Tampilkan postingan dengan label AERTIKEL. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label AERTIKEL. Tampilkan semua postingan

Senin, 27 Juni 2016



PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM TINDAK PIDANA
PENCUCIAN UANG

Oleh:
Bisdan Sigalingging, SH, MH
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

Pembuktian terbalik yang diatur secara substantif dalam 77 UUPPTPPU dalam praktik dipergunakan dalam instrumen criminal forfeiture, padahal konsep lahirnya prinsip, asas, dan doktrin dalam teori pembuktian terbalik hanya diperkenankan dalam hukum perdata yang dikenal dalam instrumen civil forfeiture. Pasal 77 UUPPTPPU pada prinsipnya menganut pembuktian terbalik murni, namun dalam praktik yang diterapkan adalah model pembuktian terbalik secara berimbang.
Ada tiga beban pembuktian, yaitu beban pembuktian pada penuntut umum, beban pembuktian pada terdakwa, dan beban pembuktian berimbang. Kedua beban pembuktian yang terakhir yaitu beban pembuktian pada terdakwa dan beban pembuktian berimbang adalah kategori pembuktian terbalik (shifting of burden of proof) untuk perkara-perkara tindak pidana khusus (vide: Pasal 37 UUPTPK dan Pasal 77 UUPPTPPU), sedangkan beban pembuktian pada penuntut umum merupakan pembuktian biasa (vide: Pasal 66 KUHAP).
Beban pembuktian pada penuntut umum yang dikenal juga dengan pembuktian biasa (konvensional). Penuntut umum lah yang diwajibkan membuktikan kesalahan terdakwa berdasarkan alat-alat bukti yang ada, sedangkan tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian (vide: Pasal 66 KUHAP). Justifikasi penggunaan beban pembuktian pada penuntut umum ini dijustifikasi dari prinsip hukum yang mengatakan terdakwa berhak untuk diam (the right to remain silent), terdakwa tidak boleh dipaksa untuk bicara dalam proses persidangan.
Ada asas actori incumbis probatio mengatakan siapa yang mendalilkan atau menyangkal hak orang maka ia harus membuktikannya, atau pihak yang mendalilkan itulah yang harus membuktikan dalilnya tersebut. Pembuktian pada penuntut umum tunduk pada asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) atau asas tidak mempersalahkan diri sendiri (non self incrimination) untuk menjunjung tinggi hak asasi terdakwa (yaitu hak untuk diam). Penuntut umum harus menganggap terdakwa bukan orang yang bersalah sebelum terbukti kesalahannya di sidang pengadilan.
Pembuktian terbalik membebankan pembuktian pada tersangka/terdakwa dan beban pembuktian berimbang. Beban pembuktian pada tersangka/terdakwa mewajibkan tersangka/terdakwa atau penasihat hukumnya lah membuktikan ketidakbersalahan tersangka/terdakwa. Beban pembuktian ini menggeser asas parduga tidak bersalah menjadi praduga bersalah. Tersangka/terdakwa sebelum diputus hakim pengadilan sudah diduga bersalah. Beban pembuktian pada tersangka atau terdakwa inilah yang merupakan model pembuktian terbalik absolut (murni).
Pembuktian yang dibebankan pada tersangka/terdakwa merupakan penyimpangan dari hukum pembuktian biasa (konvensional) pada umumnya yang dipakai dalam Pasal 66 KUHAP. Beban pembuktian pada penuntut umum (pembuktian biasa) menempatkan kedudukan hak asasi tersangka atau terdakwa paling tertinggi sedangkan beban pembuktian pada tersangka atau terdakwa (pembuktian terbalik murni) memaksa terdakwa berbicara untuk membuktikan bahwa ia maupun asetnya tidak bersalah.   
Beban pembuktian pada penuntut umum (pembuktian biasa) sebagaimana diatur dalam Pasal 66 KUHAP berbeda secara ekstrim dengan prinsip pembuktian terbalik absolut yang terdapat dalam Pasal 37 UUPTPK dan Pasal 77 UUPPTPPU. Jika penuntut umum dibebankan membuktikan kesalahan tersangka/terdakwa disebut dengan beban pembuktian biasa, sedangkan jika beban pembuktian itu dibebankan kepada si tersangka/terdakwa disebut dengan pembuktian terbalik.
Pembuktian terbalik secara berimbang atau pembuktian terbalik keseimbangan kemungkinan atau pembuktian terbalik bersifat terbatas, tetap membebankan pembuktian pada tersangka/terdakwa, tetapi penuntut umum juga dibebankan untuk membuktikan. Baik penuntut umum maupun tersangka/terdakwa dan atau kuasanya saling membuktikan di sidang pengadilan. Penuntut umum akan membuktikan kesalahan terdakwa, sebaliknya terdakwa bersama penasihat hukumnya akan membuktikan ketidakbersalahan tersangka/terdakwa. Mereka sama-sama saling membuktikan keabsahan alat-alat bukti.
Berdasarkan penjelasan dari ketiga macam model pembuktian tersebut maka inti dari pembuktian terbalik adalah mewajibkan terdakwa untuk membuktian bahwa ia tidak bersalah dan/atau asetnya tidak ternodai/tercemar dengan kejahatan. Disebut pembuktian terbalik karena berbeda dari yang biasanya yaitu menggunakan pembuktian biasa dimana beban pembuktiannya ada pada penuntut umum, sedangkan beban pembuktian terbalik ada pada tersangka/terdakwa untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah dan/atau asetnya tidak ternodai/ternodai dengan korupsi.
Ketentuan pembuktian terbalik dalam Pasal 77 UUPPTPPU pada prinsipnya yang dikejar adalah aset/harta kekayaan yang tercemar/ternodai dengan tindak pidana dengan memperkenalkan suatu instrumen hukum yang mengatur penyitaan aset secara perdata dan pidana dilaksanakan secara terpisah. Model pembuktian terbalik murni/absolut digunakan sebagai sarana hukum untuk merampas aset secara perdata melalui instrumen civil forfeiture sedangkan model pembuktian terbalik secara berimbang digunakan untuk merampas aset secara pidana melalui instrumen criminal forfeiture.
Rejim perdata dalam perspektif civil forfeiture bisa lebih evektif dalam mengembalikan aset yang dicuri oleh para pelaku dibandingkan melalui rejim pidana (criminal forfeiture). Rejim civil forfeiture mempunyai kelebihan dalam mempermudah pengambilan aset melalui proses pembuktian terbalik murni/absolut tanpa putusan pengadilan. Civil forfeiture menggunakan rejim hukum perdata yang menggunakan standar pembuktian lebih rendah dari pada standar yang dipakai dalam hukum pidana. Jika pemerintah cukup mempunyai bukti awal bahwa aset yang akan dirampas adalah aset yang tercemar/ternodai dengan tindak pidana, maka terhadap aset/harta tersebut harus dirampas tanpa melalui putusan pengadilan.
David Scott Romantz mengatakan, civil forfeiture adalah merupakan suatu instrumen penyitaan atau perampasan terhadap asetnya saja. Konsep civil forfeiture didasarkan pada doktrin mencemari (taint doctrine) dimana sebuah tindak pidana dianggap noda atau menodai (taint) sebuah aset. Jika menggunkana instrumen hukum pidana, perampasannya dilakukan melalui criminal forfeiture dan jika menggunakan instrumen hukum perdata disebut civil forfeiture. Konsep civil forfeiture tidak bergantung pada tuntutan pidana dan kedua-duanya dapat sekaligus dijalankan. Criminal forfeiture bertujuan untuk menuntut orang atau pelaku melalui gugatan in personam (gugatan terhadap orang) dan gugatan in rem sedangkan civil forfeiture bertujuan untuk merampas aset atau harta kekayaan tanpa melalui putusan pengadilan.
Perampasan aset sebagai alat yang tangguh untuk merampas kembali hasil-hasil tindak pidana, terutama dalam kasus-kasus besar dimana hasilnya telah ditranfer ke luar negeri. Sehubungan dengan hal tersebut, maka teori yang digunakan dalam pembuktian tindak pidana pencucian uang di samping dari teori pembuktian yang dianut di dalam KUHAP yaitu negatief wettelijk bewijsleer, juga digunakan teori pembuktian terbalik murni yang semata-mata bertujuan untuk merampas asetnya saja atau harta kekayaannya saja yang tercemar/ternodai kejahatan melalui undang-undang pencucian uang.
