Tampilkan postingan dengan label ARTIKEL. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ARTIKEL. Tampilkan semua postingan

Rabu, 23 Maret 2016

KONSEP-KONSEP DALAM MODEL CIVIL FORFEITURE ATAU NON CONVICTION BASED (NCB) ASSET FORFEITURE
(Studi Alternatif Ddalam Mencegah dan Memberantas Korupsi di Indonesia)

Oleh:
Bisdan Sigalingging, SH, MH
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa Medan Sumut)

Model Non Conviction Based (NCB) Asset Forfeiture atau Civil Forfeiture berasal dari negara-negara yang menganut Common Law System. Lazimnya diterapkan sebagai instrumen untuk menyita atau merampas aset-aset yang berasal atau berkaitan dengan hasil-hasil kejahatan. Era modern baru-baru ini, NCB Asset Forfeiture menjadi isu yang sangat hangat dibicarakan di berbagai negara untuk diadopsi masing-masing negara ke dalam sistem hukum nasionalnya. NCB Asset Forfeiture tidak menggunakan jalur hukum pidana (penal), akan tetapi murni menggunakan jalur hukum perdata yang berarti menggunakan gugatan perdata, tanpa harus menunggu jalur proses tuntutan pidana didahulukan.
Perampasan aset disebut juga dengan istilah asset forfeiture, dan civil forfeiture disebut juga dengan model perampasan aset yang murni menggunakan hukum perdata (gugatan perdata), selanjutnya istilah Non Conviction Based (NCB) Asset Forfeiture adalah sebagai alat (tool) atau instrumen perampasan aset tanpa pemidanaan. Theodore S. Greenberg, Linda M. Samuel, Wingate Grant, Larissa Gray mengatakan “NCB Asset Forfeiture as a tool for asset recovery atau suatu penghukuman yang dijatuhkan tidak berdasarkan keyakinan atas kesalahan melalui pembuktian jalur pidana (tanpa pemidanaan). NCB Asset Forfeiture merupakan kebalikan atau lawan dari Conviction Based (CB).
Prinsip conviction based sudah dikenal dalam hukum pidana Indonesia yang menggunakan perampasan aset terhadap orang (in personam) atau perampasan aset melalui jalur hukum pidana (criminal forfeiture) yang juga diartikan sebagai suatu penghukuman terhadap pribadi terdakwa (judgment in personam against the defendant) termasuk di dalamnya perampasan dan/atau penyitaan harta terdakwa yang berkaitan erat dengan kejahatannya.
Perampasan aset dengan prinsip conviction based menaruh harapan kepada jaksa penuntut untuk untuk meyakinkan (conviction) hakim terlebih dahulu membuktikan kesalahan pidana terdakwa atas tindak pidana yang dilakukan. Apabila kesalahan pidana si terdakwa terbukti dalam persidangan, maka perampasan harta terhadap terdakwa baru dapat dilakukan, akan tetapi bilamana kesalahan pidana si terdakwa tidak terbukti dalam persidangan, maka perampasan harta terhadap terdakwa tidak bisa dilakukan.
Model NCB Asset Forfeiture justru tidak demikian halnya. NCB Asset Forfeiture menggunakan gugatan perdata terhadap aset (in rem), atau penyitaan terhadap aset (confiscation in rem) secara perdata tanpa mengikuti jalur pidana, dan bukan terhadap orangnya (in personam). Oleh karena itu prinsip dalam NCB Asset Forfeiture merupakan kebalikan atau lawan dari Conviction Based (CB). NCB Asset Forfeiture identik juga dengan sebutan Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative artinya inisiatif pemulihan aset curian.
Sementara Asset Recovery lebih luas daripada criminal forfeiture dan NCB Asset Forfeiture. Berikut ini dikatakan oleh Michèle Coninsx yaitu: Asset Recovery: legal process whereby proceeds or instrumentalities of crime are identified, secured (through freezing and seizure mechanisms), recovered by means of confiscation orders issued by court proceedings (involving either criminal or non-conviction-based confiscation regimes) and returned to victims, deprived communities or the state.
Ruang lungkup Asset Recovery menyangkut suatu proses hukum perampasan atau penyitaan aset dimana hasil atau sarana kejahatan telah teridentifikasi, menyediakan jaminan melalui mekanisme pembekuan dan penyitaan, pemihan aset dengan cara perintah penyitaan yang dikeluarkan oleh pengadilan, baik melibatkan hakim pengadilan pidana (criminal forfeiture) maupun tanpa pemidanaan dan tanpa putusan pengadilan (administrativie forfeiture dan NCB Asset Forfeiture) dengan tujuan agar aset tersebut dikembalikan kepada korban (masyarakat dan negara. Khusus untuk penerapan NCB Asset Forfeiture dapat dilakukan tanpa putusan dari peradilan perdata ataupun melalui putusan peradilan perdata.
Sebagaimana telah diketahui bahwa kebalikan dari Conviction Based (CB) adalah Non Conviction Based (NCB). Istilah asset forfeiture atau civil forfeiture atau NCB Asset Forfeiture mengandung arti yang sama yaitu sama-sama bermaksud pada suatu instrumen perampasan aset secara perdata (in rem). Kata “non” meniadakan prinsip conviction based yang berarti NCB bukan menggunakan prinsip conviction based. Oleh karena NCB tidak sama dengan conviction based atau dengan kata lain menggunakan instrumen hukum perdata untuk merampas aset yang berkaitan dengan kejahatan si terdakwa, sehingga disebutlah dengan istilah NCB Asset Forfeiture.
NCB Asset Forfeiture tidak lain merupakan alat (tool) yang sangat penting dalam pengembalian aset (asset recovery). Di beberapa yurisdiksi negara-negara, NCB Asset Forfeiture ini juga disebut sebagai civil forfeiture, atau in rem forfeiture, atau objective forfeiture, adalah tindakan untuk melawan aset itu sendiri (misalnya, Negara vs. $100.000) dan bukan terhadap individu (in personam). NCB Asset Forfeiture ini adalah tindakan yang terpisah dari setiap proses pidana, dan membutuhkan bukti bahwa terhadap suatu harta (properti) tercemar (ternodai) oleh tindak pidana.
NCB Asset forfeiture adalah perampasan atau penyitaan aset untuk mengambil alih suatu aset melalui gugatan in rem, gugatan in rem ditujukan pada asetnya bukan pada orangnya. Konsep civil forfeiture ini didasarkan pada doktrin menodai (taint doctrine) yang menganggap sebuah tindak pidana dianggap telah menodai (taint) sebuah aset yang dipakai dalam tindak pidana atau merupakan hasil dari tindak pidana.
Theodore S. Greenberg, Linda M. Samuel, Wingate Grant, Larissa Gray, juga menegaskan bahwa ada dua jenis perampasan yang sering digunakan secara internasional untuk memulihkan aset hasil kejahatan dan perangkat kejahatan yaitu: criminal forfeiture dan NCB Asset Forfeiture (civil forfeiture). Keduanya bertujuan sama, yaitu penyitaan oleh negara terhadap hasil (aset) kejahatan, dengan alasan: 1) pelaku yang melakukan pelanggaran atau kejahatan seharusnya tidak dibolehkan untuk mendapatkan keuntungan dari kejahatannya. Dana yang telah diperolehnya harus dibatalkan dan digunakan untuk mengkompensasi korban, baik untuk negara ataupun untuk individu. 2) kegiatan yang melanggar hukum harus dihalangi dengan pemblokiran aliran dana untuk menghambat kejahatan berlanjut. Perampasan untuk memastikan bahwa aset tersebut tidak akan digunakan secara berlanjut untuk tujuan kejahatan, dan sekaligus berfungsi sebagai langkah pencegahan.
