PERSEMBAHAN KEPADA NENEK ASYANI
SEMOGA ALLAH SWT MENGAMPUNI DOSA-DOSA
MEREKA PARA PENDEKAR-PENDEKAR YANG
MENGGIRING NENEK KE
PENGADILAN
Oleh:
Bisdan Sigalingging, SH, MH
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
Pemikiran filsafat
atas perkara nenek Asyani yang menjadi top breaking news 2015:
Ketika Raja Sulaiman hendak memiliki sebuah cincin, ia datang menjumpai seorang ahli cincin yang sudah tua, dan Raja Sulaiman berkata, “saya mau membuat cincin dan tolong tuliskan pada cincin itu tentang kisah hidup anda” kata sang Raja kepada ahli cincin tersebut, ahli cincin itu bingung bagaimana menuliskan kisah hidupnya dalam sebuah cincin yang kecil. Ketika ahli cincin selesai sholat, ia memperoleh ilham yang kemudian ia torehkan dalam cincin itu sebuah tulisan “Ini Pasti Berlalu”. Sang Raja memperoleh cincin tersebut pun bingung dengn tulisan tersebut, namun ia tetap bangga memakai cincin itu. Pada setiap Raja melangkahkan kakinya, ia menghadapi berbagai persoalan dunia dimana ia menemukan jalan buntu, namun ketika ia melihat tulisan pada cincin itu, ia sadar bahwa ini pasti berlalu. Fenomena hidup yang selalu ia temui dan mengaikannya dengan tulisan di dalam cincin tersebut, membuat sang Raja semakin memiliki nurani, ia tidak sombong dgn kekuasanya, ia selalu berada di tengah-tengah dimana rakyatnya berada, tidak menganggap dirinya pemilik negeri ini, tak sok kuasa, seperti para pendekar-pendekar yang mengatasnamakan hukum buatan manusia (Pemerintah cq DPR) yang menggiring orang yang tak berdaya ke meja hijai (pengadilan).
=======================
Keadilan tidak pernah habis-habisnya dibicarakan dan menjadi fokus perdebatan di negeri ini, ketika seseorang mengatakan suatu keputusan sudah adil, namun belum tentu keputusan itu adil bagi orang lain. Tidak ada satu orang pun yang bisa memberikan defenitif tentang keadilan yang sesungguhnya, bahkan pengertian hukum itu sendiri tidak mampu didefentifkan dalam satu pengertian yang baku untuk menjadi pedoman bagi semua orang, sehingga dengan demikian keadilan pun akan bersifat relatif bukan absolut, tergantung pada cara pandang seseorang dalam melihat keadilan.
Sekalipun asas legalitas yang dianut dalam sistem eropa kontinental menjadi barometer untuk menentukan seseorang telah melanggar hukum atau tidak, namun asas legalitas pun harus diakui pula pada satu sisi tidak mampu dapat menjamin memberikan keadilan yang sesungguhnya. Banyak kasus yang telah diekspose media maupun kasus dilihat secara langsung memperlihatkan suatu keprihatinan mendalam yang membuat publik bertanya-tanya terhadap penegakan hukum di negeri ini, bagaimana sesungguhnya hukum itu, mengapa tidak ada lagi keadilan di negeri ini, mengapa hukum menjadi milik penguasa dan orang kaya, dan lain-lain.
Bila semua pelanggaran dan tindak pidana diproses secara hukum sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku dan diadili di sidang pengadilan, maka seorang anak kecil yang mencuri roti pun harus dimasukkan ke dalam penjara atau kurungan. Bila seorang nenek-nenek dalam kondisi kelaparan, mencuri singkong untuk dimakan dalam mempertahankan hidupnya, maka nenek-nenek tersebut akan diproses secara hukum dan diadili di sidang pengadilan.
Bila hukum harus dilihat sebelah mata sebagai hukum “kaca mata kuda” yang tertulis dalam undang-undang saja, tanpa melihat tujuan hukum adalah membuat semua orang menjadi nyaman, tertib, bahagia, dan adil, maka hukum itu tidak memiliki hati nurani, keji, sadis dan kejam. Lihat saja di layar kaca anda bagaimana seorang nenek Asyani digiring oleh para manusia-manusia pendekar-pendekar hukum itu menghadap ke meja hijau walau sudah tak kuasa melangkahkan kakinya.