Teori pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijk bewijsleer) mengandung keseimbangan antara kedua sistem yang saling bertolak belakang secara ekstrim antara teori pembuktian menurut positief wettelijk bewijsleer dan conviction in time. Untuk menyatakan salah atau tidaknya terdakwa (kesalahan pidana), tidak cukup berdasarkan keyakinan hakim semata-mata atau hanya didasarkan atas alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang. Seorang terdakwa baru dapat dinyatakan bersalah jika kesalahan yang didakwakan kepadanya dapat dibuktikan dengan cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang sekaligus dibarengi dengan keyakinan hakim barulah putusan dijatuhkan.
Tampaknya ketentuan pembuktian terbalik dalam undang-undang (das sollen) berbeda dengan penerapan pembuktian terbalik dalam praktik di sidang pengadilan (das sein). Klausula normatif dalam Pasal 77 UUPPTPPU mengenai pembuktian terbalik tidak sepenuhnya diterapkan secara kongkrit terhadap pembuktian aset/harta kekayaan hasil kejahatan, akan tetapi terhadap kesalahan si pelaku juga diterapkan ketentuan syarat minimal pembuktian sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 183 KUHAP. Padahal bila dicermati ketentuan Pasal 77 UUPPTPPU dan unsur “patut diduga” maka pembuktian berdasarkan conviction in time dapat diterapkan melalui pembuktian terbalik murni khusus untuk merampas aset/harta yang tercemar/ternodai kejahatan.
Orientasi permbuktian terbalik murni adalah mengejar kesalahan perdata karena pembuktian terbalik murni berfokus pada asetnya atau harta kekayaannya saja, bukan terhadap kesalahan pidana pelakunya. Sejalan dengan teori pertanggungjawaban mutlak (strict liability) juga mengejar kesalahan perdata yang pada intinya mengenakan ganti rugi tanpa bergantung pada kesalahan pidana. Salah satu guna permbuktian terbalik murni adalah misalnya dapat digunakan untuk merampas aset/harta “tak bertuan”.
Berdasarkan penerapan teori-teori pembuktian dalam praktik beracara untuk perkara tindak pidana pencucian uang, hakim-hakim pengadilan cenderung menggunakan teori pembuktian menurut negatief wettelijk bewijsleer, di samping itu memberikan kesemapatan lebih dahulu kepada terdakwa untuk membuktikan harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. Kepada penuntut umum juga diberikan kesempatan untuk mempertahankan dalil-dalil dalam dakwaannya setelah terdakwa membuktikan lebih dahulu.
Ini berarti antara ketentuan substantif dan praktik tidak sejalan. Secara substantif dianut pembuktian terbalik murni dalam Pasal 77 UUPPTPPU, namun dalam praktik justru model pembuktian yang diterapkan adalah pembuktian terbalik secara berimbang, hanya saja terdakwa diberi kesempatan lebih dahulu untuk membuktikan, baru kemudian penuntut umum juga diberi kesempatan untuk mempertahankan alat bukti yang diajukannya.
Penerapan teori pembuktian negatief wettelijk bewijsleer dalam praktik perkara pencucian uang, tidak pula didominasi dari salah satu teori yang tergabung (gabungan antara positief wettelijk bewijsleer dan conviction in time), tetapi keduanya tetap digunakan. Sekalipun kesalahan terdakwa sudah cukup terbukti berdasarkan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, namun jika hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa, maka terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah. Sebaliknya dalam praktik, jika hakim benar-benar yakin terdakwa bersalah melakukan kejahatan yang didakwakan kepadanya, tetapi keyakinan tersebut tidak didukung dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, terdakwa tidak dapat juga dinyatakan bersalah.
Kedua model pembuktian (yaitu positief wettelijk bewijsleer dan conviction in time) dalam praktik tetap digunakan untuk saling mendukung. Sehingga dapat dikatakan bahwa dalam praktik bercara di persidangan untuk perkara-perkara tindak pidana pencucian uang tidak jauh berbeda dengan penerapan konsep pembuktian KUHAP yang menggunakan negatief wettelijk bewijsleer. Singkatnya dalam praktik pembuktian terbalik murni masih belum bisa dilaksanakan atau mungkin masih ada keraguan dalam menerapkan model pembuktian terbalik murni karena mekanismenya tidak diatur dalam undang-undang khusus perampasan aset.
Padahal Pasal 77 UUPPTPPU mengandung model pembuktian terbalik murni. Murni berarti tidak perlu dibutuhkan terbuktinya kesalahan pidana, tetapi konsepnya adalah ”bila terdakwa tidak dapat membuktikan harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana, maka harta tersebut wajib dirampas/disita”. Dalam konteks ini yang dikejar adalah kesalahan perdata, yang berorientasi pada pengejaran kesalahan asetnya, bukan pengejaran kesalahan pidana terhadap pelakunya.
Pemeriksaan pokok perkara dalam proses acara sidang pidana dimulai dengan pembukaan hakim ketua sidang dinyatakan dibuka atau terbuka untuk umum, kemudian dilanjutkan pemeriksaan terhadap identitas, dan peringatan ketua sidang kepada terdakwa supaya mendengar dan memperhatikan segala sesuatu yang terjadi dalam persidangan, pembacaan catatan/surat dakwaan, acara keberatan/eksepsi dari terdakwa dan atau penasehat hukumnya, dan mendengar pendapat penuntut umum, penetapan/keputusan sela, pemeriksaan alat bukti, tuntutan pidana (requisitoir), pembelaan (pleidooi), replik (repliek), duplik (dupliek), rereplik (re-repliek), reduplik (re-dupliek), pernyataan pemeriksaan ditutup, serta musyawarah majelis hakim dan pembacaan putusan diucapkan.
Bilamana praktik persidangan tindak pidana pencucian uang lebih dahulu mempersilahkan kepada terdakwa untuk membuktikan harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana, namun kepada penuntut umum masih diberikan kesempatan untuk mempertahankan dalil-dalil dakwaannya, tuntutan pidananya (requisitoir), repliknya (repliek), dan rerepliknya (re-repliek), maka penerapan model demikian bukanlah model pembuktian terbalik murni, melainkan model pembuktian terbalik secara berimbang.
Jika penuntut umum menurut Martiman Prodjohamidjojo masih tetap diwajibkan membuktikan dakwaannya, maka pembuktian model ini adalah bersifat terbatas dan berimbang. Sutan Remy Sjahdeini juga berpendirian sama dan mengatakan penuntut umum tetap harus mendasarkan dakwaannya dengan bukti-bukti, karena bila tidak disertai bukti-bukti berpotensi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of judiciary power), sama sekali tidak dibenarkan untuk mengajukan dakwaan tanpa bukti-bukti mengenai fakta-fakta tindak pidana pencucian uang.
Pasal 77 UUPPTPPU pada prinsipnya menganut pembuktian terbalik murni, namun dalam praktik justru yang diterapkan adalah model pembuktian terbalik secara berimbang. Untuk memahami itu bisa dibandingkan dengan Pasal 81 UUPPTPPUyang masih menegaskan kalimat ”diperoleh bukti yang cukup”. Dari redaksi “diperoleh bukti yang cukup” pasal ini berarti masih diperlukan alat-alat bukti yang cukup, sementara kata “cukup” di sini maksudnya adalah cukup menurut syarat minimal pembuktian dalam Pasal 183 KUHAP (minimal harus ada dua alat bukti). Sementara dalam teori pembuktian terbalik murni tidak diperlukan syarat minimal dua alat bukti, tetapi cukup dengan: ”bila terdakwa tidak dapat membuktikan harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana, maka harta tersebut wajib dirampas”.