Model criminal forfeiture dan NCB Asset Forfeiture berbeda dalam hal prosedur yang digunakan untuk merampas aset. Perbedaan utama antara keduanya adalah bahwa criminal forfeiture memerlukan pengadilan pidana dan keyakinan hakim atas kesalahan pelaku, sedangkan NCB Asset Forfeiture tidak perlu demikian. Selain itu, ada sejumlah perbedaan prosedural yang umumnya memberi ciri terhadap kedua model dalam sistem tersebut.
Tindakan (action) dalam criminal forfeiture ditujukan kepada orang perorangan pribadi (in personam) atau tindakan hukum terhadap orang (misalnya, Negara vs. Soeharto, Negara vs. Gayus Tambunan, dan lain-lain). Hal ini membutuhkan pengadilan pidana (criminal trial) dan keyakinan hakim atas alat-alat bukti yang diajukan baru kemudian dapat dilakukan perampasan aset bilamana terdakwa terbukti bersalah. Standar pembuktian dalam NCB Asset Forfeiture lebih rendah daripada pembuktian dalam proses criminal forfeiture. Dikatakan demikian karena NCB Asset Forfeiture hanya memerlukan keseimbangan probabilitas untuk proses perampasan. Standar pembuktian dalam proses criminal forfeiture memerlukan persyaratan lebih berat dimana untuk menghukum pelaku, pemerintah harus terlebih dahulu membuktikan kesalahan terdakwa berdasarkan keyakinan hakim. Obyek criminal forfeiture berbasis pada otoritas yang harus membuktikan bahwa aset yang dimaksud adalah hasil dari kejahatan.
NCB Asset Forfeiture juga disebut dengan civil forfeiture atau in rem forfeiture atau objective forfeiture sesuai dengan jurisdiksi hukum negara masing-masing. Intinya adalah tindakan hukum terhadap aset itu sendiri (misalnya, Negara vs. Rp. 2.000.000,-) dan tidak terhadap seseorang individu. Tindakan dalam NCB Asset Forfeiture terpisah dari setiap persidangan pidana (criminal proceeding) dan cukup dengan adanya hubungan tercemarnya aset dari perbuatan kejahatan (ada kaitan aset/dana dengan kejahatan). Hal ini memudahkan beban pembuktian bagi pemerintah untuk dimungkinkan melakukan penyitaan bilamana ada hubungan kuat dan bukti yang cukup untuk mendukung perampasan. Tindakan tidak tertuju pada individu terdakwa (pelaku) tetapi terhadap aset itu sendiri (properti) dan termasuk terhadap aset pihak ketiga yang tidak bersalah (innocent owners).
NCB Asset Forfeiture berguna dalam berbagai konteks, bilamana criminal forfeiture upaya tidak memungkin dilakukan atau mungkin tidak tersedia upaya jalur pidana karena tidak berhasil membuktikan kesalahan terdakwa secara pidana, seperti dalam berbagai contoh berikut:
  1. Pelanggar melarikan diri (buronan). Proses pidana tidak mungkin dilangsungkan jika terdakwa melarikan diri.
  2. Pelanggar meninggal dunia sebelum dijatuhkan hukuman pidana. Karena prinsipnya adalah “kematian mengakhiri proses pidana” (death brings an end to criminal proceedings).
  3. Pelanggar memiliki kekebalan hukum terhadap penuntutan pidana (misalnya negara asal pelaku tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan negara tempat melarikan diri).
  4. Pelanggar sangat kuat dari berbagai hal bilamana dilakukan penyidikan dan penuntutan pidana karena tidak realistis atau sangat tidak mungkin dilakukan.
  5. Pelanggar tidak diketahui keberadaannya, sementara telah ada ditemukan aset (misalnya, aset yang ditemukan berada di tangan seorang yang tidak terlibat dalam tindak pidana, atau aset tidak bertuan). Jika aset tersebut berasal dari kejahatan, pelanggar mungkin tidak mau mendukung proses pemulihannya karena takut akan mengarah pada penuntutan pidana. Ketidakpastian inilah membuat penuntutan pidana terhadap pelanggar sangat sulit dan mustahil dilakukan.
  6. Keberadaan aset tersebut ada dan dipegang oleh pihak ketiga (innocent owners) yang belum dituduh melakukan tindak pidana tetapi ia lalai menyadari fakta-fakta hukum bahwa aset tersebut telah tercemar dengan kejahatan. Sementara criminal forfeiture tidak mungkin mencapai aset yang dimiliki oleh pihak ketiga yang bonafid, oleh karena itu NCB Asset Forfeiture dapat digunakan sebagai instrumen perampasan aset yang bonafid pula.
  7. Ada bukti tetapi belum memadai untuk melanjutkan penuntutan pidana.
NCB Asset Forfeiture sangat dimungkinkan merampas aset-aset sebagimana terhadap contoh-contoh di atas karena menggunakan gugatan in rem atau gugatan terhadap aset, bukan terhadap orangnya (in personam), atau hukuman pidana tidak diperlukan, atau keduanya. NCB Asset Forfeiture juga dapat berguna dalam situasi bilamana pelanggar telah dibebaskan dari tuntutan pidana sebagai akibat dari kurangnya alat bukti atau kegagalan memenuhi beban pembuktian. NCB Asset Forfeiture menggunakan standar pembuktian yang lebih rendah dari standar keyakinan hakim dalam tuntutan pidana sehingga akan lebih mempermudah upaya perampasan aset berdasarkan pada keseimbangan probabilitas. Perampasan aset dilakukan sesuai proses perdata murni dengan prosedur penilaian standar yang dapat menghemat waktu dan biaya.
NCB Asset Forfeiture sangat efektif dalam merampas aset-aset hasil kejahatan korupsi dan memulihkan dana-dana tersebut dikembalikan kepada kepentingan masyarakat dan negara (korban). NCB Asset Forfeiture tidak sama dengan uang pengganti maupun denda  dalam tuntutan pidana. NCB Asset Forfeiture satu-satunya alat yang tersedia untuk memulihkan aset-aset hasil kejahatan untuk memberikan keadilan dalam konteks social defence justice dan restoratice justice. Para pejabat yang korup dapat mencegah agar tidak lagi berbuat korupsi (detterence effect), dan bahkan ruhnya NCB Asset Forfeiture dapat digunakan sampai pejabat tersebut meninggal atau melarikan diri. Instrumen NCB Asset Forfeiture meniadakan kekebalan tuntutan pidana terhadap seorang pejabat yang korupsi, sebab tidak bergantung pada keyakinan hakim dalam pembuktian pidana.
Yurisdiksi peradilan di negara-negara yang menganut Common Law System maupun Civil Law System walaupun memiliki kesamaan (similarities), tetapi juga memiliki perbedaan (differences), sehingga dalam penerapan NCB Asset Forfeiture pada dua sistem ini dapat dikatakan sangat variatif (bervariasi).
