Jumat, 26 Juni 2015


LEGALITAS KLAUSULA EKSONERASI
DALAM PERJANJIAN

Ditulis oleh:
Bisdan Sigalingging, SH, MH
Dosen Fakultas Hukum (Hukum Bisnis)
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

Adagium hukum yang menyatakan “fiat justitia et pereat mundus” tidak mesti harus dipandang dengan sebelah mata melainkan harus pula diimbangi dengan adagium “fiat justitia ruat coelum”. Hukum tidak wajib ditegakkan meskipun langit akan runtuh, tetapi keadilan lah yang mesti ditegakkan meskipun langit akan runtuh. Menegakkan keadilan merupakan hal yang paling esensi daripada menegakkan hukum, karena keadilan hukum belum tentu mampu memberikan rasa adil kepada setiap pencari keadilan.
Filsafat keadilan menurut Bisdan Sigalingging, SH, MH

Pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian baku telah menjadi fenomena menarik untuk dikaji. Secara yuridis perbuatan yang mencantumkan klausula eksonerasi di dalam suatu perjanjian merupakan perbuatan yang dilarang, namun pencantuman itu sering kali terjadi dalam praktik perjanjian. Sebahagian pelaku usaha cenderung mencantumkan klausula eksonerasi dalam format (formulir) perjanjian baku.
Eksonerasi (exoneration) adalah membebaskan seseorang atau badan usaha dari suatu tuntutan atau tanggung jawab hukum. Berarti klausula ini mengecualikan kewajiban atau tanggung jawab di dalam perjanjian. Klausula eksonerasi yang dicantumkan dalam perjanjian bilamana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya dengan membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melawan hukum, sehingga dapat membebaskan atau membatasi tanggung jawab salah satu pihak, padahal menurut hukum, tanggung jawab tersebut mestinya dibebankan kepadanya.
Memperhatikan pengertiannya saja sudah jelas-jelas secara hukum tidak memenuhi rasa keadilan dan tidak memenuhi asas proporsionalitas (asas keseimbangan) serta bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak sesuai Pasal 1338 KUH Perdata. Hukum perjanjian di Indonesia menganut asas kebebasan berkontrak, bukan justru dibuat pembatasan-pembatasan tanggung jawab oleh salah satu pihak yang seharusnya dilaksanakan oleh pihak tersebut.
Keseimbangan merupakan asas hukum yang menyatakan suatu kondisi dalam keadaan seimbang (evenwicht) yang menunjuk pada makna suatu keadaan pembagian beban di kedua sisi berada dalam keadaan seimbang. Keadaan hening atau keselarasan dari berbagai hak dan kewajiban tidak satupun mendominasi yang lainnya, atau tidak satupun elemen yang menguasai elemen lainnya, berarti kondisi yang tidak seimbang dalam pembagian hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian merupakan larangan dan bertentangan dengan asas ini.
Larangan pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian baku dapat ditemui dalam Pasal 18 UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Klausula baku mengandung syarat-syarat baku sekaligus merupakan aturan bagi para pihak yang terikat didalamnya dan telah dipersiapkan terlebih dahulu untuk dipergunakan oleh salah satu pihak tanpa negosiasi dengan pihak yang lain. Tujuan larangan pencantuman klausula baku sesuai Pasal 18 UUPK untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak.
Tujuan larangan pencantuman klausula eksonerasi karena berupaya membebaskan atau membatasi tanggung jawab salah satu pihak terhadap gugatan pihak lain dalam hal yang bersangkutan tidak melaksanakan kewajibannya. Bila kondisi ini terjadi maka posisi kedudukan konsumen dan pelaku usaha tidak lagi setara sesuai asas kebebasan berkontrak, seharusnya para pihak bebas menentukan klausula dalam perjanjian, pihak yang satu tidak boleh menekan pihak lain, harus sama-sama merasa puas dengan perjanjian yang dibuat. Menurut asas kebebasan berkontrak idealnya para pihak yang terikat dalam perjanjian berada dalam posisi tawar yang seimbang antara satu sama lain.
Pencantuman klausula eksonerasi dalam praktik ramai terjadi, bukan saja terjadi bagi para pihak yang melakukan perjanjian, namun dalam kehidupan sehari-hari yakni dalam kegiatan perdagangan, perjanjian baku sering mengandung klausula eksonerasi itu dicantumkan misalnya di dalam form perjanjian yang ditawarkan oleh perusahaan-perusahaan kepada masyarakat, seperti dalam penjualan tiket-tiket pesawat angkutan penumpang udara, perusahaan pengangkutan laut maupun transportasi darat, perusahaan lising (leasing corporate), perusahaan perbankan, perusahaan asuransi, kegiatan pinjam-meminjam uang, dan lain-lain, semua kesepakatan dicantumkan dalam bentuk klausula baku, ada yang sudah terlebih dahulu dibuat dalam bentuk formulir dan adapula yang dibuat dengan cara bernegosiasi langsung di antara para pihak.
Secara hukum walaupun klausula eksonerasi dilarang, namun dalam praktik perdagangan dalam perjanjian/kontrak baku tidak jarang ditemukan pencantuman klausula eksonerasi yang bersifat baku yang ujung-ujungnya untuk menguntungkan bagi pihak yang memiliki posisi tawar (bargaining position) yang kuat di dalam perjanjian/kontrak.
Penyelesaian masalah ketidakseimbangan dalam perjanjian, hakim berwenang untuk memasuki/meneliti isi suatu perjanjian jika diperlukan karena isi dan pelaksanaan suatu perjanjian/kontrak bertentangan dengan nilai-nilai dalam masyarakat. Hal ini dimaksudkan jika klausula-klausula di dalam perjanjian/kontrak tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai ketertiban umum, maka harus dibatalkan.
Prinsip kebebasan berkontrak pada masa kini dapat diterima dalam situasi bilamana para pihak memiliki persamaan atau keseimbangan dalam posisi tawar (equality in bargaining power). Sebelum abad ke-19 model perjanjian/kontrak masih bersifat klasik di mana perjanjian/kontrak semua bersifat individual, namun setelah abad ke-19 dan di awal abad ke-20 prinsip individual telah ditinggalkan menuju prinsip kolektif.
Akibat desakan paham etis dan sosialis, pada akhir abad XIX, paham individualisme mulai pudar, terlebih-lebih sejak berakhirnya Perang Dunia II. Paham ini kemudian tidak mencerminkan keadilan. Masyarakat menginginkan pihak yang memiliki posisi tawar lemah lebih banyak mendapat perlindungan. Kehendak bebas tidak lagi diberikan secara mutlak, tetapi diberi secara relatif yang selalu dikaitkan dengan kepentingan umum/negara.
Perkembangan ini menghendaki dalam perjanjian/kontrak harus diutamakan prinsip keseimbangan dan keadilan antara posisi tawar masing-masing pihak di dalam perjanjian/kontrak tersebut harus dipenuhi, bukan mementingkan kepentingan individual sebagaimana perjanjian-perjanjian yang mengandung klausula eksonerasi dipandang hanya mementingkan satu pihak saja, sementara di pihak lain tidak menimbulkan rasa keadilan.
Ketidakseimbangan hak dalam perjanjian yang mengandung klausula eksonerasi dapat dicontohkan pada si A adalah perusahaan besar, katakanlah sebauh perusahaan yang fungsinya melakukan jual beli mobil (kendaraan) kepada para konsumennya. Tentu saja dalam kondisi ini posisi tawar yang kuat itu ada pada pihak perusahaan bukan pada konsumen, sehingga perusahaan dapat dengan mudah mencantumkan klausula eksonerasi dalam perjanjian baku untuk menghindari kerugian perusahaan dan agar perusahaan itu terhindar dari tanggung jawabnya.
Contoh lain misalnya di dalam hal pengerjaan proyek pelaksanaan pembangunan yang telah diperjanjikan antara pemodal dengan pelaksanaa proyek, juga kadang-kadang ditemukan pencantuman klausula eksonerasi di dalam perjanjian/kontrak yang didominasi oleh pihak pemilik modal yang memiliki posisi tawar yang kuat di dalam perjanjian.