MENDORONG KESADARAN MASYARAKAT
DALAM BERLALULINTAS*

Oleh
Bisdan Sigalingging, S.H., M.H.**


Kerusakan Sistim Dalam Hukum Lalulintas
Faktor-faktor masyarakat tidak taat pada aturan lalulintas dapat diidentifikasi dari lingkup sistim hukum meliputi: struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substances), budaya hukum (legal culture).[1] Bagian-bagian dalam sistim hukum[2] tersebut harus terorganisir dan bersama-sama[3] dalam prosesnya mencapai tujuan hukum. Kehidupan akan menjadi tertata dan kepastian dalam masyarakat akan tercipta dengan adanya sistem hukum.[4]
Menurut Ludwig Von Bertalanffy ”system are complexes of element standing in interaction”. Menurut A.D. Hall dan R.E. Fagen adalah “a set of objects together with relationship between the objects and between the attributes. Menurut Kennet Berrien adalah “a system is a set of component, interacting with each other”. Sistem memiliki komponen-komponen yang dirancang untuk mencapai tujuan tertentu sesuai dengan rencana.[5]
Struktur hukum yaitu keseluruhan institusi-institusi hukum yang ada beserta aparatnya, mencakup antara lain pemerintah atau negara, legislatif, kepolisian dengan para polisinya, kejaksaan dengan para jaksanya, pengadilan dengan para hakimnya, dan lain-lain.[6]
Struktur hukum ibarat mesin sedangkan substansi hukum adalah apa yang dihasilkan atau dikerjakan oleh mesin itu, sedangkan budaya hukum adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan mesin itu serta memutuskan bagaimana mesin itu digunakan.[7] Substansi hukum berada pada urutan kedua setelah struktur hukum.
Substansi hukum mencakup produk yang dihasilkan dan dikerjakan oleh struktur hukum dapat berupa aturan hukum, norma hukum, dan asas hukum, baik norma-norma maupun asas-asas hukum yang tertulis dalam undang-undang maupun yang tidak tertulis tetapi hidup dan berkembang di dalam masyarakat (living law) yang bersumber dari hukum alam (hukum dalam kitab suci dan hukum dalam alam semesta).
Budaya hukum mencakup suasana pikiran, pola pikir, sikap, tingkah laku, dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan, meliputi opini, kepercayaan atau keyakinan, kebiasaan, cara berfikir, dan cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga masyarakat, tentang hukum dan berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum.[8]
Budaya hukum yang positif (positive legal culture) mengandung nilai-nilai yang baik berhubungan dengan hukum,[9] baik bersumber dari hukum agama (hukum Tuhan) maupun hukum negara (hukum positif). Tanpa budaya hukum, sistim hukum itu sendiri tidak akan berdaya seperti ikan mati yang terkapar di keranjang, bukan seperti ikan hidup yang berenang di lautnya.[10]
Faktor penting dari sekian banyak faktor penyebab masyarakat dan pelaksana hukum tidak patuh terhadap hukum adalah budaya hukum (legal culture). Budaya hukum lah elemen yang paling penting dibenahi untuk menyadarkan masyarakat dan pelaksana hukum terdorong kesadarannya patuh terhadap aturan lalulintas.
Berbagai macam-ragam fakta di lapangan terkait pelanggaran lalulintas mulai dari tidak membawa Surat Tanda Kendaraan Bermotor (STNK), tidak membawa Surat Izin Mengemudi (SIM), memodifikasi standar produksi kendaraannya, menerobos lampu di persimpangan, tidak pakai helm, hingga kebiasaan membawa-bawa deking merupakan contoh-contoh tradisi, budaya, atau kebiasaan buruk (negative legal culture) masyarakat dalam berlalulintas.
Bukan saja dari sisi masyarakatnya tetapi juga dari sisi aparatur hukum pun khususnya para oknum juga terlibat sebagai pelaku dalam negative legal culture. Untuk itu kedua kelompok ini harus sama-sama diperbaiki untuk membiasakan diri secara individual maupun insitusional berperilaku positief legal culture dan meninggalkan kebiasaan negative legal culture
Sebaik dan sebagus apapun substansi hukum itu dibuat jika struktur hukumnya (masyarakat maupun aparatur hukum) tidak bermoral maka niscaya keasadaran masyarakat dan pelaksana hukum mematuhi aturan lalulintas tidak akan tercapai hingga dunia kiamat. Sebaik dan sebagus apapun substansi dalam Undang-Undang Lalulintas[11] tidak akan berguna dan tidak akan bermanfaat jika mesin-mesinnya tidak bekerja dengan baik dan bertanggung jawab serta membiasakan positive legal culture dalam kehidupannya.
Struktur hukum ibarat mesin yang harus bisa membuat atau merancang substansi hukum menjadi lebih baik. Substansi yang dihasilkan atau dikerjakan oleh mesin itu menampakkan wujudnya dalam kebijakan substantif maupun kebijakan aplikatif, baik secara tertulis maupun tidak tertulis.
Budaya hukum menyangkut siapa saja yang memutuskan atau menghidupkan mesin itu untuk digunakan atau memperbaiki mesin itu jika rusak. Jika bicara soal siapa saja yang memutuskan atau menghidupkan mesin atau memperbaiki mesin itu jika rusak, berarti bicara soal subjektifnya, baik masyarakat maupun aparatur hukum, baik individual maupun institusional. Berarti tergambarlah siapa dan apa saja faktor-faktor penyebab terjadinya pelanggaran lalulintas.
Bagaimana upaya untuk mendorong masyarakat agar sadar dan taat pada aturan lalulintas di jalan raya? Pertanyaan ini terlalu dini ditujukan kepada masyarakat saja. Pertanyaan ini jangan hanya ditujukan pada masyarakatnya tetapi yang lebih penting adalah ditujukan terlebih dahulu kepada pembuat dan pelaksana hukum itu. Pembuat dan pelaksana hukum seharusnya menjadi panutan, contoh, suri tauladan, yang berarti di depan ia harus mampu memberikan positive legal culture kepada semua orang yang diayominya, dilindunginya, dan dilayaninya yaitu masyarakat.
Dari sisi pembuatan Undang-Undang Lalulintas[12] bicara soal kebijakan dalam politik hukum dan tidak perlu dibahas di sini. Akan tetapi pembahasan ini berfokus pada pelaksana amanah dari hukum itu sendiri yaitu aparatur hukum dan masyarakatnya (struktur hukum dan budaya hukum). Masyarakat dijamin tidak akan mau atau takut melanggar rambu-rambu lalulintas atau selalu disiplin berlalulintas termasuk melengkapi surat-surat kendaraannya jika polisi lalulintas bisa menjadi panutan, contoh, suri tauladan, di depan harus mampu memberikan positive legal culture kepada semua orang tanpa ada pembedaan sekalipun terganjal karena ikatan keluarga atau sahabat dan lain-lain.


Pendekatan Hukum Alam (Natural Law Approach)
Mendorong keasadaran masyarakat dalam berlalulintas dari pendekatan hukum alam (natural law) dititikberatkan pada penyadaran pentingnya hukum moral (morality law), sumbernya adalah hukum alam (hukum agama dan hukum alam semesta). Tidak ada satu agama manapun yang mengajarkan agar kita selalu berbuat kerusakan dan pelanggaran serta perpecahaan di muka bumi ini. Lalu pertanyaannya mengapa kita tidak takut pada ajaran agama kita? Mengapa kita tidak takut pada Tuhan kita? Mengapa kita selalu melanggar aturan yang dibuat oleh penguasa (pemimpin) negara kita?
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang perlu kita harus sadari lebih dahulu untuk menginsyafi siapa kita sebenarnya, di mana kita, untuk siapa kita, untuk ke mana kita, bagiamana kita seharusnya berbuat dan bertindak sepatutnya untuk membiasakan hidup kita selalu berada dalam kerangka positive legal culture.
Undang-Undang Lalulintas[13] mewajibkan warga negara Indonesia pakai helm saat berkendaaraan betujuan untuk kebaikan dirinya sendiri dan orang lain agar dapat melindungi kepala dari benturan jika terjadi kecelakaan lalulintas (lakalantas). Ini adalah perintah Tuhan untuk menjaga diri kita dari segala mara bahaya dan berhati-hati, yang kemudian diadopsi dalam hukum nasional (hukum positif). Bukankah negara dalam UUD Tahun 1945 menjamin dan melindungi seluruh warga negaranya? Itu semua wujud dari sila ke-1 Pancasila.
Ugal-ugalan di jalan raya merupakan satu contoh masyarakat tidak sadar berlalulintas. Bukankah perbuatan ini dapat membunuh atau mencelakai pengguna jalan lainnya? Padahal Tuhan menyuruh kita harus saling sayang-menyangi, saling melindungi, termasuk tidak berbuat hal-hal yang membahayakan bagi yang lain. Kita harus menghitung-hitung kesalahan diri kita sendiri terlebih dahulu baru hitung kesalahan orang lain.
Pengguna jalan dengan sesuka hatinya berhenti atau memarkirkan kendaraannya sembarangan di jalan raya merupakan satu contoh perilaku yang tidak sadar berlalulintas. Bukankah kita diperintahkan Tuhan untuk hidup tertata, rapi, tidak saling mengganggu bagi yang lain, berada pada haknya masing-masing, tidak mengambil hak atau mengganggu hak orang lain sesama pengguna jalan raya? Semua itu kembali pada diri kita, mau sadar atau tidak, atau mau jadi warga negara yang kacau balau.
Analisis dari sisi pendekatan hukum alam ini berlaku bagi semua orang, baik bagi masyarakat maupun bagi aparatur pelaksana hukum lalulintas yaitu polisi lalulintas (polantas). Mendorong keasadaran masyarakat dalam berlalulintas dari sisi pendekatan hukum alam menyadarkan kita semua menginsyafi bagaimana mengenali diri kita lebih bermakna hingga pada makna filosofis. 
Bicara soal budaya hukum meliputi dua aspek yaitu budaya hukum negatif (negative legal culture) dan budaya hukum positif (positive legal culture). Pertanyaannya saat ini kita berada pada budaya yang mana, apakah pada budaya yang positif atau budaya negatif. Budaya hukum yang positif tentu mengandung hal-hal yang bernuansa positif, mendatangkan manfaat yang baik, bersumber dari nilai-nilai agama dan ketuhanan, serta sesuai dengan kaidah-kaidah kepatutan dan kepantasan di dalam pergaulan masyarakat.
Budaya hukum positif (positive legal culture) sudah pasti sumbernya dari hukum-hukum agama (hukum Tuhan) yang mengandung nilai-nilai tertinggi dan mengandung paradigma yang lebih bijaksana (wisdom), tidak mengandung hal-hal yang negatif yang lebih banyak mendatangkan keburukan dan kekacauan bagi diri sendiri maupun bagi semua orang.
Membiasakan hidup dengan teratur, rapi, berdisiplin dalam berlalulintas menunjukkan karakter bangsa Indonesia yang agamais, tetapi jika hidup tidak teratur, tidak rapi, dan kacau balau dalam berlalulintas, berarti perlu dipertanyakan dan dikoreksi kembali sejauh mana pemahamannya terhadap agamanya masing-masing.
Berdasarkan pendekatan hukum alam ini maka kondisi hukum lalulintas di Indonesia di masa yang akan datang (ius constituendum) dalam pelaksanaannya tidak ada lagi kolusi, korupsi, dan nepotisme, tidak ada lagi masyarakat yang tidak pakai helm, tidak ada lagi masyarakat yang melanggar lampu di persimpangan jalan raya, tidak ada lagi perilaku deking-dekingan, merasa anak polisi, merasa anak pejabat, merasa anak presiden, dan lain-lain, jika semua orang, baik masyarakat maupun aparatur hukum, baik individu maupun institusional menghilangkan semua praktik-praktik negative legal culture ini.
Untuk dapat menghilangkan semua praktik-praktik negative legal culture tersebut terutama bagi polantas harus menunjukkan dirinya sebagai polisi modern, dekat dengan masyarakat tetapi tegas dalam menindak pelanggar tanpa terkecuali. Menjadi panutan, contoh, suri tauladan yang baik di depan, mampu memberikan positive legal culture kepada semua orang yang diayominya, dilindunginya, dan dilayaninya yaitu masyarakat.
Jika pelaksana hukum lalulintas yaitu polantas mampu menunjukkan sebagai panutan, contoh, suri tauladan yang baik di depan masyarakat memberikan positive legal culture kepada semua orang yang diayominya, dilindunginya, dan dilayaninya, maka suatu waktu jika ada masyarakat yang melanggar aturan lalulintas, penindakannya dapat betul-betul dilaksanakan secara refresif, mudah-mudahan masyarakat pun tercegah dengan sendirinya dari perilaku-perlikau negative legal culture.