Pembuktian kesalahan dalam civil law system memerlukan standar beyond reasonable doubt dan sering ditegaskan sebagai proven guilty beyond reasonable doubt, yang berarti seseorang dinyatakan bersalah harus didasarkan pada bukti-bukti yang sangat kuat atau tidak dapat diragukan sama sekali. Itu sebabnya dominasi civil law system masih memiliki kecenderungan menerapkan criminal forfeiture dalam merampas aset kejahatan. Oleh karena sifatnya pidana, criminal forfeiture mengharuskan penuntut untuk membuktikan kesalahan itu dengan standar beyond reasonable doubt.
Sifat pidana dalam criminal forfeiture versi civil law system mengharuskan penuntut umum untuk membuktikan kesalahan (dolus atau culpa) dengan standar beyond reasonable doubt, atau membuktikan terlebih dahulu adanya unsur means rea dari seseorang terdakwa sebelum dilakukan penyitaan aset milik terdakwa. Sedangkan untuk civil forfeiture (NCB) versi common law system tidak mengharuskan penuntut umum untuk membuktikan unsur-unsur kesalahan dari seorang terdakwa, tetapi cukup dengan membuktikan adanya kemungkinan akibat atau dugaan bahwa aset yang digugat memiliki hubungan kuat dengan tindak pidana. Pembuktian dalam common law system didasarkan pada keseimbangan probabilitas atau dominasai barang bukti, cukup dengan adanya relevansi antara harta dan kejahatan.
NCB Asset Forfeiture dan criminal forfeiture walaupun mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk merampas atau menyita dan mengambil alih aset hasil kejahatan, namun NCB Asset Forfeiture berbeda dengan criminal forfeiture. Perbedaan pokoknya adalah bila menggunakan criminal forfeiture dalam merampas aset digunakan gugatan in personam (gugatan terhadap orang) dan dimasukkan ke dalam tuntutan pidana serta melibatkan peran dari jaksa penuntut umum. Namun bilamana menggunakan NCB Asset Forfeiture dalam merampas aset digunakan gugatan in rem (tertuju pada asetnya saja), tidak melalui tuntutan pidana tetapi berdiri sendiri dengan menggunakan instrumen hukum perdata murni.
Seperti diketahui bahwa NCB Asset Forfeiture menggunakan gugatan terhadap aset (in rem), sedangkan criminal forfeiture menggunakan gugatan terhadap orang (in personam). Hal ini tentunya menimbulkan perbedaan dalam pembuktian di pengadilan. Penuntut umum dalam criminal forfeiture harus membuktikan terpenuhinya unsur-unsur tindak pidananya seperti kesalahan (personal culpability) dan/atau mens rea dari seorang terdakwa sebelum dapat menyita aset dari terdakwa tersebut, sedangkan jaksa pengacara negara (penggugat) dalam civil forfeiture cukup dengan membuktikan adanya hubungan kuat antara aset dengan tindak pidana.
Model criminal forfeiture mengandung sifat hukum pidana, oleh karena bersifat pidana, maka model ini mengharuskan penuntut umum untuk membuktikan kesalahan (dolus dan/atau culpa) pelaku kejahatan dengan standar beyond reasonable doubt. Sebaliknya NCB Asset Forfeiture mengandung sifat perdata murni, oleh karena karena sifatnya perdata murni, NCB Asset Forfeiture tidak mengharuskan negara sebagai penggugat (melalui jaksa pengacara negara) untuk membuktikan unsur-unsur dan kesalahan dari orang yang melakukan tindak pidana tersebut (personal culpability). Jadi dalam NCB Asset Forfeiture tidak diperlukan penuntut umum lagi melainkan jika di Indonesia diperankan oleh Jaksa Pengacara Negara (JPN) untuk mengajukan gugatan.
Penuntut atau penggugat dalam NCB Asset Forfeiture cukup membuktikan adanya probable cause atau adanya dugaan bahwa aset yang digugat mempunyai hubungan propabilitas dengan sebuah tindak pidana. Penuntut/penggugat cukup membuktikan dengan standar preponderance of evidence (pembuktian formil) bahwa sebuah tindak pidana telah terjadi dan tindak pidana itu ada kaitannya terhadap suatu aset yang telah dihasilkan, digunakan, atau aset tersebut tercemar (taint) karena tindak pidana, atau aset tersebut terlibat dengan tindak pidana tersebut.
Pemilik dari aset bila menggunakan NCB Asset Forfeiture harus membuktikan dengan standar yang sama bahwa aset yang digugat tidak merupakan hasil, digunakan, atau berkaitan dengan tindak pidana yang dituntut. Kendatipun proses yang digunakan adalah instrumen hukum perdata, NCB Asset Forfeiture menggunakan rejim yang sedikit berbeda di mana pemilik dari aset yang dituntut bukan merupakan para pihak yang berperkara dan hanya merupakan pemilik pihak ketiga (nocent owners) dalam proses persidangan.
Contoh NCB Asset Forfeiture adalah United States v. $160.000 atau United States v. Account Number 12345 at XYZ Bank Held atas nama Jhones Milton. Intinya adalah penuntut atau penggugat adalah negara melawan aset itu sendiri dalam proses persidangan perdata. Bisa juga dalam hal sebuah negara melawan aset milik pihak ketiga (innocent owners). Aset (property) yang dilawan oleh penggugat (penuntut) atau negara tersebut telah tercemar atau ternodai (taint) dari suatu kejahatan.
NCB Asset Forfeiture menggunakan sistem pembuktian terbalik di mana si pemilik dari aset yang di tuntut harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah (innocent owners) atau tidak tahu kalau aset yang dituntut adalah hasil kejahatan atau digunakan berkaitan dengan sebuah tindak pidana. NCB Asset Forfeiture tentu sedikit berbeda dengan gugatan perdata pada umumnya yang mengharuskan penggugat membuktikan adanya sebuah Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dan kerugian yang dialaminya. Namun perlu digaris bawahi bahwa pembuktian bagi si pemilik aset dalam NCB Asset Forfeiture hanya karena aset ada kaitannya dengan sebuah tindak pidana dengan aset yang digugat tersebut, atau dengan kata lain pemilik aset hanya perlu membuktikan bahwa aset tersebut tidak bersalah.
Bilamana si pemilik aset tidak dapat membuktikan bahwa aset tersebut tidak bersalah maka aset tersebut akan dirampas untuk negara. Sehingga si pemilik aset dalam NCB Asset Forfeiture tidak harus membuktikan bahwa dia tidak bersalah atau tidak terlibat dalam sebuah tindak pidana. Hubungan antara tindak pidana yang diduga dan keterlibatan si pemilik aset dengan tindak pidana tidak relevan dalam persidangan NCB Asset Forfeiture dan hanya karena adanya hubungan antara si pemilik dan aset yang dituntut itulah yang menjadi fokus gugatan dalam persidangan.