Kebutuhan akan suatu benda maupun suatu proyek bagi pihak konsumen maupun pelaksanaan proyek sudah merupakan hal yang lazim, tetapi yang membuat hubungan ini menjadi tidak lazim adalah karena tidak seimbang. Ketika ditemukannya suatu kalusula eksonerasi di dalam perjanjian/kontrak yang semata-mata hanya mementingkan kepentingan si pelaku usaha atau si pemilik modal yang posisi tawarnya kuat, maka perjanjian demikian adalah tidak seimbang. Memang sangat disadari suatu prinsip yang berkembang di kalangan para pelaku usaha yang dikenal dengan sebutan, “take it or leave it contract” menjadi adagium yang sangat menakutkan bagi pihak yang memiliki posisi tawar lemah, akibatnya mau tidak mau, pihak yang lemah menyetujuinya karena posisinya sangat memerlukan.
Menolak perjanjian/kontrak atau tidak menyetujui perjanjian yang mengandung klausula eksonerasi dalam kondisi yang sangat dibutuhkan, sama artinya menyianyiakan kesempatan, pihak yang posisi tawarnya lemah itu akan kehilangan kesempatan dan keuntungan, namun sebaliknya jika diambil (disetujui), maka di samping pihak yang posisi tawar yang lemah beruntung dan terpenuhi kebutuhannya, namun sebenarnya ia masih memiliki unsur yang dirugikan secara materil.
Kerugian materil itu misalnya dalam hal perjanjian leasing, pada umumnya kepada konsumen tidak diberikan copy contract perjanjian oleh perusahaan leasing. Ketika hal ini dipertanyakan oleh konsumen, perusahaan leasing mendalihkan dengan alasan yang macam-macam hingga selesainya perjanjian itu baru kemudian copy contract tersebut diberikan kepada konsumen. Ternyata di dalam copy contract terdapat klausula yang menyatakan misalnya, “perusahaan pelaku usaha (kreditor) berhak menarik mobil dengan secara sepihak jika debitor macet dalam melakukan kewajibannya”. Andaikan saja hal ini terjadi selama kredit masih berjalan, tentu saja bisa merugikan pihak debitor karena semaunya kreditor menarik tanpa ada kesepakatan penarikan.
Kerugian materil itu juga dapat dirasakan ketika suatu saat terjadi kerusakan barang atau objek yang diperjanjikan itu telah dimiliki oleh si konsumen. Misalnya ketika dilakukan klaim asuransi, umumnya para konsumen dari perusahaan leasing tidak mengetahui secara jelas apa saja yang menjadi hak-hak dan kewajibannya di dalam perjanjian/kontrak. Perusahaan leasing hanya memberikan solusi berupa penjelasan secara lisan tentang bagaimana seharusnya yang dilakukan untuk klaim asuransi tersebut.
Soal siapa yang bertanggung jawab atas kerugian yang dialamai oleh konsumen terkait dengan pencantuman klausula eksonerasi di dalam perjanjian pada praktiknya, konsumen yang merugi mengajukan gugatan wanprestasi atau perbuatan melawan hukum. Antara lain contoh dalam praktik dapat dijumpai misalnya dalam usaha kredit perbankan. Sebelum adanya UUPK, dalam memberikan kredit, bank mencantumkan syarat sepihak dicantumkannya klausula yang menyatakan bahwa bank sewaktu-waktu diperkenankan untuk merubah (menaikan/menurunkan) suku bunga pinjaman (kredit) yang diterima oleh debitur, tanpa pemberitahuan atau persetujuan dari debitur terlebih dahulu atau dengan kata lain ada kesepakatan bahwa debitur setuju terhadap segala keputusan sepihak yang diambil oleh bank untuk merubah suku  bunga kredit, yang telah diterima oleh debitur pada masa/jangka waktu perjanjian kredit berlangsung.
Contoh bank dilarang untuk menyatakan dan menundukkan debitur kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh bank dalam masa perjanjian kredit. Jika ada pencantuman klausula demikian pada perjanjian kredit bank, berdasarkan larangan dalam ketentuan Pasal 18 UUPK, terhadap perjanjian ini dapat dimintakan pembatalan oleh debitur. Ketentuan ini sepenuhnya bertujuan untuk melindungi kepentingan konsumen (debitur) pengguna jasa perbankan.
Klausula baku ini juga dapat dijumpai dalam tiket pesawat angkutan udara maupun karcis parkir, dan lain-lain. Pengadilan telah menyatakan pencantuman klausula baku dalam tiket pesawat maupun karcis parkir adalah batal demi hukum. Beberapa putusan pengadilan antara lain misalnya dalam perkara hilangnya mobil milik Anny R. Gultom saat parkir di parkiran Plaza Cempaka Mas diajukan kasasi ke MA ditolak oleh MA yang tetap mempertahankan putusan pengadilan tinggi yang memenangkan pemilik mobil yang hilang Anny R. Gultom. MA menyatakan putusan ini menjadi yurisprudensi bagi perkara yang serupa.
Kemudian dalam kasus gugatan yang diajukan oleh konsumen bernama David M.L. Tobing menggugat atas penundaan keberangkatan (delay) pesawat angkutan udara milik PT. Lion Mentari Airlines (PT. Lion Air). MA memenangkan David M.L. Tobing dengan menjatuhkan putusan ganti rugi yang harus dibayar oleh PT. Lion Air kepada David M.L. Tobing sebesar Rp.1.852.000,- (satu juta delapan ratus lima puluh dua ribu rupiah) yang terdiri dari uang ganti rugi sebesar Rp.718.500,- (tujuh ratus delapan belas ribu lima ratus rupiah) dan biaya perkara Rp.1.134.000,- (satu juta seratus tiga puluh empat ribu rupiah). Biaya perkara itu mencakup seluruh biaya mulai dari proses di pengadilan tingkat pertama hingga Pengadilan Tinggi, dan biaya teguran (aanmaning).
Klausula eksonerasi yang bersifat baku di dalam tiket pesawat PT. Lion Air itu menyatakan berikut: “Pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian apapun yang ditimbulkan oleh pembatalan dan/atau keterlambatan pengangkutan ini, termasuk segala keterlambatan datang penumpang dan/atau keterlambatan penyerahan bagasi”. Dari klausula demikian jelas-jelas PT. Lion Air ingin membebaskan kewajiban yang semestinya menjadi bertanggung jawabnya, tetapi justru dilepaskannya melalui pencantuman klausula eksonerasi ini. Majelis hakim MA menyatakan klausula baku dalam tiket PT. Lion Air adalah batal demi hukum.
Kemudian pengadilan juga menyatakan pencantuman klausula baku dalam tiket pesawat milik PT. Indonesia Air Asia (PT. Air Asia) adalah batal demi hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Dalam perkara ini, konsumen yang bernama Hastjarjo Boedi Wibowo mengajukan gugatan atas perbuatan melawan hukum kepada PT. Air Asia di Pengadilan Negeri Tangerang. Pengadilan memenangkan gugatan konsumen tersebut dengan menjatuhkan putusan ganti rugi sebesar Rp.806.000,- (delapan ratus enam ribu rupiah) dan ganti rugi immaterial sebesar Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) yang harus dibayar PT. Air Asia kepada Hastjarjo Boedi Wibowo.
Alasan pembatalan keberangkatan pesawat angkutan udara milik PT. Air Asia ini adalah terjadinya kerusakan pesawat sehingga menjadi suatu keadaan memaksa (overmacht). Pesawat baru bisa digunakan pada tanggal 13 Desember 2008 sementara jadwal penerbangan Hastjarjo Boedi Wibowo adalah tanggal 12 Desember 2008. Pertimbangan majelis hakim menilai PT. Air Asia tidak dapat membuktikan secara jelas apakah pesawat yang rusak itu adalah pesawat yang mengangkut Boedi dari Jakarta ke Yogyakarta. PT. Air Asia dinilai tidak bisa membuktikan pesawat yang rusak dalam kondisi perbaikan selama sidang pengadilan.
Pencantuman klausula eksonerasi menentukan pengalihan tanggung jawab dalam tiket pesawat PT. Air Asia jelas sangat bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) huruf a UUPK. Dalam tiket pesawat PT. Air Asia tercantum klausula eksonerasi yaitu: “Indonesia Air Asia akan mengangkut penumpang, tetapi tidak menjamin ketepatan sepenuhnya, Indonesia Air Asia dapat melakukan perubahan tanpa pemberitahuan sebelumnya”. Ketentuan lain dalam Pasal 146 UU Nomor 1 Tahun 1999 tentang Penerbangan (UU Penerbangan) juga mewajibkan pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita karena keterlambatan, kecuali pengangkut dapat membuktikan keterlambatan disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis operasional.