Pendekatan Hukum Positif (Positivistik Approach)
Jika tadi telah dibicarakan bagaimana cara mendorong keasadaran masyarakat dalam berlalulintas dari pendekatan hukum alam termasuk mendorong kesadaran aparatur hukumnya dari penyadaran hukum moral, maka tiba saatnya penguatan Undang-Undang Lalulintas[14] mesti ditegakkan secara ketat, tanpa kecuali. Tahap kedua ini lebih dititikberatkan pada penguatan positivistik dan menjunjung tinggi kepastian hukum (legal certainty).
Penguatan hukum positif merupakan alternatif paling strategis untuk memberikan efek pencegahan (detterence effect) kepada masyarakat, termasuk efek pencegahan itu betul-betul dilaksanakan oleh para petinggi-petinggi di Kepolisian untuk memberikan sanksi terhadap para oknum yang tidak mendukung penegakan hukum (law inforcement) lalulintas.
Penerapan sanksi denda bagi pelanggar harus betul-betul diterapkan dan tidak boleh main ”86” di jalan, denda wajib disetor ke negara, berapa denda disebut dalam undang-undang jangan dikurang-kurangi atau ditawar-tawar. Sehingga dengan denda dan mekanisme sidang untuk pelanggaran lalulintas (pelanggaran ringan) dengan proses panjang memaksa masyarakat harus mengukiti sidang pengadilan. Pengenaan denda melalui proses sidang terus-menerus dilaksanakan jika masyarakat melanggar lagi, sampai masyarakat bosan melanggar aturan lalulintas.
Sebagaimana telah disinggung dalam teori sistim hukum terdapat didalamnya elemen-elemen yang meliputi struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum.[15] Lawrence Milton Friedman menekankan penegakan hukum pada aspek kinerja aparatur hukum serta sarana dan prasarana hukum itu sendiri yang diibaratkannya seperti mesin.[16]
Struktur hukum mencakup keseluruhan institusi-institusi hukum baik lembaga-lembaga pemerintahan maupun aparat penegak hukum dalam criminal justice system.[17] Kinerja struktur hukum (mesin) dapat dilihat dalam pelaksanaan penegakan hukum (law inforcement) lalulintas apakah sesuai maksud undang-undang atau tidak.
Masalah prosedur merupakan bagian penting yang dibicarakan dalam penegakan hukum  (vide: JH. Merryman) dan struktur hukum (vide: LM Friedman), karena pada bagian ini hampir selalu menimbulkan masalah. Alasan memfokuskan ini pada prosedur dan struktur hukum karena prosedur dan struktur hukum menyangkut masalah penegakan hukum lalulintas dapat berjalan dengan baik jika polantas betul-betul melaksanakan prosedur hukum jika terjadi pelanggaran lalulintas yang melibatkan masyarakat.
Joseph Goldstein membedakan penegakan hukum pidana dalam tiga bagian yaitu: total enforcement, full enforcement, dan actual enforcement. Tentang total enforcement menyangkut penegakan hukum pidana sesuai rumusan substantifnya. Total enforcement tidak mungkin dilakukan sebab tugas dan wewenang para penegak hukum dibatasi secara ketat oleh hukum acara pidana mencakup aturan-aturan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan pendahuluan.[18]
Full enforcement menyangkut masalah penegakan hukum pidana yang bersifat total tersebut dikurangi area of no enforcement di mana para penegak hukum diharapkan menegakkan hukum secara maksimal (full). Actual enforcement merupakan redusi (sisa) dari full enforcement. Bahwa full enforcement dianggap not a realistic expectation karena ada keterbatasan dalam bentuk waktu, personil, alat-alat investigasi, dana dan sebagainya, yang mengakibatkan keharusan dilakukannya diskresi (discretion) dan sisanya inilah yang disebut dengan actual enforcement.[19]
Penggunaan upaya hukum pidana dalam penegakan hukum merupakan sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan penegakan hukum.[20] Pelanggaran aturan lalulintas oleh masyarakat sudah menjadi negative legal culture yang persoalannya secara terus-menerus berada dalam lingkaran setan yang sama, maka perlu ditindaklanjuti upaya penguatan positivistik dengan melaksanakan penegakan hukum lalulintas itu secara lebih baik dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan yang telah ditentukan dalam undang-undang lalulintas.
REFERENSI

Ali, Achmad, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Jakarta: Kencana, 2009.
Friedman, Lawrence M., American Law And Introduction, Second Edition, (New York: W.W. Norton & Company, 1997), diterjemahkan oleh Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, Jakarta: Tatanusa, 2001.
H.S., Salim, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Jakarta: Rajawali Press, 2012.
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 1995.
Prodjohamidjojo, Martiman, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi (UU No. 20 Tahun 2001), Bandung: Mandar Maju, 2009.
Suherman, Ade Maman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004.



* Makalah disampaikan dalam Dialog Interaktif dengan tema “Mendorong Kesadaran Masyarakat Dalam Berlalulintas”, Kerjasama Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Kantor Wilayah Sumatera Utara dan RRI Pro-2 Medan, Tanggal 27 Juni 2016. 
** Dosen Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa Medan Sumatera Utara (2009-sekarang), dan Mahasiswa Program Doktor (S3) Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan Angkatan 2015 (sekarang).
[1] Lawrence M. Friedman, American Law And Introduction, Second Edition, (New York: W.W. Norton & Company, 1997), diterjemahkan oleh Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, (Jakarta: Tatanusa, 2001), hal. 9.
[2] Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 4.
[3] Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi (UU No. 20 Tahun 2001), (Bandung: Mandar Maju, 2009), hal. 77.
[4] Salim, HS., Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 2012), hal. 71.
[5] Ludwig Von Bertalanffy, A.D. Hall dan R.E. Fagen, Kennet Berrien, Richard A. Jhonson, Fremont E. Kast, dan James E. Resonweig dalam Ade Maman Suherman, Op. cit., hal. 4-5.
[6] Lawrence M. Friedman dalam Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 204. Lihat juga: Lawrence M. Friedman, American Law...diterjemahkan oleh Wishnu Basuki, Loc. Cit.
[7] Ibid., hal. 8.
[8] Ibid.
[9] Ade Maman Suherman, Op. cit., hal. 11-13.
[10] Lawrence M. Friedman, American Law And Introduction, Second Edition, (New York: W.W. Norton & Company, 1997), diterjemahkan oleh Wishnu Basuki, Loc. Cit.
[11] Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
[12] Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
[13] Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
[14] Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
[15] Lawrence M. Friedman, American Law..Op. cit., hal. 9.
[16] Ibid.
[17] Achmad Ali, Loc. cit, hal. 204.
[18] Joseph Goldstein dalam Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 1995), hal. 40.
[19] Ibid.
[20] Ibid., hal. 35.

