KONSEP-KONSEP DALAM MODEL CIVIL FORFEITURE ATAU NON CONVICTION BASED (NCB) ASSET FORFEITURE
(Studi Alternatif Ddalam Mencegah dan Memberantas Korupsi di Indonesia)
Oleh:
Bisdan Sigalingging, SH, MH
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa Medan Sumut)
Model Non Conviction Based (NCB) Asset Forfeiture atau Civil Forfeiture berasal dari negara-negara yang menganut Common Law System. Lazimnya diterapkan sebagai instrumen untuk menyita atau merampas aset-aset yang berasal atau berkaitan dengan hasil-hasil kejahatan. Era modern baru-baru ini, NCB Asset Forfeiture menjadi isu yang sangat hangat dibicarakan di berbagai negara untuk diadopsi masing-masing negara ke dalam sistem hukum nasionalnya. NCB Asset Forfeiture tidak menggunakan jalur hukum pidana (penal), akan tetapi murni menggunakan jalur hukum perdata yang berarti menggunakan gugatan perdata, tanpa harus menunggu jalur proses tuntutan pidana didahulukan.
Perampasan aset disebut juga dengan istilah asset forfeiture, dan civil forfeiture disebut juga dengan model perampasan aset yang murni menggunakan hukum perdata (gugatan perdata), selanjutnya istilah Non Conviction Based (NCB) Asset Forfeiture adalah sebagai alat (tool) atau instrumen perampasan aset tanpa pemidanaan. Theodore S. Greenberg, Linda M. Samuel, Wingate Grant, Larissa Gray mengatakan “NCB Asset Forfeiture as a tool for asset recovery atau suatu penghukuman yang dijatuhkan tidak berdasarkan keyakinan atas kesalahan melalui pembuktian jalur pidana (tanpa pemidanaan). NCB Asset Forfeiture merupakan kebalikan atau lawan dari Conviction Based (CB).
Prinsip conviction based sudah dikenal dalam hukum pidana Indonesia yang menggunakan perampasan aset terhadap orang (in personam) atau perampasan aset melalui jalur hukum pidana (criminal forfeiture) yang juga diartikan sebagai suatu penghukuman terhadap pribadi terdakwa (judgment in personam against the defendant) termasuk di dalamnya perampasan dan/atau penyitaan harta terdakwa yang berkaitan erat dengan kejahatannya.
Perampasan aset dengan prinsip conviction based menaruh harapan kepada jaksa penuntut untuk untuk meyakinkan (conviction) hakim terlebih dahulu membuktikan kesalahan pidana terdakwa atas tindak pidana yang dilakukan. Apabila kesalahan pidana si terdakwa terbukti dalam persidangan, maka perampasan harta terhadap terdakwa baru dapat dilakukan, akan tetapi bilamana kesalahan pidana si terdakwa tidak terbukti dalam persidangan, maka perampasan harta terhadap terdakwa tidak bisa dilakukan.
Model NCB Asset Forfeiture justru tidak demikian halnya. NCB Asset Forfeiture menggunakan gugatan perdata terhadap aset (in rem), atau penyitaan terhadap aset (confiscation in rem) secara perdata tanpa mengikuti jalur pidana, dan bukan terhadap orangnya (in personam). Oleh karena itu prinsip dalam NCB Asset Forfeiture merupakan kebalikan atau lawan dari Conviction Based (CB). NCB Asset Forfeiture identik juga dengan sebutan Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative artinya inisiatif pemulihan aset curian.
Sementara Asset Recovery lebih luas daripada criminal forfeiture dan NCB Asset Forfeiture. Berikut ini dikatakan oleh Michèle Coninsx yaitu: Asset Recovery: legal process whereby proceeds or instrumentalities of crime are identified, secured (through freezing and seizure mechanisms), recovered by means of confiscation orders issued by court proceedings (involving either criminal or non-conviction-based confiscation regimes) and returned to victims, deprived communities or the state.