Untuk mempermudah pemahaman tentang cara kerja NCB Asset Forfeiture dapat diketahui dari ilustrasi yang dicontohkan Bismar Nasution dalam kasus berikut ini: misalnya seorang pelaku tindak pidana menyewa sebuah mobil dari sebuah perusahaan penyewaan mobil dan melakukan perampokan pada sebuah bank. Pemerintah kemudian melakukan NCB Asset Forfeiture terhadap mobil (aset) tersebut untuk disita atau dirampas dan diambil alih kepemilikannya untuk negara. Dalam persidangan, pemerintah cukup membuktikan adanya dugaan terhadap hubungan antara perampokan yang dilakukan dengan mobil tersebut sesuai dengan standar pembuktian perdata.
Jika pemerintah berhasil membuktikan gugatan terhadap aset berupa mobil itu, maka pemerintah pada umumnya akan melakukan pengumuman (lelang) di media massa dalam kurun waktu tertentu. Apabila dalam kurun waktu lelang tersebut tidak ada pihak ketiga yang berkeberatan atas penyitaan dan pengambilalihan mobil tersebut, maka mobil tersebut secara otomatis dirampas untuk negara. Namun apabila si pemilik mobil berkeberatan atas penyitaan yang dilakukan oleh pemerintah, maka si pemilik mobil (dapat berupa individu maupun perusahaan atau korporasi) kemudian melakukan pembelaan sebagai pihak ketiga tidak bersalah (innocent owners).
Tahap pertama dilakukan adalah melalui pengumuman atau lelang di media massa yang kemudian ditindak lanjuti dengan perampasan atau penyitaan aset bilamana tidak ada pihak ketiga yang keberatan, ini disebut dengan perampasan/penyitaan administratif (administrative forfeiture) seperti yang diterapkan di Amerika Serikat. Model perampasan aset berdasarkan administrative forfeiture dilakukan tanpa melalui putusan pengadilan dan telah diterapkan di Amerika Serikat. NCB Asset Forfeiture di Amerika Serikat merupakan kelanjutan dari proses administrative forfeiture tidak berhasil dilakukan.
Selanjutnya proses NCB Asset Forfeiture dapat dilakukan untuk memperkarakan aset dalam kasus di atas diajukan di pengadilan dalam peradilan perdata dengan mengajukan gugatan oleh pemerintah (negara). Dalam persidangan NCB Asset Forfeiture, bagi si pemilik mobil tersebut harus membuktikan bahwa dia adalah pemilik tidak bersalah (innocent owner) dengan menunjukkan bukti bahwa dia tidak tahu atau tidak menduga kalau mobil yang dimilikinya digunakan untuk merampok bank.
Hal penting diketahui di sini adalah bagi si pemilik mobil tidak perlu membuktikan bahwa dia tidak terlibat atau tidak mempunyai hubungan dengan tindak pidana perampokan tersebut. Apabila si pemilik mobil tersebut dapat membuktikan bahwa dia adalah innocent owner maka mobil tersebut akan dikembalikan kepadanya. Sebaliknya bilamana si pemilik mobil itu tidak dapat membuktikan dirinya sebagai innocent owner, maka mobil tersebut akan dirampas oleh negara.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa NCB Asset Forfeiture dapat menjadi alat yang sangat berguna dan efektif untuk menyita atau merampas dan mengambil alih aset dari para koruptor di Indonesia. Setidak-tidaknya ada beberapa kegunaan NCB Asset Forfeiture untuk membantu aparat penegak hukum dalam proses pengembalian aset para koruptor. Selain itu bilamana menggunakan NCB Asset Forfeiture, ini lebih memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak rakyat Indonesia, sebagaimana tujuan hukum antara lain adalah untuk mencapai manfaat (utility), dan juga untuk mencapai kesejahteraan (welfare) yang diinginkan doktrin-doktrin para ahli hukum dalam teori social defence dan restorative.
NCB Asset Forfeiture tidak berhubungan dengan sebuah tindak pidana sehingga penyitaan sehingga model ini dapat lebih cepat diajukan gugatan perdata kepada pengadilan daripada mengajukan tuntutan pidana peramasan aset melalui criminal forfeiture. Berbeda dengan penyitaan dalam proses pidana yang mengharuskan adanya seorang tersangka atau putusan bersalah, penyitaan NCB Asset Forfeiture dapat dilakukan dengan secepat mungkin begitu pemerintah menduga adanya hubungan antara sebuah aset dengan tindak pidana.
Dalam konteks kebijakan penegakan hukum di Indonesia, kecepatan melakukan penyitaan adalah suatu hal yang esensial dalam proses Stolen Asset Recovery (StAR) seharusnya diadobsi dengan konsep-konsep NCB Asset Forfeiture ini. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, bahwa seringkali para koruptor memindahkan asetnya ke luar negeri untuk mempersulit aparat penegak hukum Indonesia untuk melakukan penyitaan dan perampasan aset. Fakta di lapangan begitu ada indikasi bahwa koruptor akan diperiksa dalam keterlibatan sebuah tindak pidana, seringkali para koruptor memindahkan asetnya ke luar negeri, sehingga yang terjadi adalah hanya proses persidangan criminal forfeiture saja.
NCB Asset Forfeiture menggunakan standar pembuktian perdata. Hal ini tentu dapat mempemudah upaya pemulihan aset di Indonesia dengan standar pembuktian perdata yang relatif lebih ringan untuk dipenuhi daripada standar pembuktian pidana. Selain itu NCB Asset Forfeiture juga mengadopsi sistem pembuktian terbalik sehingga meringankan beban bagi pemerintah untuk membuktikan dalam gugatan yang diajukan, karena NCB Asset Forfeiture merupakan proses gugatan terhadap aset (in rem), berarti konsekuensinya adalah pemilik aset atau pihak ketiga itulah yang harus membuktikan bahwa dirinya tidak innocent owner.
NCB Asset Forfeiture hanya berurusan dengan aset yang diduga berasal, dipakai atau mempunyai hubungan dengan sebuah tindak pidana. Pelaku tindak pidana itu sendiri tidak relevan untuk dihadirkan dalam persidangan, apakah si koruptor itu kabur (buronan), sakit, atau sakit dibuat-buat, meninggal dunia atau bahkan adanya putusan bebas tidak menjadi soal dalam NCB Asset Forfeiture. Persidangan dapat terus berlanjut dan tidak terganggu dengan kondisi atau keadaan si koruptor.
Pentingnya desakan untuk menerapkan NCB Asset Forfeiture di Indonesia karena melihat seringnya para koruptor melarikan diri atau kabur (buronan), sakit, atau sakit dibuat-buat, meninggal dunia atau bahkan diputu bebas dalam proses criminal forfeiture (proses persidangan pidana korupsi) di Indonesia. NCB Asset Forfeiture inilah merupakan sarana alternatif yang sangat menguntungkan upaya pengembalian aset para koruptor.
NCB Asset Forfeiture sangat berguna bagi kasus-kasus bilamana penuntutan secara pidana mendapat halangan atau tidak memungkinkan untuk dilakukan. Dalam upaya pemberantasan korupsi seringkali pemerintah menghadapi koruptor yang punya koneksi politik (politically well-connected) kuat, atau mungkin memiliki kekebalan hukum sehingga aparat penegak hukum menghadapi kesulitan dalam mengadilinya. NCB Asset Forfeiture sangat tepat dan solutif untuk ini sehingga politically well-connected dapat diredam dan social cost sebuah tuntutan pidananya pun dapat diminimalisir. Bahkan terhadap sebuah aset yang tidak diketahui pemiliknya (tidak bertuan) tetapi berkaitan erat dengan tindak pidana sekalipun akan mudah untuk dirampas oleh negara.
