yaitu debitor atas utang-utang debitor yang telah diperjanjikan sebelumnya antara kreditor dan debitor di mana kreditor telah memberikan kredit atau pinjaman kepada pihak debitor. Lilik Mulyadi mengatakan, kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan. Di mana kreditor yang dimaksud dapat bersifat perorangan atau badan hukum.


UPAYA PERDAMAIAN DALAM HUKUM KEPAILITAN

Oleh:
Bisdan Sigalingging, SH, MH
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara)
Emai:
bilqisadzkia@gmail.com
bisdansigalingging@yahoo.com

UUK dan PKPU memberikan peluang bagi debitor maupun kreditor untuk mengajukan upaya perdamaian. Upaya perdamaian (accord) dapat diajukan oleh salah satu pihak guna mengakhiri suatu perkara yang sedang berjalan atau mencegah timbulnya suatu perkara. Perdamaian (accord) dalam kepailitan diartikan sebagai suatu perjanjian perdamaian antara debitor pailit dengan para kreditor. Debitur pailit berhak untuk menawarkan perdamaian kepada seluruh kreditor berpiutangnya bersama-sama.
Dalam berbagai literatur yang membahas tentang kepailitan tidak ada keseragaman dalam menggunakan istilah padanan kata dari perdamaian. Ada yang menggunakan istilah accord, ada yang menggunakan accoord, ada yang menggunakan istilah akor (akkoord), ada yang menggunakan istilah akur. Tetapi menurut Zainal Asikin istilah asli dari perdamaian adalah accoord.
Steven R. Schuit dalam bukunya berjudul “Dutch Business Law” menggunakan istilah composition untuk accoord yang diartikannya sebagai persetujuan untuk pembayaran utang. Sedangkan di dalam Kamus Umum Bahasan Indonesia oleh WJS Poerwadarminta, akor atau akur diartikan dengan cocok, sesuai, dan setuju.
Sedangkan akor atau akur atau accoord dalam hukum kepailitan diartikan oleh Vollmar, sebagai suatu perjanjian perdamaian antara si pailit (debitor) dengan para kreditor di mana diadakan suatu ketentuan bahwa si pailit (debitor) dengan membayar suatu prosentase tertentu dari utangnya, maka ia akan dibebaskan untuk membayar sisanya.
Penggunaan istilah perdamaian yang berbeda-beda, pengertiannya juga ditemukan dalam buku Sunarmi yang berjudul “Hukum Kepailitan”, menurutnya ada dua pengertian dari accord. Yaitu pertama, accord yang ditawarkan pada saat verifikasi dalam kepailitan dan kedua, accord yang ditawarkan dalam PKPU yaitu sebelum debitor dinyatakan pailit.
Dalam Black’s Laws Dictionary, pengertian accord diartikan sebagai:
An agreement between two persons, one of the whom has a right of action against the other, to settle the dispute. In a debtor/creditor relationship, an agreement between the parties to settle a dispute for same partial payment. It is called an accord because the creditor has a right of action against the debtor. Dalam pengertian lain accord diartikan dalam praktek sebagai, “to agree or concur, as one judge with another”.
Dari pengertian dalam Black’s Law Dictionary tersebut, accord dapat diartikan sebagai sebuah perjanjian antara dua orang, yang salah satunya memiliki hak tindakan terhadap yang lain, untuk menyelesaikan perselisihan tersebut. Dalam hubungan debitor dan kreditor, membuat kesepakatan antara pihak untuk menyelesaikan sengketa pembayaran utang, di mana karena kreditur memiliki hak bertindak terhadap debitor.
Dari pengertian-pengertian accord tersebut di atas memberikan makna bahwa walaupun debitor telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga melalui putusannya, namun bagi si pailit (debitor) masih diberikan kesempatan oleh undang-undang untuk mengajukan rencana perdamaian dengan para kreditornya. Perdamaian dalam proses kepailitan berbeda dengan perdamaian dalam hukum acara perdata biasa. Perdamaian dalam hukum acara perdata biasa tidak terikat formulanya dan bisa dilakukan sendiri oleh para pihak tanpa campur tangan pengadilan, tetapi perdamaian dalam proses kepailitan terjadi dalam proses perkara kepailitan melalui hakim pengawas.
Demikian pula perdamaian dalam pemberesan harta pailit berbeda karakteristiknya dengan perdamaian dalam PKPU. Perdamaian dalam kepailitan lebih mengarah pada proses penyelesaian utang-utang debitor melalui pemberesan harta pailit sedangkan perdamaian dalam PKPU lebih ditekankan pada rencana penawaran pembayaran atau melakukan restrukturisasi pembayaran utang. Dalam hal ini untuk keseragaman penggunaan istilah maka digunakan istilah accord saja.
Dasar hukum perdamaian terdapat pengaturannya di dalam Pasal 144 s/d Pasal 177 UUK dan PKPU. Pasal 144 UUK dan PKPU menentukan, “Debitor Pailit berhak untuk menawarkan suatu perdamaian kepada semua Kreditor”. Hal ini juga ditegaskan dalam Zainal Asikin bahwa penawaran perdamaian itu harus diajukan oleh si pailit (debitor pailit) kepada kurator atau kepada Balai Harta Peninggalan, paling lambat 8 (delapan) hari sebelum rapat verifikasi (rapat pencocokan piutang).
Beberapa ketentuan menyangkut rencana perdamaian dalam UUK dan PKPU diuraikan berikut ini. Ketentuan dalam Pasal 145 UUK dan PKPU menentukan:
a.       Apabila Debitor Pailit mengajukan rencana perdamaian dan paling lambat 8 (delapan) hari sebelum rapat pencocokan piutang menyediakannya di Kepaniteraan Pengadilan agar dapat dilihat dengan cuma-cuma oleh setiap orang yang berkepentingan, rencana perdamaian tersebut wajib dibicarakan dan diambil keputusan segera setelah selesainya pencocokan piutang, kecuali dalam hal yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147.
b.      Bersamaan dengan penyediaan rencana perdamaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di Kepaniteraan Pengadilan maka salinannya wajib dikirimkan kepada masing-masing anggota panitia kreditor sementara.
