Selasa, 10 Februari 2015

PERAN PEMERINTAH DALAM TEORI WALFARE STATE
Oleh
Bisdan Sigalingging, SH, MH
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
Medan 2015

Ada tiga tipe negara, pertama tipe negara penjaga malam, kedua tipe negara hukum formal, dan ketiga tipe negara hukum materil. Tipe negara penjaga malam (nachtwachtterstaat) merupakan tipe negara yang menganut sistem pemerintahan liberal. Tipe negara hukum formal ditandai dengan campur tangan dari aktivitas kebebasan bertindak yang dilakukan oleh pejabat pemerintahnya dibatasi dengan undang-undang artinya harus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan tipe negara hukum materil ada dalam sistem negara kesejahteraan (walfare state). Dalam sistem negara kesejahteraan dalam hal pelayanan publik diberikan kewenangan kepada pejabat pemerintahnya untuk bertindak diluar daripada ketentuan undang-undang yang disebut dengan wewenang diskresi atau disebut juga dengan freies ermessen. Dengan demikian peran kebijakan publik dalam pembangunan nasional sangat penting, terutama dalam dalam tipe negara hukum materil seperti di Indonesia yang menganut sistem negara kesejahteraan (walfare state).
Konsep freies ermessen ini senantiasa dapat dijumpai dalam sistim pemerintahan modern dalam bentuk negara kesejahteraan. Walaupun asas diskresi ini diberikan kepada pejabat pemerintah, tetapi dalam melaksanakannya harus berhati-hati yang didasarkan pada kebijaksanaan, sebab asas diskresi menyangkut kebebasan pemerintah mengeluarkan keputusan, sehingga bisa tidak terkontrol, oleh sebab itu harus dilaksanakan dengan bijaksana dan penuh dengan pertimbangan.
Wewenang diskresi berupa freies ermessen merupakan kebebasan yang diberikan kepada tata usaha negara dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, sejalan dengan peningkatan tuntutan pelayanan publik (bestuurszorg), yang harus diberikan oleh pejabat tata usaha negara terhadap kehidupan sosial ekonomi para warga yang semakin kompleks. Wewenang freies ermessen merupakan hal yang tidak terelekkan dalam tatanan tipe negara kesejahteraan modern dalam memenuhi tuntutan ekonomi global.
Tipe negara meteril atau sistem negara kesejahteraan ini berkembang akibat pergeseran ideologi liberal yang bersifat individualistis ke arah ideologi sosialis yang lebih mengutamakan kepentingan masyarakat. Dalam hubungannya dengan sistem perekonomian masyarakat, sistem negara kesejahteraan, pemerintahnya turut campur dalam masalah ekonomi masyarakat dengan memberikan pelayanan publik melalui kebijakan-kebijakan pemerintah.
Kelahiran negara hukum materil atau negara kesejahteraan didorong oleh perkembangan tugas-tugas pemerintah yang semakin kompleks dan luas, terutama dalam masalah sosial dan ekonomi. Negara hukum kesejahteraan merupakan negara hukum yang sangat kompleks. Dalam konsep negara hukum kesejahteraan, selain pemerintahnya bersifat penjaga malam, juga aktif atau turut serta dalam penyelenggaraan ekonomi nasional, sebagai pembagi jasa-jasa, penengah terhadap berbagai kelompok yang bersengketa, dan ikut aktif dalam berbagai bidang kehidupan lainnya.
Tujuan negara hukum materil atau negara kesejahteraan adalah memberikan kesejahteraan kepada warga masyarakatnya (kesejahteraan umum). Dalam melaksanakan tujuan tersebut, dihadapi berbagai masalah yang bersifat prinsip, berkenaan dengan upaya-upaya yang harus ditempuh oleh pemerintah supaya kesejahteraan umum dapat dinikmati secara merata untuk menghindari sifat kapitalis.
Negara hukum materil (kesejahteraan) lebih fleksibel dari tipe negara hukum formal, sebab pemerintah dalam menjalankan tugas-tugasnya tidak terikat secara kaku kepada ketentuan perundang-undangan berdasarkan asas legalitas. Namun tidak berarti bahwa pemerintah dapat melanggar atau mengabaikan ketentuan perundang-undangan tanpa dasar atau alasan yang kuat.
Peran pemerintah dalam negara hukum materil (kesejahteraan) tidak semata-mata sebagai pelaksana undang-undang yang bertindak pasif tanpa inisiatif. Pemerintah harus aktif dan kreatif sehingga berbeda dengan fungsi pemerintah dalam tipe negara formal yang bersifat pasif dan kaku pada undang-undang semata. Dalam negara hukum materil (kesejahteraan) ada diberikan wewenang bertindak bebas kepada pejabat pemerintahnya dalam menanggapi perkembangan-perkembangan baru yang timbul dalam masyarakat.
Jika sangat darurat dan genting, pemerintah dalam konsep negara kesejehteraan dapat bertindak dengan cepat mendahului badan legislatif supaya pemerintah dapat mencegah kerugian yang lebih besar yang mungkin saja akan timbul jika senadainya pemerintah bersikap pasif. Namun, fleksibilitas yang dimiliki oleh pemerintah dalam bertindak tersebut, tentu saja akan membuka kemungkinan penyalahgunaan wewenang kekuasaan yang menjadi masalah tersendiri dalam penyelenggfaraan negara.
Keterlibatan pemerintah dalam ranah kehidupan individu dengan tujuan untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum membuat pemerintah tidak boleh bersifat pasif sebagai penjaga ketertiban dan keamanan saja. Untuk menyelenggarakan kepentingan umum dan kemakmuran rakyat, pemeirintah harus aktif dalam mengatur, mengurus, dan melayani masyarakat.
Segenap permasalahan yang terjadi dalam masyarakat yang menuntut penyelesaian harus diurus dan ditangani oleh pemerintah. Bahkan pemerintah harus dapat memberikan bimbingan dan arahan berkenaan dengan hal-hal yang akan terjadi di masa depan supaya masyarakat terhindar dari segenap masalah yang mungkin terjadi.
Pemerintah tidak boleh menolak melayani segenap kepentingan dan kebutuhan masyarakat dengan alasan apapun. Kepentingan dan kebutuhan masyarakat sangat kompleks dan setiap hari akan semakin bertambah macamnya sehingga setiap hari jumlah urusan yang harus diselenggarakan oleh pemerintah juga ikut bertambah. Oleh sebab itulah pemerintah diberikan kewenangan kebebasan bertindak dalam memberikan pelayanan publik.
Oleh karena luas dan rumit serta kompleksnya permasalahan dalam masyarakat, pemerintah dituntut bertindak cepat dan luwes dalam mengantisipasi dan menangani segenap permasalahan yang terjadi dalam masyarakat yang tidak selalu dapat diperkirakan dapat terjadi. Situasi dan kondisi masyarakat yang selalu berkembang dengan sangat cepat menimbulkan masalah tersendiri bagi pemerintah dalam konsep negara kesejahteraan.
Dalam rangka menyikapi situasi dan kondisi yang selalu berkembang dengan cepat tersebut, pemerintah tidak mungkin hanya berpegang pada asas legalitas yang bersifat kaku hendak dipertahankan dalam menyikapi perkembangan-perkembangan baru yang terjadi dalam masyarakat dengan alasan demi kepastian hukum, mustahil tidak akan terjadi kerugian yang lebih besar jika kepada pemerintah tidak diberikan kebebasan bertindak dalam mengeluarkan kebijakan publik.
Prinsip kepastian hukum dan asas legalitas dalam negara kesejahteraan tidak lagi harus dijalankan secara kaku dan totonom. Prinsip kepastian hukum dan asas legalitas harus diterobos. Penorobosan prinsip ini tidak berarti melemahkan atau mengesampingkan, tetapi harus dinilai sebagai tindakan yang melengkapi asas legalitas dan prinsip kepastian hukum.
Kebebasan bertindak yang dimiliki oleh administrasi negara dapat diterima dengan makna yang positif dan bukan dalam makna yang negatif, yakni sebagai bentuk wewenang baru. Hal itu perlu ditekankan di sini karena lapangan hukum administrasi negara, kebebasan bertindak (diskresi) tidak selalu dipandang dalam arti negatif oleh para pakar. Kurang dapat diterima jika diksresi pemerintah dipandang sebagai bentuk kesewenang-wenangan.
Kebebasan bertindak atas inisiatif sendiri yang diberikan kepada pemerintah dalam negara hukum kesejahteraan menunjukkan suatu proses perubahan pola pikir mengenai tujuan negara hukum. Dalam negara hukum formal, kepastian hukum (rechtmatig) merupakan tujuan utama dan untuk mewujudkan tujuan inilah asas legalitas diterima sebagai asas pokok dalam negara hukum formal.
Sedangkan dalam negara hukum kesejahteraan (negara hukum materil), tujuan utamanya adalah kemanfaatan (doelmatig) hukum demi mencapai kesejehateraan masyarakat umum. Untuk itulah ide negara hukum materil (kesejahteraan) memberikan kebebasan bertindak atas inisiatifnya sendiri bagi para pejabat pemerintah dalam memberikan pelayanan publik misalnya dalam mengeluarkan kebijakan publik.
Sebagaimana telah dijelaskan demikian pentingnya kebijakan publik dalam tipe negara materil atau negara kesejahteraan di atas, pada prinsipnya pentingnya kebijakan publik tersebut dalam rangka mendukung pembangunan nasional. Jika sekiranya dalam negara kesejahteraan, pemerintah dikekang atau dibatasi dalam mengeluarkan kebijakan publik hanya berdasarkan pada undang-undang (beschikking) dan tidak diberikan kewenangan bertindak di luar ketentuan undang-undanga berdasarkan wewenang diskresi (freies ermessen) atau disebut juga dengan peraturan kebijakan (beleidsregels), maka dipastikan pemerintah akan bersifat kaku dalam menghadapi segala persoalan dalam masyarakat, sehingga pembangunan nasional juga terikut imbasnya yakni terjadinya stagnasi (hambatan) dalam pencapaian pembangunan nasional.
Terutama isu-isu yang berkembang yang berupaya mengkirminalisasi kebijakan publik dan terhadap pejabat yang mengambil kebijakan merupakan hal yang menakutkan dan bisa berpotensi menimbulkan kemunduran bangsa. Padahal diketahui, bahwa kebijakan tersebut adalah bagian dari suatu sistem pembangunan nasional.
Jika seorang pejabat pemerintah takut mengambil suatu kebijakan, maka roda pemerintahan tidak akan berjalan sebagaimana yang diharapkan. Lebih-lebih jika kegiatan tersebut terkait dengan bisnis, maka akan berdampak terhadap investasi kalau khawatir kebijakan tersebut terjerat pidana.