Minggu, 01 Mei 2016


DOKTRIN BUSINESS JUDGMENT RULE (BJR) DALAM PEMBELAAN DIREKSI PERSEROAN YANG BERITIKAD BAIK

Oleh:
Bisdan Sigalingging, SH, MH
Dosen Hukum Ekonomi
Pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara

A.    Teori Salomon Melatarbelakangi Munculnya Doktrin BJR
Perseroan Terbatas sebagai suatu perusahaan atau suatu entitas ekonomi dimana salah satu karakteristiknya adalah terpusatnya manajemen di bawah struktur Direksi. Oleh karena itu sangat penting untuk mengontrol perilaku para Direksi itu. Awal dari pentingnya fungsi kontrol terhadap Direksi tidak terlepas dari perkembangan teori pemisahan kekayaan dalam hukum perusahaan itu sendiri. Teori ini berasal dari Teori Salomon yang muncul dari Putusan Pengadilan kasus Solomon v Salomon & Co. Ltd (1897).
Teori Solomon mengungkapkan bahwa: Pada sebuah pembentukan perseroan, maka perseroan itu menjadi bagian terpisah dari orang yang membentuknya atau menjalankannya, dimana perusahaan tersebut mempunyai hak dan kewajiban yang berkaitan erat dengan aktivitasnya bukan kepada orang yang memiliki atau menjalakannya.
Teori Solomon sering disalahgunakan oleh Direksi yang beritikad buruk untuk kepentingannya sendiri. Hal ini terjadi karena seorang Direksi perseroan akan selalu berurusan dengan aset milik orang lain, tidak hanya dalam aspek hukum dimana Direksi tersebut berkuasa penuh untuk mengelola aset-aset perusahaan, tetapi juga perusahaan mungkin mempunyai pemegang saham yang menginvenstasikan uangnya dalam perusahaan tersebut dengan membeli saham.
Sedangkan pemegang saham sering kali hanya mempunyai pengawasan yang kecil atau bahkan tidak ada sama sekali terhadap perilaku seorang Direksi. Dengan adanya pemisahaan kekayaan antara Direksi dan perseroan, Direksi mempunyai moral hazard yang tinggi karena mereka tidak mendapat konsekwensi finansial yang serius apabila keputusan mereka merugikan perusahaan. Akibatnya banyak Direksi yang menggunakan kekuasaanya untuk memperkaya diri sendiri yang seringkali menyebabkan perusahaan mereka mengalami kerugian. Direksi harus mengetahui tugas dan tanggung jawabnya kepada perseroan untuk menghindari kerugian perseroan. Hal ini berkaitan dengan prinsip tanggung jawab Direksi atau yang sering disebut dengan ”wajib dipercaya” atau fiduciary duty tersebut.
Prinsip wajib dipercaya ini atau fiduciary duty telah menimbulkan kekhawatiran yang mendalam bagi Direksi untuk mengambil keputusan bisnisnya. Dalam dunia bisnis adalah lazim bagi Direksi untuk mengambil sebuah keputusan yang bersifat spekulatif karena ketatnya persaingan usaha. Permasalahan timbul ketika keputusan bisnis yang diambilnya ternyata merugikan perusahaan, padahal dalam mengambil keputusan tersebut, Direksi tersebut melakukannya dengan jujur dan itikad yang baik. Untuk melindungi Direksi yang beritikad baik tersebut maka muncul doktrin Business Judgment Rule yang merupakan salah satu teori yang sangat popular untuk menjamin keadilan bagi Direksi yang mempunyai itikad baik. Penerapan teori ini mempunyai misi utama, yaitu untuk mencapai keadilan, khusunya bagi para Direksi perseroan dalam melakukan suatu keputusan bisnis.