Pasal 146 UUK dan PKPU menentukan bagi kurator dan panitia kreditor sementara masing-masing wajib memberikan pendapat tertulis tentang rencana perdamaian dalam rapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 UUK dan PKPU. Pembicaraan dan keputusan mengenai rencana perdamaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 UUK dan PKPU, ditunda sampai rapat berikut yang tanggalnya ditetapkan oleh Hakim Pengawas paling lambat 21 (dua puluh satu) hari kemudian yang Pasal 147 UUK dan PKPU ditunda dalam hal:
  1. Apabila dalam rapat diangkat panitia kreditor tetap yang tidak terdiri atas orang-orang yang sama seperti panitia kreditor sementara, sedangkan jumlah terbanyak Kreditor menghendaki dari panitia kreditor tetap pendapat tertulis tentang perdamaian yang diusulkan tersebut; atau
  2. Rencana perdamaian tidak disediakan di Kepaniteraan Pengadilan dalam waktu yang ditentukan, sedangkan jumlah terbanyak Kreditor yang hadir menghendaki pengunduran rapat.
Kemudian dalam Pasal 148 UUK dan PKPU menentukan:
Dalam hal pembicaraan dan pemungutan suara mengenai rencana perdamaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147 ditunda sampai rapat berikutnya, Kurator dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal rapat terakhir harus memberitahukan kepada Kreditor yang diakui atau Kreditor yang untuk sementara diakui yang tidak hadir pada rapat pencocokan piutang dengan surat yang memuat secara ringkas isi rencana perdamaian tersebut.
Kemudian dalam Pasal 149 UUK dan PKPU ditentukan:
  1. Pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya dan Kreditor yang diistimewakan, termasuk Kreditor yang mempunyai hak didahulukan yang dibantah, tidak boleh mengeluarkan suara berkenaan dengan rencana perdamaian, kecuali apabila mereka telah melepaskan haknya untuk didahulukan demi kepentingan harta pailit sebelum diadakannya pemungutan suara tentang rencana perdamaian tersebut.
  2. Dengan pelepasan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mereka menjadi Kreditor konkuren, juga dalam hal perdamaian tersebut tidak diterima.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, diketahui bahwa upaya perdamaian hanya berlaku terhadap kreditor konkuren (bersaing). Menurut Sunarmi hanya kreditor konkurenlah yang berhak untuk mengeluarkan suara terhadap rencana perdamaian yang ditawarkan oleh debitor pailit. Kreditor separatis, kreditor preferen dengan hak untuk didahulukan tidak berhak memberikan suaranya dalam rapat tentang rencana perdamaian tersebut.
Jika kreditor separatis dan kreditor preferen memberikan suaranya dalam rapat rencana perdamaian, maka berarti bahwa kreditor tersebut telah melepaskan hak-hak istimewanya sebagaimana dalam KUH Perdata dan selanjutnya berubah menjadi kreditor konkuren, meskipun jika pada akhirnya rencana perdamaian tersebut tidak diterima, kreditor ini tetap menjadi kreditor konkuren.
Sebagaimana telah disinggung mengenai rencana perdamaian di atas, bahwa yang menawarkan perdamaian dalam kepailitan harus lah dari pihak si pailit (debitor pailit). Diajukannya rencana perdamaian ini oleh debitor pailit, disebabkan oleh karena kemungkinan alasan-alasan berikut ini:
a.       Mungkin debitor pailit menawarkan kepada kreditornya bahwa ia akan membayar (sanggup membayar) dalam jumlah tertentu dari utangnya (tidak dalam jumlah keseluruhannya).
b.      Mungkin debitor pailit akan menawarkan akor likuidasi (liquidatie accord) di mana debitor pailit menyediakan hartanya bagi kepentingan para kreditornya untuk dijual di bawah pengawasan seorang pengawas (pemberes), dan hasil penjualannya dibagi untuk para kreditor. Jika hasil penjualan itu tidak mencukupi, maka debitor pailit dibebaskan dari dalam hal membayar sisa utang yang belum terbayar.
c.       Mungkin debitor pailit menawarkan untuk meminta penundaan pembayaran dan diperbolehkan mengangsur utangnya untuk beberapa waktu.
Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa dalam pengajuan perdamaian pada PKPU berbeda dengan pengajuan perdamaian dalam kepailitan. Perbedaan perdamaian antara perdamaian pada PKPU dan perdamaian pada kepailitan dapat dilihat dari segi waktu, penyelesaian, syarat penerimaan, dan kekuatan mengikat. Dari segi waktu, perdamaian pada PKPU diajukan diajukan pada saat atau setelah permohonan PKPU sedangkan perdamaian pada kepailitan diajukan setelah adanya putusan pailit dari majelis hakim pengadilan niaga.
Dari segi penyelesaian, pembicaraan penyelesaian perdamaian dilakukan pada sidang pengadilan yang memeriksa permohonan PKPU sedangkan perdamaian pada kepailitan dibicarakan pada saat verifikasi (rapat pencocokan piutang) yaitu setelah adanya putusan pailit. Dari segi syarat penerimaan, syarat penerimaan perdamaian pada PKPU harus disetujui 2/3 jumlah kreditor yang diakui dan mewakili 3/4 dari jumlah piutang. Sedangkan perdamaian dalam kepailitan harus disetujui oleh 1/2 kreditor konkuren yang mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) dari jumlah seluruh piutang konkuren yang diakui.
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 151 UUK dan PKPU yang menentukan syarat berikut ini:
Rencana perdamaian diterima apabila disetujui dalam rapat Kreditor oleh lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah kreditor konkuren yang hadir dalam rapat dan yang haknya diakui atau yang untuk sementara diakui, yang mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) dari jumlah seluruh piutang konkuren yang diakui atau yang untuk sementara diakui dari kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut.
Selanjutnya dalam Pasal 152 UUK dan PKPU ditentukan pula syarat-syarat dalam hal:
  1. Apabila lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah Kreditor yang hadir pada rapat Kreditor dan mewakili paling sedikit 1/2 (satu perdua) dari jumlah piutang Kreditor yang mempunyai hak suara menyetujui untuk menerima rencana perdamaian maka dalam jangka waktu paling lambat 8 (delapan) hari setelah pemungutan suara pertama diadakan, diselenggarakan pemungutan suara kedua, tanpa diperlukan pemanggilan.