Hukum dapat ditegakkan tidak mesti harus menjalankan prosedur hukum formil yang sudah disusun rapi dalam format hukum acara, demikian pula hukum materilnya, tetapi penegakan hukum pun harus pula dilihat dari tujuan hukum itu sendiri yaitu untuk menciptakan kenyamanan, ketertiban, kebahagiaan, dan keadilan berdasarkan filosopi pemidanaan.
Sebagaimana menurut aliran utilitarian menekankan pada teori tujuan (doel theorien) dan tujuan itu diukur dari manfaat terbesar pada kelompok terbesar. Pengambilan keputusan berdasarkan etika dengan pertimbangan manfaat terbesar bagi banyak orang sebagai hasil akhir akan membuat keputusan itu semakin bermanfaat. Perbuatan yang baik diukur dari hasil yang bermanfaat, jika hasilnya tidak bermanfaat, maka tidak pantas disebut baik.
Hukum tidak mesti harus dilihat sebagai hukum tertulis (law as it is written in the books) dalam teks perundang-undangan atau hukum adalah hukum (law is law), melainkan harus pula dilihat dari fakta-fakta yang terjadi di lapangan misalnya yang diproses dalam sidang pengadilan (law as it is decided by the judge through judicial process). Karena bila hukum hanya dilihat sebagai written in the books, maka hukum demikian terasa sangat kaku, bahkan keji, sadis, dan kejam.
Adagium hukum yang menyatakan “fiat justitia et pereat mundus” tidak mesti harus dipandang dengan sebelah mata melainkan harus pula diimbangi dengan adagium “fiat justitia ruat coelum”. Ini berarti hukum tidak wajib ditegakkan meskipun langit akan runtuh, tetapi keadilan lah yang mesti ditegakkan meskipun langit akan runtuh. Menegakkan keadilan merupakan hal yang paling penting daripada menegakkan hukum, karena keadilan hukum belum tentu mampu memberikan rasa adil kepada setiap pencari keadilan.
Asas kepastian hukum pun tidak mesti harus dilihat dalam situasi norma mati dengan harga mati dan tidak ada tawar-menawar, bila asas kepastian hukum menjadi harga mati, maka undang-undang itu pun menjadi hukum yang mati (dead letter law). Tan Kamello menyebutnya dengan istilah norma hukum yang mati (doodregel) atau hanya sebagai penghias yuridis dalam kehidupan manusia.
Hukum tidak lagi memiliki jiwa (nafas) dan hati nurani jika melihat setiap orang selalu sama di depan hukum, sekalipun prinsip a quality before the law diakui sebagai prinsip hukum, namun tidak mesti harus dipandang secara kaku dan absolut dengan selalu mempersamakan setiap orang di hadapan hukum. Penerapan prinsip ini pada kasus-kasus tertentu mesti harus dilihat dari tujuan hukum yaitu untuk menciptakan kenyamanan, ketertiban, kebahagiaan, dan keadilan, harus ada pengecualian.
Mengingatkan kita kepada kasus-kasus hukum yang menimpa orang-orang yang lemah dan menarik perhatian masyarakat antara lain kasus yang menimpa Nenek Minah berusia 55 tahun asal Banyumas divonis 1,5 tahun penjara pada tahun 2009, hanya karena mencuri tiga buah Kakao milik PT. Rumpun Sari Antan, harganya tidak lebih dari Rp.10.000,- bahkan untuk datang ke sidang pengadilan, si nenek yang sudah tua renta dan buta huruf itu harus meminjam uang Rp.30.000,- untuk biaya transportasi dari rumah ke pengadilan yang jaraknya cukup jauh.
Ketua majelis hakim Muflih Bambang Lukmono yang mengadili perkara Nenek Minah di sidang Pengadilan Negeri Purwokerto Jawa Tengah terbata-bata saat membacakan putusan dan meneteskan air mata, dan tidak kuasa menahan haru terhadap peristiwa yang menimpa Nenek Minah, seorang warga lemah dan miskin diajukan ke sidang pengadilan dengan tuduhan pencurian. Kasus ini menjadi top breaking news di akhir tahun 2009 hingga saat ini menjadi salah satu contoh kasus yang sering disebut-sebut dalam menyikapi kejamnya rasa keadilan.