B.     Doktrin BJR
Doktrin Business Judgment Rule awalnya berasal dari Amerika Serikat untuk mencegah pengadilan-pengadilan di Amerika Serikat untuk mempertanyakan pengambilan keputusan usaha oleh Direksi yang diambil dengan itikad baik (good faith) tanpa kepentingan pribadi dan keyakinan yang dapat dipertanggungjawabkan bahwa mereka telah mengambil suatu keputusan yang menguntungkan perseroan. Doktrin business Judgment Rule muncul sebagai jawaban dari doktrin duty of care. Berlakunya doktrin Business Judgment Rule ini menurut pendapat beberapa ahli hukum dianggap telah memberikan kelegaan karena doktrin duty of care telah menibulkan kekhawatiran yang mendalam bagi para anggota Direksi perseroan di Amerika Serikat pada waktu itu.
Doktrin Business Judgment Rule ini secara tradisional dikonsep untuk melindungi kepentingan anggota Direksi dari pertanggungjawaban diambilnya keputusan usaha tertentu yang menyebabkan kerugian pada perseroan. Mengenai Busines Judgment Rule dalam putusan Mahkamah Agung Delaware di Amerika Serikat, menyebutkan bahwa, Business Judgment Rule melibatkan 2 (dua) hal, yaitu proses dan substansi. Sebagai proses, Business Judgment Rule melibatkan formalitas pengambilan keputusan dalam perseroan. Sedangkan sebagai substansi, Business Judgment Rule menjawab pertanyaan yang berkenaan dengan klaim pembelaan Direksi.
Dalam ilmu hukum doktrin Business Judgment Rule diartikan sebagai aplikasi spesifik dari standar tingkah laku Direksi pada sebuah situasi dimana setelah pemeriksaan secara wajar, Direksi yang tidak mempunyai kepentingan pribadi menggunakan serangkaian tindakan dengan itikad baik, jujur dan secara rasional percaya bahwa tindakannya dilakukan hanya semata-mata untuk kepentingan perusahaan.
Sutan Remy Sjahdeni, menyatakan bahwa menurut Doktrin Business Judgment Rule, pertimbangan bisnis (business judgment) para anggota Direksi tidak dapat ditantang (diganggu gugat) atau ditolak oleh pengadilan atau oleh pemgeng saham. Para anggota Direksi tidak dapat dibebani tanggung jawab atas akibat-akibat yang timbul karena telah diambilnya suatu pertimbangan bisnis (business judgment) oleh anggota Direksi yang bersangkutan sekalipun pertimbangan itu keliru, kecuali dalam hal-hal tertentu. Perbuatan-perbuatan dan pertimbangan bisnis apa saja yang tidak dilindungi oleh Business Judgment Rule sangat penting diketahui oleh masyarakat dan hakim. Hal ini mengingat bahwa apabila dipelajari putusan-putusan pengadilan Amerika Serikat, dapat diketahui ternyata pengadilan-pengadilan itu tidak seragam dalam merumuskan pengecualian-pengecualian dari Business Judgment Rule tersebut.
Beberapa pengadilan berpendapat bahwa pertimbangan (judgment) seorang anggota Direksi tidak dapat diganggu gugat kecuali apabila pertimbangan (judgment) tersebut didasarkan atas suatu kecurangan (fraud), menimbulkan benturan kepentingan (conflict of interest), atau merupakan perbuatan yang melanggar hukum (illegality). Sementara itu, beberapa pengadilan yang lain berpendapat bahwa seorang Direksi yang dalam mengambil pertimbangan telah menimbulkan kerugian bagi perseroan tidak dilindungi oleh Business Judgment Rule, jika kerugian tersebut merupakan akibat kelalaian berat (gross negligence) anggota Direksi yang bersangkutan.
Sehubungan dengan perlindungan berdasarkan Doktrin Business Judgent Rule dikatakan tidak berlaku bagi anggota Direksi perseroan jika dalam transaksi bisnis yang dilakukan oleh Direksi diketahui bahwa Direksi tersebut telah berupaya mengedepankan kepentingan pribadinya atau telah terdorong untuk membuat syarat-syarat tarnsaksi yang dilakukannya demi kepentingan pribadinya. Dengan demikian pertimbangan yang telah diambilnya itu, dapat dikatakan sebagai tindakan yang mengandung kecurangan (fraud) dan benturan kepentingan (conflict of interest).
Menurut Gunawan Widjaja, bahwa dalam doktrin Business Judgment Rule menyisihkan kekuatan berlakunya doktrin duty of care dimana bahwa secara praktis semua pengadilan di Amerika Serikat sepakat bahwa anggota Direksi tidak harus bertanggung jawab atas kerugian perseroan apabila anggota Direksi dalam mengambil suatu pertimbangan (judgment)  tersebut diketahui telah melakukannya berdasarkan itikad baik (good faith). Namun di samping itu kebanyakan pengadilan juga berpendapat bahwa tidak seharusnya para anggota Direksi itu bertindak sembrono (act negligently) atau melakukan kelalaian yang berat (act in grossly negligent way). Karena apabila demikian halnya, maka anggota Direksi yang bersangkutan itu harus bertanggung jawab atas kerugian perseroan yang telah ditimbulkannya.
Salah satu tolak ukur untuk memutuskan apakah suatu kerugian tidak disebabkan oleh keputusan bisnis (business judgment) yang tidak tepat sehingga dapat menghindar dari pelanggaran prinsip duty of care adalah sebagai berikut:
  1. Memiliki informasi tentang masalah yang akan diputuskan dan percaya bahwa informasi tersebut benar;
2.      Tidak memiliki kepentingan dengan keputusan dan memutuskan dengan itikad baik; dan
3.      Memiliki dasar rasional untuk mempercayai bahwa keputusan yang diambil adalah yang terbaik bagi perusahaan.
Aplikasi secara implisit atau eksplisit dari teori Business Judgment Rule dapat dilihat dari pengalaman di Kanada dimana pengadilan lebih menfokuskan perhatian hukum (judicial attention) dari proses pengambilan keputusan dari hasil dari keputusan yang dibuat tersebut. Pengadilan lebih cenderung melihat apakah duty of care sudah dipenuhi, walaupun keputusan tersebut dilihat dari sudut pandang bisnis. Oleh karena itu penting bagi Direksi untuk menjamin telah melakukan hal-hal yang sesuai dengan standard dan prosedur yang terdapat dalam perusahaannya sebelum mengambil sebuah keputusan bisnis. Tindakan tersebut harus sesuai dan konsisten dengan aktivitas due diligence yang dibutuhkan agar terhindar dari pelanggaran-pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan. Hal ini penting agar Direksi mempunyai landasan hukum yang kuat dalam bertindak sesuai dengan undang-undang perseroan terhadap para pemegang saham. Lebih penting lagi bahwa tindakan di atas mengacu pada keputusan bisnis yang akan memenuhi secara objektif kenaikan nilai dari perusahaan.
Dalam kasus gugatan derivatif oleh pemegang saham terhadap keadilan dalam transaksi bisnis yang diajukan terhadap Direksi perseroan, seorang Direksi haruslah memenuhi syarat agar terlindungi Business Judgment Rule yaitu: tidak terlibat, independen,dan mengetahui hal tersebut.
Jika Direksi gagal dalam memperoleh dukungan terhadap 3 (tiga) persyaratan di atas, maka Direksi tersebut tidak akan dilindungi oleh Business Judgment Rule. Hal ini tidaklah berarti semua keputusan bisnis itu salah, hanya untuk mengalihkan perlindungan yang diberikan oleh Business Judgment Rule bila Direksi tersebut tidak dapat membuktikannya. Jika ternyata Business Judgment Rule itu memang ternyata tidak dapat diterapkan terhadap Direksi maka pengadilan lah yang akan berperan menentukan kebenaran keputusan bisnis tersebut. Apabila hal ini terjadi, tidak berarti bahwa Direksi tersebut bertanggung jawab secara pribadi. Jika dalam kasus dimana dititikberatkan pada tanggung jawab pribadi Direksi yang menimbulkan keputusan bisnis tersebut dari pada keputusan bisnis itu sendiri, maka Direksi tersebut tidak dapat bertanggung jawab secara pribadi kecuali pengadilan telah membuktikan bahwa keputusan tersebut adalah tidak wajar dan merupakan kegagalan dari Direksi tersebut.
Mengutip pandangan Clark dalam Gunawan Widjaja, dikatakannya bahwa, “agar kedua doktrin ini satu sama lain tidak berbenturan tetapi dapat sejalan antara satu sama lainnya, maka dalam penerapannya harus konsisten”. Sehubungan dengan itu, Yurisprudensi Amerika Serikat menawarkan pedoman yang sangat berguna untuk dijadikan rujukan bagi setiap anggota Direksi dalam menjalankan tugasnya, yaitu bahwa anggota Direksi harus:
  1. Memiliki pemahaman yang baik mengenai bisnis perseroan yang dipimpinnya;
  2. Dari waktu ke waktu mengetahui mengenai kegiatan usaha perseroan;
  3. Melakukan pemantauan kegiatan perseroan;
  4. Menghadiri rapar-rapat Direksi secara teratur dan disiplin;
  5. Melakukan review atas laporan-laporan keuangan perseroan secara teratur;
  6. Menanyakan apabila menjumpai masalah-masalah yang meragukan;
  7. Menyatakan keberatan terhadap dilakukannya perbuatan-perbuatan yang jelas-jelas melanggar hukum;
  8. Berkonsultasi dengan penasihat (counsel) perseroan; dan
  9. Mengundurkan diri apabila perbaikan-perbaikan yang harus dilakukan ternyata tidak dilakukan.
Sebenarnya dengan diberlakukannya doktrin Business Judgment Rule, terjadi beban pembuktian terbalik, dimana pihak yang menduga bahwa Direksi tidak boleh bertindak secara baik untuk keuntungan perseroan wajib membuktikan adanya dugaan tersebut.