  2. Pada pemungutan suara kedua, Kreditor tidak terikat pada suara yang dikeluarkan pada pemungutan suara pertama.
Dari segi kekuatan mengikat perdamaian pada PKPU berlaku pada semua kreditor sedangkan perdamaian pada kepailitan hanya berlaku bagi kreditor konkuren saja. Apakah perdamaian bisa dilakukan setelah adanya putusan MA yang menolak kasasi debitor pailit? Pada prinsipnya UUK dan PKPU menjamin hak debitor pailit untuk dapat menawarkan suatu perdamaian kepada semua kreditor (Pasal 144 UUK dan PKPU).
Akan tetapi, rencana perdamaian itu harus diajukan oleh debitor pailit paling lambat 8 (delapan) hari sebelum rapat pencocokan piutang dengan menyediakannya di Kepaniteraan Pengadilan Niaga. Rencana perdamaian tersebut wajib dibicarakan dan diambil keputusan segera setelah selesainya pencocokan piutang (Pasal 145 ayat 1 UUK dan PKPU). Dengan kata lain, rencana perdamaian ini diajukan setelah adanya putusan pailit terhadap debitor oleh Pengadilan Niaga.
Memang debitor pailit diberikan hak untuk melakukan upaya hukum yaitu kasasi ke MA (Pasal 11 ayat 1 UUK dan PKPU), tetapi permohonan kasasi ini diajukan paling lambat 8 (delapan) hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan kasasi diucapkan, dengan mendaftarkan kepada Panitera Pengadilan yang telah memutus permohonan pernyataan pailit (Pasal 11 ayat 2 UUK dan PKPU).
Hal ini berarti rencana pengajuan perdamaian tidak lagi dapat diajukan setelah ada putusan dari MA yang menolak kasasi yang diajukan oleh debitor pailit. Karena jangka waktu untuk pengajuan rencana perdamaian telah lewat waktu. Rencana pengajuan perdamaian dalam rangka kepailitan hanya boleh dilakukan setelah putusan pailit dijatuhkan Pengadilan Niaga dan tidak boleh lewat dari 8 (delapan) hari setelah jatuhnya putusan pailit. Jadi, perdamaian tidak bisa dilakukan setelah ada putusan MA yang menolak kasasi debitor pailit.


JENIS-JENIS KREDITOR DALAM HUKUM KEPAILITAN

Oleh:
Bisdan Sigalingging, SH, MH
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara)
Emai:
bilqisadzkia@gmail.com
bisdansigalingging@yahoo.com

Dalam hukum kepailitan (UUK dan PKPU) pada penjelasan Pasal 2 ayat (1) dikenal ada 3 (tiga) jenis kreditor yaitu kreditor konkuren, kreditor separatis dan kreditor preferen. Khusus mengenai kreditor separatis dan kreditor preferen, dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan yang mereka miliki terhadap harta debitor dan haknya untuk didahulukan.
Pembagian kreditor dalam kepailitan sesuai dengan prinsip structured creditors atau prinsip structured prorata yang diartikan sebagai prinsip yang mengklasifikasikan atau mengelompokkan berbagai macam kreditur sesuai dengan kelasnya masing-masing antara lain kreditur separatis, preferen, dan kongkruen. Pembagian hasil penjualan harta pailit, dilakukan berdasarkan urutan prioritas di mana kreditor yang kedudukannnya lebih tinggi mendapatkan pembagian lebih dahulu dari kreditor lain yang kedudukannya lebih rendah, dan antara kreditur yang memiliki tingkatan yang sama memperoleh pembayaran dengan asas prorata (pari passu prorata parte).
Sebagaimana telah disebutkan di atas, kreditor separatis adalah kreditor pemegang hak jaminan terhadap hipotek, gadai, hak tanggungan, dan jaminan fidusia. Sedangkan yang dimaksud dengan kreditor preferen adalah kreditor yang memiliki piutang-piutang yang berkedudukan istimewa (privilege) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1139 dan Pasal 1149 KUH Perdata.
Hak privilege merupakan hak istimewa yang didahulukan (dikecualikan) karena undang-undang atau ditentukan dalam perjanjian. Piutang-piutang yang pelunasannya harus didahulukan itu juga disebut dengan piutang preference atau piutang istimewa, sedangkan piutang-piutang yang pelunasannya diselesaikan menurut asas keseimbangan dinamakan piutang konkuren.
Kreditor preferen yaitu kreditor yang mempunyai hak mendahului karena sifat piutangnya oleh undang-undang diberi kedudukan istimewa. Kreditor preferen terdiri dari kreditor preferen khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 1139 KUH Perdata, dan kreditor preferen umum sebagaimana diatur dalam Pasal 1149 KUH Perdata.
Hak privilege dimaksud dalam Pasal 1134 KUH Perdata adalah suatu kedudukan istimewa dari seorang penagih (kreditor preferen) yang diberikan undang-undang berdasarkan sifat piutang. Hak privilege baru muncul jika kekayaan yang disita tidak cukup untuk melunasi semua tang. Oleh karena itu kedudukan hak privilege lebih rendah dari gadai, hak tanggungan, hipotek, dan jaminan fidusia kecuali ditentukan lain.
Kreditor konkuren adalah kreditor yang mempunyai hak mendapatkan pelunasan secara bersama-sama tanpa hak yang didahulukan, dihitung besarnya piutang masing-masing terhadap piutang secara keseluruhan dari seluruh harta kekayaan debitor. Kreditor Konkuren yaitu kreditor yang tidak termasuk dalam kreditor separatis dan kreditor preferen.
Kreditur kongkruen adalah kreditur yang biasa yang tidak dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hipotik, dan hak tanggungan dan pembayarannya dilakukan secara berimbang. Kreditur inilah yang umum melaksanakan prinsip pari passu prorata parte, pelunasan secara bersama-sama tanpa hak yang didahulukan, dihitung besarnya piutang masing-masing terhadap piutang secara keseluruhan dari seluruh kekayaan debitur.