Rabu, 15 April 2015


Perkara Budi Gunawan dan KPK
Oleh:
Bisdan Sigalingging

Kiranya belajar dari kisah film “Pearl Harbour” yang dibintangi Ben Affleck dan diputar tahun 2001? Film ini bercerita tentang penyerbuan militer Jepang ke pangkalan angkatan laut Amerika Serikat di Pulau Oahu, Hawaii, tanggal 7 Desember 1941. Ada sekuen kecil dalam film itu yang menarik namun luput dari perhatian sebagian besar penonton, yakni ucapan seorang Laksamana Angkatan Laut (AL) Jepang usai penyerangan yang “gilang-gemilang” itu. “Sepertinya kita sedang membangunkan seorang raksasa yang sedang tidur,” ujar sang Laksamana yang khawatir akan pukulan balik dari militer AS terhadap Jepang di kemudian hari. Benar saja, hal itu terjadi ketika kota Hiroshima dan Nagasaki dibom atom oleh AS. Jepang pun menyerah tanpa syarat dan tercatat dalam sejarah dunia sebagai negara kalah perang.
Penting untuk direnungkan oleh petinggi-petinggi KPK, Kejaksaan, dan Polri di Indonesia hendaknya tidak bersikap arogansi ketika melaksanakan tugas penyidikan perkara tipikor. Prinsip mengenal medan tempur (know your battle field) hendaknya telah diterjemahkan dan dimodifikasi oleh masing-masing lembaga baik KPK, Kejaksaan, maupun Polri sebelum bertempur dalam penanganan perkara yang melibatkan aparatur dari lembaga lain yang juga memiliki kewenangan sesama penyidik tipikor.
Agaknya, para petinggi militer Jepang tidak menyerap dengan baik perkataan Sun Tzu sebelum memutuskan untuk menyerang pangkalan Armada Pasifik AS di Pearl Harbour. Bahwa sebelum angkatan bersenjata Jepang tumbuh menjadi negara maju dan modern, militer Negeri Matahari Terbit itu berguru pada militer AS dalam segala segi. Ibarat murid ingin melawan guru, sudah tentu sang guru masih menyimpan “ilmu pamungkas” yang belum diturunkan kepada muridnya.
Pukulan balik sang guru akan ternyata terbukti mematikan langkah murid yang membangkang. Intinya, militer Jepang tidaklah mengenal siapa musuh yang sedang dihadapi di medan tempur serta terlalu yakin dengan kekuatan diri sendiri.
Agaknya kisah film tersebut menimbulkan kesan yang hampir mirip dengan perkara Budi Gunawan vs KPK, yang dulunya telah pernah disinggung oleh Susno Duadji dalam pernyataannya ”Cicak versus Buaya”. Inilah kondisi penegakan hukum di Indonesia yang lebih tepat saya katakan adalah ”Tidak ada teman dan musuh yang abadi dalam kehidupan ini”, hari ini kawan besok menjadi lawan, atau sebaliknya hari ini lawan besok menjadi kawan.

Selasa, 17 Maret 2015

PERSEMBAHAN KEPADA NENEK ASYANI

SEMOGA ALLAH SWT MENGAMPUNI DOSA-DOSA
MEREKA PARA PENDEKAR-PENDEKAR YANG
MENGGIRING NENEK KE
PENGADILAN

Oleh:
Bisdan Sigalingging, SH, MH
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

Pemikiran filsafat
atas perkara nenek Asyani yang menjadi top breaking news 2015:

Ketika Raja Sulaiman hendak memiliki sebuah cincin, ia datang menjumpai seorang ahli cincin yang sudah tua, dan Raja Sulaiman berkata, “saya mau membuat cincin dan tolong tuliskan pada cincin itu tentang kisah hidup anda” kata sang Raja kepada ahli cincin tersebut, ahli cincin itu bingung bagaimana menuliskan kisah hidupnya dalam sebuah cincin yang kecil. Ketika ahli cincin selesai sholat, ia memperoleh ilham yang kemudian ia torehkan dalam cincin itu sebuah tulisan “Ini Pasti Berlalu”. Sang Raja memperoleh cincin tersebut pun bingung dengn tulisan tersebut, namun ia tetap bangga memakai cincin itu. Pada setiap Raja melangkahkan kakinya, ia menghadapi berbagai persoalan dunia dimana ia menemukan jalan buntu, namun ketika ia melihat tulisan pada cincin itu, ia sadar bahwa ini pasti berlalu. Fenomena hidup yang selalu ia temui dan mengaikannya dengan tulisan di dalam cincin tersebut, membuat sang Raja semakin memiliki nurani, ia tidak sombong dgn kekuasanya, ia selalu berada di tengah-tengah dimana rakyatnya berada, tidak menganggap dirinya pemilik negeri ini, tak sok kuasa, seperti para pendekar-pendekar yang mengatasnamakan hukum buatan manusia (Pemerintah cq DPR) yang menggiring orang yang tak berdaya ke meja hijai (pengadilan).  
=======================
Keadilan tidak pernah habis-habisnya dibicarakan dan menjadi fokus perdebatan di negeri ini, ketika seseorang mengatakan suatu keputusan sudah adil, namun belum tentu keputusan itu adil bagi orang lain. Tidak ada satu orang pun yang bisa memberikan defenitif tentang keadilan yang sesungguhnya, bahkan pengertian hukum itu sendiri tidak mampu didefentifkan dalam satu pengertian yang baku untuk menjadi pedoman bagi semua orang, sehingga dengan demikian keadilan pun akan bersifat relatif bukan absolut, tergantung pada cara pandang seseorang dalam melihat keadilan.
Sekalipun asas legalitas yang dianut dalam sistem eropa kontinental menjadi barometer untuk menentukan seseorang telah melanggar hukum atau tidak, namun asas legalitas pun harus diakui pula pada satu sisi tidak mampu dapat menjamin memberikan keadilan yang sesungguhnya. Banyak kasus yang telah diekspose media maupun kasus dilihat secara langsung memperlihatkan suatu keprihatinan mendalam yang membuat publik bertanya-tanya terhadap penegakan hukum di negeri ini, bagaimana sesungguhnya hukum itu, mengapa tidak ada lagi keadilan di negeri ini, mengapa hukum menjadi milik penguasa dan orang kaya, dan lain-lain.
Bila semua pelanggaran dan tindak pidana diproses secara hukum sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku dan diadili di sidang pengadilan, maka seorang anak kecil yang mencuri roti pun harus dimasukkan ke dalam penjara atau kurungan. Bila seorang nenek-nenek dalam kondisi kelaparan, mencuri singkong untuk dimakan dalam mempertahankan hidupnya, maka nenek-nenek tersebut akan diproses secara hukum dan diadili di sidang pengadilan.
Bila hukum harus dilihat sebelah mata sebagai hukum “kaca mata kuda” yang tertulis dalam undang-undang saja, tanpa melihat tujuan hukum adalah membuat semua orang menjadi nyaman, tertib, bahagia, dan adil, maka hukum itu tidak memiliki hati nurani, keji, sadis dan kejam. Lihat saja di layar kaca anda bagaimana seorang nenek Asyani digiring oleh para manusia-manusia pendekar-pendekar hukum itu menghadap ke meja hijau walau sudah tak kuasa melangkahkan kakinya.
Hukum dapat ditegakkan tidak mesti harus menjalankan prosedur hukum formil yang sudah disusun rapi dalam format hukum acara, demikian pula hukum materilnya, tetapi penegakan hukum pun harus pula dilihat dari tujuan hukum itu sendiri yaitu untuk menciptakan kenyamanan, ketertiban, kebahagiaan, dan keadilan berdasarkan filosopi pemidanaan.
Sebagaimana menurut aliran utilitarian menekankan pada teori tujuan (doel theorien) dan tujuan itu diukur dari manfaat terbesar pada kelompok terbesar. Pengambilan keputusan berdasarkan etika dengan pertimbangan manfaat terbesar bagi banyak orang sebagai hasil akhir akan membuat keputusan itu semakin bermanfaat. Perbuatan yang baik diukur dari hasil yang bermanfaat, jika hasilnya tidak bermanfaat, maka tidak pantas disebut baik.
Hukum tidak mesti harus dilihat sebagai hukum tertulis (law as it is written in the books) dalam teks perundang-undangan atau hukum adalah hukum (law is law), melainkan harus pula dilihat dari fakta-fakta yang terjadi di lapangan misalnya yang diproses dalam sidang pengadilan (law as it is decided by the judge through judicial process). Karena bila hukum hanya dilihat sebagai written in the books, maka hukum demikian terasa sangat kaku, bahkan keji, sadis, dan kejam.
Adagium hukum yang menyatakan “fiat justitia et pereat mundus” tidak mesti harus dipandang dengan sebelah mata melainkan harus pula diimbangi dengan adagium “fiat justitia ruat coelum”. Ini berarti hukum tidak wajib ditegakkan meskipun langit akan runtuh, tetapi keadilan lah yang mesti ditegakkan meskipun langit akan runtuh. Menegakkan keadilan merupakan hal yang paling penting daripada menegakkan hukum, karena keadilan hukum belum tentu mampu memberikan rasa adil kepada setiap pencari keadilan.
Asas kepastian hukum pun tidak mesti harus dilihat dalam situasi norma mati dengan harga mati dan tidak ada tawar-menawar, bila asas kepastian hukum menjadi harga mati, maka undang-undang itu pun menjadi hukum yang mati (dead letter law). Tan Kamello menyebutnya dengan istilah norma hukum yang mati (doodregel) atau hanya sebagai penghias yuridis dalam kehidupan manusia.
Hukum tidak lagi memiliki jiwa (nafas) dan hati nurani jika melihat setiap orang selalu sama di depan hukum, sekalipun prinsip a quality before the law diakui sebagai prinsip hukum, namun tidak mesti harus dipandang secara kaku dan absolut dengan selalu mempersamakan setiap orang di hadapan hukum. Penerapan prinsip ini pada kasus-kasus tertentu mesti harus dilihat dari tujuan hukum yaitu untuk menciptakan kenyamanan, ketertiban, kebahagiaan, dan keadilan, harus ada pengecualian.
Mengingatkan kita kepada kasus-kasus hukum yang menimpa orang-orang yang lemah dan menarik perhatian masyarakat antara lain kasus yang menimpa Nenek Minah berusia 55 tahun asal Banyumas divonis 1,5 tahun penjara pada tahun 2009, hanya karena mencuri tiga buah Kakao milik PT. Rumpun Sari Antan, harganya tidak lebih dari Rp.10.000,- bahkan untuk datang ke sidang pengadilan, si nenek yang sudah tua renta dan buta huruf itu harus meminjam uang Rp.30.000,- untuk biaya transportasi dari rumah ke pengadilan yang jaraknya cukup jauh.
Ketua majelis hakim Muflih Bambang Lukmono yang mengadili perkara Nenek Minah di sidang Pengadilan Negeri Purwokerto Jawa Tengah terbata-bata saat membacakan putusan dan meneteskan air mata, dan tidak kuasa menahan haru terhadap peristiwa yang menimpa Nenek Minah, seorang warga lemah dan miskin diajukan ke sidang pengadilan dengan tuduhan pencurian. Kasus ini menjadi top breaking news di akhir tahun 2009 hingga saat ini menjadi salah satu contoh kasus yang sering disebut-sebut dalam menyikapi kejamnya rasa keadilan.
Kasus lain yang menjadi top breaking news juga terjadi pada tahun 2009 yaitu kasus pencurian buah semangka di Kediri Jawa Tengah. Kholil dan Basar warga Lingkungan Bujel Kelurahan Sukorame Kecamatan Mojoroto Kediri Jawa Tengah, keduanya disidangkan di pengadilan karena mencuri satu buah semangka dan terancam hukuman lima tahun penjara. Alasan Kholil dan Basar melakukan pencurian adalah karena kehausan.
Pada kasus ini pelaku sudah berupaya berdamai dengan korban namun pihak korban tidak mau hingga penyidikan tetap dilanjutkan dan dilimpahkan ke kejaksaan hingga sidang pengadilan. Majelis hakim menjatuhkan putusan 15 hari kurungan dengan pertimbangan hakim atas kasus ini mirip dengan kasus yang menimpa Nenek Minah. Sebenarnya sebelum perkara Kholil dan Basar dilimpahkan ke tahap selanjutnya, penyidik kepolisian berperan penting untuk mendamaikan para pihak karena perkara ini merupakan delik ringan dan objek perkaranya tidak menimbulkan kerugian besar bagi korban, yang dapat diselesaikan secara kekeluargaan berdasarkan keadilan restoratif.
Kasus selanjutnya adalah kasus sandal jepit yang menimpa AAL (nama inisial), seorang anak berusia 15 tahun, pelajar SMK 3 Palu Sulawesi Tengah pada tahun 2010. AAL dituduh mencuri sandal jepit milik Briptu Ahmad Rusdi Harahap anggota Brimob Polda Sulawesi Tengah. Kasus ini dilimpahkan ke pengadilan dengan tuntutan jaksa maksimal lima tahun penjara terhadap AAL.
Kasus yang menimpa AAL menarik perhatian masyarakat Indonesia dan menjadi top breaking news di tahun 2010, hingga Ketua PBNU, Siad Aqil Siroj pun prihatin dan mengatakan “keadilan bukanlah sebatas teks hukum yang tertera dalam KUHP untuk memberikan rasa keadilan kepada AAL harus mengutamakan rasa kemanusiaan”. Pada umumnya masyarakat Indonesia dan para ahli dari berbagai kalangan memberikan tanggapan terhadap kasus ini mengatakan bahwa kasus yang menimpa AAL merupakan suatu bentuk kebutaan mata hati penegak hukum untuk melihat dan menerapkan keadilan restoratif.
Kemudian pada tahun 2011 ada kasus yang membuat Ketua Majelis Hakim Marzuki terharu dan menangis bahkan semua hadirin dalam sidang pengadilan juga terharu dan menangis tentang kasus yang menimpa seorang nenek sekaligus memberikan pesan moral bagi pihak pelapor dan setiap orang yang hadir di sidang pengadilan saat itu. Kasus tersebut terkait dengan tuduhan manajer perusahaan PT. Andalas Kertas terhadap seorang nenek yang mencuri singkong milik sebuah perusahaan PT. Andalas Kertas di Kabupaten Prabumulih Sumatera Selatan.
Ketua majelis hakim, Marzuki menghela nafas dalam-dalam mendegar tuntutan JPU dan mendegar alasan si nenek mencuri singkong adalah karena hidupnya miskin, anak laki-lakinya sakit, sementara cucunya lapar. Marzuki memutus dengan mengatakan: “Maafkan saya, saya tak dapat membuat pengecualian hukum, hukum tetap hukum, jadi anda harus dihukum, saya mendenda anda Rp.1.000.000,- dan jika anda tidak mampu bayar maka anda harus masuk penjara 2,5 tahun seperti tuntutan JPU”.
Kemudian hakim Marzuki membuka topi toganya dan memasukkan uang Rp.1.000.000,- ke dalam topi toganya itu serta berkata kepada hadirin:
“Saya atas nama pengadilan juga menjatuhkan denda kepada setiap orang yang hadir di ruang sidang ini sebesar Rp.50.000,- sebab sebagai warga yang menetap di kota ini telah membiarkan seseorang kelaparan sampai harus mencuri untuk memberi makan cucunya, saudara panitera, tolong kumpulkan dendanya dalam topi toga saya ini lalu berikan semua hasilnya kepada terdakwa”.