NCB Asset Forfeiture sangat berguna melindungi hak-hak rakyat karena yang digugat adalah asetnya bukan pemiliknya, sehingga aset yang dicuri tersebut bisa kembali kepada rakyat. Jika menggunakan criminal forfeiture seperti yang biasa dan cenderung dilakukan di Indonesia selama ini, maka terhadap aset yang tidak bertuan tersebut akan sulit untuk diambil. Argumentasinya adalah karena penyitaan dalam hukum pidana berkaitan erat dengan pelaku tindak pidana itu sendiri, dan wajib dihadirkan dalam persidangan. Akan tetapi bila menggunakan NCB Asset Forfeiture sekalipun dalam kurun waktu tertentu setelah dilakukannya penyitaan tidak ada pihak lain yang berkeberatan, maka negara langsung dapat merampas aset yang tidak bertuan tersebut.
Perlu dipahami bahwa bilamana menerapkan NCB Asset Forfeiture dalam perampasan aset hasil tindak pidana korupsi merupakan jalan keluar untuk mengatasi stagnasi perampasan aset hasil tindak pidana korupsi itu sendiri, mengingat ketentuan yang berlaku selama ini dalam KUHAP adalah bahwa terhadap suatu aset hanya dapat dirampas jika penuntut umum dapat membuktikan kesalahan pidana terdakwa dan aset dimaksud merupakan hasil atau sarana kejahatan atau dengan kata lain perampasan aset dalam konteks ini sangat tergantung kepada terbukti atau tidaknya seorang terdakwa.
Perampasan aset hasil tindak pidana yang didasarkan pada ketentuan KUHAP tidak dapat dilaksanakan bilamana terdakwanya tidak dapat dihadirkan di persidangan, baik karena si koruptor itu kabur (buronan), sakit, atau sakit dibuat-buat, sakit permanen, meninggal dunia, atau apalagi adanya putusan bebas. Dengan demikian harapan terhadap aset agar dapat dipulihkan atas kaitannya dengan koruptor yang diputus bebas tersebut tentu tidak dapat dilakukan lagi penuntutan hukum dalam perkara yang sama karena melanggar asas ne bis in idem, kecuali dengan menggunakan instrumen NCB Asset Forfeiture.
Selain itu agar penerapan NCB Asset Forfeiture tidak bertentangan dengan asas fundamental dalam hukum pidana yaitu asas praduga tidak bersalah sebagaimana tercantum dalam penjelasan umum KUHAP huruf c, maka tuntutan perampasan aset hasil tindak pidana berdasarkan NCB Asset Forfeiture ini hanya akan dilakukan jika prosedur KUHAP tidak dapat dilakukan. Demikian tentang NCB Asset Forfeiture sangat menarik dan tepat sekali untuk dapat diterapkan dan dibuat kebijakan baru melalui revisi UUPTPK mengingat kuantitas dan kualitas kejahatan korupsi saat ini semakin meningkat dan sistemik di Indonesia.


Kamis, 02 Mei 2013

Sikap Pemerintah Terhadap Keberadaan Yayasan yang Belum Menyesuaikan Diri Terhadap UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008

Sikap Pemerintah Terhadap Keberadaan Yayasan yang Belum Menyesuaikan Diri Terhadap UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008
Oleh:
Bisdan Sigalingging, S.H., M.H.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa Medan

Data global Yayasan yang terdaftar di Direktorat Perdata Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Kementerian Hukum dan HAM RI hingga bulan April 2012 berjumlah 39.750 Yayasan, dengan perincian sebanyak 34.397 Yayasan yang mendapatkan surat keputusan pengesahan akta pendirian Yayasan disebut juga Yayasan yang baru berdiri setelah disahkannya UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008, dan sebanyak 5.183 Yayasan yang sudah berdiri sebelum disahkannya UU Yayasan dan telah melakukan perubahan akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasan terhadap UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 dan telah mendapat surat keputusan pengesahan akta pendirian Yayasan (Tabel.5: Data Entry Yayasan untuk Tahun 2003 sampai dengan Tahun 2012), dalam arti semua Yayasan tersebut telah terdaftar dan mendapat pengesahan dari Dirjen AHU Kemenkumham RI.
Berdasarkan data entry Yayasan untuk tahun 2003 s/d 2012 pada Direktorat Perdata Dirjend AHU Kemenkumham RI tertanggal 15 Mei 2012, sebanyak 39.750 Yayasan telah mendapat pengesahan ditunjuk dalam Tabel 5 di bawah ini:
Tabel 5:
Data Entry Yayasan Untuk Tahun 2003 Sampai Dengan Tahun 2012

No
Tahun
SK Yayasan
Perubahan Yayasan
Jumlah
1.
2003
376
35
411
2.
2004
1106
158
1264
3.
2005
2104
341
2445
4.
2006
3085
574
3659
5.
2007
4151
701
4852
6.
2008
5017
880
5897
7.
2009
5007
780
5787
8.
2010
5278
720
5998
9.
2011
6354
824
7178
10.
2012
1919
170
2089
Jumlah
34.397
5.183
39.750
Sumber:   Direktorat Perdata, Dirjen AHU Kemenkumham RI tertanggal 15 Mei 2012
Berdasarkan dari jumlah 34.397 Yayasan yang mendapat surat keputusan pengesahan akta pendirian Yayasan disebut juga Yayasan baru, termasuk di dalamnya Yayasan yang sudah berdiri sebelum lahirnya UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008, namun karena tenggang waktu untuk menyesuaikan diri terhadap UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 telah berakhir pada tanggal 06 Oktober 2008 (vide Penjelasan Pasal 39 PP No.63 Tahun 2008) pihak Yayasan membuat akta pendirian Yayasan yang baru, tanpa menghubungkannya dengan akta pendirian Yayasan atau akta-akta Yayasan yang sudah ada sebelumnya, dengan nama yang sama dengan Yayasan sebelumnya. Sebagai contoh, Yayasan AA, dengan Akta Pendirian 1, Akta Perubahan 2,3,4. Yayasan tersebut telah berdiri jauh hari sebelum sahkannya UU Yayasan. Pihak Yayasan mau menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasarnya terhadap UU Yayasan, namun karena beberapa faktor niat tersebut tidak terlaksana. Batas akhir untuk menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasan yang sudah berdiri sebelum disahkannya UU Yayasan terhadap ketentuan UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008  telah berakhir tanggal 06 Oktober 2008. Bagaimana cara yang dilakukan oleh pihak Yayasan? Pihak Yayasan membuat akta pendirian Yayasan dihadapan Notaris dengan nama Yayasan AA setelah tanggal 06 Oktober 2008, tanpa menyebutkan Akta Pendirian 1, Akta Perubahan 2,3,4 yang sudah dimiliki Yayasan itu sebelumnya. Akta pendirian Yayasan AA yang didirikan setelah tanggal 06 Oktober 2008 diajukan/dimohonkan untuk mendapatkan pengesahan dari Dirjen AHU, tentunya permohonan yang demikian akan dikabulkan oleh Dirjen AHU. Artinya dalam Yayasan tersebut terdapat dua Yayasan, yakni satu Yayasan tidak terdaftar di Dirjen AHU dan satu Yayasan lagi terdaftar di Dirjen AHU dengan nama yang sama atau hampir sama. Cara yang demikian diamini oleh Dirjen AHU. Cara yang demikian di atas diyakini termasuk dalam kategori dari jumlah 34.397 Yayasan yang terdaftar di Dirjen AHU. Hal demikian dapat menimbulkan persoalan hukum, terutama terhadap izin operasional/kegiatan Yayasan, aset-aset, organ  Yayasan, dan sebagainya. Untuk meminimalisir masalah hukum Yayasan AA yang sudah berdiri sebelum diundangkannya UU Yayasan tersebut dengan cara membubarkan diri dan sekaligus melikuidasi aset-asetnya serta menyerahkannya kepada Yayasan AA yang sudah berdiri setelah tanggal 06 Oktober 2008 dan sudah mendapatkan pengesahan dari Dirjen AHU.