Berdasarkan pengertian-pengertian tentang kreditor di atas disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kreditor separatis adalah kreditor yang dapat menjual sendiri benda jaminan seolah-olah tidak terjadi kepailitan, dan golongan ini dapat dikatakan sebagai kreditor yang tidak terkena akibat kepailitan. Kreditor preferen adalah golongan kreditor yang piutangnya memiliki kedudukan istimewa, memiliki hak untuk mendapat pelunasan terlebih dahulu. Kreditor konkuren adalah kreditor yang dicukupkan pembayaran piutang-piutangnya dari hasil penjualan harta pailit sesudah diambil bagian untuk kreditor separatis dan kreditor preferen.
Pengertian kreditor separatis adalah kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang memberi wewenang kepada kreditor lainnya untuk menjual secara lelang kebendaan yang dijaminkan kepadanya untuk memperoleh pelunasan dibandingkan dengan kreditor-kreditor lainnya. Kreditor separatis adalah kreditor yang memperoleh kedudukan didahulukan seperti gadai, fidusia, hak tanggungan, hipotik adalah kreditor pemegang hak jaminan kebendaan.
Pada prinsipnya kreditor separatis terdiri dari kreditor pemegang hak gadai, hipotek, hak tanggungan, dan jaminan fidusia. Pemegang gadai sebagaimana diatur dalam Pasal 1150 s/d Pasal 1160 Buku III Bab XX KUH Perdata yang diberlakukan terhadap benda-benda bergerak. Secara normatif terhadap gadai, pemberi gadai (debitor) wajib melepaskan penguasaan atas suatu benda yang dijaminkan kepada penerima gadai (kreditor).
Pemegang hipotek atas kapal yang terdaftar dengan isi kotor berukuran 20 m3 atau lebih. Aspek ini harus terdaftar di Syahbandar, dengan pendaftaran kapal tersebut merupakan kapal Indonesia (Pasal 314 KUHD). Pesawat terbang juga harus terdaftar sebagaiman ditentukan dalam Konvensi Jenewa 1948 tentang Convention on The International Recognation of Right in Aircrafts.
Hipotek diatur dalam ketentuan Pasal 1162 s/d Pasal 1232 KUH Perdata. Pada dasarnya menurut ketentuan Pasal 314 KUD kapal-kapal diberlakukan sebagai kebendaan yang tidak bergerak sehingga penjamin yang diletakkan diatasnya juga hanya dalam bentuk hipotek. Adapun bagi kapal-kapal yang tidak terdaftar, dianggap sebagai kebendaan yang bergerak dan terhadapnya berlaku ketentuan Pasal 1977 KUH Perdata berlaku bagi benda-benda bergerak yang tidak berupa bunga maupun piutang serta tidak harus dibayar kepada pembawa. Konsekuensi logisnya berarti kapal laut dengan ukuran kurang dari 20 m3 isi kotor yang tidak didaftarkan, dapat digadaikan.
Hak tanggungan diatur dalam UU No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, yang merupakan jaminan atas hak-hak atas tanah tertentu berikut kebendaan yang melekat di atas tanah tersebut. Sedangkan jaminan fidusia diatur dalam UU No.42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yang objek jaminannya berupa benda-benda yang tidak dapat dijaminkan dengan gadai, hipotek, dan hak tanggungan.
Menurut Pasal 149 ayat (1) UUK dan PKPU para kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia dan hak tanggungan atau hypotek, atau hak atas kebendaan lainnya, dan kreditor yang diistimewakan, termasuk kreditor yang mempunyai hak didahulukan yang dibantah, tidak boleh mengeluarkan suara berkenaan dengan rencana perdamaian. Dalam buku karangan Sunarmi berjudul ”Hukum Kepailitan” disebutkan ”Kreditor separatis dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa harus kehilangan hak-hak agunan atas kebendaan yang dimilikinya terhadap harta debitor termasuk hak-hak dari kreditor tersebut untuk didahulukan pembayarannya”.
Kreditor separatis yaitu kreditor pemegang jaminan kebendaan berdasarkan Pasal 1134 ayat (2) KUH Perdata yaitu Gadai dan Hipotik. Selain itu kreditor separatis juga pemegang jaminan-jaminan kebendaan yang diatur dalam UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, UU No.42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, dan juga pemegang hak dalam UU No.9 Tahun 2006 sebagaimana diubah melalui UU No.9 Tahun 2011 tentang Sistem Resi Gudang.


HAK SUARA KREDITOR SEPARATIS MEMBERIKAN PERSETUJUAN PENGAJUAN UPAYA PERDAMAIAN DALAM KEPAILITAN

Oleh:
Bisdan Sigalingging, SH, MH
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara)
Emai:
bilqisadzkia@gmail.com
bisdansigalingging@yahoo.com

Kreditor separatis memiliki hak untuk melakukan eksekusi objek jaminannya seolah-olah tanpa terjadinya kepailitan (Pasal 55 UUK dan PKPU) dan mendapatkan pembayaran piutang terlebih dahulu dari pada kreditor konkuren. Hak suara kreditor separatis dalam memberikan persetujuan pengajuan upaya perdamaian dalam kepailitan dapat diketahui dari ketentuan Pasal 149 UUK dan PKPU yaitu:
  1. Pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya dan Kreditor yang diistimewakan, termasuk Kreditor yang mempunyai hak didahulukan yang dibantah, tidak boleh mengeluarkan suara berkenaan dengan rencana perdamaian, kecuali apabila mereka telah melepaskan haknya untuk didahulukan demi kepentingan harta pailit sebelum diadakannya pemungutan suara tentang rencana perdamaian tersebut.
  2. Dengan pelepasan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mereka menjadi Kreditor konkuren, juga dalam hal perdamaian tersebut tidak diterima.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, kreditur Separatis pada prinsipnya tidak berhak mengeluarkan suara berkenaan dengan rencana perdamaian. Namun jika kreditor separatis telah melepaskan haknya sebagai kreditor separatis menjadi kreditor konkuren, maka kreditor separatis tersebut memiliki hak yang sama dengan kreditor konkuren lainnya, misalnya rencana perdamaian yang diajukan debitor tidak diterima kreditor. Kondisi seperti ini hanya akan terjadi dalam hal hak kreditor separatis untuk didahulukan dibantah dalam rapat verifikasi.
Hak suara kreditor separatis dalam memberikan persetujuan pengajuan upaya perdamaian dapat pula dilihat dari ketentuan Pasal 281 UUK dan PKPU.