Ruang lungkup Asset Recovery menyangkut suatu proses hukum perampasan atau penyitaan aset dimana hasil atau sarana kejahatan telah teridentifikasi, menyediakan jaminan melalui mekanisme pembekuan dan penyitaan, pemihan aset dengan cara perintah penyitaan yang dikeluarkan oleh pengadilan, baik melibatkan hakim pengadilan pidana (criminal forfeiture) maupun tanpa pemidanaan dan tanpa putusan pengadilan (administrativie forfeiture dan NCB Asset Forfeiture) dengan tujuan agar aset tersebut dikembalikan kepada korban (masyarakat dan negara. Khusus untuk penerapan NCB Asset Forfeiture dapat dilakukan tanpa putusan dari peradilan perdata ataupun melalui putusan peradilan perdata.
Sebagaimana telah diketahui bahwa kebalikan dari Conviction Based (CB) adalah Non Conviction Based (NCB). Istilah asset forfeiture atau civil forfeiture atau NCB Asset Forfeiture mengandung arti yang sama yaitu sama-sama bermaksud pada suatu instrumen perampasan aset secara perdata (in rem). Kata “non” meniadakan prinsip conviction based yang berarti NCB bukan menggunakan prinsip conviction based. Oleh karena NCB tidak sama dengan conviction based atau dengan kata lain menggunakan instrumen hukum perdata untuk merampas aset yang berkaitan dengan kejahatan si terdakwa, sehingga disebutlah dengan istilah NCB Asset Forfeiture.
NCB Asset Forfeiture tidak lain merupakan alat (tool) yang sangat penting dalam pengembalian aset (asset recovery). Di beberapa yurisdiksi negara-negara, NCB Asset Forfeiture ini juga disebut sebagai civil forfeiture, atau in rem forfeiture, atau objective forfeiture, adalah tindakan untuk melawan aset itu sendiri (misalnya, Negara vs. $100.000) dan bukan terhadap individu (in personam). NCB Asset Forfeiture ini adalah tindakan yang terpisah dari setiap proses pidana, dan membutuhkan bukti bahwa terhadap suatu harta (properti) tercemar (ternodai) oleh tindak pidana.
NCB Asset forfeiture adalah perampasan atau penyitaan aset untuk mengambil alih suatu aset melalui gugatan in rem, gugatan in rem ditujukan pada asetnya bukan pada orangnya. Konsep civil forfeiture ini didasarkan pada doktrin menodai (taint doctrine) yang menganggap sebuah tindak pidana dianggap telah menodai (taint) sebuah aset yang dipakai dalam tindak pidana atau merupakan hasil dari tindak pidana.
Theodore S. Greenberg, Linda M. Samuel, Wingate Grant, Larissa Gray, juga menegaskan bahwa ada dua jenis perampasan yang sering digunakan secara internasional untuk memulihkan aset hasil kejahatan dan perangkat kejahatan yaitu: criminal forfeiture dan NCB Asset Forfeiture (civil forfeiture). Keduanya bertujuan sama, yaitu penyitaan oleh negara terhadap hasil (aset) kejahatan, dengan alasan: 1) pelaku yang melakukan pelanggaran atau kejahatan seharusnya tidak dibolehkan untuk mendapatkan keuntungan dari kejahatannya. Dana yang telah diperolehnya harus dibatalkan dan digunakan untuk mengkompensasi korban, baik untuk negara ataupun untuk individu. 2) kegiatan yang melanggar hukum harus dihalangi dengan pemblokiran aliran dana untuk menghambat kejahatan berlanjut. Perampasan untuk memastikan bahwa aset tersebut tidak akan digunakan secara berlanjut untuk tujuan kejahatan, dan sekaligus berfungsi sebagai langkah pencegahan.
Model criminal forfeiture dan NCB Asset Forfeiture berbeda dalam hal prosedur yang digunakan untuk merampas aset. Perbedaan utama antara keduanya adalah bahwa criminal forfeiture memerlukan pengadilan pidana dan keyakinan hakim atas kesalahan pelaku, sedangkan NCB Asset Forfeiture tidak perlu demikian. Selain itu, ada sejumlah perbedaan prosedural yang umumnya memberi ciri terhadap kedua model dalam sistem tersebut.
