A. Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Yayasan
Sebelum tahun 2001, peraturan tertulis tentang Yayasan belum ada. Dalam KUH Perdata tidak dijumpai ketentuan mengenai Yayasan. Demikian pula dalam KUH Dagang dan peraturan-peraturan lainnya tidak ada yang mengatur mengenai Yayasan. Namun, pada tahun 1977, Belanda telah memiliki peraturan mengenai Yayasan. Secara khusus di atur dalam Rechtspersoonen dalam Buku 2 Titel 5 Pasal 289 sampai dengan Pasal 305 yang dilakukan secara sistematis mengenai ketentuan tentang syarat-syarat pendiriannya, kewenangan pengurusnya, dan sebagainya.
Baru setelah 56 tahun Indonesia merdeka, Negara Republik Indonesia memiliki undang-undang mengenai Yayasan yakni Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan yang diundangkan pada tanggal 6 Agustus 2001 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Nomor 4132 dan mulai berlaku sejak tanggal 6 Agustus 2002. Jangka waktu yang deberikan Pemerintah atas sosialisasi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 selama satu tahun itu dimaksudkan agar masayarakat mengetahui dan memahami peraturannya dan dapat mempersiapkan segala sesuatunya yang berhubungan dengan Yayasan.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tersebut, dipandang tergolong lama, jika hal itu diukur sejak Negara Indonesia telah merdeka. Kelahirannya seolah-olah menunggu setelah adanya reformasi. Setelah itu juga dikarenakan kemungkinan persoalan Yayasan yang ada dipandang tidak begitu merugikan masyarakat pada umumnya.
Lambatnya membentuk undang-undang Yayasan ini, dapat berakibat lambatnya masyarakat Indonesia untuk menyesuaikan diri terhadap Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tersebut terutama bagi Yayasan yang telah berdiri sebelumnya, karena masyarakat Indonesia telah terbiasa mengelola Yayasan secara tradisional yang mana norma-normanya telah mendarah daging (internalized). Sedangkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 diundangkan untuk melakukan perubahan dalam masyarakat (agent of change) atas paradigma selama ini terhadap Yayasan. Dengan kata lain tujuan diundangkannya undang-undang Yayasan tersebut adalah untuk dapat mengelola Yayasan secara profesional dan mampu berperan maksimal dalam masyarakat Indonesia.
Setelah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 berjalan kurang lebih tiga tahun, kemudian diubah melalui Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 yang diundangkan pada tanggal 6 Oktober 2004 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4430 dan mulai berlaku sejak tanggal 6 Oktober 2005 yakni satu tahun setelah diundangkan. Sebelum diundangkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001, belum ada keseragaman tentang cara mendirikan Yayasan. Pendirian Yayasan hanya didasarkan kepada hukum kebiasaan dalam masyarakat. Untuk menghindari penafsiran dalam penelitian ini, baik Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 maupun Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan hanya disingkat dengan UU Yayasan saja.
Keberadaan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan (UU Yayasan), nampak adanya keinginan pemerintah untuk menampung kebutuhan akan pengaturan masalah Yayasan ini.
Prinsip yang ingin diwujudkan dalam ketentuan UU Yayasan adalah kemandirian yayasan sebagai badan hukum, keterbukaan seluruh kegiatan yang dilakukan yayasan, dan akuntabilitas kepada masyarakat mengenai apa yang telah dilakukan oleh yayasan, serta prinsip nirlaba yang merupakan prinsip yang fundamental bagi suatu yayasan.
Hal itu terlihat dari beberapa ketentuan dalam undang-undang tersebut. Misalnya dengan adanya kewajiban pada setiap pendiri yayasan untuk memintakan pengesahan badan hukum kepada Menteri Hukum dan HAM, dan seterusnya setiap ada perubahan mengenai nama dan kegiatan ikhtisar laporan tahunan yang menyangkut keuangan dan kegiatan yayasan dalam tahun yang lampau.