PERAN PEMERINTAH DALAM TEORI WALFARE STATE
Oleh
Bisdan Sigalingging, SH, MH
Dosen Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa
Medan 2015

Ada tiga tipe negara, pertama tipe negara penjaga malam, kedua tipe negara hukum formal, dan ketiga tipe negara hukum materil. Tipe negara penjaga malam (nachtwachtterstaat) merupakan tipe negara yang menganut sistem pemerintahan liberal. Tipe negara hukum formal ditandai dengan campur tangan dari aktivitas kebebasan bertindak yang dilakukan oleh pejabat pemerintahnya dibatasi dengan undang-undang artinya harus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan tipe negara hukum materil ada dalam sistem negara kesejahteraan (walfare state). Dalam sistem negara kesejahteraan dalam hal pelayanan publik diberikan kewenangan kepada pejabat pemerintahnya untuk bertindak diluar daripada ketentuan undang-undang yang disebut dengan wewenang diskresi atau disebut juga dengan freies ermessen. Dengan demikian peran kebijakan publik dalam pembangunan nasional sangat penting, terutama dalam dalam tipe negara hukum materil seperti di Indonesia yang menganut sistem negara kesejahteraan (walfare state).
Konsep freies ermessen ini senantiasa dapat dijumpai dalam sistim pemerintahan modern dalam bentuk negara kesejahteraan. Walaupun asas diskresi ini diberikan kepada pejabat pemerintah, tetapi dalam melaksanakannya harus berhati-hati yang didasarkan pada kebijaksanaan, sebab asas diskresi menyangkut kebebasan pemerintah mengeluarkan keputusan, sehingga bisa tidak terkontrol, oleh sebab itu harus dilaksanakan dengan bijaksana dan penuh dengan pertimbangan.
Wewenang diskresi berupa freies ermessen merupakan kebebasan yang diberikan kepada tata usaha negara dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, sejalan dengan peningkatan tuntutan pelayanan publik (bestuurszorg), yang harus diberikan oleh pejabat tata usaha negara terhadap kehidupan sosial ekonomi para warga yang semakin kompleks. Wewenang freies ermessen merupakan hal yang tidak terelekkan dalam tatanan tipe negara kesejahteraan modern dalam memenuhi tuntutan ekonomi global.
Tipe negara meteril atau sistem negara kesejahteraan ini berkembang akibat pergeseran ideologi liberal yang bersifat individualistis ke arah ideologi sosialis yang lebih mengutamakan kepentingan masyarakat. Dalam hubungannya dengan sistem perekonomian masyarakat, sistem negara kesejahteraan, pemerintahnya turut campur dalam masalah ekonomi masyarakat dengan memberikan pelayanan publik melalui kebijakan-kebijakan pemerintah.
Kelahiran negara hukum materil atau negara kesejahteraan didorong oleh perkembangan tugas-tugas pemerintah yang semakin kompleks dan luas, terutama dalam masalah sosial dan ekonomi. Negara hukum kesejahteraan merupakan negara hukum yang sangat kompleks. Dalam konsep negara hukum kesejahteraan, selain pemerintahnya bersifat penjaga malam, juga aktif atau turut serta dalam penyelenggaraan ekonomi nasional, sebagai pembagi jasa-jasa, penengah terhadap berbagai kelompok yang bersengketa, dan ikut aktif dalam berbagai bidang kehidupan lainnya.
Tujuan negara hukum materil atau negara kesejahteraan adalah memberikan kesejahteraan kepada warga masyarakatnya (kesejahteraan umum). Dalam melaksanakan tujuan tersebut, dihadapi berbagai masalah yang bersifat prinsip, berkenaan dengan upaya-upaya yang harus ditempuh oleh pemerintah supaya kesejahteraan umum dapat dinikmati secara merata untuk menghindari sifat kapitalis.
Negara hukum materil (kesejahteraan) lebih fleksibel dari tipe negara hukum formal, sebab pemerintah dalam menjalankan tugas-tugasnya tidak terikat secara kaku kepada ketentuan perundang-undangan berdasarkan asas legalitas. Namun tidak berarti bahwa pemerintah dapat melanggar atau mengabaikan ketentuan perundang-undangan tanpa dasar atau alasan yang kuat.
Peran pemerintah dalam negara hukum materil (kesejahteraan) tidak semata-mata sebagai pelaksana undang-undang yang bertindak pasif tanpa inisiatif. Pemerintah harus aktif dan kreatif sehingga berbeda dengan fungsi pemerintah dalam tipe negara formal yang bersifat pasif dan kaku pada undang-undang semata. Dalam negara hukum materil (kesejahteraan) ada diberikan wewenang bertindak bebas kepada pejabat pemerintahnya dalam menanggapi perkembangan-perkembangan baru yang timbul dalam masyarakat.
Jika sangat darurat dan genting, pemerintah dalam konsep negara kesejehteraan dapat bertindak dengan cepat mendahului badan legislatif supaya pemerintah dapat mencegah kerugian yang lebih besar yang mungkin saja akan timbul jika senadainya pemerintah bersikap pasif. Namun, fleksibilitas yang dimiliki oleh pemerintah dalam bertindak tersebut, tentu saja akan membuka kemungkinan penyalahgunaan wewenang kekuasaan yang menjadi masalah tersendiri dalam penyelenggfaraan negara.
Keterlibatan pemerintah dalam ranah kehidupan individu dengan tujuan untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum membuat pemerintah tidak boleh bersifat pasif sebagai penjaga ketertiban dan keamanan saja. Untuk menyelenggarakan kepentingan umum dan kemakmuran rakyat, pemeirintah harus aktif dalam mengatur, mengurus, dan melayani masyarakat.
Segenap permasalahan yang terjadi dalam masyarakat yang menuntut penyelesaian harus diurus dan ditangani oleh pemerintah. Bahkan pemerintah harus dapat memberikan bimbingan dan arahan berkenaan dengan hal-hal yang akan terjadi di masa depan supaya masyarakat terhindar dari segenap masalah yang mungkin terjadi.
Pemerintah tidak boleh menolak melayani segenap kepentingan dan kebutuhan masyarakat dengan alasan apapun. Kepentingan dan kebutuhan masyarakat sangat kompleks dan setiap hari akan semakin bertambah macamnya sehingga setiap hari jumlah urusan yang harus diselenggarakan oleh pemerintah juga ikut bertambah. Oleh sebab itulah pemerintah diberikan kewenangan kebebasan bertindak dalam memberikan pelayanan publik.
Oleh karena luas dan rumit serta kompleksnya permasalahan dalam masyarakat, pemerintah dituntut bertindak cepat dan luwes dalam mengantisipasi dan menangani segenap permasalahan yang terjadi dalam masyarakat yang tidak selalu dapat diperkirakan dapat terjadi. Situasi dan kondisi masyarakat yang selalu berkembang dengan sangat cepat menimbulkan masalah tersendiri bagi pemerintah dalam konsep negara kesejahteraan.
Dalam rangka menyikapi situasi dan kondisi yang selalu berkembang dengan cepat tersebut, pemerintah tidak mungkin hanya berpegang pada asas legalitas yang bersifat kaku hendak dipertahankan dalam menyikapi perkembangan-perkembangan baru yang terjadi dalam masyarakat dengan alasan demi kepastian hukum, mustahil tidak akan terjadi kerugian yang lebih besar jika kepada pemerintah tidak diberikan kebebasan bertindak dalam mengeluarkan kebijakan publik.
Prinsip kepastian hukum dan asas legalitas dalam negara kesejahteraan tidak lagi harus dijalankan secara kaku dan totonom. Prinsip kepastian hukum dan asas legalitas harus diterobos. Penorobosan prinsip ini tidak berarti melemahkan atau mengesampingkan, tetapi harus dinilai sebagai tindakan yang melengkapi asas legalitas dan prinsip kepastian hukum.
Kebebasan bertindak yang dimiliki oleh administrasi negara dapat diterima dengan makna yang positif dan bukan dalam makna yang negatif, yakni sebagai bentuk wewenang baru. Hal itu perlu ditekankan di sini karena lapangan hukum administrasi negara, kebebasan bertindak (diskresi) tidak selalu dipandang dalam arti negatif oleh para pakar. Kurang dapat diterima jika diksresi pemerintah dipandang sebagai bentuk kesewenang-wenangan.
Kebebasan bertindak atas inisiatif sendiri yang diberikan kepada pemerintah dalam negara hukum kesejahteraan menunjukkan suatu proses perubahan pola pikir mengenai tujuan negara hukum. Dalam negara hukum formal, kepastian hukum (rechtmatig) merupakan tujuan utama dan untuk mewujudkan tujuan inilah asas legalitas diterima sebagai asas pokok dalam negara hukum formal.
Sedangkan dalam negara hukum kesejahteraan (negara hukum materil), tujuan utamanya adalah kemanfaatan (doelmatig) hukum demi mencapai kesejehateraan masyarakat umum. Untuk itulah ide negara hukum materil (kesejahteraan) memberikan kebebasan bertindak atas inisiatifnya sendiri bagi para pejabat pemerintah dalam memberikan pelayanan publik misalnya dalam mengeluarkan kebijakan publik.
Sebagaimana telah dijelaskan demikian pentingnya kebijakan publik dalam tipe negara materil atau negara kesejahteraan di atas, pada prinsipnya pentingnya kebijakan publik tersebut dalam rangka mendukung pembangunan nasional. Jika sekiranya dalam negara kesejahteraan, pemerintah dikekang atau dibatasi dalam mengeluarkan kebijakan publik hanya berdasarkan pada undang-undang (beschikking) dan tidak diberikan kewenangan bertindak di luar ketentuan undang-undanga berdasarkan wewenang diskresi (freies ermessen) atau disebut juga dengan peraturan kebijakan (beleidsregels), maka dipastikan pemerintah akan bersifat kaku dalam menghadapi segala persoalan dalam masyarakat, sehingga pembangunan nasional juga terikut imbasnya yakni terjadinya stagnasi (hambatan) dalam pencapaian pembangunan nasional.
Terutama isu-isu yang berkembang yang berupaya mengkirminalisasi kebijakan publik dan terhadap pejabat yang mengambil kebijakan merupakan hal yang menakutkan dan bisa berpotensi menimbulkan kemunduran bangsa. Padahal diketahui, bahwa kebijakan tersebut adalah bagian dari suatu sistem pembangunan nasional.
Marwan Effendy dengan tegas menyatakan jika seorang pejabat pemerintah takut mengambil suatu kebijakan, maka roda pemerintahan tidak akan berjalan sebagaimana yang diharapkan. Lebih-lebih jika kegiatan tersebut terkait dengan bisnis, maka akan berdampak terhadap investasi kalau khawatir kebijakan tersebut terjerat pidana.