  1. Rencana perdamaian dapat diterima berdasarkan:
1)      Persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah kreditor konkuren yang haknya diakui atau sementara diakui yang hadir pada rapat Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 268 termasuk Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280, yang bersama-sama mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari seluruh tagihan yang diakui atau sementara diakui dari kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut; dan
2)      Persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah Kreditor yang piutangnya dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 (dua per tiga) bagian dari seluruh tagihan dari Kreditor tersebut atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut.
  1. Kreditor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang tidak menyetujui rencana perdamaian diberikan kompensasi sebesar nilai terendah di antara nilai jaminan atau nilai aktual pinjaman yang secara langsung dijamin dengan hak agunan atas kebendaan.
  2. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 dan Pasal 153 berlaku juga dalam pemungutan suara untuk menerima rencana perdamaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Dilihat dari sistematika UUK dan PKPU, maka ketentuan Pasal 281 UUK dan PKPU tersebut di atas adalah dalam konteks rencana perdamaian dalam konteks Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Pengaturan dalam Pasal 281 ayat (2) UUK dan PKPU tersebut mengatur proses voting di antara para kreditor untuk setuju atau tidak setuju terhadap proposal perdamaian yang diajukan oleh debitor mengenai bagaimana utang tersebut akan dibayar. Rencana perdamaian itu sendiri bisa berupa penjadwalan ulang pembayaran utang, pembayaran angsuran atau bisa juga meminta diskon atas nilai tagihan utang.
Pada intinya Pasal 281 ayat (1) UUK dan PKPU mengatur bahwa rencana perdamaian dapat diterima dengan syarat apabila dalam voting tersebut disetujui secara bersama-sama oleh: a) mayoritas kreditor konkuren yang hadir dalam rapat kreditor dan b) mayoritas kreditor separatis yang hadir dalam rapat kreditor.
Namun demikian, hal terpenting dari Pasal 281 ayat (1) huruf b UUK dan PKPU adalah adanya persetujuan dari mayoritas kreditor separatis adalah mutlak. Karena walaupun seluruh kreditor konkuren menyetujui usul perdamaian, namun jika mayoritas kreditor separatis menolak perdamaian, maka rencana perdamaian wajib ditolak. Secara logis hal tersebut dapat digambarkan bahwa debitor akan mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya jika hartanya dieksekusi oleh mayoritas kreditor separatis yang tidak menyetujui dan tidak terikat ke dalam perjanjian perdamaian.
Pada pokoknya ketentuan Pasal 282 ayat (2) UUK dan PKPU tersebut mengatur bahwa minoritas kreditor separatis yang tidak menyetujui rencana perdamaian dapat memperoleh kompensasi (penggantian) sebesar nilai terendah antara nilai jaminan atau nilai aktual pinjaman. Hal tersebut dimaksudkan dalam rangka memberikan perlindungan terhadap rencana perjanjian perdamaian yang sudah disepakati oleh debitor dan mayoritas kreditor separatis maupun konkuren sehingga jangan sampai minoritas kreditor separatis melakukan eksekusi sendiri terhadap harta debitor yang dapat mengganggu pelaksanaan perjanjian perdamaian yang telah disepakati.
Sejalan dengan kuatnya kedudukan kreditor separatis dalam menentukan hak suara terkait dengan pengajuan rencana perdamaian, disebabkan karena kedudukan kreditur separatis tersebut memang dipisahkan dari kreditur lainnya, dalam arti kreditor separatis dapat menjual sendiri dan mengambil sendiri dari hasil penjualan yang terpisah dengan harta pailit pada umumnya.
Mariam Darus Badrulzaman menyebutkan kreditur separatis sebagai kreditur yang diistimewakan pembayarannya, kedudukan kreditur separatis memiliki hak yang terpisah dari kreditur preferen lainnya yaitu piutangnya dijamin dengan hak kebendaan. Menurut Sudargo Gautama, “kreditor separatis ini dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Karenanya dianggap separatis (berdiri sendiri). Menurut Munir Fuady, kedudukan kreditur separatis sangat tinggi, lebih tinggi dari kreditur yang diistimewakan lainnya.
Para kreditor (penagih) yang piutangnya ditanggung dengan hak gadai, hipotek, hak tanggungan, dan jaminan fidusia atau disebut dengan para kreditor separatis dan yang mempunyai kedudukan istimewa (privilege) tidak dibenarkan mengeluarkan hak suaranya, karena pembayaran piutang para kreditor separatis selalu terjamin.


HUKUM PERJANJIAN

Oleh:
Bisdan Sigalingging, SH, MH
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara)
Emai:
bilqisadzkia@gmail.com
bisdansigalingging@yahoo.com

Hukum perjanjian merupakan bagian (sub sistem) dari hukum privat. Berbicara soal hukum perjanjian berarti konsep hukumnya adalah berada dalam konsep hukum perdata, sebab hukum perjanjian merupakan bagian dari hukum perdata (hukum privat). Hukum perjanjian pada prinsipnya derivatif (turunan) dari hukum perikatan, walaupun kadang-kadang, kajiannya dibedakan antara perikatan dan perjanjian, tetapi pada prinsipnya antara hukum perjanjian dan hukum perikatan adalah sama. Ditingkat teoritis boleh dikatakan bahwa hukum perikatan berada pada tataran teoritis yang mungkin dapat disebut dengan teori kesepakatan sedangkan dalam tataran normatif terdapat di dalam KUH Perdata.
Dalam KUH Perdata pengaturan mengenai hukum perjanjian dapat ditemukan dari sebahagian dalam buku III KUH Perdata tersebut yang secara khusus diatur di dalam mulai dari Pasal 1313 s/d Pasal 1351 KUH Perdata dan di bawah sub judul besar Bab II berjudul “Perikatan-Perikatan yang Dilahirkan Dari Kontrak Atau Persetujuan”. Dari ketentuannya diketahui bahwa pada prinsipnya terdapat hukum perjanjian.
Walaupun hukum perjanjian dan hukum perikatan dikaji secara terpisah. Namun itu tidak berarti konsepnya harus berbeda, sebagaimana pada umumnya terdapat dalam karya-karya para ahli hukum, mengkaji kedua aspek ini berada dalam satu kajian, walaupun sedikit terdapat perbedaan.