Keinginan pemerintah untuk mengatur dan mengendalikan pendirian dan pengoperasian Yayasan tentunya didasarkan kepada pengalaman di masa lampau, tatkala banyak Yayasan yang menyalahgunakan segala kemudahan yang diberikan kepada Yayasan. Secara praktis, asumsi demikian memang perlu dibuktikan dengan suatu penelitian khusus. Namun secara kualitatif dapat dirasakan dan juga disaksikan berbagai Yayasan yang disalahgunakan untuk kepentingan tertentu, baik untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan golongan.
Menurut UU Yayasan, semua Yayasan yang telah berdiri dan didaftarkan di Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, atau didaftarkan di pengadilan negeri dan mempunyai izin melakukan kegiatan dari instansi terkait tetap diakui sebagai badan hukum, dengan ketentuan dalam waktu paling lambat 5 (lima) tahun sejak dimulai berlakunya undang-undang tersebut wajib disesuaikan Anggaran Dasar.
1. Kemandirian Yayasan sebagai badan hukum;
2. Keterbukaan seluruh kegiatan Yayasan;
3. Akuntabilitas publik; dan
4. Prinsip nirlaba.
Menurut UU Yayasan, badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu dalam bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, dan tidak mempunyai anggota. Yayasan didirikan dengan akta notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia oleh satu orang atau lebih dengan memisahkan sebagian harta kekayaan pendiriannya sebagai kekayaan awal Yayasan. Dalam hal Yayasan didirikan berdasarkan surat wasiat, pendirian Yayasan dilakukan dengan akta, notaris oleh penerima wasiat yang bertindak mewakili pemberi wasiat. Apabila dianggap perlu, Menteri dapat meminta pertimbangan instansi terkait yang ruang lingkup tugasnya meliputi kegiatan Yayasan.
Dalam hal permohonan pengesahan ditolak, Menteri wajib menyampaikan penolakan secara tertulis disertai alasannya. Adapun alasan penolakan adalah permohonan yang diajukan tidak sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam UU Yayasan dan atau peraturan pelaksananya. Namun dalam UU Yayasan tidak dikenal adanya “badan pendiri” pada Yayasan seperti selama ini dikenal sebelum adanya UU Yayasan. Namun dalam UU Yayasan hanya memakai istilah “pembina” bukan “badan pembina”, hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya kekosongan apabila pendirinya berupa orang-perseorangan meninggal dunia.
B. Hakikat Yayasan Sebagai Bentuk Partisipasi Publik
Meskipun gerakan reformasi dinilai belum berhasil sesuai dengan harapan dan cita-cita, tetapi dalam berbagai hal telah menimbulkan berbagai perubahan yang cukup penting, antara lain dalam hal kesadaran akan signifikasinya peranan publik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Roman N. Lendong (Ketua Lembaga Sekretariat Bina Desa) mengemukakan bahwa reformasi menjadi relevan sebagai era timbulnya berbagai inisiatif masyarakat sipil. Organisasi non Pemerintah sebagai pilar kekuatan masyarakat sipil dituntut agar komitmen popularisme dan spirit demokratisasi diwujudkan melalui agenda-agenda konkrit.
Partisipasi masyarakat yang kuat merupakan salah satu ciri-ciri masyarakat madani (civil society) Indikator masyarakat yang telah menuju pada suatu masyarakat yang berpartisipasi (participating society) dapat dilihat dari karakteristik sebagai berikut:
1. Masyarakat yang kritis, masyarakat yang berpartisipasi adalah masyarakat yang mengetahui masalah yang dihadapinya dan berusaha memecahkan masalah tersebut demi untuk meningkatkan mutu kehidupan masyarakat;
2. Mampu berdiri sendiri; yakni masyarakat yang mengetahui arah hidup dan perkembangannya termasuk kemampuannya untuk berkomunikasi dan bekerjasama dengan masyarakat lainnya bahkan pada tingkat regional dan internasional; dan
3. Masyarakat yang mau berkarya; yakni masyarakat yang tidak puas dengan apa yang diberikan orang lain kepadanya, mengetahui akan kemampuannya dan berkarya untuk kepentingan masyarakatnya sendiri, serta bersifat inovatif.