Senin, 27 Oktober 2014


ASAS-ASAS DAN PRINSIP-PRINSIP DASAR ASURANSI

Oleh:
Bisdan Sigalingging, SH, MH
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara)
Emai:
bilqisadzkia@gmail.com
bisdansigalingging@yahoo.com




Asas-Asas Perjanjian Asuransi
Pengaturan asuransi dalam KUH Perdata terdapat pada Buku III tentang Perikatan yaitu pada bab I, bab II, bab III, bab IV, bab V, dan bab XV. Pengaturan asuransi dalam buku III KUH Perdata tersebut mengandung aturan mengenai syarat-syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Pengaturan asuransi dalam buku III juga mengandung 4 (empat) asas penting yaitu asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas pacta sunt servanda, asas itikad baik, dan asas kepribadian.
Asas kebebasan berkontrak freedom of contract) ditentukan pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk: membuat atau tidak membuat perjanjian, mengadakan perjanjian dengan siapa pun, menentukan isis perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, serta menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.
Tetapi asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) bukan berarti bebas sebebas-bebasnya. Konsekuensi asas ini adalah dilarang membuat kontrak yang bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku atau kesusilaan atau ketertiban umum, maka akan mengakibatkan kontrak tersebut menjadi batal demi hukum atau dapat dibatalkan.
Asas konsensualisme terkandung di dalam Pasal 1320 KUH Perdata sebagaimana telah dijelaskan di muka, bahwa asas ini menentukan kata sepakat antara para pihak yang berkontrak khususnya dalam perjanjian asuransi. Herlien Budionon mengatakan terkait asas konsensualisme ini bahwa perjanjian pada pokoknya dapat dibuat bebas tidak terikat bentuk dan tercapai tidak secara formal tetapi cukup melalui konsensus belaka.
Asas pacta sunt servanda terkandung di dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, menentukan, “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi mereka yang membuatnya sebagai undang-undang”. Dalam pasal ini terkandung asas asas pacta sunt servanda, asas kebebasan berkontrak, dan asas kepastian hukum. Kepastian hukum dalam pasal ini berarti janji harus ditepati.
Asas itikad baik (good faith) tersurat dengan tegas (eksplisit) di dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, menentukan, “suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Sependapat dengan Mariam Darus, bahwa asas itikad baik pada Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata ini sebagai penyeimbang dari asas pacta sunt servanda yang terkandung dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Sehingga dengan gabungan kedua asas ini memberikan perlindungan pada pihak yang lebih lemah sehingga kedudukan para pihak dalam perjanjian asuransi yaitu antara penanggung dan tertanggung menjadi seimbang.
Asas kepribadian terkandung dalam Pasal 1315 KUH Perdata, menentukan, “pada umumnya tak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri”. Asas yang terkandung dalam pasal ini mengisyaratkan bahwa perjanjian antara para pihak hanya berlaku mengikat bagi kedua belah pihak saja (mereka saja).