Tindakan (action) dalam criminal forfeiture ditujukan kepada orang perorangan pribadi (in personam) atau tindakan hukum terhadap orang (misalnya, Negara vs. Soeharto, Negara vs. Gayus Tambunan, dan lain-lain). Hal ini membutuhkan pengadilan pidana (criminal trial) dan keyakinan hakim atas alat-alat bukti yang diajukan baru kemudian dapat dilakukan perampasan aset bilamana terdakwa terbukti bersalah. Standar pembuktian dalam NCB Asset Forfeiture lebih rendah daripada pembuktian dalam proses criminal forfeiture. Dikatakan demikian karena NCB Asset Forfeiture hanya memerlukan keseimbangan probabilitas untuk proses perampasan. Standar pembuktian dalam proses criminal forfeiture memerlukan persyaratan lebih berat dimana untuk menghukum pelaku, pemerintah harus terlebih dahulu membuktikan kesalahan terdakwa berdasarkan keyakinan hakim. Obyek criminal forfeiture berbasis pada otoritas yang harus membuktikan bahwa aset yang dimaksud adalah hasil dari kejahatan.
NCB Asset Forfeiture juga disebut dengan civil forfeiture atau in rem forfeiture atau objective forfeiture sesuai dengan jurisdiksi hukum negara masing-masing. Intinya adalah tindakan hukum terhadap aset itu sendiri (misalnya, Negara vs. Rp. 2.000.000,-) dan tidak terhadap seseorang individu. Tindakan dalam NCB Asset Forfeiture terpisah dari setiap persidangan pidana (criminal proceeding) dan cukup dengan adanya hubungan tercemarnya aset dari perbuatan kejahatan (ada kaitan aset/dana dengan kejahatan). Hal ini memudahkan beban pembuktian bagi pemerintah untuk dimungkinkan melakukan penyitaan bilamana ada hubungan kuat dan bukti yang cukup untuk mendukung perampasan. Tindakan tidak tertuju pada individu terdakwa (pelaku) tetapi terhadap aset itu sendiri (properti) dan termasuk terhadap aset pihak ketiga yang tidak bersalah (innocent owners).
NCB Asset Forfeiture berguna dalam berbagai konteks, bilamana criminal forfeiture upaya tidak memungkin dilakukan atau mungkin tidak tersedia upaya jalur pidana karena tidak berhasil membuktikan kesalahan terdakwa secara pidana, seperti dalam berbagai contoh berikut:
- Pelanggar melarikan diri (buronan). Proses pidana tidak mungkin dilangsungkan jika terdakwa melarikan diri.
- Pelanggar meninggal dunia sebelum dijatuhkan hukuman pidana. Karena prinsipnya adalah “kematian mengakhiri proses pidana” (death brings an end to criminal proceedings).
- Pelanggar memiliki kekebalan hukum terhadap penuntutan pidana (misalnya negara asal pelaku tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan negara tempat melarikan diri).
- Pelanggar sangat kuat dari berbagai hal bilamana dilakukan penyidikan dan penuntutan pidana karena tidak realistis atau sangat tidak mungkin dilakukan.
- Pelanggar tidak diketahui keberadaannya, sementara telah ada ditemukan aset (misalnya, aset yang ditemukan berada di tangan seorang yang tidak terlibat dalam tindak pidana, atau aset tidak bertuan). Jika aset tersebut berasal dari kejahatan, pelanggar mungkin tidak mau mendukung proses pemulihannya karena takut akan mengarah pada penuntutan pidana. Ketidakpastian inilah membuat penuntutan pidana terhadap pelanggar sangat sulit dan mustahil dilakukan.
- Keberadaan aset tersebut ada dan dipegang oleh pihak ketiga (innocent owners) yang belum dituduh melakukan tindak pidana tetapi ia lalai menyadari fakta-fakta hukum bahwa aset tersebut telah tercemar dengan kejahatan. Sementara criminal forfeiture tidak mungkin mencapai aset yang dimiliki oleh pihak ketiga yang bonafid, oleh karena itu NCB Asset Forfeiture dapat digunakan sebagai instrumen perampasan aset yang bonafid pula.