Hingga palu diketuk dan hakim Marzuki meninggalkan ruang sidang, nenek itupun pergi dengan mengantongi uang sebanyak Rp.3.500.000,- dan termasuk didalamnya terdapat uang Rp.50.000,- yang dibayarkan oleh manajer PT. Andalas Kertas yang tersipu malu karena telah menuntutnya. Kasus ini tidak menjadi top breaking news pada tahun itu, karena tidak terpantau masyarakat, hanya beberapa media saja yang memantau pada saat peristiwa itu terjadi, namun kasus ini sangat menarik memberi pesan moral bagi manajer PT. Andalas Kertas dan juga hakim-hakim pengadilan serta seluruh masyarakat di Indonesia.
Kasus-kasus pencurian yang diproses secara hukum sebagaimana pada contoh di atas hingga mendudukan pelaku di sidang pengadilan, membuat hati terasa tersayat sembilau, karena pada umumnya pelaku adalah warga miskin dan didorong oleh karena ketiadaan, kelaparan dan kemiskinan, bukan karena ketamakan dan kerakusan seperti para koruptor. Perbuatan pencurian menurut KUHP dilarang tetapi perbuatan itu dilakukan oleh karena keterpaksaan yang mendesak dan memprihatinkan. Padahal di belahan dunia dan termasuk di Indonesia sudah menyuarakan keadilan restoratif untuk diterapkan pada kasus-kasus tertentu.
Untuk kasus anak yang berhadapan dengan hukum sebelum diundangkan UU Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak belum memiliki payung hukum yang jelas dalam hal penerapan keadilan restoratif untuk menyelesaikan kasus-kasus anak yang berhadapan dengan hukum. Untuk menyelesaikan kasus-kasus anak yang berhadapan dengan hukum sebelum tahun 2012 sangat bergantung pada kemauan (political will) aparatur penegak hukum, tetapi saat ini setelah undang-undang diberlakukan dan efektif di bulan Juli 2014 kepada anak-anak yang berhadapan dengan hukum wajib menerapkan konsep keadilan restoratif ini.
Masalahnya adalah bagaimana dengan perkara-perkara lain selain anak-anak yang berhadapan dengan hukum seperti kasus-kasus yang dicontohkan di atas. Semua peristiwa pidana yang dicontohkan di atas menjadi catatan penting dalam tulisan ini sehubungan dengan alasan dari pihak pelapor yang pada umumnya ingin mencontohkan bagi warga lain atau masyarakat agar tidak sembarangan mencuri atau melakukan tindak pidana. Alasan ini kurang dapat diterima sebagai salah satu bentuk pencegahan (detterence), karena semua aturan hukum diberlakukan secara umum tanpa pandang bulu terhadap semua orang, bila demikian halnya hukum itu dilaksanakan akan terasa keji dan kejam bagi masyarakat lemah dan miskin.
Catatan kedua adalah aparatur penegak hukum terutama kepolisian yang melanjutkan perkara-perkara tersebut hingga ke sidang pengadilan. Padahal berdasarkan perkembangan ilmu hukum, aparat kepolisian harus mampu mengubah paradigmanya dari paradigma yang kaku (yang selalu merujuk KUHAP dan KUHP) menjadi berparadigma yang dinamis sesuai dengan tuntutan hukum dan keadilan dalam teori-teori hukum, norma hukum, maupun dalam doktrin-doktrin para ahli hukum yang mengarah pada metode pendekatan sosiologis.
Bagaimana caranya agar kepolisian mampu mereduksi pertikaian dan konflik dalam masyarakat agar tidak selalu memilih jalur hukum dalam menyelesaikan perkara melalui sidang pengadilan dalam mencari keadilan, tetapi dapat diselesaikan berdasarkan norma-norma adat, kemanfaatan (uitilitas), kekeluargaan, dan rasa kemanusiaan misalnya melalui mediasi. Penghukuman tidak mesti diterapkan secara kaku dengan berprinsip mutlak pada asas kepastian hukum dan asas legalitas bilamana penerapannya terasa keji dan kejam serta tidak proporsional bagi masyarakat lemah, miskin, dan memprihatinkan.
Salah satu upaya untuk memberikan keadilan kepada masyarakat lemah, miskin, memprihatinkan, anak-anak, dan lain-lain yang bermasalah dengan hukum adalah dengan menerapkan keadilan restoratif (restorative justice). Keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Pemulihan (restorasi) berupaya membangun kembali hubungan dan memperbaiki keretakan setelah terjaidnya tindak pidana, daripada memperparah keretakan antara pelaku, korban dan masyarakat sekaligus menjadi karakter sistim peradilan pidana modern.
Konsep keadilan restoratif mulai diterapkan dalam penyelesaian kasus pidana dan penghukuman dalam perspektif hukum adat yang mengutamakan mediasi dan keseimbangan masyarakat bisa diangkat ke dalam sistim hukum positif. Penggunaan konsep ini bertujuan untuk menciptakan keadilan restoratif (restorative justice) yang di dalam hukum positif Indonesia memang belum menyeluruh diatur, tetapi beberapa putusan hakim dan sejumlah doktrin para pakar hukum sudah sangat mendukung penerapan keadilan restoratif di Indonesia pada kasus-kasus pidana tertentu, misalnya untuk pemidanaan anak dan kasus-kasus lainnya.
Pada tingkat pengadilan telah banyak kasus-kasus pidana yang diselesaikan dengan pendekatan restorative justice. Penyelesaian perkara berdasarkan pendekatan retoratif bukan hanya berlaku untuk delik biasa dan ringan, tetapi dalam kasus-kasus tertentu juga diberlakukan untuk delik-delik khusus, antara lain kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), tindak pidana narkotika, dan tindak pidana korupsi. Hakim Agung Komariah Emong Sapardjaja mengatakan Mahkamah Agung sudah sejak lama menerapkan keadilan restoratif walaupun tidak seutuh teori keadilan restoratif seperti dikemukakan para pakar.
Menurut Komariah Emong Sapardjaja, Mahkamah Agung pernah mempertimbangkan pencabutan pengaduan walaupun pencabutan tersebut sudah melewati batas waktu yang ditentukan dalam aturan KUHAP, alasannya karena korban dan pelaku masih sekeluarga. Keadilan restoratif juga pernah diterapkan terhadap seorang suami yang menelantarkan istri dan anaknya. Suami didakwa dengan Pasal 49 huruf a Jo Pasal 9 ayat (1) UU No.23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dengan ancaman hukuman paling lama 3 (tiga) tahun atau denda Rp.15.000.000,- namun Mahkamah Agung memilih menjatuhkan hukuman percobaan dengan syarat khusus bagi terdakwa harus memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya sedangkan terdakwa berharap agar tidak dipecat dari pekerjaannya sebagai PNS.
Keadilan restoratif juga pernah diterapkan dalam perkara narkotika dimana pelaku didakwa dengan dakwaan tunggal yaitu Pasal 112 UU Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang intinya memberi ancaman pidana bagi seorang yang kedapatan menguasai narkotika. Padahal fakta dalam BAP maupun di persidangan terungkap bahwa pelaku sebenarnya menggunakan narkotika dalam jumlah yang sangat kecil sehingga harusnya didakwa dengan Pasal 127 UU Narkotika tentang penyalahgunaan narkotika. Hakim Mahkamah Agung akhirnya menjatuhkan putusan berupa rehabilitasi medis.
Perkara lainnya yang pernah diterapkan pendekatan keadilan restoratif adalah dalam perkara tindak pidana korupsi. MA menyatakan bahwa terdakwa memang terbukti melakukan korupsi sesuai Pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, namun karena kerugian negara yang timbul hanya Rp.2.900.000,- maka hakim hanya menghukum terdakwa selama satu tahun penjara, padahal ancaman minimal hukuman dalam pasal itu adalah 4 (empat) tahun penjara.
Sekalipun Ketua Mahkamah Agung telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP, yang salah satu contohnya adalah untuk pencurian ringan, tetapi tidak serta merta restorative justice dapat diterapkan. Pengecualiannya dapat dilakukan apabila pelaku pencurian ringan itu tidak memiliki uang/harta untuk membayar denda karena uang hasil pencurian tersebut sudah dihabiskan untuk membeli sepotong roti.
Rufinus Hotmaulana Hutauruk membuat penelitian disertasi doktornya yang menyebut secara umum konsep hukum di Indonesia masih menekankan pendekatan refresif dan retributif, sedangkan pendekatan restoratif masih sebagai alternatif atau sebagai pelengkap terhadap Sistim Peradilan Pidana (SPP) yang ada. Rufinus dalam penelitiannya menawarkan konsep baru sebagai terobosan hukum untuk menerapkan keadilan restoratif dalam penyelesaian kejahatan korporasi.
Penerapan pendekatan restoratif dalam hukum pidana Indonesia menurut Rufianus merupakan amanat pelaksanaan asas-asas hukum pidana ultimum remedium dan termasuk filosofi tujuan pemidanaan yang sejalan dengan Pancasila. Pendekatan keadilan restoratif dalam kejahatan korporasi sudah pernah dipraktekkan di Indonesia. Menurut Rufianus ada empat kasus yang dianalisisnya yaitu kasus dugaan pelanggaran Undang-Undang Pasar Modal oleh PT. Bank Lippo Tbk, kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), kasus Merryl Lynch, dan kasus Monsanto yang masing-masing diselesaikan dengan pendekatan keadilan restoratif persuasif.
Walaupun konsep restorative justice sudah diterapkan pada beberapa kasus-kasus tertentu di Indonesia dan dalam undang-undang tertentu misalnya dalam UU Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak, namun masih dipandang perlu dilakukan pembenahan dan pengembangan penerapan restorative justice untuk delik-delik lainnya. Penerapan restorative justice masih berbanding terbalik dengan negara lain seperti Belanda menurut Andi hamzah sekitar 60 % perkara pidana diselesaikan di luar pengadilan dengan ganti rugi dan denda sedangkan di Norwegia lebih tinggi lagi yaitu sekitar 74 %.
Proses yang berlaku di Belanda adalah afdoening buiten process atau settlement out of judiciary (penyelesaian perkara di luar pengadilan) atau dengan kata lain Belanda menerapkan restorative justice. Sedangkan di Indonesia yang menganut asas legalitas membuat Lembaga Pemasyarakatan semakin sesak karena banyak perkara-perkara pidana termasuk perkara “orang kecil” yang dilimpahkan ke pengadilan dan menjadi penghuni penjara, sementara kondisi penjara di hampir seluruh LP di Indonesia umumnya sangat memprihatinkan dengan over capacity membuat narapidana semakin tidak manusiawi.
Penjatuhan pidana penjara belum tentu dapat menimbulkan efek jera dan bisa pula menimbulkan pembelajaran yang negatif bagi narapidana, sebagaimana kata orang bijak “too short for rehabilitation, too long for corruption” (di dalam penjara, terlalu singkat untuk pemulihan dan terlalu lama untuk pembusukan), tidak jarang narapidana menjadi kurir narkotika di LP dan bahkan ada pula yang menjadi residivis. Sudah saatnya dilakukan pembaharuan terhadap hukum pidana dan hukum acaranya, termasuk didalamnya memasukan ketentuan mengenai keadilan restoratif dalam SPP yang tidak hanya cukup diatur oleh peraturan setingkat perma, melainkan harus dengan kekuatan sebuah undang-undang.
Allahu Akbar…kuatkan hati nek Asyani, mereka tak selamanya berkuasa, tak selamanya sehat, tak selamanya nyawa di kandung badan. Kita semua akan berpulang ke hadapan Illahi Rabbi, menjadi tanah yang busuk, santapan cacing, kalajengking, dll, hanya Allah SWT yang abadi, yang tiada diinsyafi manusia secara kaffah tapi semakin mempurukkan dirinya sendiri dengan gelimang dosa.