Data entry tersebut di atas hanya sebanyak 5.183 Yayasan yang sudah berdiri sebelum disahkannya UU Yayasan yang menyesuaikan diri terhadap UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008 yakni melakukan Perubahan Anggaran Dasar Yayasan tersebut sebelum berakhirnya batas akhir tanggal 06 Oktober 2008 (vide Penjelasan Pasal 39 PP No.63 Tahun 2008). Dalam akta perubahan Anggaran Dasar Yayasan tersebut jelas terlihat riwayat dari Yayasan tersebut dan tertuang dalam surat keputusan pengesahan akta pendirian Yayasan tersebut yang diterbitkan Dirjen AHU.
Pendistribusian Yayasan dalam Data Base pada Dirjen AHU belum terbagi per Provinsi/Kabupaten/Kota, artinya Data Base yang ada pada Dirjen AHU tersebut menyatukan untuk seluruh Indonesia. Rachmad Riyanto menyarankan agar ke depan Data Base yang ada di Dirjen AHU dibuat per Provinsi yang ada di Indonesia untuk mempermudah mencari data-data tentang Yayasan tersebut, mana Yayasan yang terdaftar atau yang sudah mendapat pengesahan dari Dirjen AHU.
Menyinggung mengenai batas waktu bagi Yayasan yang sudah berdiri sebelum diundangkannya UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 di mana Yayasan tersebut belum juga menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasarnya terhadap ketentuan UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 sampai dengan batas tenggang waktu yang ditetapkan dalam Pasal 39 PP No. 63 Tahun 2008 yakni tanggal 06 Oktober 2008, Rachmad Riyanto menyarakan agar ke depan dibuat sebuah Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI (Permen) untuk menganulir masa tenggang waktu tersebut beberapa tahun ke depan agar Yayasan-yayasan tersebut dapat menyesuaikan diri terhadap ketentuan UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008, sepanjang ada desakan dari masyarakat. Bilamana tidak ada desakan dari masyarakat, Pemerintah akan tetap menganggap pelaksanaan PP No.63 Tahun 2008 tidak ada masalah. Dirjen AHU selaku pelaksana dari PP No.63 Tahun 2008 masih terikat dengan PP No.63 Tahun 2008 tersebut. Lebih lanjut Rachmad Riyanto mengatakan bahwa di Gorontalo, ribuan Yayasan yang sudah berdiri sebelum diundangkannya UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 juga belum menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasanya terhadap UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008. Bila hal itu terus terjadi pada semua daerah, tentu akan berakibat fatal, Yayasan tersebut tidak dibenarkan menggunakan kata Yayasan di depan nama Yayasannya dan juga hal dimaksud akan membawa dampak terhadap pertanggungjawaban hukum dikemudian hari.
Yayasan-yayasan yang belum menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasarnya terhadap UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008 menurut Rachmad Riyanto akan diberi lagi kesempatan untuk menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasan  yang akan diatur kemudian dengan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, karena kalau berdasarkan PP No.63 Tahun 2008 diterapkan secara konsekwen maka telah pupus lah harapan bagi Yayasan-yayasan yang berdiri sebelum diundangkannya UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 untuk menyesuaikan diri terhadap ketentuan UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 karena batas waktu untuk menyesuaikan diri terhadap ketentuan UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 telah berakhir pada tanggal 06 Oktober 2008.
Banyaknya Yayasan menurut Rachmad Riyanto yang berdiri sebelum lahirnya UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 belum menyesuaikan diri terhadap UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 yang diperkirakan mencapai 90%  disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut:
  1. Kurangnya sosialisasi atas UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 terhadap masyarakat yang disebabkan oleh dana dan waktu.
  2. Tidak adanya lembaga pengawasan terhadap Yayasan, baik di tingkat Kabupaten/Kota  maupun Provinsi terhadap keberadaan Yayasan tersebut; dan
  3. Sikap dari Dirjen AHU dan Notaris yang ada di seluruh Wilayah Indonesia terhadap persoalan Yayasan hanya bersikap passif.
Mengenai sikap Dirjen AHU terhadap Yayasan yang belum menyesuaikan diri terhadap UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 pada prinsifnya Dirjen AHU terikat kepada ketentuan UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008, namun walaupun demikian Dirjen AHU tetap memperhatikan kepentingan masyarakat, sekalipun batas akhir penyesuaian akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasan yang sudah berdiri sebelum disahkannya UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 telah berakhir. Sikap Pemerintah dalam hal ini merencanakan akan mengeluarkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM untuk menambah waktu agar penyesuaian dimaksud dapat dilakukan, sepanjang ada desakan dari masyarakat.
Pada hakikatnya, menurutnya kontribusi Yayasan dapat dirasakan manfaatnya yang besar bagi kemajuan dan pembangunan bangsa dalam mendukung program-program Pemerintah. Jika Yayasan-yayasan tersebut dibubarkan dan atau dilikuidasi maka secara logika dengan pertimbangan sosial dan hak asasi manusia merupakan sesuatu yang sangat sulit untuk dilakukan, karena jauh sebelum Republik ini merdeka peran Yayasan sudah sangat dirasakan bangsa ini. Oleh sebab itu jalan yang harus ditempuh adalah melakukan revisi terhadap ketentuan UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 khususnya terkait dengan batas waktu yang telah lewat untuk menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasan yakni tanggal 06 Oktober 2008. Untuk mengatasi persoalan ini, uji materil harus segera dilakukan sebab sejak berakhirnya batas waktu yakni tanggal 06 Oktober 2008 hingga saat ini tahun 2012 atau telah berlangsung kurang lebih empat tahun belum ada nampak reaksi dari Pemerintah untuk mengatasi persoalan ini.
Terhadap persoalan Yayasan yang demikian di atas adalah sesuatu yang tidak mungkin dibiarkan. Dalam situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kopertis Wilayah XII diberitakan bahwa terhitung sejak tanggal 29 Maret 2011, sekitar 90% dari 21.000 Yayasan yang bergerak di bidang pendidikan masuk kategori illegal karena tidak menyesuaikan akta pendiriannya hingga telah lewat tenggang waktu yang ditentukan yakni tanggal 06 Oktober 2008.