- Ada bukti tetapi belum memadai untuk melanjutkan penuntutan pidana.
NCB Asset Forfeiture sangat dimungkinkan merampas aset-aset sebagimana terhadap contoh-contoh di atas karena menggunakan gugatan in rem atau gugatan terhadap aset, bukan terhadap orangnya (in personam), atau hukuman pidana tidak diperlukan, atau keduanya. NCB Asset Forfeiture juga dapat berguna dalam situasi bilamana pelanggar telah dibebaskan dari tuntutan pidana sebagai akibat dari kurangnya alat bukti atau kegagalan memenuhi beban pembuktian. NCB Asset Forfeiture menggunakan standar pembuktian yang lebih rendah dari standar keyakinan hakim dalam tuntutan pidana sehingga akan lebih mempermudah upaya perampasan aset berdasarkan pada keseimbangan probabilitas. Perampasan aset dilakukan sesuai proses perdata murni dengan prosedur penilaian standar yang dapat menghemat waktu dan biaya.
NCB Asset Forfeiture sangat efektif dalam merampas aset-aset hasil kejahatan korupsi dan memulihkan dana-dana tersebut dikembalikan kepada kepentingan masyarakat dan negara (korban). NCB Asset Forfeiture tidak sama dengan uang pengganti maupun denda dalam tuntutan pidana. NCB Asset Forfeiture satu-satunya alat yang tersedia untuk memulihkan aset-aset hasil kejahatan untuk memberikan keadilan dalam konteks social defence justice dan restoratice justice. Para pejabat yang korup dapat mencegah agar tidak lagi berbuat korupsi (detterence effect), dan bahkan ruhnya NCB Asset Forfeiture dapat digunakan sampai pejabat tersebut meninggal atau melarikan diri. Instrumen NCB Asset Forfeiture meniadakan kekebalan tuntutan pidana terhadap seorang pejabat yang korupsi, sebab tidak bergantung pada keyakinan hakim dalam pembuktian pidana.
Yurisdiksi peradilan di negara-negara yang menganut Common Law System maupun Civil Law System walaupun memiliki kesamaan (similarities), tetapi juga memiliki perbedaan (differences), sehingga dalam penerapan NCB Asset Forfeiture pada dua sistem ini dapat dikatakan sangat variatif (bervariasi).
Pembuktian kesalahan dalam civil law system memerlukan standar beyond reasonable doubt dan sering ditegaskan sebagai proven guilty beyond reasonable doubt, yang berarti seseorang dinyatakan bersalah harus didasarkan pada bukti-bukti yang sangat kuat atau tidak dapat diragukan sama sekali. Itu sebabnya dominasi civil law system masih memiliki kecenderungan menerapkan criminal forfeiture dalam merampas aset kejahatan. Oleh karena sifatnya pidana, criminal forfeiture mengharuskan penuntut untuk membuktikan kesalahan itu dengan standar beyond reasonable doubt.
Sifat pidana dalam criminal forfeiture versi civil law system mengharuskan penuntut umum untuk membuktikan kesalahan (dolus atau culpa) dengan standar beyond reasonable doubt, atau membuktikan terlebih dahulu adanya unsur means rea dari seseorang terdakwa sebelum dilakukan penyitaan aset milik terdakwa. Sedangkan untuk civil forfeiture (NCB) versi common law system tidak mengharuskan penuntut umum untuk membuktikan unsur-unsur kesalahan dari seorang terdakwa, tetapi cukup dengan membuktikan adanya kemungkinan akibat atau dugaan bahwa aset yang digugat memiliki hubungan kuat dengan tindak pidana. Pembuktian dalam common law system didasarkan pada keseimbangan probabilitas atau dominasai barang bukti, cukup dengan adanya relevansi antara harta dan kejahatan.