Prinsip Itikad Baik (good fait)
Praktik asuransi sebagai suatu sarana pengendalian risiko telah berkembang selama bertahun-tahun, sehingga telah menjadi suatu ilmu pengetahuan yang semakin rumit dan butuh pengkajian lebih dalam. Ilmu asuransi telah dikembangkan melalui berbagai cara, sarana, dan teknis perasuransian yang mencakup bidang-bidang dokumentasi, penjaminan (underwriting), pemasaran, klaim, dan sebagainya.
Agar pengetahuan teoritis maupun kemampuan teknis mengenai perasuransian dan penerapannya bisa dikuasai harus berpedoman pada prinsip-prinsip yang dianut dalam kegiatan perasuransian. Prinsip-prinsip dasar tersebut antara lain adalah: prinsip itikad baik (good faith), kepentingan yang dapat diasuransikan (insurable interest), prinsip ganti rugi atau pemberian ganti rugi atas kerusakan atau kehilangan (indemmity), prinsip pengaliharn risiko.
Pemahaman itikad baik (good faith) berasal dari basaha Latin uberrimai fides yang dapat diterjemahkan dengan itikad baik, itikad yang amat baik (utmost good faith) bahkan ada yang menerjemahkannya sebagai kejujuran yang sempurna. Dalam melaksanakan perjanjian, peran itikad baik sungguh memiliki arti yang sangat penting sekali. Pengertian itikad baik (good faith) adalah sikap batiniah ketika melaksanakan hubungan hukum dengan penuh tanggung jawab dijalankan.
Subekti menyebutkan itikad baik sebagai suatu sendi yang terpenting dalam hukum perjanjian, sehingga dapat dikatakan sebagai landasan utama untuk dapat melaksanakan suatu perjanjian dengan sebaik-baiknya dan sebagaimana mestinya. Itikad baik dapat dilaksanakan pada saat mengadakan hubungan hukum dalam perjanjian dan pada saat melaksanakan hak dan kewajiban yang timbul dari hubungan hukum tersebut.
Itikad baik pada saat melakukan hubungan hukum dalam perjanjian merupakan wujud dari dalam hati sanubari para pihak. Persyaratan yang dilakukan untuk mengadakan hubungan hukum secara sah menurut hukum sudah terpenuhi seluruhnya. Seseorang yang hendak membeli suatu barang, dalam sanubarinya mengira bahwa penjual barang tersebut benar-benar sebagai pemiliknya. Jika kemudian hari ternyata penjual barang tersebut bukan pemilik yang sesungguhnya atas barang yang diperjualbelikan, maka pembeli tersebut merupakan pembeli yang beritikad baik. Oleh karena dilakukan dengan itikad baik, maka pembeli tersebut dilindungi oleh hukum.
Namun harus dipahami bahwa perkiraan pembeli pada ilustrasi di atas bukanlah perkiraan yang sembarangan. Perkiraan tersebut harus merupakan perkiraan yang benar-benar meyakinkan yaitu perkiraan yang didasarkan pada kepantasan dalam masyarakat, dan kepantasan itu harus diukur secara objektif atau kepatuhan dan kepatutan, bukan subjektif.
Itikad baik dilaksanakan pada saat melaksanakan hak dan kewajiban yang timbul dari hubungan hukum terletak pada hati sanubari manusia. Pelaksanaan perjanjian selalu mengingatkan para pihak untuk mengindahkan norma keputusan dan keadilan, dengan menjauhkan diri dari perbuatan yang mungkin menimbulkan kerugian terhadap pihak lain.
Itikad baik erat kaitannya dengan sikap sanubari seseorang dalam melaksanakan suatu hubungan hukum, oleh karena itu, peratnggungjawaban itikad baik secara bathiniah adalah melaksanakan tanggung jawab yang didasarkan kepada tanggung jawab hukum dan moral. Itikad baik berarti menempatkan kejujuran pada derajat yang tinggi (high degree).
Dengan itikad baik tersebut, perusahaan asuransi dalam menjalankan usahanya sebagai penjual polis dilindungi dari kemungkinan adanya kesalahan informasi yang diberikan oleh calon tertanggung mengenai objek pertanggungan yang jika penanggung (perusahaan asuransi) mengetahuinya pada prinsipnya pertanggungan itu tidak pantas diterimanya. Prinsip itikad baik di sini dikenal dengan caveat vendor yaitu penjual yang harus dilindungi.
Prinsip itikad baik ini ternyata ditemukan dalam Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) yang menentukan:
Setiap keterangan yang keliru, atau tidak benar, ataupun setiap orang tidak memberitahukan hal-hal yang diketahui oleh si tertanggung betapapun itikad baik ada padanya. Yang demikian sifatnya, sehingga seandainya sipenanggung telah mengetahui keadaan yang sebenarnya, perjanjian itu tidak akan ditutup, atau tidak ditutup dengan syarat-syarat yang sama, mengakibatkan batalnya pertanggungan.
Prinsip itikad baik tersebut berlainan pula dengan prinsip perdagangan pada umumnya di mana dalam perdagangan pada umumnya berlaku prinsip atau doktrin caveat emptor (let the buyer beware). Prinsip ini menentukan bahwa pembelilah yang seharusnya berhati-hati sebelum melakukan pembelian atas suatu barang dan atau jasa. Prinsip ini dapat ditemukan dalam The Sale of Goods Act 1979, Mispresentation Act 1967, The Supplay of Goods Act 1973, dan The Unfair Contract Act 1977 yang bersumber dari sistim hukum anglo saxion atau common law system dari Inggris.
Pada hakikatnya, kedua belah pihak tetap bertanggung jawab penuh untuk melaksanakan setiap hubungan hukum dalam perdagangan. Kewajiban masing-masing pihak baik penjual maupun pembeli dilaksanakan secara bertanggung jawab. KUH Perdata menentukan:
Sipenjual diwajibkan menanggung terhadap cacat tersembunyinya pada barang yang dijual, yang membuat barang itu tak sanggup untuk pemakaian yang dimaksudkan, atau yang demikian mengurangi pemakaian sehingga, seandainya sipembeli mengetahui cacat itu, ia sama sekali tidak akan membelinya selain dengan harga yang kurang…(vide: Pasal 1504 KUH Perdata).
Sipenjual tidak diwajibkan menanggung terhadap cacat yang kelihatan, yang dapat diketahui sendiri oleh si pembeli. (vide: Pasal 1505 KUH Perdata). Kemudian ditentukan: Ia diwajibkan menanggung terhadap cacat yang tersembunyi, meskipun ia, sendiri tidak mengetahui tentang adanya cacat itu, kecuali jika ia dalam hal yang demikian, telah meinta diperjanjikan bahwa ia tidak diwajibkan menanggung sesuatu apa. (vide: Pasal 1506 KUH Perdata).
Ketentuan tersebut di atas merupakan ketentuan yang bermaksud untuk melindungi kepentingan pembeli atau konsumen. Dengan demikian jelas bahwa prinsip dalam perdagangan secara umum mengenai prinsip itikad baik tidak sama dengan prinsip yang dianut dalam perasuransian.
Prinsip itikad baik dalam kegiatan perasuransian, dapat diterapkan dalam praktiknya, seperti penerapan berikut ini:
  1. Perjanjian pertanggungan batal demi huku jika setelah perjanjian pertanggungan ditandatangani ternyata ditemukan ketentuan-ketentuan yang tidak benar, maka si penanggung harus membatalkan perjanjian pertanggungan tersebut kecuali ketentuan yang tidak benar itu terjadi karena tanpa disengaja.
  2. Pihak perusahaan asuransi (penanggung) harus menjelaskan secara lengkap dan benar kepada tertanggung mengenai kondisi pertanggungan.
Perjanjian pertanggungan harus dibatalkan (melalui para pihak khususnya perusahaan asuransi) atau dapat dibatalkan (melalui pengadilan) jika terdapat hal-hal seperti tidak mengungkapkan informasi secara benar dan lengkap atau menyembunyikan fakta atau pengingkaran secara keliru ataupun perusahaan asuransi dengan sengaja memberikan informasi yang tidak benar kepada tertanggung.
Informasi yang dimaksud adalah informasi materil yang penting dan dapat menyebabkan ditolaknya suatu permohonan pertanggungan atau diterima tetapi dengan syarat-syarat pertanggungan dengan premi yang berbeda melalui kesepakatan ulang. Tidak semua informasi merupakan informasi materil dan tidak mudah pula menentukan suatu informasi yang materil itu. Hal ini juga menjadi persoalan penting dalam pertanggungan. Secara umum bahwa informasi materil itu adalah informasi yang seharusnya diperoleh baik pihak penanggung maupun pihak tertanggung dan dapat berpengaruh terhadap kegiatan pertanggungan.

Prinsip Kepentingan yang dapat Diasuransikan (insurable interest)
Prinsip kepentingan yang dapat diasuransikan (insurable interest) atau lebih tepat disebut kepentingan finansial yang dapat diasuransikan. Jika seseorang memiliki kepentingan atau interest dengan suatu perusahaan asuransi maka secara finansial seseorang tersebut memiliki ketertarikan untuk mengasuransikan terhadap perusahaan tersebut.
Sehingga prinsip ini dapat dipahami bahwa prinsip kepentingan yang dapat diasuransikan (insurable interest) bahwa hak yang sah dimiliki oleh seseorang untuk mempertanggungkan kepentingan keuangannya pada objek pertanggungan. Sehingga jika terjadi suatu peristiwa merugikan yang menimpa objek pertanggungan, tertanggung akan mengalami kerugian keuangan. Mengasuransikan harta benda tanpa didukung dengan insurable interest sama halnya dengan perjudian yang tidak memiliki kekuatan hukum. Singkatnya prinsip insurable interest ini sesungguhnya memiliki relevansi dengan prisinp itikad baik yakni harus memiliki keinginan dan keinginan itu harus dilaksanakan dengan kejujuran dan kepatutan.