Kasus lain yang menjadi top breaking news juga terjadi pada tahun 2009 yaitu kasus pencurian buah semangka di Kediri Jawa Tengah. Kholil dan Basar warga Lingkungan Bujel Kelurahan Sukorame Kecamatan Mojoroto Kediri Jawa Tengah, keduanya disidangkan di pengadilan karena mencuri satu buah semangka dan terancam hukuman lima tahun penjara. Alasan Kholil dan Basar melakukan pencurian adalah karena kehausan.
Pada kasus ini pelaku sudah berupaya berdamai dengan korban namun pihak korban tidak mau hingga penyidikan tetap dilanjutkan dan dilimpahkan ke kejaksaan hingga sidang pengadilan. Majelis hakim menjatuhkan putusan 15 hari kurungan dengan pertimbangan hakim atas kasus ini mirip dengan kasus yang menimpa Nenek Minah. Sebenarnya sebelum perkara Kholil dan Basar dilimpahkan ke tahap selanjutnya, penyidik kepolisian berperan penting untuk mendamaikan para pihak karena perkara ini merupakan delik ringan dan objek perkaranya tidak menimbulkan kerugian besar bagi korban, yang dapat diselesaikan secara kekeluargaan berdasarkan keadilan restoratif.
Kasus selanjutnya adalah kasus sandal jepit yang menimpa AAL (nama inisial), seorang anak berusia 15 tahun, pelajar SMK 3 Palu Sulawesi Tengah pada tahun 2010. AAL dituduh mencuri sandal jepit milik Briptu Ahmad Rusdi Harahap anggota Brimob Polda Sulawesi Tengah. Kasus ini dilimpahkan ke pengadilan dengan tuntutan jaksa maksimal lima tahun penjara terhadap AAL.
Kasus yang menimpa AAL menarik perhatian masyarakat Indonesia dan menjadi top breaking news di tahun 2010, hingga Ketua PBNU, Siad Aqil Siroj pun prihatin dan mengatakan “keadilan bukanlah sebatas teks hukum yang tertera dalam KUHP untuk memberikan rasa keadilan kepada AAL harus mengutamakan rasa kemanusiaan”. Pada umumnya masyarakat Indonesia dan para ahli dari berbagai kalangan memberikan tanggapan terhadap kasus ini mengatakan bahwa kasus yang menimpa AAL merupakan suatu bentuk kebutaan mata hati penegak hukum untuk melihat dan menerapkan keadilan restoratif.
Kemudian pada tahun 2011 ada kasus yang membuat Ketua Majelis Hakim Marzuki terharu dan menangis bahkan semua hadirin dalam sidang pengadilan juga terharu dan menangis tentang kasus yang menimpa seorang nenek sekaligus memberikan pesan moral bagi pihak pelapor dan setiap orang yang hadir di sidang pengadilan saat itu. Kasus tersebut terkait dengan tuduhan manajer perusahaan PT. Andalas Kertas terhadap seorang nenek yang mencuri singkong milik sebuah perusahaan PT. Andalas Kertas di Kabupaten Prabumulih Sumatera Selatan.
Ketua majelis hakim, Marzuki menghela nafas dalam-dalam mendegar tuntutan JPU dan mendegar alasan si nenek mencuri singkong adalah karena hidupnya miskin, anak laki-lakinya sakit, sementara cucunya lapar. Marzuki memutus dengan mengatakan: “Maafkan saya, saya tak dapat membuat pengecualian hukum, hukum tetap hukum, jadi anda harus dihukum, saya mendenda anda Rp.1.000.000,- dan jika anda tidak mampu bayar maka anda harus masuk penjara 2,5 tahun seperti tuntutan JPU”.