NCB Asset Forfeiture dan criminal forfeiture walaupun mempunyai tujuan yang sama yaitu untuk merampas atau menyita dan mengambil alih aset hasil kejahatan, namun NCB Asset Forfeiture berbeda dengan criminal forfeiture. Perbedaan pokoknya adalah bila menggunakan criminal forfeiture dalam merampas aset digunakan gugatan in personam (gugatan terhadap orang) dan dimasukkan ke dalam tuntutan pidana serta melibatkan peran dari jaksa penuntut umum. Namun bilamana menggunakan NCB Asset Forfeiture dalam merampas aset digunakan gugatan in rem (tertuju pada asetnya saja), tidak melalui tuntutan pidana tetapi berdiri sendiri dengan menggunakan instrumen hukum perdata murni.
Seperti diketahui bahwa NCB Asset Forfeiture menggunakan gugatan terhadap aset (in rem), sedangkan criminal forfeiture menggunakan gugatan terhadap orang (in personam). Hal ini tentunya menimbulkan perbedaan dalam pembuktian di pengadilan. Penuntut umum dalam criminal forfeiture harus membuktikan terpenuhinya unsur-unsur tindak pidananya seperti kesalahan (personal culpability) dan/atau mens rea dari seorang terdakwa sebelum dapat menyita aset dari terdakwa tersebut, sedangkan jaksa pengacara negara (penggugat) dalam civil forfeiture cukup dengan membuktikan adanya hubungan kuat antara aset dengan tindak pidana.
Model criminal forfeiture mengandung sifat hukum pidana, oleh karena bersifat pidana, maka model ini mengharuskan penuntut umum untuk membuktikan kesalahan (dolus dan/atau culpa) pelaku kejahatan dengan standar beyond reasonable doubt. Sebaliknya NCB Asset Forfeiture mengandung sifat perdata murni, oleh karena karena sifatnya perdata murni, NCB Asset Forfeiture tidak mengharuskan negara sebagai penggugat (melalui jaksa pengacara negara) untuk membuktikan unsur-unsur dan kesalahan dari orang yang melakukan tindak pidana tersebut (personal culpability). Jadi dalam NCB Asset Forfeiture tidak diperlukan penuntut umum lagi melainkan jika di Indonesia diperankan oleh Jaksa Pengacara Negara (JPN) untuk mengajukan gugatan.
Penuntut atau penggugat dalam NCB Asset Forfeiture cukup membuktikan adanya probable cause atau adanya dugaan bahwa aset yang digugat mempunyai hubungan propabilitas dengan sebuah tindak pidana. Penuntut/penggugat cukup membuktikan dengan standar preponderance of evidence (pembuktian formil) bahwa sebuah tindak pidana telah terjadi dan tindak pidana itu ada kaitannya terhadap suatu aset yang telah dihasilkan, digunakan, atau aset tersebut tercemar (taint) karena tindak pidana, atau aset tersebut terlibat dengan tindak pidana tersebut.
Pemilik dari aset bila menggunakan NCB Asset Forfeiture harus membuktikan dengan standar yang sama bahwa aset yang digugat tidak merupakan hasil, digunakan, atau berkaitan dengan tindak pidana yang dituntut. Kendatipun proses yang digunakan adalah instrumen hukum perdata, NCB Asset Forfeiture menggunakan rejim yang sedikit berbeda di mana pemilik dari aset yang dituntut bukan merupakan para pihak yang berperkara dan hanya merupakan pemilik pihak ketiga (nocent owners) dalam proses persidangan.
Contoh NCB Asset Forfeiture adalah United States v. $160.000 atau United States v. Account Number 12345 at XYZ Bank Held atas nama Jhones Milton. Intinya adalah penuntut atau penggugat adalah negara melawan aset itu sendiri dalam proses persidangan perdata. Bisa juga dalam hal sebuah negara melawan aset milik pihak ketiga (innocent owners). Aset (property) yang dilawan oleh penggugat (penuntut) atau negara tersebut telah tercemar atau ternodai (taint) dari suatu kejahatan.