Perjanjian dan perikatan merupakan dua hal yang berbeda meskipun keduanya memiliki ciri yang hampir sama. Untuk membedakan antara perjanjian dan perikatan dapat diperhatikan dalam tabel 2 berikut ini:





Tabel 2
Perbedaan Antara Perjanjian dan Perikatan

No
Perjanjian
Perikatan
1.
Perjanjian menimbulkan atau melahirkan perikatan.
Perikatan adalah isi dari perjanjian.
2.
Perjanjian lebih konkrit daripada perikatan, artinya perjanjian itu dapat dilihat dan didengar.
Perikatan merupakan pengertian yang abstrak (hanya dalam alam pikiran saja).
3.
Pada umumnya perjanjian merupakan hubungan hukum bersegi dua, artinya akibat hukumnya dikehendaki oleh kedua belah pihak. Hal ini bermakna bahwa hak dan kewajiban dapat dipaksankan. Pihak-pihak berjumlah lebih dari atau sama dengan dua pihak sehingga bukan pernyataan sepihak, dan pernyataan itu merupakan perbuatan hukum.
Perikatan bersegi satu, artinya: belum tentu menimbulkan akibat hukum, sebagai contoh, perikatan alami tidak dapat dituntut di sidang pengadilan (hutang karena judi) karena pemenuhannya tidak dapat dipaksakan. Pihaknya hanya berjumlah satu sehingga ia disebut bersegi satu dan pernyataannya merupakan pernyataan sepihak serta merupakan perbuatan biasa (bukan perbuatan hukum).
Perjanjian merupakan sumber perikatan. Dasar hukumnya adalah Pasal 1233 KUH Perdata, yang menentukan tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena persetujuan, maupun karena undang-undang. Dari ketentuan tersebut disimpulkan bahwa sumber perikatan adalah perjanjian dan undang-undang. Perjanjian melahirkan perikatan-perikatan karena memang perjanjian seringkali (bahkan kebanyakan) melahirkan sekelompok perikatan.
Sumber perikatan adalah perjanjian dan undang-undang. Perjanjian sebagai sumber perikatan berarti perikatan itu dikehendaki oleh para pihak yang berjanji, sedangkan undang-undang sebagai sumber perikatan berarti tanpa ada kehendak dari para pihak yang terikat. Perikatan dapat lahir karena tanpa para pihak melakukan suatu perbuatan tertentu, perikatan bisa lahir karena para pihak berada dalam kondisi tertentu sesuai Pasal 1352 dan Pasal 1353 KUH Perdata.
Sehingga penafsiran terhadap ketentuan dalam Pasal 1233 KUH Perdata tersebut sebagai sumber dari hukum perikatan berasal dari perjanjian dan undang-undang. Selain itu di samping berasal dari perjanjian dan undang-undang, sumber perikatan dapat juga berasal dari kesusilaan.
Sehingga dikenal pula istilah perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama. Perjanjian bernama adalah perjanjian yang ditentukan di dalam undang-undang, yang secara khusus ditentukan di dalam Bab V s/d XVIII Buku III KUH Perdata. Sedangkan perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak ditentukan dalam undang-undang tetapi terjadi di dalam praktik yang diperbolehkan berdasarkan asas kepantasan, kepatutan, dan kesusialaan.
Hukum perjanjian adalah seperangkat aturan hukum yang mengatur mengenai hal-hal yang berhubungan dengan masalah perjanjian. Hukum perjanjian tidak hanya mengatur mengenai keabsahan suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak, tetapi juga akibat dari perjanjian tersebut, penafsiran, dan pelaksanaan dari perjanjian yang dibuat tersebut. Hukum perjanjian merupakan suatu lapangan dalam hukum perdata yang lebih sempit daripada hukum perikatan. Hukum perjanjian merupakan bagian dari hukum perikatan yang lebih luas cakupannya.
Hukum perjanjian kadang-kadang diidentikkan pula dengan hukum kontrak. Bagaimana pula perbedaan antara kedua hal ini. Beberapa literatur ditemukan membedakan kedua istilah ini tetapi makna dari kedua istilah sebenarnya sama, yakni sama-sama menyatakan suatu kesepakatan. Hanya penggunaan dalam penempatan istilahnya saja yang berbeda, tetapi hakikatnya adalah sama. Walaupun hukum perjanjian bersifat lebih luas daripada hukum kontrak, atau hukum kontrak merupakan derivatif dari hukum perjanjian, tetapi hakikatnya tetap lah sama.
Hukum kontrak lahir dari kehendak para pihak yang menghendaki suatu perjanjian harus dibuat dalam bentuk tertulis, sebab hingga kini tidak pernah ditemukan ada kontrak yang tidak dilaksanakan secara tertulis, atau tidak ada kontrak yang dilaksanakan dalam bentuk lisan. Perlunya perjanjian dalam bentuk tertulis dimaksudkan untuk menciptakan kepastian hukum bagi para pihak dalam melaksanakan prestasi.
Wajar saja dalam kegiatan bisnis atau kegiatan perdagangan mudah ditemukan banyak persoalan dagang, oleh karena itu perjanjian harus dibuat dalam bentuk tertulis, perjanjian yang dibuat dalam bentuk tertulis inilah yang sering diidentikkan dengan kontrak. Tapi ada juga ahli hukum dengan tegas menentang para pendapat yang menyamakan penggunaan kedua istilah ini walaupun maksudnya sama.
Banyak orang mencampuradukkan kedua istilah ini dalam menafsirkan perjanjian (overeenkomst) dalam Buku III KUH Perdata (BW), padahal sebenarnya hukum kontrak (contract law) merupakan bidangnya dalam kegiatan bisnis atau kegiatan perdagangan. Hukum kontrak memiliki pengertian yang lebih sempit dari hukum perjanjian. Sedangkan di sisi lain diartikan tidak sependapat untuk membedakan kedua istilah itu, ia justru menyamakan pengertian antara perjanjian dan kontrak (Agus Yudha Hernoko).
Sedangkan para ahli hukum yang lain seperti: Jacob Hans Niewenhuis, Hofman, J. Satrio, Soetojo Prawirohamidjojo, Mathalena Pohan, Mariam Darus Badrulzaman, Purwahid Patrik, Trtodiningrat, dan Pothier, sebagaimana yang dapat dihimpun, semua menyebutkan kedua istilah ini dalam pengertian yang sama.