Prinsip Pengalihan Risiko
Risiko adalah suatu kondisi yang mengandung kemungkinan terjadinya penyimpangan yang lebih buruk dari hasil penerapan. Isitilah risiko memiliki berbagai pengertian dalam bisnis dan dalam kehidupan sehari-hari. Pada tingkatan yang paling umum, istilah risiko dipergunakan untuk menggambarkan keadaan di mana terdapat ketidakpastian tentang hasil apa yang akan timbul.
Asuransi dilakukan untuk meminimalisasi kerugian, guna untuk menanggulangi ketidakpastian terhadap kerugian yang bersifat spekulatif, yang dapat terjadi karena ketidakpastian peristiwa atau tidak terjadinya suatu peristiwa. Pihak yang mengalihkan risiko adalah masyarakat atau pihak tertanggung sedangkan perusahaan asuransi bertindak sebagai penjaminan pengalihan risiko tersebut.
Prinsip pengalihan risiko ini seminimal mungkin risiko didistribusi. Itu sebabnya asuransi sering dianggap sebagai alat atau sarana pembagian risiko (risk sharing device). Asuransi merupakan suatu bentuk penyebaran risiko yang kemungkinan akan terjadi atau yang lebih tepat disebut sebagai alat pengalihan risiko.
Prinsip ini diilustrasikan misalnya dalam hal perusahaan manufactur (pihak tertanggung) membayar premi kepada untuk jaminan asuransi akan menjadi biaya tetap bagi bisnisnya yang akan diperhitungkan dalam komponen biaya perusahaan, maka dalam hal ini akan tercermin dalam harga yang dikenakan atas barang yang diproduksinya. Biaya klaim lalu dibagi antara semua pembeli barang yang dijualnya yang memungkinkan suatu risiko dapat disebarkan (didistribusikan) secara luas.
Jika dikaitkan dengan tujuan dan fungsi asuransi dalam hal melaksanakan prinsip pengalihan risiko simaksud, maka sesungguhnya terdapat pula sebuah prinsip di sini bahwa tujuan dan fungsi asuransi bagi penanggung dan tertanggung berlaku pula prinsip the losses of a few are borne by a group maksud prinsip ini adalah bahwa dalam bisnis asuransi tidak semua peserta akan mengalami kerugian atau kehilangan pada waktu yang sama maupun pada waktu yang berbeda tetapi klaim yang diajukan oleh sebahagian dari peserta asuransi ditanggung oleh seluruh peserta asuransi yang lain.
Dengan prinsip the losses of a few are borne by a group ini perusahaan asuransi tidak akan dirugikan atau pailit jika ada klaim dari pihak tertanggung, karena dalam suatu kejadian yang dikalim tertanggung tersebut, semua peserta atau tertanggung yang lainnya juga ikut berpartisipasi secara tidak langsung membiayai klaim tersebut. Secara tidak langsung disebut karena tertanggung yang lain telah memberikan premi yang terus-menerus dikumpulkan oleh perusahaan asuransi dan perusahaan asuransi tersebut dipastikan tetap memperoleh keuntungan dari premi.
Kecuali jika terjadi risiko inti (core risk), sebab core risk ini adalah risko yang terjadi karena kegagalan strategi bisnis dan investasi serta salah kelola (mismanagement) dan kegagalan ini potensial mengakibatkan munculnya tuntutan pihak ketiga untuk mempailitkan perusahaan asuransi. Sedangkan risiko perusahaan asuransi yang diperlukan klaim asuransi adalah terjadi karena risiko bisnis yang murni disebabkan karena peristiwa yang tidak pasti.

Kamis, 23 Oktober 2014


PENGERTIAN KREDITOR

Oleh:
Bisdan Sigalingging, SH, MH
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara)
Emai:
bilqisadzkia@gmail.com
bisdansigalingging@yahoo.com

Istilah kreditor memiliki padanan kata dengan creditor di mana istilah creditor ini berasal dari kata credit (kredit) dari Bahasa Latin yaitu credo yang berarti “saya percaya”, dikombinasi dengan Bahasa Sanskerta yaitu cred yang berarti “kepercayaan”. Kemudian juga kata creditor dikombinasi dengan akhiran or (Bahasa Inggris) yang berarti menyebutkan pada orangnya atau pihak atau lembaga yang memberikan kepercayaan.
Atas dasar kepercayaan, kreditor memberikan sejumlah uang atau jasa kepada seseorang debitor yang memerlukan dengan syarat debitor tersebut membayar kembali atau memberikan penggantinya dalam suatu jangka waktu yang telah diperjanjian. Namun perjanjian dimaksud dalam pengertian ini belum menunjukkan suatu makna yuridis, sebab perjanjian akan dapat mengikat dan memberikan kepastian hukum, bila perjanjian itu dilakukan dengan cara tertulis.
Pengertian kreditor dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah penyebutan kepada pihak yang memberi utang atau orang atau lembaga yang berpiutang sedangkan debitor adalah orang atau lembaga yang menerima utang atau berutang kepada kreditor. Dalam Kamus Hukum disebut dengan istilah crediteur yang pada prinsipnya tetap mengandung arti kreditor yaitu pihak yang berpiutang. Kreditor dan debitor dapat berbentuk pihak orang perorangan, lembaga atau organisasi, atau perusahaan maupun pemerintah.
Pengertian kreditor dalam Black’s Law Dictionary diartikan dengan creditor yaitu: “A person to whom a debt is owing by another person who is the debtor. Pengertian kreditor di sini hanya ditujukan pada orang, belum menunjukkan pada suatu badan atau lembaga. Tetapi pengertian ini telah mengarah pada suatu subjek hukum yang memberikan utang kepada debitor. Sedangkan kreditor itu adalah orang yang memiliki piutang atau tagihan.
Pengertian kreditor secara yuridis ditentukan dalam Pasal 1 angka 2 UUK dan PKPU yang ditentukan berikut, “Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan”. Sedangkan debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan (Pasal 1 angka 3 UUK dan PKPU) dan yang dimaksud dengan debitor pailit adalah debitor yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan (Pasal 1 angka 4 UUK dan PKPU).
Berdasarkan ketentuan yuridis tersebut di atas juga tidak disebutkan sama sekali tentang perjanjian itu dilakukan secara tertulis. Walaupun demikian, UUK dan PKPU tidak dengan tegas menentukan perjanjian tertulis antara kreditor dan debitor, tetapi dalam praktiknya perjanjian utang piutang antara kreditor dan debitor selalu dilakukan dengan cara tertulis, dengan tujuan untuk kepastian hukum bagi para pihak.
Kreditor memiliki tagihan kepada pihak lain yaitu debitor atas utang-utang debitor yang telah diperjanjikan sebelumnya antara kreditor dan debitor di mana kreditor telah memberikan kredit atau pinjaman kepada pihak debitor. Lilik Mulyadi mengatakan, kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan. Di mana kreditor yang dimaksud dapat bersifat perorangan atau badan hukum.


UPAYA PERDAMAIAN DALAM HUKUM KEPAILITAN

Oleh:
Bisdan Sigalingging, SH, MH
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara)
Emai:
bilqisadzkia@gmail.com
bisdansigalingging@yahoo.com