NCB Asset Forfeiture menggunakan sistem pembuktian terbalik di mana si pemilik dari aset yang di tuntut harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah (innocent owners) atau tidak tahu kalau aset yang dituntut adalah hasil kejahatan atau digunakan berkaitan dengan sebuah tindak pidana. NCB Asset Forfeiture tentu sedikit berbeda dengan gugatan perdata pada umumnya yang mengharuskan penggugat membuktikan adanya sebuah Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dan kerugian yang dialaminya. Namun perlu digaris bawahi bahwa pembuktian bagi si pemilik aset dalam NCB Asset Forfeiture hanya karena aset ada kaitannya dengan sebuah tindak pidana dengan aset yang digugat tersebut, atau dengan kata lain pemilik aset hanya perlu membuktikan bahwa aset tersebut tidak bersalah.
Bilamana si pemilik aset tidak dapat membuktikan bahwa aset tersebut tidak bersalah maka aset tersebut akan dirampas untuk negara. Sehingga si pemilik aset dalam NCB Asset Forfeiture tidak harus membuktikan bahwa dia tidak bersalah atau tidak terlibat dalam sebuah tindak pidana. Hubungan antara tindak pidana yang diduga dan keterlibatan si pemilik aset dengan tindak pidana tidak relevan dalam persidangan NCB Asset Forfeiture dan hanya karena adanya hubungan antara si pemilik dan aset yang dituntut itulah yang menjadi fokus gugatan dalam persidangan.
Untuk mempermudah pemahaman tentang cara kerja NCB Asset Forfeiture dapat diketahui dari ilustrasi yang dicontohkan Bismar Nasution dalam kasus berikut ini: misalnya seorang pelaku tindak pidana menyewa sebuah mobil dari sebuah perusahaan penyewaan mobil dan melakukan perampokan pada sebuah bank. Pemerintah kemudian melakukan NCB Asset Forfeiture terhadap mobil (aset) tersebut untuk disita atau dirampas dan diambil alih kepemilikannya untuk negara. Dalam persidangan, pemerintah cukup membuktikan adanya dugaan terhadap hubungan antara perampokan yang dilakukan dengan mobil tersebut sesuai dengan standar pembuktian perdata.
Jika pemerintah berhasil membuktikan gugatan terhadap aset berupa mobil itu, maka pemerintah pada umumnya akan melakukan pengumuman (lelang) di media massa dalam kurun waktu tertentu. Apabila dalam kurun waktu lelang tersebut tidak ada pihak ketiga yang berkeberatan atas penyitaan dan pengambilalihan mobil tersebut, maka mobil tersebut secara otomatis dirampas untuk negara. Namun apabila si pemilik mobil berkeberatan atas penyitaan yang dilakukan oleh pemerintah, maka si pemilik mobil (dapat berupa individu maupun perusahaan atau korporasi) kemudian melakukan pembelaan sebagai pihak ketiga tidak bersalah (innocent owners).
Tahap pertama dilakukan adalah melalui pengumuman atau lelang di media massa yang kemudian ditindak lanjuti dengan perampasan atau penyitaan aset bilamana tidak ada pihak ketiga yang keberatan, ini disebut dengan perampasan/penyitaan administratif (administrative forfeiture) seperti yang diterapkan di Amerika Serikat. Model perampasan aset berdasarkan administrative forfeiture dilakukan tanpa melalui putusan pengadilan dan telah diterapkan di Amerika Serikat. NCB Asset Forfeiture di Amerika Serikat merupakan kelanjutan dari proses administrative forfeiture tidak berhasil dilakukan.
Selanjutnya proses NCB Asset Forfeiture dapat dilakukan untuk memperkarakan aset dalam kasus di atas diajukan di pengadilan dalam peradilan perdata dengan mengajukan gugatan oleh pemerintah (negara). Dalam persidangan NCB Asset Forfeiture, bagi si pemilik mobil tersebut harus membuktikan bahwa dia adalah pemilik tidak bersalah (innocent owner) dengan menunjukkan bukti bahwa dia tidak tahu atau tidak menduga kalau mobil yang dimilikinya digunakan untuk merampok bank.