Peter Mahmud Marzuki sependapat dengan Subekti, dalam argumentasi kritis Peter menyebutkan untuk agreement yang berkaitan dengan bisnis harus disebut contract, sedangkan untuk yang tidak terkait dengan bisnis hanya disebutnya sebagai agreement saja.
Y. Sogar Simamora, juga memaknai kontrak merupakan aspek yang berada dalam lapangan bisnis. Sebagaimana disebutnya, kontrak merupakan bagian yang melekat dari transaksi bisnis baik dalam skala besar maupun skala kecil, baik domestik maupun internasional. Fungsinya penting dalam menjamin bahwa seluruh harapan yang dibentuk dari janji-janji para pihak dalam kontrak terlaksana dan dapat dipenuhi.
Kemudian perbedaan itu juga dikaji secara kritis oleh Muhammad Syaifuddin yang mengatakan pelaku bisnis banyak memahami kedua istilah tersebut memiliki pengertian yang berbeda. Padahal menurutnya secara dogmatik, KUH Perdata sebagai induk hukum yang menggunakan istilah overeenkomst adalah juga istilah contract, karena titel Bukut III yang berjudul tentang “Perikatan-Perikatan yang Lahir Dari Kontrak Atau Perjanjian”, diterjemahkan ke dalam Bahasa Belanda adalah “Van Verbintenissen Die Uit Contract of Overeenkomst Geboren Worden”.
Berikut disebutkan oleh Peter Mahmud Marzuki, istilah kontrak lebih menunjukkan nuansa bisnis atau komersil dalam hubungan hukum yang dibentuk, sedangkan istilah perjanjian cakupannya lebih luas. Dengan demikian pembedaan kedua istilah ini bukan pada bentuknya. Tidak tepat jika kontrak diartikan sebagai perjanjian yang dibuat secara tertulis, sebab kontrak pun dapat dibuat secara lisan.
Berdasarkan pendekatan istilah bahasa juga kedua istilah ini pada prinsipnya memiliki maksud yang sama. Kalau di dalam kebiasaan di Indonesia dan juga di dalam bahasa Indonesia sering digunakan istilah perjanjian, demikian pula dalam kebiasaan di negara Eropa Barat termasuk Belanda, istilah contract (kontrak) sudah menjadi istilah sehari-hari untuk menyebutkan kesepakatan, apakah itu kesekapatan dalam kegiatan yang mendatangkan nilai ekonomis atau tidak, tetap menggunakan istilah kontrak tersebut di Eropa Barat.
Sehingga dengan demikian, antara istilah kontrak dan perjanjian sesungguhnya sama saja, tidak ada bedanya berdasarkan teori-teori, norma-norma, serta doktrin-doktrin yang ada. Walaupun kadang-kadang dalam praktik sering dibedakan, namun berdasarkan pendekatan sejarah lahirnya kedua istilah ini sama sekali tidak memiliki perbedaan. Bahkan di Indonesia sendiri dasar hukum keduanya tetap mendasarkan pada overeenkomst dalam KUH Perdata.
Setelah dilakukan penelitian, terkait perbedaan ini disimpulkan bahwa kedua istilah antara kontrak dan perjanjian tidak ada bedanya, hanya saja hal itu menjadi berbeda karena faktor kebiasaan (tradisi) penggunaannya di Indonesia. Warga negara Indonesia yang berurusan dengan bisnis atau kegiatan dagang sering menggunakan istilah kontrak padahal sama maksudnya dengan perjanjian.
Sedangkan istilah perjanjian di Indonesia sering ditafsirkan lebih luas, termasuk semua aspek kehidupan bisa dibuat kesepakatan dalam bentuk perjanjian baik tertulis maupun tidak tertulis. Itulah yang membuat kedua istilah ini menjadi berbeda khususnya di Indonesia. Padahal di Eropa Barat tempat perdagangan yang sangat kompleks dan maju dari dulu hingga saat ini istilah kontrak tetap menjadi istilah yang sering dipergunakan daripada perjanjian.
Di Indonesia, dapat ditelaah berdasarkan ketentuan pada Pasal 1313 KUH Perdata diperoleh bahwa pengertian perjanjian adalah “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Dari istilah perjanjian ini saja pada prinsipnya sebenarnya sama dengan istilah kontrak di Eropa Barat, tetapi di Indonesia sering menggunakan istilah kontrak hanya untuk kegiatan dalam bisnis atau perdagangan, padahal tidak demikian menurut asal muasal istilah ini digunakan.
Pengertian perjanjian dalam ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata memiliki kelemahan, oleh sebab itu semestinya harus diperbaiki. Kelemahan itu terdapat pada beberapa hal sebagaimana tabel 3 berikut ini.
Tabel 3
Kelemahan Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata
No
Kelemahan
Seharusnya
1.
Merupakan perbuatan (hal ini bermakna terlalu luas).
Perbuatan hukum
2.
Yang mengikatkan dirinya hanya satu pihak (kurang lengkap) sehingga bisa disebut perjanjian sepihak.
Saling mengikatkan diri atau syarat minimal pihaknya harus dua orang saja.
3.
Tujuannya tidak jelas.
Harus dijelaskan tujuannya untuk apa.
Kelemahan Pasal 1313 KUH Perdata juga terdapat ada empat hal dari defenisi tersebut, yaitu:
  1. Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja;
  2. Kata perbuatan mencakup juga perbuatan tanpa kesepakatan, termasuk mengurus kepentingan orang lain, dan perbuatan melawan hukum;
  3. Pengertiannya terlalu luas (bisa termasuk perjanjian kawin);
  4. Tanpa menyebutkan tujuannya.
Kebanyakan pakar hukum mengatakan Pasal 1313 KUH Perdata memiliki banyak kelemahan. Kata “perbuatan” terlalu luas dapat berupa perbuatan hukum dan perbuatan bukan hukum, juga bisa termasuk perbuatan melawan hukum. Sementara dari kalimat “mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih” dapat diartikan hanya cocok untuk perbuatan sepihak.