UUK dan PKPU memberikan peluang bagi debitor maupun kreditor untuk mengajukan upaya perdamaian. Upaya perdamaian (accord) dapat diajukan oleh salah satu pihak guna mengakhiri suatu perkara yang sedang berjalan atau mencegah timbulnya suatu perkara. Perdamaian (accord) dalam kepailitan diartikan sebagai suatu perjanjian perdamaian antara debitor pailit dengan para kreditor. Debitur pailit berhak untuk menawarkan perdamaian kepada seluruh kreditor berpiutangnya bersama-sama.
Dalam berbagai literatur yang membahas tentang kepailitan tidak ada keseragaman dalam menggunakan istilah padanan kata dari perdamaian. Ada yang menggunakan istilah accord, ada yang menggunakan accoord, ada yang menggunakan istilah akor (akkoord), ada yang menggunakan istilah akur. Tetapi menurut Zainal Asikin istilah asli dari perdamaian adalah accoord.
Steven R. Schuit dalam bukunya berjudul “Dutch Business Law” menggunakan istilah composition untuk accoord yang diartikannya sebagai persetujuan untuk pembayaran utang. Sedangkan di dalam Kamus Umum Bahasan Indonesia oleh WJS Poerwadarminta, akor atau akur diartikan dengan cocok, sesuai, dan setuju.
Sedangkan akor atau akur atau accoord dalam hukum kepailitan diartikan oleh Vollmar, sebagai suatu perjanjian perdamaian antara si pailit (debitor) dengan para kreditor di mana diadakan suatu ketentuan bahwa si pailit (debitor) dengan membayar suatu prosentase tertentu dari utangnya, maka ia akan dibebaskan untuk membayar sisanya.
Penggunaan istilah perdamaian yang berbeda-beda, pengertiannya juga ditemukan dalam buku Sunarmi yang berjudul “Hukum Kepailitan”, menurutnya ada dua pengertian dari accord. Yaitu pertama, accord yang ditawarkan pada saat verifikasi dalam kepailitan dan kedua, accord yang ditawarkan dalam PKPU yaitu sebelum debitor dinyatakan pailit.
Dalam Black’s Laws Dictionary, pengertian accord diartikan sebagai:
An agreement between two persons, one of the whom has a right of action against the other, to settle the dispute. In a debtor/creditor relationship, an agreement between the parties to settle a dispute for same partial payment. It is called an accord because the creditor has a right of action against the debtor. Dalam pengertian lain accord diartikan dalam praktek sebagai, “to agree or concur, as one judge with another”.
Dari pengertian dalam Black’s Law Dictionary tersebut, accord dapat diartikan sebagai sebuah perjanjian antara dua orang, yang salah satunya memiliki hak tindakan terhadap yang lain, untuk menyelesaikan perselisihan tersebut. Dalam hubungan debitor dan kreditor, membuat kesepakatan antara pihak untuk menyelesaikan sengketa pembayaran utang, di mana karena kreditur memiliki hak bertindak terhadap debitor.
Dari pengertian-pengertian accord tersebut di atas memberikan makna bahwa walaupun debitor telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga melalui putusannya, namun bagi si pailit (debitor) masih diberikan kesempatan oleh undang-undang untuk mengajukan rencana perdamaian dengan para kreditornya. Perdamaian dalam proses kepailitan berbeda dengan perdamaian dalam hukum acara perdata biasa. Perdamaian dalam hukum acara perdata biasa tidak terikat formulanya dan bisa dilakukan sendiri oleh para pihak tanpa campur tangan pengadilan, tetapi perdamaian dalam proses kepailitan terjadi dalam proses perkara kepailitan melalui hakim pengawas.
Demikian pula perdamaian dalam pemberesan harta pailit berbeda karakteristiknya dengan perdamaian dalam PKPU. Perdamaian dalam kepailitan lebih mengarah pada proses penyelesaian utang-utang debitor melalui pemberesan harta pailit sedangkan perdamaian dalam PKPU lebih ditekankan pada rencana penawaran pembayaran atau melakukan restrukturisasi pembayaran utang. Dalam hal ini untuk keseragaman penggunaan istilah maka digunakan istilah accord saja.
Dasar hukum perdamaian terdapat pengaturannya di dalam Pasal 144 s/d Pasal 177 UUK dan PKPU. Pasal 144 UUK dan PKPU menentukan, “Debitor Pailit berhak untuk menawarkan suatu perdamaian kepada semua Kreditor”. Hal ini juga ditegaskan dalam Zainal Asikin bahwa penawaran perdamaian itu harus diajukan oleh si pailit (debitor pailit) kepada kurator atau kepada Balai Harta Peninggalan, paling lambat 8 (delapan) hari sebelum rapat verifikasi (rapat pencocokan piutang).
Beberapa ketentuan menyangkut rencana perdamaian dalam UUK dan PKPU diuraikan berikut ini. Ketentuan dalam Pasal 145 UUK dan PKPU menentukan:
a.       Apabila Debitor Pailit mengajukan rencana perdamaian dan paling lambat 8 (delapan) hari sebelum rapat pencocokan piutang menyediakannya di Kepaniteraan Pengadilan agar dapat dilihat dengan cuma-cuma oleh setiap orang yang berkepentingan, rencana perdamaian tersebut wajib dibicarakan dan diambil keputusan segera setelah selesainya pencocokan piutang, kecuali dalam hal yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147.
b.      Bersamaan dengan penyediaan rencana perdamaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di Kepaniteraan Pengadilan maka salinannya wajib dikirimkan kepada masing-masing anggota panitia kreditor sementara.
Pasal 146 UUK dan PKPU menentukan bagi kurator dan panitia kreditor sementara masing-masing wajib memberikan pendapat tertulis tentang rencana perdamaian dalam rapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 UUK dan PKPU. Pembicaraan dan keputusan mengenai rencana perdamaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 UUK dan PKPU, ditunda sampai rapat berikut yang tanggalnya ditetapkan oleh Hakim Pengawas paling lambat 21 (dua puluh satu) hari kemudian yang Pasal 147 UUK dan PKPU ditunda dalam hal:
  1. Apabila dalam rapat diangkat panitia kreditor tetap yang tidak terdiri atas orang-orang yang sama seperti panitia kreditor sementara, sedangkan jumlah terbanyak Kreditor menghendaki dari panitia kreditor tetap pendapat tertulis tentang perdamaian yang diusulkan tersebut; atau
  2. Rencana perdamaian tidak disediakan di Kepaniteraan Pengadilan dalam waktu yang ditentukan, sedangkan jumlah terbanyak Kreditor yang hadir menghendaki pengunduran rapat.
Kemudian dalam Pasal 148 UUK dan PKPU menentukan:
Dalam hal pembicaraan dan pemungutan suara mengenai rencana perdamaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147 ditunda sampai rapat berikutnya, Kurator dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal rapat terakhir harus memberitahukan kepada Kreditor yang diakui atau Kreditor yang untuk sementara diakui yang tidak hadir pada rapat pencocokan piutang dengan surat yang memuat secara ringkas isi rencana perdamaian tersebut.
Kemudian dalam Pasal 149 UUK dan PKPU ditentukan:
  1. Pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya dan Kreditor yang diistimewakan, termasuk Kreditor yang mempunyai hak didahulukan yang dibantah, tidak boleh mengeluarkan suara berkenaan dengan rencana perdamaian, kecuali apabila mereka telah melepaskan haknya untuk didahulukan demi kepentingan harta pailit sebelum diadakannya pemungutan suara tentang rencana perdamaian tersebut.
  2. Dengan pelepasan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mereka menjadi Kreditor konkuren, juga dalam hal perdamaian tersebut tidak diterima.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, diketahui bahwa upaya perdamaian hanya berlaku terhadap kreditor konkuren (bersaing). Menurut Sunarmi hanya kreditor konkurenlah yang berhak untuk mengeluarkan suara terhadap rencana perdamaian yang ditawarkan oleh debitor pailit. Kreditor separatis, kreditor preferen dengan hak untuk didahulukan tidak berhak memberikan suaranya dalam rapat tentang rencana perdamaian tersebut.
Jika kreditor separatis dan kreditor preferen memberikan suaranya dalam rapat rencana perdamaian, maka berarti bahwa kreditor tersebut telah melepaskan hak-hak istimewanya sebagaimana dalam KUH Perdata dan selanjutnya berubah menjadi kreditor konkuren, meskipun jika pada akhirnya rencana perdamaian tersebut tidak diterima, kreditor ini tetap menjadi kreditor konkuren.
Sebagaimana telah disinggung mengenai rencana perdamaian di atas, bahwa yang menawarkan perdamaian dalam kepailitan harus lah dari pihak si pailit (debitor pailit). Diajukannya rencana perdamaian ini oleh debitor pailit, disebabkan oleh karena kemungkinan alasan-alasan berikut ini:
a.       Mungkin debitor pailit menawarkan kepada kreditornya bahwa ia akan membayar (sanggup membayar) dalam jumlah tertentu dari utangnya (tidak dalam jumlah keseluruhannya).
b.      Mungkin debitor pailit akan menawarkan akor likuidasi (liquidatie accord) di mana debitor pailit menyediakan hartanya bagi kepentingan para kreditornya untuk dijual di bawah pengawasan seorang pengawas (pemberes), dan hasil penjualannya dibagi untuk para kreditor. Jika hasil penjualan itu tidak mencukupi, maka debitor pailit dibebaskan dari dalam hal membayar sisa utang yang belum terbayar.
c.       Mungkin debitor pailit menawarkan untuk meminta penundaan pembayaran dan diperbolehkan mengangsur utangnya untuk beberapa waktu.
Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa dalam pengajuan perdamaian pada PKPU berbeda dengan pengajuan perdamaian dalam kepailitan. Perbedaan perdamaian antara perdamaian pada PKPU dan perdamaian pada kepailitan dapat dilihat dari segi waktu, penyelesaian, syarat penerimaan, dan kekuatan mengikat. Dari segi waktu, perdamaian pada PKPU diajukan diajukan pada saat atau setelah permohonan PKPU sedangkan perdamaian pada kepailitan diajukan setelah adanya putusan pailit dari majelis hakim pengadilan niaga.
Dari segi penyelesaian, pembicaraan penyelesaian perdamaian dilakukan pada sidang pengadilan yang memeriksa permohonan PKPU sedangkan perdamaian pada kepailitan dibicarakan pada saat verifikasi (rapat pencocokan piutang) yaitu setelah adanya putusan pailit. Dari segi syarat penerimaan, syarat penerimaan perdamaian pada PKPU harus disetujui 2/3 jumlah kreditor yang diakui dan mewakili 3/4 dari jumlah piutang. Sedangkan perdamaian dalam kepailitan harus disetujui oleh 1/2 kreditor konkuren yang mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) dari jumlah seluruh piutang konkuren yang diakui.
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 151 UUK dan PKPU yang menentukan syarat berikut ini:
Rencana perdamaian diterima apabila disetujui dalam rapat Kreditor oleh lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah kreditor konkuren yang hadir dalam rapat dan yang haknya diakui atau yang untuk sementara diakui, yang mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) dari jumlah seluruh piutang konkuren yang diakui atau yang untuk sementara diakui dari kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut.
Selanjutnya dalam Pasal 152 UUK dan PKPU ditentukan pula syarat-syarat dalam hal:
  1. Apabila lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah Kreditor yang hadir pada rapat Kreditor dan mewakili paling sedikit 1/2 (satu perdua) dari jumlah piutang Kreditor yang mempunyai hak suara menyetujui untuk menerima rencana perdamaian maka dalam jangka waktu paling lambat 8 (delapan) hari setelah pemungutan suara pertama diadakan, diselenggarakan pemungutan suara kedua, tanpa diperlukan pemanggilan.
  2. Pada pemungutan suara kedua, Kreditor tidak terikat pada suara yang dikeluarkan pada pemungutan suara pertama.
Dari segi kekuatan mengikat perdamaian pada PKPU berlaku pada semua kreditor sedangkan perdamaian pada kepailitan hanya berlaku bagi kreditor konkuren saja. Apakah perdamaian bisa dilakukan setelah adanya putusan MA yang menolak kasasi debitor pailit? Pada prinsipnya UUK dan PKPU menjamin hak debitor pailit untuk dapat menawarkan suatu perdamaian kepada semua kreditor (Pasal 144 UUK dan PKPU).
Akan tetapi, rencana perdamaian itu harus diajukan oleh debitor pailit paling lambat 8 (delapan) hari sebelum rapat pencocokan piutang dengan menyediakannya di Kepaniteraan Pengadilan Niaga. Rencana perdamaian tersebut wajib dibicarakan dan diambil keputusan segera setelah selesainya pencocokan piutang (Pasal 145 ayat 1 UUK dan PKPU). Dengan kata lain, rencana perdamaian ini diajukan setelah adanya putusan pailit terhadap debitor oleh Pengadilan Niaga.
Memang debitor pailit diberikan hak untuk melakukan upaya hukum yaitu kasasi ke MA (Pasal 11 ayat 1 UUK dan PKPU), tetapi permohonan kasasi ini diajukan paling lambat 8 (delapan) hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan kasasi diucapkan, dengan mendaftarkan kepada Panitera Pengadilan yang telah memutus permohonan pernyataan pailit (Pasal 11 ayat 2 UUK dan PKPU).
Hal ini berarti rencana pengajuan perdamaian tidak lagi dapat diajukan setelah ada putusan dari MA yang menolak kasasi yang diajukan oleh debitor pailit. Karena jangka waktu untuk pengajuan rencana perdamaian telah lewat waktu. Rencana pengajuan perdamaian dalam rangka kepailitan hanya boleh dilakukan setelah putusan pailit dijatuhkan Pengadilan Niaga dan tidak boleh lewat dari 8 (delapan) hari setelah jatuhnya putusan pailit. Jadi, perdamaian tidak bisa dilakukan setelah ada putusan MA yang menolak kasasi debitor pailit.