Kemudian hakim Marzuki membuka topi toganya dan memasukkan uang Rp.1.000.000,- ke dalam topi toganya itu serta berkata kepada hadirin:
“Saya atas nama pengadilan juga menjatuhkan denda kepada setiap orang yang hadir di ruang sidang ini sebesar Rp.50.000,- sebab sebagai warga yang menetap di kota ini telah membiarkan seseorang kelaparan sampai harus mencuri untuk memberi makan cucunya, saudara panitera, tolong kumpulkan dendanya dalam topi toga saya ini lalu berikan semua hasilnya kepada terdakwa”.
Hingga palu diketuk dan hakim Marzuki meninggalkan ruang sidang, nenek itupun pergi dengan mengantongi uang sebanyak Rp.3.500.000,- dan termasuk didalamnya terdapat uang Rp.50.000,- yang dibayarkan oleh manajer PT. Andalas Kertas yang tersipu malu karena telah menuntutnya. Kasus ini tidak menjadi top breaking news pada tahun itu, karena tidak terpantau masyarakat, hanya beberapa media saja yang memantau pada saat peristiwa itu terjadi, namun kasus ini sangat menarik memberi pesan moral bagi manajer PT. Andalas Kertas dan juga hakim-hakim pengadilan serta seluruh masyarakat di Indonesia.
Kasus-kasus pencurian yang diproses secara hukum sebagaimana pada contoh di atas hingga mendudukan pelaku di sidang pengadilan, membuat hati terasa tersayat sembilau, karena pada umumnya pelaku adalah warga miskin dan didorong oleh karena ketiadaan, kelaparan dan kemiskinan, bukan karena ketamakan dan kerakusan seperti para koruptor. Perbuatan pencurian menurut KUHP dilarang tetapi perbuatan itu dilakukan oleh karena keterpaksaan yang mendesak dan memprihatinkan. Padahal di belahan dunia dan termasuk di Indonesia sudah menyuarakan keadilan restoratif untuk diterapkan pada kasus-kasus tertentu.
Untuk kasus anak yang berhadapan dengan hukum sebelum diundangkan UU Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak belum memiliki payung hukum yang jelas dalam hal penerapan keadilan restoratif untuk menyelesaikan kasus-kasus anak yang berhadapan dengan hukum. Untuk menyelesaikan kasus-kasus anak yang berhadapan dengan hukum sebelum tahun 2012 sangat bergantung pada kemauan (political will) aparatur penegak hukum, tetapi saat ini setelah undang-undang diberlakukan dan efektif di bulan Juli 2014 kepada anak-anak yang berhadapan dengan hukum wajib menerapkan konsep keadilan restoratif ini.
Masalahnya adalah bagaimana dengan perkara-perkara lain selain anak-anak yang berhadapan dengan hukum seperti kasus-kasus yang dicontohkan di atas. Semua peristiwa pidana yang dicontohkan di atas menjadi catatan penting dalam tulisan ini sehubungan dengan alasan dari pihak pelapor yang pada umumnya ingin mencontohkan bagi warga lain atau masyarakat agar tidak sembarangan mencuri atau melakukan tindak pidana. Alasan ini kurang dapat diterima sebagai salah satu bentuk pencegahan (detterence), karena semua aturan hukum diberlakukan secara umum tanpa pandang bulu terhadap semua orang, bila demikian halnya hukum itu dilaksanakan akan terasa keji dan kejam bagi masyarakat lemah dan miskin.
Catatan kedua adalah aparatur penegak hukum terutama kepolisian yang melanjutkan perkara-perkara tersebut hingga ke sidang pengadilan. Padahal berdasarkan perkembangan ilmu hukum, aparat kepolisian harus mampu mengubah paradigmanya dari paradigma yang kaku (yang selalu merujuk KUHAP dan KUHP) menjadi berparadigma yang dinamis sesuai dengan tuntutan hukum dan keadilan dalam teori-teori hukum, norma hukum, maupun dalam doktrin-doktrin para ahli hukum yang mengarah pada metode pendekatan sosiologis.
Bagaimana caranya agar kepolisian mampu mereduksi pertikaian dan konflik dalam masyarakat agar tidak selalu memilih jalur hukum dalam menyelesaikan perkara melalui sidang pengadilan dalam mencari keadilan, tetapi dapat diselesaikan berdasarkan norma-norma adat, kemanfaatan (uitilitas), kekeluargaan, dan rasa kemanusiaan misalnya melalui mediasi. Penghukuman tidak mesti diterapkan secara kaku dengan berprinsip mutlak pada asas kepastian hukum dan asas legalitas bilamana penerapannya terasa keji dan kejam serta tidak proporsional bagi masyarakat lemah, miskin, dan memprihatinkan.