Oleh karena kelemahan tersebut, dicoba diberikan penyempurnaan, seharusnya pengertian perjanjian di dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut memiliki redaksi seperti beirkut ini:
Suatu hubungan hukum di bidang harta kekayaan yang didasari kata sepakat antara subjek hukum yang satu dengan yang lain, dan di antara mereka (para pihak/subjek hukum) saling mengikatkan dirinya sehingga subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga dengan subjek hukum yang lain berkewajiban melaksanakan prestasinya sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati para pihak tersebut serta menimbulkan akibat hukum.
Poin-poin penting yang digaris bawahi tersebut di atas mesti ada dalam membuat pengertian perjanjian sebagaiman dalam Pasal 1313 KUH Perdata harus diharmonisasikan dengan makna tersebut, agar tidak membingungkan, syarat minimal jumlah para pihak, apakah perjanjian atau perikatan, apa bidang perjanjian dimaksud, tujuannya, kekuatan mengikatnya, kewajiban melaksanakan prestasi, dan akibat hukumnya.
Unsur-unsur dalam perjanjian harus dipenuhi yaitu:
1.      Ada pihak-pihak (subjek), sedikitnya dua pihak;
2.      Ada persetujuan dari pihak-pihak yang bersifat tetap;
3.      Ada tujuan yang akan dicapai, yaitu untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak;
4.      Ada prestasi yang akan dilaksanakan;
5.      Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan;
6.      Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian.
Norma yang mengandung syarat-syarat perjanjian di dalam Pasal 1320 KUH Perdata mensyaratkan unsur-unsur perjanjian. Agar suatu perjanjian menimbulkan perikatan sehingga mempunyai kekuatan yang mengikat dan berlaku sebagai undang-undang, maka bagi para pihak yang membuatnya haruslah memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata.
Dirumuskan secara normatif di dalam Pasal 1320 KUH Perdata, bahwa sahnya suatu perjanjian harus memenuhi 1) kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan diri, 2) kecakapan untuk membuat perjanjian, 3) sesuatu hal tertentu, dan 4) sesuatu sebab yang diperbolehkan oleh hukum. Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subjektif sedangkan dua syarat yang terakhir merupakan syarat objektif.
Suatu perjanjian/kontrak tanpa memenuhi keempat syarat sah yang disebutkan di dalam Pasal 1320 KUH Perdata tersebut, maka perjanjian/kontrak tersebut dapat dibatalkan (apabila tidak memenuhi syarat subyektif yaitu: sepakat mereka yang mengikatkan dirinya dan syarat kecakapan untuk membuat suatu perikatan) atau dapat batal demi hukum (apabila tidak memenuhi syarat obyektif yaitu: suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal).
Jika tidak terpenuhi syarat subjektif perjanjian, maka perjanjian itu dapat dibatalkan. Jika tidak terpenuhi syarat objektif perjanjian, maka perjanjian itu terancam batal demi hukum. Kecakapan merupakan unsur subjektif sahnya perjanjian. Orang yang sudah dewasa, dan sehat pikirannya merupakan orang yang cakap menurut hukum. Ada pula hal yang diperjanjikan menyangkut obyek tertentu dan objek itu harus jelas. Dilakukan pula atas sebab yang halal, dengan itikad baik bukan ditujukan untuk suatu kejahatan.
Unsur para pihak atau pihak-pihak inilah yang disebut sebagai subjek perjanjian yang terikat di dalam perjanjian. Subjek perjanjian dapat berupa orang atau badan hukum. Syarat menjadi subjek perjanjian adalah harus mampu atau berwenang melakukan perbuatan hukum, yang dalam KUH Perdata dibagi tiga golongan yaitu: para pihak yang mengadakan perjanjian, para ahli waris dari para pihak, dan pihak ketiga.
Subjek perjanjian adalah orang-orang sebagai anggota masyarakat, bisa pula suatu badan hukum, atau suatu korporasi. Namun umumnya dalam KUH Perdata hanya mengenal orang perseorangan atau suatu badan hukum sebagai subjek hukum. Sedangkan subjek hukum korporasi mulai dikenal pada beberapa bidang hukum yang baru misalnya dalam hukum lingkungan hidup, dalam hukum perusahaan, dan lain-lain.
Subjek perjanjian merupakan pelaku yang bertindak dan sangat dipentingkan, demikian objek perjanjian juga merupakan suatu hal yang dipentingkan mengenai suatu hal yang diperlakukan oleh subjek perjanjian. Sehingga objek perjanjian harus terang dan jelas sebagai hal yang diwajibkan kepada para pihak (subjek perjanjian) untuk memenuhi prestasi masing-masing. Itu sebabnya objek perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata harus disebutkan dalam makna yang bersifat general yaitu suatu hubungan hukum di bidang harta kekayaan.
Sifat perjanjian merupakan salah satu unsur penting dalam perjanjian yaitu harus ada persetujuan (kesepakatan) antara para pihak, untuk melakukan tujuan perjanjian. Tujuan mengadakan perjanjian terutama untuk memenuhi kebutuhan para pihak. Tujuan itu sifatnya tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan tidak dilarang dalam perundang-undangan.
Prestasi merupakan kewajiban yang wajib dipenuhi oleh para pihak sesuai dengan kesepakatan yang telah diperjanjikan. Hakikat dari perjanjian sesungguhnya menghendaki suatu prestasi. Tetapi jika makna perjanjian sebagaimana dalam Pasal 1313 KUH Perdata sedemikian adanya, tidak menunjukkan hakikatnya untuk menimbulkan suatu prestasi. Tujuan menimbulkan suatu prestasi hanya pada umumnya berada pada penafsiran di dalam doktrin-doktrin para ahli hukum saja, sedangkan mana yuridisinya tidak terpenuhi dalam ketentuan tersebut. Pentingnya prestasi sebagai hakikat dari perjanjian adalah sebagai penegasan agar pihak lain tidak melakukan atau dapat sebagai sarana pencegah meminimalisir terjadinya perbuatan wanprestasi.
Oleh karena ada ketentuan undang-undang yang kadang-kadang menentukan hanya dengan bentuk tertentu suatu perjanjian memiliki kekuatan mengikat dan kekuatan sebagai bukti. Bentuk tertentu dapat berupa akta. Bentuknya dapat dibuat secara lisan kecuali jika para pihak menghendaki harus dalam bentuk tertulis. Maka bentuk perjanjian mesti pula harus ditentukan dalam bentuk perjanjian tertulis.