C.    Doktrin BJR Bertujuan Untuk Pembelaan Direksi Yang Beritikad Baik
Sebelum keluarnya UUPT 2007, di Indonesia tidak secara jelas mengadopsi doktrin Business Judgment Rule ini. Sehubungan dengan itu, ketentuan dalam Pasal 82 UUPT 1995 disebutkan, bahwa Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Pasal 85 UUPT 1995 menetapkan bahwa setiap anggota Direksi wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan. Pelanggaran terhadap hal ini dapat menyebabkan Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya tersebut.
Akan tetapi setelah revisi terhadap UUPT 1995 dan mengundangkan UUPT 2007 dalam beberapa ketentuan pasal-pasal di dalamnya misalnya Pasal 1 Ayat (5) Pasal 97 Ayat (2), (3) UUPT 2007 ditentukan pula mengenai tanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan oleh Direksi. Pasal 1 Ayat (5) ditegaskan bahwa, “Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar”. Pasal 97 Ayat (2) menegaskan pula bahwa, “Pengurusan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab”. Kemudian dipertegas lagi dalam Ayat (3) bahwa, “Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2)”.
Sehubungan dengan pasal-pasal yang disebutkan di atas, dihubungkan dengan Pasal 97 Ayat (5) UUPT 2007 barulah nampak di situ adanya pengecualian tanggung jawab penuh Direksi dalam pengurusan perseroan sebagaimana dimaksud di atas. Lebih lengkapnya Pasal 97 Ayat (5) UUPT 2007 ditegaskan bahwa, “Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada Ayat (3) apabila dapat membuktikan:
  1. Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
  2. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan;
  3. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
  4. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.
Pasal-pasal dal UUPT 2007 ini, saling ketergantungan antara satu sama lainnya sehingga dalam Pasal 97 Ayat (5) dikaitkan dengan Pasal 97 Ayat (3) yakni, “Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2). Sementara Ayat (2) menyebutkan bahwa, “Pengurusan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab”. Kemudian Ayat (1) menyebutkan bahwa, “Direksi bertanggung jawab atas pengurusan perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1)”.
Jika pasal-pasal di atas dihubungkan dengan Pasal 92 Ayat (1), maka jelaslah bahwa dalam Pasal 92 Ayat (1) UUPT 2007 disebutkan bahwa, “Direksi menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan”. Dikatakan hanya untuk kepentingan maksud dan tujuan perseroan. Ini berarti selain dari pada kepentingan maksud dan tujuan perseroan, tidak dibenarkan oleh undang-undang bahwa Direksi dapat bertindak dalam hal itu. Akan tetapi karena Direksi adalah organ perseroan yang dipercaya dan diberikan tanggung jawab yang penuh dalam bertindak baik menjalankan undang-undang dan Anggaran Dasar maupun kebijakan yang dianggapnya tepat. Sehubungan dengan itu Pasal 92 Ayat (2) dicantumkan ketentuan mengenai kebijakan itu, yaitu, “Direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kebijakan yang dipandang tepat, dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang ini dan/atau anggaran dasar”.
Jadi, berdasarkan bunyi Pasal 92 Ayat (2) di atas, jika Direksi melakukan tindakan yang tidak tepat menurut undang-undang dan Anggaran Dasar, akan tetapi menurut Direksi itu sendiri bahwa kebijakan yang diambilnya itu sudah tepat, maka dikembalikan kepada Pasal 97 Ayat (5) di atas. Apabila keempat syarat-syarat dalam Pasal 97 Ayat (5) di atas dapat dibuktikan oleh Direksi, maka berdasarkan Doktrin Busines Judgment Rule Direksi tersebut terbebas dari unsur itikad buruk. Business Judgment Rule inilah yang mengawal Direksi dapat membuktikan atau tidaknya Direksi tersebut baik dalam rapat Direksi maupun dalam persidangan di Pengadilan.
Jadi, jika berdasarkan UUPT 2007 terdapat bayangan mengenai pertanggungjawaban yang belum jelas karena harus dibuktikan terlebih dahulu. Dalam prakteknya penerapan UUPT 2007 tersebut sebenarnya mengalami kendala, khususnya dalam hal pertanggungjawaban Direksi. Hal ini terjadi karena masih belum adanya standar yang jelas untuk mengukur pertanggungjawaban Direksi tersebut. Misalnya ukuran “itikad baik” dalam Pasal 97 Ayat (2) belum ada ukuran yang jelas, mungkin persoalannya menurut penulis karena ini persoalan yang berhubungan erat dengan moral atau hati kecil dari anggota Direksi sehingga dalam penerapannya sulit untuk menentukan ukuran kapan seorang Direksi itu bertindak dengan itikad baik atau tidak.
Berdasarkan atas ketidakjelasan standar itikad baik inilah makanya muncul doktrin-doktrin seperti fiduciary duty, duty of care, dan doktrin pembelaan Direksi melalui Business Judgment Rule. Hal itu mengingat pentingnya untuk menentukan apakah seorang Direksi dapat dimintai pertanggungjawabannya atau tidak. Karena perusahaan adalah (risk taker) yang bertujuan untuk mencari keuntungan dimana direksi sebagai organ perusahaan dalam mengambil keputusan bisnis seringkali bersifat spekulatif yang bertendensi untuk mengalami kerugian. Di sinilah pentingnya standar mengenai pertanggungjawaban untuk dapat melihat keputusan bisnis manakah yang diambil sesuai dengan prosedur demi kepentingan perusahaan ataukah keputusan bisnis yang diambil untuk kepentingan si direktur itu sendiri. Sehingga dalam prakteknya UUPT 1995 mempunyai berbagai hambatan untuk melindungi keputusan bisnis dari Direksi maka dengan berlakunya UUPT 2007 sedikit terbantu dalam menentukan unsur-unsur seorang Direksi dapat dikatakan bersalah atau tidak berdasarkan Pasal 97 Ayat (5) UUPT 2007 tersebut.
 Hal inilah yang merupakan salah satu unsur penting dalam amandemen UUPT 1995. Tanpa adanya standar yang jelas mengenai pertanggungjawaban Direksi maka dikhawatirkan bahwa Direksi itu tidak akan berani mengambil keputusan bisnis. Hal ini bertentangan dengan posisi perusahaan sebagai risk taker sehingga secara tidak langsung akan menghentikan continuos improvement dari perusahaan itu sendiri. Oleh karena itu, masuknya prinsip Business Judgment Rule dalam UUPT 2007 adalah hal yang sangat positif untuk mendukung perkembangan iklim usaha di Indonesia.
Sehubungan dengan ketentuan dalam Pasal 97 (5) UUPT 2007 seorang Direksi perseroan bebas dari tanggung jawab atas kerugian perseroan apabila dapat membuktikan hal-hal yang telah disebutkan di atas. Kemudian Bismar Nasutin, merumuskannya menjadi 5 (lima) syarat yaitu:
1.      Kerugian yang timbul bukan karena kesalahan atau kelalainnya;
2.      Direktur melakukan kepengurusan dengan beritikad baik dan hati-hati;
3.      Kepengurusan dilakukan untuk kepentingan dan tujuan perusahaan;
4.      Direktur tidak mempunyai conflict of interest; dan
5.      Telah mengambil langkah-langkah untuk mencegah kerugian.
Secara umum, ketentuan 4 (empat) syarat dalam UUPT 2007 da 5 (lima) syarat yang disebutkan Bismar Nasution di atas merupakan prinsip Business Judgment Rule yang biasa ditemukan di Negara yang menganut sistem hukum common law. Namun demikian ada sedikit perbedaan versi menurut Bismar Nasution dengan ketentuan Business Judgment Rule yang biasa di temui di Negara-negara common law yaitu:
  1. Pada umumnya prinsip Business Judgment Rule hanya berlaku pada keputusan bisnis saja. Dalam UUPT, prinsip ini berlaku pada “pengurusan perseroan” yang merupakan aspek yang lebih luas di bandingkan dengan keputusan bisnis. Hal ini berarti direktur dapat dibebaskan dari tanggung jawabnya bukan hanya dalam hal keputusan bisnis yang dia ambil, tetapi juga dalam aspek manejemen perusahaan jika direktur tersebut dapat membuktikan kelima unsur di atas;
  2. Tidak ada kejelasan definisi mengenai “kesalahan” dan “kelalaian”. Akan sangat sulit untuk membuktikan bahwa tidak ada unsur kesalahan atau kelalaian dalam keputusan bisnis atau kepengurusan tanpa parameter yang jelas tentang apa yang dapat dikategorikan sebagai kesalahan atau kelalaian. Dalam struktur perseroan yang semakin rumit tidak jarang Direksi mendelegasikan kewenangannya kepada bawahannya yang mungkin menyalahgunakan kewenangan tersebut. Hal yang sama juga terjadi dalam hal keputusan bisnis. Dalam iklim usaha yang semakin kompetitif, tidak jarang direktur harus mengambil keputusan yang bersifat spekulatif untuk dapat bersaing dengan kompetitornya. Pertanyaannya adalah apakah apabila nantinya keputusan tersebut mengakibat kerugian, Direksi dapat dianggap salah atau lalai? Hal ini sedikit berbeda dengan Negara common law yang pada umumnya tidak mencantumkan unsur ini dalam bunyi pasalnya. Standar yang dilakukan adalah standar kewajaran (reasonable) dimana pengadilan akan melihat keputusan yang diambil oleh direktur dengan melihat apa yang akan dilakukan oleh orang lain yang mempunyai posisi dan dalam kondisi yang sama. Apabila orang lain tersebut cenderung akan mengambil keputusan yang sama, maka keputusan bisnis tersebut dapat dikatakan merupakan keputusan bisnis yang wajar. Hal ini dilakukan untuk mendorong para direktur untuk berani mengambil keputusan-keputusan yang bersifat inovatif. Tanpa adanya keberanian ini dikhawatirkan perkembangan ekonomi dapat terhambat apalagi di masa globalisasi dimana para direktur dihadapkan dengan pesaing dari berbagai Negara.
  3. Permasalahan ukuran “itikad baik” dan “kehati-hatian” masih juga terdapat di UUPT. Seperti juga ketidakjelasan dalam definisi kesalahan dan kelalaian, tidak adanya unsur yang jelas dari ketentuan itikad baik dan kehati-hatian dapat mengakibatkan ketidakpastian bagi para Direksi. Oleh karena itu, para Direksi haruslah tetap berhati-hati dalam kepengurusan dan pengambilan keputusan bisnisnya agar dapat mendapat perlindungan dari UUPT.
  4. Pasal 155 UUPT 2007 juga mengatur bahwa ketentuan tanggung jawab Direksi tidak mengurangi kesalahan dan kelalaian yang diatur oleh Undang-Undang Hukum Pidana. Artinya walaupun menurut ketentuan UUPT 2007 ini seorang Direksi dapat dibebaskan dari tanggung jawabnya, tidak menutup kemungkinan Direksi tersebut masih dapat dituntut dengan ketentuan lain dalam peraturan undang-undang lainnya.
Hal ini tentunya dapat mengaburkan dari penerapan prinsip Business Judgment Rule itu sendiri. Di satu sisi ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan keamanan kepada para Direksi. Namun di sisi lain UUPT 2007 tidak secara otomatis melindungi Direksi dari tanggung jawabnya terhadap ketentuan dalam hukum pidana lainnya.
D.    Penutup