Medan, 18 Maret 2015
By: Bisdan Sigalingging, SH, MH.

Selasa, 10 Februari 2015


UPAYA HUKUM TERHADAP KEBIJAKAN PUBLIK YANG SALAH DARI PERSPEKTIF HUKUM PIDANA

Oleh
Bisdan Sigalingging, SH, MH
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara


Seharusnya dalam kasus-kasus kebijakan publik yang salah atau karena penyalahgunaan wewenang, lebih dahulu diterapkan prinsip primum remedium baru kemudian diterapkan prinsip ultimum remedium. Artinya terhadap kebijakan publik yang salah seharusnya lebih dahulu disikapi secara hukum administrasi dan bukan hukum pidana.
Penegakan hukum pidana terhadap kebijakan publik dengan memperhatikan asas ultimum remedium berarti mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Tetapi dalam hal kasus-kasus kebijakan dikaitkan dengan UU Tipikor tidak dengan tegas disebutkan dalam undang-undang asas ini, berbeda dengan UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup terhadap asas ultimum remedium dengan tegas disebutkan dalam undang-undang ini.
Dalam perspektif teoritis pengambilan kebijakan tidak dapat dipidanakan, tetapi yang dikenakan pidana adalah perilaku si pengambil kebijakan yang telah dilarang oleh hukum pidana. Ini berarti tidak menutup kemungkinan hukum pidana dapat dijalankan atau dikenakan kepada si pengambil kebijakan, jika perilakunya melanggar ketentuan hukum yang dilarang dalam hukum pidana.
Perilaku koruptif dirumuskan adalah orang yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Beliau juga mengatakan bahwa perilaku koruptif tersebut dirumuskan sebagai orang yang mempunyai tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Kedua pendapat dapat dibenarkan, sesuai pula dengan asas hukum pidana yang bersifat ultimum remedium, ini berarti upaya mengajukan perkara terhadap si pengambil kebijakan ke ranah hukum pidana merupakan sebagai upaya terakhir setelah upaya hukum yang lain telah dijalankan seperti upaya hukum administrasi dan perdata. Ketika upaya hukum administrasi negara tidak berhasil dilakukan dan karena terdapatnya dugaan kuat bahwa perkara tersebut memenuhi rumusan delik pidana, maka upaya hukum pidana dapat diajukan tuntutan kepada si pengambil kebijakan tersebut.
Bila ada unsur koruptif, maka hukum pidana bisa diterapkan sebagai upaya terakhir. Oleh sebab itu, dalam konteks ini, mana perbuatan yang dapat dikategorikan (dikriminalisasi) sebagai perbuatan pidana atas tindakan pejabat yang mengeluarkan kebijakan publik tersebut harus pula memenuhi unsur-unsur tindak pidana dan perbuatan melawan hukum dalam perspektif hukum pidana (wederrechtelijkheid).
Pertimbangan tersebut didasarkan bahwa tidak semua kebijakan publik yang dikeluarkan oleh para pejabat publik bisa dipidanakan dan tidak semua pula kebijakan publik dapat dikategorikan sebagai produk hukum administrasi negara yang tidak dapat dipidana meskipun kebijakan tersebut adalah salah. Pertimbangan inilah yang semestinya dipahami agar tidak keliru dalam menafsirkan hukum mana yang akan diterapkan. Apakah hukum administrasi negara atau hukum pidana.
Untuk menentukan parameter terhadap kebijakan publik yang memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana, perlu dibedakan mana kebijakan publik yang dapat dikategorikan sebagai wederrechtelijkheid (dalam ranah hukum pidana) dan mana kebijakan publik yang dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum dalam bentuk onrechtmatige overheids daad atau detornement de pouvoir (dalam ranah hukum administrasi negara).
Asas ultimum remedium merupakan salah satu asas yang terdapat dalam hukum pidana Indonesia yang berarti bahwa hukum pidana hendaklah dijadikan upaya terakhir dalam hal penegakan hukum. Hal ini memiliki makna apabila suatu perkara dapat diselesaikan melalui jalur lain (kekeluargaan, negosiasi, mediasi, perdata, ataupun hukum administrasi) hendaklah jalur tersebut terlebih dahulu dilalui.
Jika dikaitkan dengan asas hukum pidana yang bersifat publik memang disadari bertolak belakang antara asas hukum pidana yang bersifat publik dengan asas ultimum remedium. Dengan asas bersifat publik menyebabkan hukum pidana memiliki karakteristik bahwa walaupun terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang telah dibuat perjanjian perdamaian dengan pihak korban, maka terhadap perkara tersebut tetap juga dapat dilakukan pemeriksanaan lanjutan ditingkat kepolisian. Selain itu dengan karekteristik “publik” tersebut, maka terhadap suatu tindak pidana yang telah terjadi, pihak kepolisian tetap dapat memproses tindak pidana tersebut.
Namun dalam pelaksanaannya di Indonesia seringkali asas ultimum remedium ini terabaikan. Banyak perkara pidana yang walaupun pihak dari korban maupun keluarga korban merasa bahwa perkara tersebut dapat diselesaikan melalui jalur kekeluargaan, tetapi tetap saja pihak kepolisian terus melanjutkan pemeriksanaan terhadap kasus tersebut. Demikian pula dalam hal keputusan administrasi negara atau kebijakan publik yang dikeluarkan oleh pejabat pemerintah yang berindikasi menimbulkan kerugian atau tidak sesuai dengan yang diharapkan, juga bisa diarahkan menjadi perbuatan pidana.
Sanksi  pidana dalam beberapa kasus tertentu telah bergeser kedudukannya. Tidak lagi sebagai ultimum remedium melainkan sebagai primum remedium (alat yang utama). Ketentuan pengaturan mengenai sanksi pidana sebagai primum remedium dapat dilihat dalam UU tentang Anti Terorisme dan dalam praktek termasuk UU Tipikor. Argumentasinya dari perspektif sosiologis hal ini dikarenakan perbuatan yang diatur dalam dua undang-undang tersebut merupakan tindakan yang “luar biasa” dan besar dampaknya bagi masyarakat.
Sehingga dampaknya tidak lagi mempertimbangkan penggunaan sanksi lain, karena mungkin dirasa sudah tepat apabila langsung menggunakan atau menjatuhkan sanksi pidana terhadap para pelaku tindak pidana tersebut. Kini faktanya sanksi pidana itu bukan merupakan ultimum remedium lagi,  banyak perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan aturan undang-undang yang berlaku dan masyarakat merasa dirugikan, maka yang diberlakukan adalah sanksi pidana sebagai pilihan utama (premium remedium).
Hal inilah yang menyebabkan seolah-olah asas ultimum remedium tersebut hanyalah teori belaka yang sulit untuk ditegakkan. Jika dikaitkan dengan tujuan pemidanaan, maka apabila terhadap suatu tindak pidana pihak korban maupun keluarga telah terpenuhi rasa keadilannya, pemidanaan terhadap pelaku menjadi tidak diperlukan lagi. Dalam konteks terhadap si pengambil kebijakan publik seharusnya diajukan gugatannya ke ranah hukum administrasi, dan tidak perlu dilanjutkan ke ranah hukum pidana jika permasalahan perkara telah berkekuatan hukum tetap di PTUN.
Tentang penerapan asas ultimum remedium ini, norma-norma atau kaidah-kaidah dalam bidang hukum tata negara dan hukum tata usaha negara harus pertama-tama ditanggapi dengan sanksi administrasi, begitu pula norma-norma dalam bidang hukum perdata pertama-tama harus ditanggapi dengan sanksi perdata. Hanya, apabila sanksi administrasi dan sanksi perdata ini belum mencukupi untuk mencapai tujuan meluruskan neraca kemasyarakatan, maka baru diadakan juga sanksi pidana sebagai pamungkas (terakhir) atau ultimum remedium.
Sifat keberlakuan dari sanksi pidana sebagai alat terakhir atau ultimum remedium jika dibandingkan dengan sanksi perdata atau sanksi administrasi. Sifat ini sudah menimbulkan kecenderungan untuk menghemat dalam mengadakan sanksi pidana. Dapat diketahui bahwa asas ultimum remedium merupakan istilah yang menggambarkan suatu keberlakuan dari sifat sanksi pidana.
Selain dikenal dalam hukum pidana, asas ultimum remedium juga dikenal dalam hukum penyelesaian sengketa. Sebagaimana Frans Hendra Winarta, dalam bukunya Hukum Penyelesaian Sengketa, dikatakan bahwa penyelesaian sengketa secara litigasi merupakan sarana akhir (ultimum remedium) setelah alternatif penyelesaian sengketa lain tidak membuahkan hasil.
Dari uraian di atas, maka berdasarkan asas ultimum remedium inilah hukum pidana dapat diupayakan sebagai alat terakhir untuk menjerat pelaku atau pejabat publik yang mengeluarkan kebijakan yang salah atau menimbulkan kerugian negara. Dengan demikian, sekalipun upaya penegakan hukum administrasi telah dijalankan, namun tidak menutup pula kemungkinan hukum pidana dapat digunakan sebagai upaya terkahir.