Sebuah kritik tajam dalam penelitian ini ditujukan kepada pihak Pemerintah, di mana Pemerintah tampaknya tidak mampu menawarkan solusi terbaik terhadap persoalan Yayasan demikian hingga telah berlangsung selama kurang lebih 4 (empat) tahun. Dengan tidak adanya kebijakan dari Pemerintah Republik Indonesia selain mengeluarkan PP No.63 Tahun 2008, seolah-olah Pemerintah melakukan pembiaran atau membiarkan Yayasan-yayasan yang belum menyesuaikan akta pendiriannya terhadap UU Yayasan tersebut mati secara perlahan-lahan atau dengan sengaja dimatikan tanpa penerapan sanksi hukum baik sanksi pidana (straf) maupun sanksi tindakan (matregel) yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya. 
Misalnya polemik Yayasan yang bergerak dalam bidang pendidikan yang belum menyesuaikan akta pendiriannya terhadap UU Yayasan ada sekitar 90% dari 21.000 Yayasan tersebut. Jumlah itu masih dalam kategori Yayasan yang bergerak di bidang pendidikan belum lagi jika dikalkulasikan semua Yayasan yang bergerak pada bidang-bidang lainnya, misalnya Yayasan yang bergerak di bidang Haji dan Umroh, dan lain sebagainya. Kondisi demikian butuh solusi, namun, belum ada kejelasan cara penyelesaiannya.
Dalam situs tersebut, Dirjen AHU Kemenkumham RI menyikapinya dengan mengatakan sebagai berikut:
Kami hanya pelaksana, yang bisa dilakukan Yayasan lama mengajukan untuk dibuat Yayasan baru. Artinya, harus ada hibah dari Yayasan lama ke Yayasan baru. Pemerintah tidak bisa memutihkan Yayasan pendidikan yang terlambat menyesuaikan diri selama aturan hukum soal Yayasan masih mengikat pemerintah. Namun, pemerintah juga tidak menindak tegas Yayasan pendidikan yang belum menyesuaikan diri. Pembubaran juga tidak direncanakan. Pembubaran baru bisa dilakukan dengan putusan pengadilan atas permohonan kejaksaan atau pihak berkepentingan.

Pernyataan sikap yang disampaikan Dirjen AHU tersebut, jelas tampak tidak ada tindakan tegas dari Pemerintah terhadap persoalan Yayasan-yayasan yang belum menyesuaikan akta pendiriannya, bahkan pembubaran juga tidak direncanakan melainkan pembubaran baru bisa dilakukan apabila ada putusan Pengadilan atas permohonan oleh pihak Kejaksaan atau pihak berkepentingan dalam hal ini masyarakat yang dirugikan. Jelas dalam pernyataan ini, Pemerintah membiarkan Yayasan-yayasan yang belum menyesuaikan akta pendiriannya terhadap UU Yayasan mati secara perlahan-lahan atau sengaja dimatikan melalui kebijakan yuridis. Dari kebijakan yuridis tersebut terkesan Pemerintah lebih mengutamakan atau menganak emaskan Yayasan yang baru berdiri untuk mendapatkan status badan hukum dari Dirjen AHU, sekalipun Yayasan yang baru berdiri tersebut belum ada berbuat yang terbaik untuk bangsa dan negara ini. Kondisi demikian adalah sesuatu hal yang mendesak dan darurat untuk segera dilakukan uji materil terhadap ketentuan Pasal 71 UU Yayasan ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan uji materil ketentuan Pasal 39 PP No.63 Tahun 2008 ke Mahkamah Agung Republik Indonesia terkait dengan penyesuaian akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasan terutama berkenaan dengan batas waktu penyesuaian perubahan akta pendirian/Anggaran Dasar yang telah berakhir tanggal 06 Oktober 2008 yang lalu.
Thomas Suyatno, Ketua Umum Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Seluruh Indonesia (ABPPTSI) menyayangkan sikap Pemerintah yang demikian dan pihak ABPPTSI mendukung kuat untuk pengujian materil terhadap Pasal 71 UU Yayasan tersebut. Pengujian materil ketentuan Pasal 71 UU Yayasan dan Pasal 39 PP No.63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan UU Yayasan juga didukung oleh Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS).
Apabila Yayasan-yayasan yang belum menyesuaikan Akta Pendirian/Anggaran Dasarnya dan belum mendapatkan pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM tetap dibiarkan beroperasi seperti sediakala, maka dapat dibayangkan berapa banyak keuntungan yang terus dinikmati oleh para pendiri atau pemilik Yayasan yang merangkap sebagai pengurus Yayasan. Setidaknya jika Pemerintah menerapkan ketentuan Pasal 71 ayat (4) UU Yayasan dan Pasal 39 PP No.63 Tahun 2008 tersebut dengan secara sungguh-sungguh dan serius menerapkan sanksi hukum dimaksud, yakni membubarkan dan melikuidasi aset kekayaan Yayasan yang tidak menyesuaikan Akta Pendiriannya tersebut, sehingga menjadi contoh konkrit implementasi UU Yayasan kepada Yayasan-yayasan yang tetap beroperasi saat ini.
Namun, walaupun Yayasan-yayasan tersebut dapat dibubarkan atau dilikuidasi asetnya, akan tetapi berdasarkan ketentuan Pasal 71 ayat (4) UU Yayasan harus terlebih dahulu dimohonkan oleh Kejaksaan atau pihak lain yang berkepentingan ke Pengadilan Negeri setempat. Kejaksaan Negeri sekalipun masih tampak jarang melakukan permohonan ke Pengadilan Negeri demikian pula pihak-pihak yang berkepentingan misalnya masyarakat yang dirugikan.
Mengingat batas akhir penyesuaian akta pendirian/Anggaran Dasar yang ditentukan UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 telah berakhir pada tanggal 06 Oktober 2008 (vide Pasal 39 PP No.63 Tahun 2008) maka sudah saatnya Yayasan-yayasan tersebut ditutup dan terhadap pengurusnya dapat diterapkan sanksi pidana. Namun, jika dipertimbangkan lebih jauh dan mendalam mengenai dampak yang ditimbulkan secara yuridis bahwa semua kegiatan Yayasan yang belum menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasarnya itu termasuk kegiatan yang illegal dan bahkan lulusan atau para alumninya sekalipun yang berasal dari Yayasan tersebut (jika bergerak di bidang pendidikan) dapat dikatakan illegal.
Tidak tanggung-tanggung dampak dari UU Yayasan ini terhadap nasib Yayasan-Yayasan yang belum menyesuaikan diri terhadap UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008 sangat beresiko tinggi, sebab akan sangat banyak jumlah para alumni yang berasal dari Yayasan-yayasan tersebut khususnya di bidang pendidikan yang belum menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasarnya menyandang gelar akademik yang illegal, apakah kondisi demikian akan tetap dibiarkan tanpa ada tindakan dari Pemerintah? Jika diterapkan sanksi hukum sebagaimana yang dijelaskan di atas akan menjadi dilema yang cukup sistemik terhadap seluruh lini dalam Yayasan termasuk masyarakat. Jika dibiarkan tanpa ada tindakan dari pemerintah, maka semakin memperjelas carut marutnya penegakan hukum di negara ini, karena masalah Yayasan akan timbul di mana-mana.