Hal penting diketahui di sini adalah bagi si pemilik mobil tidak perlu membuktikan bahwa dia tidak terlibat atau tidak mempunyai hubungan dengan tindak pidana perampokan tersebut. Apabila si pemilik mobil tersebut dapat membuktikan bahwa dia adalah innocent owner maka mobil tersebut akan dikembalikan kepadanya. Sebaliknya bilamana si pemilik mobil itu tidak dapat membuktikan dirinya sebagai innocent owner, maka mobil tersebut akan dirampas oleh negara.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat diketahui bahwa NCB Asset Forfeiture dapat menjadi alat yang sangat berguna dan efektif untuk menyita atau merampas dan mengambil alih aset dari para koruptor di Indonesia. Setidak-tidaknya ada beberapa kegunaan NCB Asset Forfeiture untuk membantu aparat penegak hukum dalam proses pengembalian aset para koruptor. Selain itu bilamana menggunakan NCB Asset Forfeiture, ini lebih memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak rakyat Indonesia, sebagaimana tujuan hukum antara lain adalah untuk mencapai manfaat (utility), dan juga untuk mencapai kesejahteraan (welfare) yang diinginkan doktrin-doktrin para ahli hukum dalam teori social defence dan restorative.
NCB Asset Forfeiture tidak berhubungan dengan sebuah tindak pidana sehingga penyitaan sehingga model ini dapat lebih cepat diajukan gugatan perdata kepada pengadilan daripada mengajukan tuntutan pidana peramasan aset melalui criminal forfeiture. Berbeda dengan penyitaan dalam proses pidana yang mengharuskan adanya seorang tersangka atau putusan bersalah, penyitaan NCB Asset Forfeiture dapat dilakukan dengan secepat mungkin begitu pemerintah menduga adanya hubungan antara sebuah aset dengan tindak pidana.
Dalam konteks kebijakan penegakan hukum di Indonesia, kecepatan melakukan penyitaan adalah suatu hal yang esensial dalam proses Stolen Asset Recovery (StAR) seharusnya diadobsi dengan konsep-konsep NCB Asset Forfeiture ini. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, bahwa seringkali para koruptor memindahkan asetnya ke luar negeri untuk mempersulit aparat penegak hukum Indonesia untuk melakukan penyitaan dan perampasan aset. Fakta di lapangan begitu ada indikasi bahwa koruptor akan diperiksa dalam keterlibatan sebuah tindak pidana, seringkali para koruptor memindahkan asetnya ke luar negeri, sehingga yang terjadi adalah hanya proses persidangan criminal forfeiture saja.
NCB Asset Forfeiture menggunakan standar pembuktian perdata. Hal ini tentu dapat mempemudah upaya pemulihan aset di Indonesia dengan standar pembuktian perdata yang relatif lebih ringan untuk dipenuhi daripada standar pembuktian pidana. Selain itu NCB Asset Forfeiture juga mengadopsi sistem pembuktian terbalik sehingga meringankan beban bagi pemerintah untuk membuktikan dalam gugatan yang diajukan, karena NCB Asset Forfeiture merupakan proses gugatan terhadap aset (in rem), berarti konsekuensinya adalah pemilik aset atau pihak ketiga itulah yang harus membuktikan bahwa dirinya tidak innocent owner.
NCB Asset Forfeiture hanya berurusan dengan aset yang diduga berasal, dipakai atau mempunyai hubungan dengan sebuah tindak pidana. Pelaku tindak pidana itu sendiri tidak relevan untuk dihadirkan dalam persidangan, apakah si koruptor itu kabur (buronan), sakit, atau sakit dibuat-buat, meninggal dunia atau bahkan adanya putusan bebas tidak menjadi soal dalam NCB Asset Forfeiture. Persidangan dapat terus berlanjut dan tidak terganggu dengan kondisi atau keadaan si koruptor.