JENIS-JENIS KREDITOR DALAM HUKUM KEPAILITAN

Oleh:
Bisdan Sigalingging, SH, MH
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara)
Emai:
bilqisadzkia@gmail.com
bisdansigalingging@yahoo.com

Dalam hukum kepailitan (UUK dan PKPU) pada penjelasan Pasal 2 ayat (1) dikenal ada 3 (tiga) jenis kreditor yaitu kreditor konkuren, kreditor separatis dan kreditor preferen. Khusus mengenai kreditor separatis dan kreditor preferen, dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan yang mereka miliki terhadap harta debitor dan haknya untuk didahulukan.
Pembagian kreditor dalam kepailitan sesuai dengan prinsip structured creditors atau prinsip structured prorata yang diartikan sebagai prinsip yang mengklasifikasikan atau mengelompokkan berbagai macam kreditur sesuai dengan kelasnya masing-masing antara lain kreditur separatis, preferen, dan kongkruen. Pembagian hasil penjualan harta pailit, dilakukan berdasarkan urutan prioritas di mana kreditor yang kedudukannnya lebih tinggi mendapatkan pembagian lebih dahulu dari kreditor lain yang kedudukannya lebih rendah, dan antara kreditur yang memiliki tingkatan yang sama memperoleh pembayaran dengan asas prorata (pari passu prorata parte).
Sebagaimana telah disebutkan di atas, kreditor separatis adalah kreditor pemegang hak jaminan terhadap hipotek, gadai, hak tanggungan, dan jaminan fidusia. Sedangkan yang dimaksud dengan kreditor preferen adalah kreditor yang memiliki piutang-piutang yang berkedudukan istimewa (privilege) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1139 dan Pasal 1149 KUH Perdata.
Hak privilege merupakan hak istimewa yang didahulukan (dikecualikan) karena undang-undang atau ditentukan dalam perjanjian. Piutang-piutang yang pelunasannya harus didahulukan itu juga disebut dengan piutang preference atau piutang istimewa, sedangkan piutang-piutang yang pelunasannya diselesaikan menurut asas keseimbangan dinamakan piutang konkuren.
Kreditor preferen yaitu kreditor yang mempunyai hak mendahului karena sifat piutangnya oleh undang-undang diberi kedudukan istimewa. Kreditor preferen terdiri dari kreditor preferen khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 1139 KUH Perdata, dan kreditor preferen umum sebagaimana diatur dalam Pasal 1149 KUH Perdata.
Hak privilege dimaksud dalam Pasal 1134 KUH Perdata adalah suatu kedudukan istimewa dari seorang penagih (kreditor preferen) yang diberikan undang-undang berdasarkan sifat piutang. Hak privilege baru muncul jika kekayaan yang disita tidak cukup untuk melunasi semua tang. Oleh karena itu kedudukan hak privilege lebih rendah dari gadai, hak tanggungan, hipotek, dan jaminan fidusia kecuali ditentukan lain.
Kreditor konkuren adalah kreditor yang mempunyai hak mendapatkan pelunasan secara bersama-sama tanpa hak yang didahulukan, dihitung besarnya piutang masing-masing terhadap piutang secara keseluruhan dari seluruh harta kekayaan debitor. Kreditor Konkuren yaitu kreditor yang tidak termasuk dalam kreditor separatis dan kreditor preferen.
Kreditur kongkruen adalah kreditur yang biasa yang tidak dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hipotik, dan hak tanggungan dan pembayarannya dilakukan secara berimbang. Kreditur inilah yang umum melaksanakan prinsip pari passu prorata parte, pelunasan secara bersama-sama tanpa hak yang didahulukan, dihitung besarnya piutang masing-masing terhadap piutang secara keseluruhan dari seluruh kekayaan debitur.
Berdasarkan pengertian-pengertian tentang kreditor di atas disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kreditor separatis adalah kreditor yang dapat menjual sendiri benda jaminan seolah-olah tidak terjadi kepailitan, dan golongan ini dapat dikatakan sebagai kreditor yang tidak terkena akibat kepailitan. Kreditor preferen adalah golongan kreditor yang piutangnya memiliki kedudukan istimewa, memiliki hak untuk mendapat pelunasan terlebih dahulu. Kreditor konkuren adalah kreditor yang dicukupkan pembayaran piutang-piutangnya dari hasil penjualan harta pailit sesudah diambil bagian untuk kreditor separatis dan kreditor preferen.
Pengertian kreditor separatis adalah kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang memberi wewenang kepada kreditor lainnya untuk menjual secara lelang kebendaan yang dijaminkan kepadanya untuk memperoleh pelunasan dibandingkan dengan kreditor-kreditor lainnya. Kreditor separatis adalah kreditor yang memperoleh kedudukan didahulukan seperti gadai, fidusia, hak tanggungan, hipotik adalah kreditor pemegang hak jaminan kebendaan.
Pada prinsipnya kreditor separatis terdiri dari kreditor pemegang hak gadai, hipotek, hak tanggungan, dan jaminan fidusia. Pemegang gadai sebagaimana diatur dalam Pasal 1150 s/d Pasal 1160 Buku III Bab XX KUH Perdata yang diberlakukan terhadap benda-benda bergerak. Secara normatif terhadap gadai, pemberi gadai (debitor) wajib melepaskan penguasaan atas suatu benda yang dijaminkan kepada penerima gadai (kreditor).
Pemegang hipotek atas kapal yang terdaftar dengan isi kotor berukuran 20 m3 atau lebih. Aspek ini harus terdaftar di Syahbandar, dengan pendaftaran kapal tersebut merupakan kapal Indonesia (Pasal 314 KUHD). Pesawat terbang juga harus terdaftar sebagaiman ditentukan dalam Konvensi Jenewa 1948 tentang Convention on The International Recognation of Right in Aircrafts.
Hipotek diatur dalam ketentuan Pasal 1162 s/d Pasal 1232 KUH Perdata. Pada dasarnya menurut ketentuan Pasal 314 KUD kapal-kapal diberlakukan sebagai kebendaan yang tidak bergerak sehingga penjamin yang diletakkan diatasnya juga hanya dalam bentuk hipotek. Adapun bagi kapal-kapal yang tidak terdaftar, dianggap sebagai kebendaan yang bergerak dan terhadapnya berlaku ketentuan Pasal 1977 KUH Perdata berlaku bagi benda-benda bergerak yang tidak berupa bunga maupun piutang serta tidak harus dibayar kepada pembawa. Konsekuensi logisnya berarti kapal laut dengan ukuran kurang dari 20 m3 isi kotor yang tidak didaftarkan, dapat digadaikan.
Hak tanggungan diatur dalam UU No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, yang merupakan jaminan atas hak-hak atas tanah tertentu berikut kebendaan yang melekat di atas tanah tersebut. Sedangkan jaminan fidusia diatur dalam UU No.42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yang objek jaminannya berupa benda-benda yang tidak dapat dijaminkan dengan gadai, hipotek, dan hak tanggungan.
Menurut Pasal 149 ayat (1) UUK dan PKPU para kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia dan hak tanggungan atau hypotek, atau hak atas kebendaan lainnya, dan kreditor yang diistimewakan, termasuk kreditor yang mempunyai hak didahulukan yang dibantah, tidak boleh mengeluarkan suara berkenaan dengan rencana perdamaian. Dalam buku karangan Sunarmi berjudul ”Hukum Kepailitan” disebutkan ”Kreditor separatis dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit tanpa harus kehilangan hak-hak agunan atas kebendaan yang dimilikinya terhadap harta debitor termasuk hak-hak dari kreditor tersebut untuk didahulukan pembayarannya”.
Kreditor separatis yaitu kreditor pemegang jaminan kebendaan berdasarkan Pasal 1134 ayat (2) KUH Perdata yaitu Gadai dan Hipotik. Selain itu kreditor separatis juga pemegang jaminan-jaminan kebendaan yang diatur dalam UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, UU No.42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, dan juga pemegang hak dalam UU No.9 Tahun 2006 sebagaimana diubah melalui UU No.9 Tahun 2011 tentang Sistem Resi Gudang.