Untuk menghadapi persoalan ini, walaupun UU Yayasan mengamanatkan berupa sanksi pidana maupun berupa sanksi administratif atau tindakan terhadap Yayasan-yayasan dimaksud menurut hemat Penulis adalah sesuatu yang tidak adil jika kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah adalah menerapkan sanksi yang dimaksud. Sebab kontribusi dari Yayasan yang sudah berdiri sebelum disahkannya UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008 telah banyak pula memberikan manfaat terhadap kualitas bangsa dan negara ini dan bahkan sangat membantu program kerja Pemerintah misalnya dalam bidang pendidikan dan keagamaan yang tak bisa dinafikan oleh Pemerintah sendiri. Oleh sebab itu, satu-satunya jalan yang harus ditempuh guna menyelamatkan ribuan Yayasan-yayasan yang sudah berdiri sebelum lahirnya UU Yayasan dan belum menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasarnya terhadap UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008 adalah melakukan uji materil ke Mahkamah Konstitusi RI dan Mahkamah Agung RI terhadap pasal-pasal dalam UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 khususnya Pasal 71 UU Yayasan dan Pasal 39 PP No.63 Tahun 2008. Sebelum dilakukan uji materil atau direvisi ketentuan terkait dengan masa tenggang waktu penyesuaian akta pendirian/Anggaran Dasar yang ditentukan dalam UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 tersebut, maka tidak ada pilihan lain bagi Yayasan-yayasan tersebut yang saat ini untuk bergegas dan berusaha menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasanya terhadap UU Yayasan. Di topang pula adanya kegamangan para Pendiri dan Pengurus Yayasan yang sudah berdiri sebelum disahkannya UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008 terhadap ketentuan Pasal 3, Pasal 5, Pasal 7 UU Yayasan, yang dapat semakim memperuncing perlawanan terhadap UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008.
Tanggung jawab Pengurus Yayasan terhadap Yayasan yang sudah didirikan sebelum lahirnya UU Yayasan adalah menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasannya terhadap UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008 dengan akta notarial. Perubahan akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasan disampaikan kepada Dirjen AHU dengan dilampiri syarat-syarat formil yang ditetapkan UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008 bila Yayasan dimaksud mau menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasarnya terhadap UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008, namun harapan Yayasan yang sudah berdiri sebelum lahirnya UU Yayasan untuk menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasan terhadap UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 saat sekarang ini telah pupus karena terganjal ketentuan Pasal 39 PP No. 63 Tahun 2008. Bilamana Pengurus tidak menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasan terhadap UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008,  Pengurus Yayasan bertanggung jawab untuk melikuidasi Yayasan beserta harta kekayaannya dan membubarkan Yayasan tersebut kemudian menyerahkan harta kekayaan hasil likuidiasi kepada Yayasan lain atau badan hukum lain atau kepada Negara yang penggunaannya dilakukan sesuai kegiatan Yayasan yang bubar.
Pengurus Yayasan yang tidak menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasannya terhadap UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008, maka Pengurus Yayasan tersebut secara tanggung renteng bertanggung jawab memanggil likuidator untuk melikuidasi Yayasan beserta harta kekayaannya serta membubarkan Yayasan tersebut kemudian menyerahkan harta kekayaan hasil likuidasi kepada Yayasan lain atau badan hukum lain atau kepada Negara yang penggunaannya disesuaikan dengan kegiatan Yayasan yang bubar, atau bilamana Pengurus Yayasan dimaksud keberatan atas hal tersebut di atas Pengurus Yayasan yang dikategorikan illegal menurut UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008 dapat mengajukan permohonan uji materil terhadap UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008.
Status hukum harta kekayaan Yayasan yang sudah berdiri sebelum lahirnya UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 jika akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasan tersebut tidak disesuaikan terhadap UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008 bertalian dengan status hukum Yayasan tersebut ”dianggap tidak pernah ada atau illegal” menurut perspektif Pasal 71 ayat (4) UU Yayasan dan Pasal 39 PP No.63 Tahun 2008, sehingga konsekwensinya status hukum harta kekayaan Yayasan dimaksud harus diserahkan kepada likuidator untuk dilikuidasi dan diserahkan kepada Yayasan lain atau badan hukum lain atau Negara untuk digunakan mencapai maksud dan tujuan Yayasan yang bubar tersebut. Yayasan-yayasan yang masih beroperasi atau melaksanakan kegiatan dan tidak menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasarnya terhadap UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 serta tidak disahkan oleh Kemenkumham tidak boleh menggunakan kata Yayasan di depan namanya dan dapat dibubarkan berdasarkan putusan Pengadilan atas permohonan Kejaksaan atau pihak yang berkepentingan.
Diharapkan Pemerintah melalui kebijakan yuridisnya agar tidak terlalu mengintervensi kebebasan masyarakatnya dalam hal kegiatan berorganisasi sebagaimana diamanatkan UUD 1945 tentang kemerdekaan berserikat dan berkumpul dalam naungan Yayasan, sebab intervensi melalui UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008 tersebut dinilai terlalu berlebihan serta mematikan Yayasan yang tidak menyesuaikan Anggaran Dasar secara perlahan-lahan.
Sikap Pemerintah terhadap keberadaan Yayasan yang sudah berdiri sebelum lahirnya UU Yayasan dan belum menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasarnya terhadap UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008 hingga telah lewat batas akhir penyesuaian akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasan yang ditentukan tanggal 06 Oktober 2008, pemerintah masih tetap memberikan dan memperpanjang izin operasional/kegiatan sekolah-sekolah swasta yang berada di bawah naungan Yayasan yang illegal dimaksud. Hal ini dapat dibuktikan dari penetapan tanggal, bulan, dan tahun dari beberapa surat keputusan yang diterbitkan Dinas Pendidikan Kota Medan, Badan Akreditasi Nasional Sekolah/ Madrasah Provinsi Sumatera Utara, Badan Akreditasi Sekolah Kota Medan, Kementerian Agama Kota Medan, Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara, dan Dinas Kesejahteraan dan Sosial Provinsi Sumatera Utara, dengan berbagai pertimbangan diantaranya didasari faktor sosial dan politik, sekalipun Yayasan tersebut illegal menurut UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008.
Diharapkan agar Pemerintah segera merevisi masa tengggang waktu penyesuaian akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasan terhadap UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 dengan cara merevisi Pasal 71 UU Yayasan, Pasal 39 PP No.63 Tahun 2008 untuk menyelamatkan ribuan Yayasan lama agar tidak masuk kategori illegal, dan mencabut Pasal 3, Pasal 5, Pasal 7 UU Yayasan karena ketentuan itu dinilai para Pendiri dan Pengurus Yayasan sebagai salah satu faktor yang sangat menyulitkan mengingat pola budaya ber Yayasan di Indonesia di samping beramal juga sarana mata pencaharian, sehingga para Pendiri dan Pengurus Yayasan yang sudah berdiri sebelum lahirnya UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008 bermalas-malas menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasannya terhadap UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008, serta ditopang lagi oleh sikap Pemerintah yang masih memberi dan memperpanjang izin operasional/kegiatan Yayasan illegal tersebut.