Salah satu upaya untuk memberikan keadilan kepada masyarakat lemah, miskin, memprihatinkan, anak-anak, dan lain-lain yang bermasalah dengan hukum adalah dengan menerapkan keadilan restoratif (restorative justice). Keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Pemulihan (restorasi) berupaya membangun kembali hubungan dan memperbaiki keretakan setelah terjaidnya tindak pidana, daripada memperparah keretakan antara pelaku, korban dan masyarakat sekaligus menjadi karakter sistim peradilan pidana modern.
Konsep keadilan restoratif mulai diterapkan dalam penyelesaian kasus pidana dan penghukuman dalam perspektif hukum adat yang mengutamakan mediasi dan keseimbangan masyarakat bisa diangkat ke dalam sistim hukum positif. Penggunaan konsep ini bertujuan untuk menciptakan keadilan restoratif (restorative justice) yang di dalam hukum positif Indonesia memang belum menyeluruh diatur, tetapi beberapa putusan hakim dan sejumlah doktrin para pakar hukum sudah sangat mendukung penerapan keadilan restoratif di Indonesia pada kasus-kasus pidana tertentu, misalnya untuk pemidanaan anak dan kasus-kasus lainnya.
Pada tingkat pengadilan telah banyak kasus-kasus pidana yang diselesaikan dengan pendekatan restorative justice. Penyelesaian perkara berdasarkan pendekatan retoratif bukan hanya berlaku untuk delik biasa dan ringan, tetapi dalam kasus-kasus tertentu juga diberlakukan untuk delik-delik khusus, antara lain kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), tindak pidana narkotika, dan tindak pidana korupsi. Hakim Agung Komariah Emong Sapardjaja mengatakan Mahkamah Agung sudah sejak lama menerapkan keadilan restoratif walaupun tidak seutuh teori keadilan restoratif seperti dikemukakan para pakar.
Menurut Komariah Emong Sapardjaja, Mahkamah Agung pernah mempertimbangkan pencabutan pengaduan walaupun pencabutan tersebut sudah melewati batas waktu yang ditentukan dalam aturan KUHAP, alasannya karena korban dan pelaku masih sekeluarga. Keadilan restoratif juga pernah diterapkan terhadap seorang suami yang menelantarkan istri dan anaknya. Suami didakwa dengan Pasal 49 huruf a Jo Pasal 9 ayat (1) UU No.23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dengan ancaman hukuman paling lama 3 (tiga) tahun atau denda Rp.15.000.000,- namun Mahkamah Agung memilih menjatuhkan hukuman percobaan dengan syarat khusus bagi terdakwa harus memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya sedangkan terdakwa berharap agar tidak dipecat dari pekerjaannya sebagai PNS.
Keadilan restoratif juga pernah diterapkan dalam perkara narkotika dimana pelaku didakwa dengan dakwaan tunggal yaitu Pasal 112 UU Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang intinya memberi ancaman pidana bagi seorang yang kedapatan menguasai narkotika. Padahal fakta dalam BAP maupun di persidangan terungkap bahwa pelaku sebenarnya menggunakan narkotika dalam jumlah yang sangat kecil sehingga harusnya didakwa dengan Pasal 127 UU Narkotika tentang penyalahgunaan narkotika. Hakim Mahkamah Agung akhirnya menjatuhkan putusan berupa rehabilitasi medis.
Perkara lainnya yang pernah diterapkan pendekatan keadilan restoratif adalah dalam perkara tindak pidana korupsi. MA menyatakan bahwa terdakwa memang terbukti melakukan korupsi sesuai Pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, namun karena kerugian negara yang timbul hanya Rp.2.900.000,- maka hakim hanya menghukum terdakwa selama satu tahun penjara, padahal ancaman minimal hukuman dalam pasal itu adalah 4 (empat) tahun penjara.