HAK SUARA KREDITOR SEPARATIS MEMBERIKAN PERSETUJUAN PENGAJUAN UPAYA PERDAMAIAN DALAM KEPAILITAN

Oleh:
Bisdan Sigalingging, SH, MH
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara)
Emai:
bilqisadzkia@gmail.com
bisdansigalingging@yahoo.com

Kreditor separatis memiliki hak untuk melakukan eksekusi objek jaminannya seolah-olah tanpa terjadinya kepailitan (Pasal 55 UUK dan PKPU) dan mendapatkan pembayaran piutang terlebih dahulu dari pada kreditor konkuren. Hak suara kreditor separatis dalam memberikan persetujuan pengajuan upaya perdamaian dalam kepailitan dapat diketahui dari ketentuan Pasal 149 UUK dan PKPU yaitu:
  1. Pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya dan Kreditor yang diistimewakan, termasuk Kreditor yang mempunyai hak didahulukan yang dibantah, tidak boleh mengeluarkan suara berkenaan dengan rencana perdamaian, kecuali apabila mereka telah melepaskan haknya untuk didahulukan demi kepentingan harta pailit sebelum diadakannya pemungutan suara tentang rencana perdamaian tersebut.
  2. Dengan pelepasan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mereka menjadi Kreditor konkuren, juga dalam hal perdamaian tersebut tidak diterima.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, kreditur Separatis pada prinsipnya tidak berhak mengeluarkan suara berkenaan dengan rencana perdamaian. Namun jika kreditor separatis telah melepaskan haknya sebagai kreditor separatis menjadi kreditor konkuren, maka kreditor separatis tersebut memiliki hak yang sama dengan kreditor konkuren lainnya, misalnya rencana perdamaian yang diajukan debitor tidak diterima kreditor. Kondisi seperti ini hanya akan terjadi dalam hal hak kreditor separatis untuk didahulukan dibantah dalam rapat verifikasi.
Hak suara kreditor separatis dalam memberikan persetujuan pengajuan upaya perdamaian dapat pula dilihat dari ketentuan Pasal 281 UUK dan PKPU.
  1. Rencana perdamaian dapat diterima berdasarkan:
1)      Persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah kreditor konkuren yang haknya diakui atau sementara diakui yang hadir pada rapat Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 268 termasuk Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280, yang bersama-sama mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari seluruh tagihan yang diakui atau sementara diakui dari kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut; dan
2)      Persetujuan lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah Kreditor yang piutangnya dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 (dua per tiga) bagian dari seluruh tagihan dari Kreditor tersebut atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut.
  1. Kreditor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang tidak menyetujui rencana perdamaian diberikan kompensasi sebesar nilai terendah di antara nilai jaminan atau nilai aktual pinjaman yang secara langsung dijamin dengan hak agunan atas kebendaan.
  2. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 dan Pasal 153 berlaku juga dalam pemungutan suara untuk menerima rencana perdamaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Dilihat dari sistematika UUK dan PKPU, maka ketentuan Pasal 281 UUK dan PKPU tersebut di atas adalah dalam konteks rencana perdamaian dalam konteks Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Pengaturan dalam Pasal 281 ayat (2) UUK dan PKPU tersebut mengatur proses voting di antara para kreditor untuk setuju atau tidak setuju terhadap proposal perdamaian yang diajukan oleh debitor mengenai bagaimana utang tersebut akan dibayar. Rencana perdamaian itu sendiri bisa berupa penjadwalan ulang pembayaran utang, pembayaran angsuran atau bisa juga meminta diskon atas nilai tagihan utang.
Pada intinya Pasal 281 ayat (1) UUK dan PKPU mengatur bahwa rencana perdamaian dapat diterima dengan syarat apabila dalam voting tersebut disetujui secara bersama-sama oleh: a) mayoritas kreditor konkuren yang hadir dalam rapat kreditor dan b) mayoritas kreditor separatis yang hadir dalam rapat kreditor.
Namun demikian, hal terpenting dari Pasal 281 ayat (1) huruf b UUK dan PKPU adalah adanya persetujuan dari mayoritas kreditor separatis adalah mutlak. Karena walaupun seluruh kreditor konkuren menyetujui usul perdamaian, namun jika mayoritas kreditor separatis menolak perdamaian, maka rencana perdamaian wajib ditolak. Secara logis hal tersebut dapat digambarkan bahwa debitor akan mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya jika hartanya dieksekusi oleh mayoritas kreditor separatis yang tidak menyetujui dan tidak terikat ke dalam perjanjian perdamaian.
Pada pokoknya ketentuan Pasal 282 ayat (2) UUK dan PKPU tersebut mengatur bahwa minoritas kreditor separatis yang tidak menyetujui rencana perdamaian dapat memperoleh kompensasi (penggantian) sebesar nilai terendah antara nilai jaminan atau nilai aktual pinjaman. Hal tersebut dimaksudkan dalam rangka memberikan perlindungan terhadap rencana perjanjian perdamaian yang sudah disepakati oleh debitor dan mayoritas kreditor separatis maupun konkuren sehingga jangan sampai minoritas kreditor separatis melakukan eksekusi sendiri terhadap harta debitor yang dapat mengganggu pelaksanaan perjanjian perdamaian yang telah disepakati.
Sejalan dengan kuatnya kedudukan kreditor separatis dalam menentukan hak suara terkait dengan pengajuan rencana perdamaian, disebabkan karena kedudukan kreditur separatis tersebut memang dipisahkan dari kreditur lainnya, dalam arti kreditor separatis dapat menjual sendiri dan mengambil sendiri dari hasil penjualan yang terpisah dengan harta pailit pada umumnya.
Mariam Darus Badrulzaman menyebutkan kreditur separatis sebagai kreditur yang diistimewakan pembayarannya, kedudukan kreditur separatis memiliki hak yang terpisah dari kreditur preferen lainnya yaitu piutangnya dijamin dengan hak kebendaan. Menurut Sudargo Gautama, “kreditor separatis ini dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Karenanya dianggap separatis (berdiri sendiri). Menurut Munir Fuady, kedudukan kreditur separatis sangat tinggi, lebih tinggi dari kreditur yang diistimewakan lainnya.
Para kreditor (penagih) yang piutangnya ditanggung dengan hak gadai, hipotek, hak tanggungan, dan jaminan fidusia atau disebut dengan para kreditor separatis dan yang mempunyai kedudukan istimewa (privilege) tidak dibenarkan mengeluarkan hak suaranya, karena pembayaran piutang para kreditor separatis selalu terjamin.