UPAYA HUKUM TERHADAP KEBIJAKAN PUBLIK YANG SALAH DARI PERSPEKTIF HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

Oleh
Bisdan Sigalingging, SH, MH
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
Medan 2015

Kebijakan publik yang salah sebagaimana dimaksud dalam konteks ini adalah kebijakan publik yang menimbulkan kerugian bagi masyarakat dan menimbulkan sengketa TUN. Penanganan perkara berkaitan dengan kebijakan yang berkaitan dengan administratif penal law harus dilakukan dengan cermat, agar sejalan dengan asas systematische specialiteit atau logische specialiteit untuk menghindari disparitas pemidaanaan dan ketidakpastian hukum.
Dapat dipahami bahwa ranah hukum administrasi negara secara asas systematische specialiteit atau logische specialiteit sebenarnya upaya hukum yang dapat dijalankan untuk memproses seseorang pejabat publik yang mengeluarkan kebijakan publik yang salah. Dengan kata lain seharusnya dalam konteks ini lebih dahulu diterapkan prinsip premium remedium untuk hukum administrasi negara, baru kemudian diterapkan prinsip ultimum remedium untuk hukum pidana.
Artinya kebijakan publik yang salah seharusnya lebih dahulu disikapi secara hukum administrasi dan bukan hukum pidana, kecuali bila ada unsur koruptif, maka hukum pidana bisa diterapkan sebagai upaya terakhir. Jika kesalahan (kerugian bisnis) itu dipahami secara hukum administrasi, maka tidak perlu dipidana. Oleh sebab itu, dalam konteks ini, perbuatan mana yang dapat dikategorikan (dikriminalisasi) sebagai perbuatan pidana atas kebijakan publik tersebut harus pula memenuhi unsur-unsur perbuatan melawan hukum dalam perspektif hukum pidana (wederrechtelijkheid).
Telah disinggung sebelumnya bahwa harus ada tiga parameter yang terpenuhi agar seseorang pejabat publik dapat dipidanakan. Suatu kebijakan tidak dapat di kriminalisasi, namun terhadap pembuat kebijakan (persoon) tersebut dapat dikenakan pemidanaan, apabila dibalik kebijakan tersebut terdapat unsur-unsur: 1) penyalahgunaan wewenang, 2) mendapat keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain, dan 3) perbuatan tersebut telah menimbulkan kerugian negara.
Dengan demikian seorang pejabat yang mengeluarkan suatu kebijakan tidak dapat diminta pertanggungjawaban pidananya apabila dibalik kebijakan tersebut tidak ada suatu kebalikan (kickback) yang timbul seperti 3 (tiga) kriteria di atas. Artinya jika ketiga kriteria tersebut di atas ternyata ditemukan dalam pengambilan kebijakan tersebut, maka terhadap pejabat publik yang mengeluarkan kebijakan tersebut dapat dilakukan upaya hukum pidana kepadanya.
Terhadap pembuat kebijakan (persoon) dapat dikenakan pemidanaan, apabila dibalik kebijakan tersebut terdapat unsur penyalahgunaan wewenang atau mendapat keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain dan perbuatan tersebut telah menimbulkan kerugian negara.
Tetapi pada sisi lain telah terjadi kekeliruan terhadap kebijakan yang mengandung kerugian dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum pidana. Pemehaman tersebut membahayakan sistim hukum administrasi negara yaitu akan terjadi suatu kondisi pejabat administrasi negara tidak akan mengambil tindakan hukum apapun jika fakta dan kondisi tidak sesuai dengan kondisi yang ideal dalam peraturan perundang-undangan.
Kebijakan tidak berarti sebagai kejahatan. Pandangan demikian keliru, karena kebijakan administrasi negara lahir dari wewenang yang sah diberikan hukum dan peraturan perundang-undangan kepada pejabat administrasi negara. Kendatipun sekalipun kebijakan itu ternyata salah atau memiliki menimbulkan risiko hukum berupa salah kira (dwaling).
Salah kira merupakan kondisi bilamana pejabat administrasi negara memahami berbeda, antara tindakannya berbeda dengan fakta yang terjadi setelah kebijakan diambil. Dengan adanya kemungkinan salah kira tersebut, jika administrasi negara mengambil kebijakan dalam perkiraan yang salah atau insformasi yang salah, tindakan tersebut merupakan salah kira. Salah kira (dwaling) merupakan persoalan hukum dalam hukum administrasi negara, dan penyelesaiannya harus melalui hukum administrasi negara berdasarkan prinsip contractus actus.
Bukan kebijakannya yang dianggap sebagai perbuatan melawan hukum, tetapi perilaku pengambil kebijakan itu yang dianggap sebagai perbuatan melawan hukum pidana. Suatu kebijakan tidak dapat di kriminalisasi, namun terhadap si pembuat kebijakan dapat dikenakan pidana, jika dibalik kebijakannya terdapat unsur penyalahgunaan wewenang atau mendapat keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain dan perbuatan tersebut telah menimbulkan kerugian negara.
Merupakan suatu kekeliruan walaupun perilaku pengambil kebijakan mengandung perbuatan melawan hukum dipidanakan. Walaupun perilaku pejabat dalam mengambil kebijakan mengandung perilaku berikut ini:
1.      Melakukan paksaan dalam bentuk ancaman (dwang),
2.      Menerima dan melakukan suap (omkoperij) yang menyebabkan alasan membuat kebijakan tidak ada (valse oorzaak),
3.      Melakukan tipuan bersifat muslihat (kuntsgrepen).
Sekalipun mengandung perilaku pejabat publik yang mengambil kebijakan sebagaimana di atas, tidak berarti si pengambil kebijakan itu dipidanakan. Pejabat yang demikian bukan melakukan unsur pebuatan melawan hukum pidana tetapi merupakan penyalahgunaan wewenang (detornement de pouvoir). Sekalipun demikian, kebijakan tersebut merupakan tindakan kepemerintahan yang sah dan menjadi wewenang pejabat administrasi negara. Oleh sebabnya, tidak dapat dipidanakan karena adanya wewenang yang sah pada administrasi negara.
Dipandang dari sisi kerugian ekonomis, terutama kebijakan pemerintah dalam pengelolaan perusahaan negara atau BUMN, doktrin Business Judgment Rule dapat digunakan untuk membebaskan direksi perusahaan dari pertanggungjawaban atas kerugian perseroan. Kerugian itu mungkin bisa timbul dari kebijakan direksi yang diambilnya dan seorang direksi perusahaan negara atau BUMN merupakan kategori pejabat pemerintah dalam arti luas, menyangkut semua pejabat yang turut dalam penyelenggaraan tugas-tugas negara.
Secara hukum administrasi negara, berdasarkan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (disingkat UU PTUN), seorang pejabat publik dapat digugat melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) jika memenuhi syarat untuk diajukan gugatan TUN. Gugatan tersebut berisi tuntutan terhadap badan atau pejabat TUN dan diajukan ke PTUN untuk mendapatkan putusan.
Berdasarkan Pasal 2 UU PTUN, ada 7 (tujuah) macam keputusan yang tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut undang-undang ini adalah:
1.      Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;
2.      Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;
3.      Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;
4.      Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;
5.      Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
6.      Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia;
7.      Keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum.
Berdasarkan Pasal 2 UU PTUN tersebut di atas, jelas disebutkan bahwa Keputusan TUN yang merupakan perbuatan hukum perdata, umpamanya keputusan yang menyangkut masalah jual-beli yang dilakukan antara instansi pemerintah dan perseorangan yang didasarkan pada ketentuan hukum perdata. Jenis Keputusan TUN ini tidak dapat diselesaikan dalam PTUN melainkan dalam peradilan perdata (peradilan umum).
Kemudian Keputusan TUN yang merupakan pengaturan yang bersifat umum, yang dimaksud dengan pengaturan yang bersifat umum adalah pengaturan yang memuat norma-norma hukum yang dituangkan dalam bentuk peraturan yang kekuatan berlakunya mengikat setiap orang. Jenis Keputusan TUN ini juga tidak dapat diselesaikan atau diajukan gugatannya di PTUN dan termasuk dalam hal kebijakan hukum pidana (criminal polcy).