Sekalipun Ketua Mahkamah Agung telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam KUHP, yang salah satu contohnya adalah untuk pencurian ringan, tetapi tidak serta merta restorative justice dapat diterapkan. Pengecualiannya dapat dilakukan apabila pelaku pencurian ringan itu tidak memiliki uang/harta untuk membayar denda karena uang hasil pencurian tersebut sudah dihabiskan untuk membeli sepotong roti.
Rufinus Hotmaulana Hutauruk membuat penelitian disertasi doktornya yang menyebut secara umum konsep hukum di Indonesia masih menekankan pendekatan refresif dan retributif, sedangkan pendekatan restoratif masih sebagai alternatif atau sebagai pelengkap terhadap Sistim Peradilan Pidana (SPP) yang ada. Rufinus dalam penelitiannya menawarkan konsep baru sebagai terobosan hukum untuk menerapkan keadilan restoratif dalam penyelesaian kejahatan korporasi.
Penerapan pendekatan restoratif dalam hukum pidana Indonesia menurut Rufianus merupakan amanat pelaksanaan asas-asas hukum pidana ultimum remedium dan termasuk filosofi tujuan pemidanaan yang sejalan dengan Pancasila. Pendekatan keadilan restoratif dalam kejahatan korporasi sudah pernah dipraktekkan di Indonesia. Menurut Rufianus ada empat kasus yang dianalisisnya yaitu kasus dugaan pelanggaran Undang-Undang Pasar Modal oleh PT. Bank Lippo Tbk, kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), kasus Merryl Lynch, dan kasus Monsanto yang masing-masing diselesaikan dengan pendekatan keadilan restoratif persuasif.
Walaupun konsep restorative justice sudah diterapkan pada beberapa kasus-kasus tertentu di Indonesia dan dalam undang-undang tertentu misalnya dalam UU Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak, namun masih dipandang perlu dilakukan pembenahan dan pengembangan penerapan restorative justice untuk delik-delik lainnya. Penerapan restorative justice masih berbanding terbalik dengan negara lain seperti Belanda menurut Andi hamzah sekitar 60 % perkara pidana diselesaikan di luar pengadilan dengan ganti rugi dan denda sedangkan di Norwegia lebih tinggi lagi yaitu sekitar 74 %.
Proses yang berlaku di Belanda adalah afdoening buiten process atau settlement out of judiciary (penyelesaian perkara di luar pengadilan) atau dengan kata lain Belanda menerapkan restorative justice. Sedangkan di Indonesia yang menganut asas legalitas membuat Lembaga Pemasyarakatan semakin sesak karena banyak perkara-perkara pidana termasuk perkara “orang kecil” yang dilimpahkan ke pengadilan dan menjadi penghuni penjara, sementara kondisi penjara di hampir seluruh LP di Indonesia umumnya sangat memprihatinkan dengan over capacity membuat narapidana semakin tidak manusiawi.
Penjatuhan pidana penjara belum tentu dapat menimbulkan efek jera dan bisa pula menimbulkan pembelajaran yang negatif bagi narapidana, sebagaimana kata orang bijak “too short for rehabilitation, too long for corruption” (di dalam penjara, terlalu singkat untuk pemulihan dan terlalu lama untuk pembusukan), tidak jarang narapidana menjadi kurir narkotika di LP dan bahkan ada pula yang menjadi residivis. Sudah saatnya dilakukan pembaharuan terhadap hukum pidana dan hukum acaranya, termasuk didalamnya memasukan ketentuan mengenai keadilan restoratif dalam SPP yang tidak hanya cukup diatur oleh peraturan setingkat perma, melainkan harus dengan kekuatan sebuah undang-undang.
Allahu Akbar…kuatkan hati nek Asyani, mereka tak selamanya berkuasa, tak selamanya sehat, tak selamanya nyawa di kandung badan. Kita semua akan berpulang ke hadapan Illahi Rabbi, menjadi tanah yang busuk, santapan cacing, kalajengking, dll, hanya Allah SWT yang abadi, yang tiada diinsyafi manusia secara kaffah tapi semakin mempurukkan dirinya sendiri dengan gelimang dosa.
Medan, 18 Maret 2015
By: Bisdan Sigalingging, SH, MH.