Bertitik tolak dari pemahaman tersebut di atas, pertama-tama perlu melihat eksistensi yayasan selama ini sebagai perwujudan atau bentuk partisipasi masyarakat dalam kehidupan komunal sebagai bangsa dan negara sekaligus merupakan indikasi keberdayaan masyarakat dalam suatu civil society sebagaimana dikemukakan di atas. Untuk mengakomodasi potensi, daya kritis, dan produktivitas masyarakat yang partisipatif diperlukan berbagai bentuk lembaga-lembaga penyaluran sehingga betul-betul produktif dan dapat merumuskan masalah dan langkah yang akan dilaksanakan tersebut secara sistematis, terorganisir sekaligus menjadi wadah aktualisasi idealisme dan cita-cita luhur seseorang atau sekelompok orang.
Dalam perspektif ini terlihat betapa urgensinya keberadaan lembaga yang bernama Yayasan sebagai suatu instrumen masyarakat untuk membangun dan mengembangkan masyarakatnya sendiri, maupun sebagai mitra pemerintah dalam masyarakat yang demokratis. Sekali lagi dalam konteks inilah pertama-tama akan dibahas eksistensi yayasan tersebut.
Suatu masyarakat madani adalah suatu masyarakat yang percaya atas kemampuan para anggotanya untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik. Meningkatkan partisipasi masyarakat atau istilah yang populer dewasa ini memberdayakan masyarakat bermuara pada satu tujuan menciptakan masyarakat madani. Suatu masyarakat madani adalah suatu masyarakat yang teratur, yang mempunyai kesadaran akan hak dan kewajiban, dan kesadaran hukum dari para anggotanya, suatu masyarakat yang terus menerus berubah dan membangun demi untuk kesejahteraan seluruh masyarakat tersebut.
Secara praktis selama ini, eksistensi lembaga yayasan merupakan perwujudan dan jalan keluar bagi masyarakat dalam menampung aspirasi, kreativitas, daya kritis dan potensi mereka untuk disalurkan secara baik, terorganisir sebagaimana dikemukakan di atas. Fred G. Tumbuan menyatakan bahwa. perhimpunan/perkumpulan (vereniging) dipakai sebagai wahana untuk melakukan berbagai pekerjaan sosial, kemanusiaan dan keagamaan oleh masyarakat. Perbedaan antara perhimpunan sebagai badan hukum perdata diatur secara jelas dalam Staatsblad 1870-64 Rechtspersoonlijkheid van Vereeningen; Sedangkan yayasan sebagai badan hukum, semata-mata merupakan produk junsprudensi.
Laju pertumbuhan organisasi nirlaba dalam kehidupan masyarakat di Indonesia dapat dikatakan cukup revolusioner dengan berbagai alasan dan motivasi sesuai dengan zamannya. Pada masa Orde Baru yang penuh tekanan dan pembatasan misalnya Yayasan sebagai badan atau organisasi nirlaba dijadikan semacam jalan keluar dari berbagai macam bentuk tekanan dan pembatasan tersebut baik pembatasan secara politik, maupun keterbatasan secara ekonomi. Selanjutnya pada era reformasi yang didengungkan orang sebagai era demokratisasi dan keterbukaan dewasa ini, aspirasi yang terpendam dapat kembali dihidupkan dan disalurkan melalui berbagai bentuk Yayasan dengan berbagai macam bentuk struktur yang dianggap para pendirinya baik dan ideal bagi mereka.