Dengan demikian sesuai Pasal 1 angka 3 UU PTUN dari ketujuh macam tersebut, maka Keputusan TUN yang masuk dalam ranah hukum administrasi negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat dimengerti bahwa ada 4 (empat) karakteristik Keputusan TUN yang boleh diajukan gugatannya melalui PTUN adalah:
1.      Keputusan TUN yang merupakan penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN.
2.      Keputusan TUN itu dikeluarkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3.      Keputusan TUN itu bersifat konkret, individual, dan final.
4.      Keputusan TUN itu menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Keputusan TUN yang merupakan penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN. Istilah penetapan tertulis terutama menunjuk kepada isi dan bukan kepada bentuk keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN. Keputusan itu memang diharuskan tertulis, namun yang disyaratkan tertulis bukanlah bentuk formalnya seperti surat keputusan pengangkatan dan sebagainya. Menurut M. Makhfudz tindakan diam dari pejabat administrasi negara disamakan dengan keputusan tertulis.
Persyaratan tertulis itu diharuskan untuk kemudahan segi pembuktian. Oleh karena itu sebuah memo atau nota dapat memenuhi syarat tertulis tersebut dan akan merupakan suatu Keputusan Badan atau Pejabat TUN menurut UU PTUN ini apabila sudah jelas tentang:
  1. Badan atau Pejabat TUN mana yang mengeluarkannya;
  2. Maksud serta mengenai hal apa isi tulisan itu; dan
  3. Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan di dalamnya.
Badan atau Pejabat TUN dimaksud adalah badan atau pejabat di pusat dan daerah yang melakukan kegiatan yang bersifat eksekutif. Tindakan hukum TUN merupakan perbuatan hukum Badan atau Pejabat TUN yang bersumber pada suatu ketentuan hukum Tata Usaha Negara yang dapat menimbulkan hak atau kewajiban pada orang lain.
Bersifat konkret, artinya objek yang diputuskan dalam Keputusan TUN itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan, umpamanya keputusan mengenai rumah si A, izin usaha bagi si B, pemberhentian si A sebagai pegawai negeri. Dicontohkan lagi oleh Darda Syahrizal misalnya keputusan memberikan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk si A.
Bersifat individual artinya Keputusan TUN itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju. Kalau yang dituju itu lebih dari seorang, tiap-tiap nama orang yang terkena keputusan itu disebutkan. Umpamanya, keputusan tentang perbuatan atau pelebaran jalan dengan lampiran yang menyebutkan nama-nama orang yang terkena keputusan tersebut. Individual artinya Keputusan TUN itu tidak ditujukan untuk umum melainkan pada tujuan tertentu, baik dengan menyebut nama, alamat, maupun hal yang dituju.
Sedangkan bersifat final tidak lagi memerlukan persetujuan dari atasan. Dengan kata lain sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum. Keputusan yang masih memerlukan persetujuan instansi atasan atau instansi lain belum bersifat final karenanya belum dapat menimbulkan suatu hak atau kewajiban pada pihak yang bersangkutan. Umpamanya, keputusan pengangkatan seorang pegawai negeri memerlukan persetujuan dari Badan Administrasi Kepegawaian Negara.
Pejabat pemerintah diberi wewenang untuk melakukan perbuatan administrasi negara seperti: mengeluarkan keputusan (beschikking), mengeluarkan peraturan (regeling), dan melakukan perbuatan materil. Dari ketiga perbutan administrasi negara itu, yang tidak termasuk dalam kompetensi PTUN adalah mengeluarkan peraturan (regeling) karena hanya mengatur hal-hal yang bersifat general (umum) dan mengikat. Sedangkan keputusan (beschikking) juga merupakan peristiwa yang melaksanakan hal-hal yang bersifat umum tetapi diaktualisasikan ke dalam hal-hal yang kongkrit sehingga dapat dilaksanakan gugatannya di PTUN.
Mengeluarkan peraturan (regeling) dikenal pula dalam istilah peraturan kebijakan (beleidsregels) yang dikeluarkan dengan menggunakan wewenang diskresi. Beleidregels merupakan jenis peraturan yang tidak termasuk dalam peraturan perundang-undangan, sehingga tidak dapat diuji secara hukum, karena memang tidak ada peraturan perundang-undangan sebagai dasar pembuatannya melainkan berdasarkan pada wewenang diskresi (freies ermessen). Dengan demikian pejebata yang mengeluarkan beleidregels tidak dapat digugat di PTUN.
Pembuatan Keputusan TUN dalam bentuk beschikking harus memperhatikan beberapa persyaratan agar keputusan tersebut menjadi sah menurut hukum (rechtgeldig) dan memiliki kekuatan hukum (rechtskracht) untuk dilaksanakan. Syarat-syarat yang harus diperhatikan dalam pembuatan keputusan mencakup syarat materil dan syarat formil sebagai berikut:
1.      Syarat-syarat materil terdiri atas:
a.       Organ pemerntah yang membuat keputusan harus berwenang.
b.      Keputusan tidak boleh mengandung kekurangan-kekurangan yuridis, seperti, penipuan (bedrog), paksaan (dwang), atau suap (omkoping), kesesatan (dwaling).
c.       Keputusan harus didasarkan pada suatu keadaan atau situasi tertentu.
d.      Keputusan harus dapat dilaksanakan tanpa melanggar peraturan-peraturan lain, serta isi dan tujuan keputusan itu harus sesuai dengan isi dan peraturan dasarnya.
2.      Syarat-syarat formal terdiri atas:
a.       Syarat-syarat yang ditentukan berhubungan dengan persiapan dibuatnya keputusan dan cara-cara (prosedur) dibuatnya keputusan harus sesuai.
b.      Keputusan harus diberi bentuk yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya keputusan itu.
c.       Syarat-syarat yang berhubungan dengan pelaksanaan keputusan itu harus terpenuhi.
d.      Jangka waktu harus ditentukan antara timbulnya hal-hal yang menyebabkan dibuatnya dan diumumkannya keputusan itu harus diperhatikan.
Apabila syarat materil dan syarat formil tersebut terpenuhi, maka keputusan itu sah menurut hukum artinya dapat diterima sebagai suatu bagian dari tertib hukum atau sejalan dengan ketentuan hukum yang ada baik secara proseduran/formal maupun materil. Sebaliknya, bila satu atau beberapa persyaratan itu tidak terpenuhi, maka keputusan itu mengandung kekuarangan dan menjadi tidak sah. Upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap suatu Keputusan TUN yang tidak sah, dapat diajukan upaya hukum ke PTUN guna pembatalan.
Suatu Keputusan TUN dianggap tidak sah jika dibuat oleh organ yang tidak berwenang (onbevoegdheid), mengandung cacat hukum (vormgebreken), cacat isi (inhoudsgebreken), dan cacat kehendak (wilsgebreken). Jika kepeutusan itu tidak sah, maka keputusan itu harus dibatalkan melalui gugatan ke PTUN. Dapat pula dilakukan pembatalan melalui jabatan yaitu diajukan kepada pihak pemerintah itu sendiri agar dibatalkan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dipahami bahwa upaya-upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap kebijakan publik yang salah atau yang menimbulkan kerugian negara atau perekonomian negara jika dari dikaji perspektif hukum administrasi negara adalah mengajukan gugatan terhadap kasus tersebut ke PTUN yang berada dalam ranah hukum administrasi negara bukan mengajukan tuntutan pidana ke peradilan pidana.
Sekalipun Keputusan TUN itu menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata berupa kerugian ekonomis, bagi pejabat pemerintah yang mengambil Keputusan TUN tersebut hanya bisa diajukan gugatan perbuatan penyalahgunaan wewenang ke PTUN bukan ke pengadilan negeri. Karena hal itu sesuai pula dengan prinsip primum remedium agar sejalan dengan asas systematische specialiteit.