Doktrin Business Judgment Rule adalah untuk melindungi dan membela Direksi dari pertanggungjawaban yang diambilnya apabila memenuhi syarat-syarat doktrin Business Judgment Rule. Di sini doktrin Business Judgment Rule muncul sebagai pembelaan Direksi. Ide Business Judgment Rule dapat dilihat dalam Pasal 97 Ayat (5) UUPT 2007. Mengkaji substansi dari Pasal 155 UUPT 2007 yakni, “Ketentuan mengenai tanggung jawab Direksi dan/atau Dewan Komisaris atas kesalahan dan kelalaiannya yang diatur dalam undang-undang ini tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam undang-undang tentang Hukum Pidana.” Walaupun menurut ketentuan UUPT 2007 ini seorang Direksi dapat dibebaskan dari tanggung jawabnya, tidak menutup kemungkinan Direksi tersebut masih dapat dituntut dengan ketentuan lain dalam peraturan undang-undang lainnya. Hal ini tentunya dapat mengaburkan dari penerapan prinsip Business Judgment Rule itu sendiri. Di satu sisi ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan keamanan kepada para Direksi. Namun di sisi lain yakni tepat pada Pasal 155 UUPT 2007 di atas, tidak secara otomatis melindungi Direksi dari tanggung jawabnya terhadap ketentuan dalam hukum pidana lainnya. Jadi, diharapkan untuk mengoptimalkan doktrin Business Judgment Rule dalam membela Direksi seyogianya tidak disertakan lagi alasannya seperti substansi dalam Pasal 155 khususnya dalam hal tanggung jawab hukum pidana lainnya. Dengan kata lain kalau Direksi sudah ditetapkan tidak bersalah berdasarkan pembelaan doktrin Business Judgment Rule secara otomatis hapuslah unsur-unsur pelanggarannya termasuk pidananya.
REFERENSI

Undang-Undang:
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT 2007). 
Buku:
Block, Dennis J., Nancy R. Barton., dan Stephen A. Radin., The Business judgement Rule Fiduciary Duties of Corporate Directors, Prentice Hall law & Business, Third edition, 1990.
Branson, Douglas M., Corporate Governance, Virginia: The Michie Company, 1993.
Cox, James D., Thomas Lee Hazen & F Hodge O’Neal., Corporations, Aspen Law & Business, New York: 1997.
Davies, Paul L., Gower’s Principles of Modern Company Law, London: Sweet Maxweel, 1997.
Dine, Janet., Company Law, London: Macmillan Press Ltd., 1998.
Frod, Haj., Principle of Company Law, London: Butterworths, 5th ed, 1990.
Fuady, Munir., Hukum Bisnis Bandung : PT.Citra Aditya Bakti, 1994.
______Perseroan Terbatas Paradigma Baru, Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 2003.
Harahap, M. Yahya., Hukum Perseroan Terbatas, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Huijbers, Theo., Filsafat Hukum., Yogyakarta: Kanisius, 1995.
Keenan, Denis., dan Josephine Biscare., Smith & Keenan’s Company Law For Students, Financial Times, Pitman Publishing, 1999.
LCB, Gower., Principles Of Modern Company Law, London: Sweet & Maxwell, 1992.
Lipton, Philip., dan Abraham Herzberg., Understanding Company Law, Brisbane, The Book Law Company Ltd, 1992.
Metzger, Michael B., dan Jane P. Mallor., dan A. James Barnes., Business Law and The Regulatory Environment, Homewood, Illinois: Irwin, 1986.
Nasution, Bismar, Keterbukaan Dalam Pasar Modal, Jakarta: Universitas Indonesia Fakultas Hukum Program Pascasarjana, 2001.
Pennington, Robert R., Directors’ Personal Liability, Collin: Professional Books, 1997.
Priest, Margot., R. Mecredy Williams., Barbara R.C. Doherty., dan James W. O’reilly., Directors’ Duties in Canada, Kanada: CCH Canadian Limited, 1995.
Ryan, Christopher L., Company Directors, Liabilities, Rights and Duties, CCH Editions Limited, Third Edition, 1990.
Salomon, Lewis D., Donald E. Schwartz., Jeffry D. Bauman., dan Elliot J. Weiss., Corporation Law and Policy Materials and Problems, 4th ad, ST. Paul Minn: West Group, 1998.
Seligman, Joel., Corporations Cases and Materials, Boston &Toronto: Little, Brown and Company, 1995.
Scott, Charity., “Caveat Vendor: Broker-Dealer Liability Under the Securities Exchange Act,” Securities Regulation Law Journal, Vol. 17, 1989.
Sitompul, Zulkarnain.,  dan Bismar Nasution, Pengelolaan Perseroan Terbatas, Medan: BooksTerrace & Library, 2006.
Vagts, Detlev F., Basic Corporation Law Materials-Cases Text, New York: The Foundation Press Inc. 1989.
Woon, Walter., Company Law, Longman Singapore, Publisher Pte. Ltd., 1998.
Yani, Ahmad., dan Gunawan Widjaja.,  Seri Hukum Bisnis: Perseroan Terbatas, Jakarta: Rajawali Press, 1999.
Makalah, Jurnal, dan Diktat:
Bagir Manan, ”Undang-Undang Perseroan Terbatas Mengha­dapi Pasar Bebas”, Makalah  yang disampaikan pada Seminar Sehari Penera­pan UUPM dan UUPT Serta Kaitannya Dengan Aspek Manajemen, Investor dan Profesi Akuntan, di Fakutas Ekonomi UNPAR Bandung, tanggal 2 Desember 1995.
Djalil, Sofyan A., Good Corporate Governance,” Makalah disampaikan pada “Lokakarya Pengelolaan Perusahaan,” kerjasama Program Pascasarjana Universitas Indonesia dan University of South Carolina, Jakarta, tanggal 4 Mei 2000.
Gregory, Holly J., dan Marshal E. Simms., “Pengelolaan Perusahaan (Corporate Governance): Apa dan Mengapa Hal Tersebut Penting,” Makalah disampaikan pada “Lokakarya Pengelolaan Perusahaan (Corporate Governance), kerjasama, Program Pascasarjana Universitas Indonesia dan University of South Carolina, Jakarta, tanggal 4 Mei 2000.
Nasution, Bismar., ”Penerapan Good Corporate Governance Dalam Penyalahgunaan Kredit” Makalah, Disampaikan pada “Seminar Hukum Perkreditan,” PT. Bank Rakyat Indonesia, Medan, tanggal 12-13 Maret 2002.
______“Tanggung Jawab Direksi dan Komisaris Dalam Pengelolaan Perseroan Terbatas Bank”, Makalah yang Disampaikan pada Seminar Sehari “Tanggung Jawab Pengurus Bank dalam Penegakan dan Penanganan Penyimpanan di Bidang Perbankan Menurut Undang-undang Perseroan Terbatas dan Undang-undang  Perbankan,” diselenggarakan oleh Bank Indonesia dan Forum Komunikasi Direktur Kepatuhan Perbankan, Surabaya, tanggal 21 Februari 2008.
______”Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum”, Makalah, disampaikan pada dialog interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, Tanggal 18 Februari 2003.
______“Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Dalam Perspektif Hukumum Bisnis: Pembelaan Direksi Melalui Prinsip Business Judgment Rule”, Makalah, Disampaikan pada Seminar Bisnis 46 tahun FE USU: “Pengaruh UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas terhadap Iklim Usaha di Sumatera Utara”, Aula Fakultas Ekonomi USU, 24 November 2007.
______”Kewajiban Melaksanakan RUPS dan Saat Pembagian Dividen Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas”, Makalah, Disampaikan pada In House Training yang Diselenggarakan oleh Kanwil DJP Sumbagut I, Tanggal 21 Desember 2005.
______“Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi”, Diktat, Disampaikan pada Kuliah Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2005.
______”Pertanggungjawabn Direksi Dalam Pengelolaan Perseroan”, Makalah, Disampaikan pada Seminar Nasional Sehari Dalam Rangka Menciptakan Good Corporate Governance pada Sistem Pengelolaan dan Pembinaan PT. BUMN (Persero), dalam topik, “Optimalisasi Sistem Pengelolaan, Pengawasan, Pembinaan , dan Pertanggungjawaban Keberadaan PT (Persero) di Lingkungan BUMN Ditinjau dari Aspek Hukum dan Transparansi”, Diselenggarakan oleh Inti Sarana Informatika, Hotel Borobudur Jakarta, Kamis, tanggal 8 Maret 2007.
Sitompul, Zulkarnaen., ”Bankir Perlu Berhati-Hati”, Harian Ekonomi Pembaca, tanggal 18 Januari 2008.
Sjahdeni, Sutan Remy., “Tanggung Jawab Pribadi Direksi dan Komisaris”, dalam Jurnal Hukum Bisnis, Volume 14, Juli 2001.
Tumbuan, Fred B.G., anggung Jawab Direksi dan Komisaris Serta Kedudukan RUPS Perseroan Terbatas Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995”, Makalah Kuliah S2 Fakultas Hukum Universitas Indonesia Tahun Ajaran 2001-2002.
______“Perseroan Terbatas dan Organ­-organnya”, Makalah Disampaikan Pada Kursus IV, Surabaya, tanggal 30 Mei 1988.