Pentingnya desakan untuk menerapkan NCB Asset Forfeiture di Indonesia karena melihat seringnya para koruptor melarikan diri atau kabur (buronan), sakit, atau sakit dibuat-buat, meninggal dunia atau bahkan diputu bebas dalam proses criminal forfeiture (proses persidangan pidana korupsi) di Indonesia. NCB Asset Forfeiture inilah merupakan sarana alternatif yang sangat menguntungkan upaya pengembalian aset para koruptor.
NCB Asset Forfeiture sangat berguna bagi kasus-kasus bilamana penuntutan secara pidana mendapat halangan atau tidak memungkinkan untuk dilakukan. Dalam upaya pemberantasan korupsi seringkali pemerintah menghadapi koruptor yang punya koneksi politik (politically well-connected) kuat, atau mungkin memiliki kekebalan hukum sehingga aparat penegak hukum menghadapi kesulitan dalam mengadilinya. NCB Asset Forfeiture sangat tepat dan solutif untuk ini sehingga politically well-connected dapat diredam dan social cost sebuah tuntutan pidananya pun dapat diminimalisir. Bahkan terhadap sebuah aset yang tidak diketahui pemiliknya (tidak bertuan) tetapi berkaitan erat dengan tindak pidana sekalipun akan mudah untuk dirampas oleh negara.
NCB Asset Forfeiture sangat berguna melindungi hak-hak rakyat karena yang digugat adalah asetnya bukan pemiliknya, sehingga aset yang dicuri tersebut bisa kembali kepada rakyat. Jika menggunakan criminal forfeiture seperti yang biasa dan cenderung dilakukan di Indonesia selama ini, maka terhadap aset yang tidak bertuan tersebut akan sulit untuk diambil. Argumentasinya adalah karena penyitaan dalam hukum pidana berkaitan erat dengan pelaku tindak pidana itu sendiri, dan wajib dihadirkan dalam persidangan. Akan tetapi bila menggunakan NCB Asset Forfeiture sekalipun dalam kurun waktu tertentu setelah dilakukannya penyitaan tidak ada pihak lain yang berkeberatan, maka negara langsung dapat merampas aset yang tidak bertuan tersebut.
Perlu dipahami bahwa bilamana menerapkan NCB Asset Forfeiture dalam perampasan aset hasil tindak pidana korupsi merupakan jalan keluar untuk mengatasi stagnasi perampasan aset hasil tindak pidana korupsi itu sendiri, mengingat ketentuan yang berlaku selama ini dalam KUHAP adalah bahwa terhadap suatu aset hanya dapat dirampas jika penuntut umum dapat membuktikan kesalahan pidana terdakwa dan aset dimaksud merupakan hasil atau sarana kejahatan atau dengan kata lain perampasan aset dalam konteks ini sangat tergantung kepada terbukti atau tidaknya seorang terdakwa.
Perampasan aset hasil tindak pidana yang didasarkan pada ketentuan KUHAP tidak dapat dilaksanakan bilamana terdakwanya tidak dapat dihadirkan di persidangan, baik karena si koruptor itu kabur (buronan), sakit, atau sakit dibuat-buat, sakit permanen, meninggal dunia, atau apalagi adanya putusan bebas. Dengan demikian harapan terhadap aset agar dapat dipulihkan atas kaitannya dengan koruptor yang diputus bebas tersebut tentu tidak dapat dilakukan lagi penuntutan hukum dalam perkara yang sama karena melanggar asas ne bis in idem, kecuali dengan menggunakan instrumen NCB Asset Forfeiture.
Selain itu agar penerapan NCB Asset Forfeiture tidak bertentangan dengan asas fundamental dalam hukum pidana yaitu asas praduga tidak bersalah sebagaimana tercantum dalam penjelasan umum KUHAP huruf c, maka tuntutan perampasan aset hasil tindak pidana berdasarkan NCB Asset Forfeiture ini hanya akan dilakukan jika prosedur KUHAP tidak dapat dilakukan. Demikian tentang NCB Asset Forfeiture sangat menarik dan tepat sekali untuk dapat diterapkan dan dibuat kebijakan baru melalui revisi UUPTPK mengingat kuantitas dan kualitas kejahatan korupsi saat ini semakin meningkat dan sistemik di Indonesia.