Menurut catatan John G. Simon, di Amerika Serikat telah lama dirasakan ketergantungan yang sangat besar pada organisasi-organisasi nirlaba dalam menghadapi berbagai masalah nasional. Mereka mendidik, menyembuhkan, memberi kenyamanan, kekuatan untuk mempertahankan sumber-sumber alam serta kebebasan, dan pada puncaknya menerima keluhan-keluhan. Sektor nirlaba ini telah pula bertindak sebagai laboratorium atau inkubator untuk inovasi-inovasi besar dalam sektor publik dan bisnis. Mereka membuka jalan guna melancarkan inisiatif-inisiatif baru dari pemerintah di bidang pendidikan, perlindungan lingkungan hidup, eksplorasi ruang, serta pemeliharaan kesehatan. Mereka juga membuka wilayah-wilayah usaha baru dalam bidang teknologi komputer, kefarmasian, dan industri-industri yang berlandaskan sains lainnya. Organisasi-organisasi itu semua dikenal sebagai organisasi non-pemerintah, tidak mencari keuntungan, dan suka-rela pula yaitu sektor ketiga atau organisasiorganisasi mandiri yang semakin memainkan peranan sentral di seantero dunia termasuk di Amerika Serikat sebagaimana disebutkan di atas.
Karakter dasar dari organisasi nirlaba adalah tidak mencari keuntungan/laba, yaitu semata-mata ”murni” untuk kepentingan sosial dan tidak melakukan aktivitas politik seperti orpol/parpol. Dalam bentuk badan hukum atau badan usaha, pada umumnya organisasi nirlaba di Indonesia merupakan Yayasan, perkumpulan, atau perhimpunan. Nirlaba dalam konteks Yayasan diartikan hanya sebagai istilah yang biasa digunakan sebagai sesuatu yang bertujuan sosial, kemasyarakatan atau lingkungan yang tidak semata-mata untuk mencari keuntungan materi (uang). Jika dilihat dalam UU Yayasan, itilah nirlaba tersebut tidak ada ditemukan. Istilah nirlaba ini digunakan sebagai mewakili dari suatu institusi atau lembaga yang tujuannya tidak diperuntukkan untuk mencari untuk sebesar-besarnya seperti halnya badan usaha yang bergerak dibidang ekonomis.
Berdasarkan prinsip Yayasan sebagai badan hukum yang tidak mencari laba, maka menjadi pertanyaan dari mana Yayasan tersebut memperoleh laba. Laba tidak dicari sebagaimana mencari laba layaknya sebuah Perseroan. Untuk itu, Yayasan ada juga memungut biaya operasional yang wajar sebagai biaya-biaya operasional, selain itu juga dimungkinkan menerima sumbangan dari para donatur yang semata-mata tidak bermaksud untuk menanam sahamnya pada Yayasan terkait.
Munculnya pengurusan terhadap Yayasan ini sebagai pertimbangan terhadap pengaturan dan pelaksanaan urusan rakyat tidak selalu menjadi urusan pemerintah saja seperti persepsi banyak orang. Mengurus ekonomi, pidana, sosial, pendidikan, dan lain-lain seharusnya juga melibatkan rakyat. Di sinilah peran dari organisasi nirlaba dan LSM-LSM lainnya sebagai pilar ke-4 demokrasi setelah lembaga eksekutif, legislatif, dan judikatif. Dalam konteks good governance, LSM, dan yayasan organisasi nirlaba lainnya akan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari struktur pemerintahan modern yang demokratis dan tidak dapat lagi dianggap bermain di luar sistem karena ia merupakan bagian dari governance system.
C. Yayasan Menurut Undang-Undang Yayasan (UU Yayasan)
1. Pengertian Yayasan
Keberadaan Yayasan merupakan suatu kebutuhan bagi masyarakat yang menginginkan adanya wadah atau lembaga yang bersifat dan bertujuan sosial, keagamaan dan kemanusiaan. Pada beberapa waktu lalu, Yayasan merupakan alat yang secara fungsional menjadi sarana untuk hal-hal atau pekerjaan dengan tujuan sosial, kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Sehubungan dengan itu, pengertian mengenai Yayasan ini berbeda-beda redaksinya, namun maksud pengungkapan defenisinya adalah sama. Menurut NH. Bregstein Yayasan adalah;
“Suatu badan hukum, yang didirikan dengan suatu perbuatan hukum, yang tidak bertujuan untuk membagikan kekayaan dan sutau penghasilan kepada pendiri atau penguasanya di dalam yayasan itu, atau kepada orang-orang lain kecuali sepanjang mengenai yang terakhir ini adalah sesuai dengan tujuan yayasan yang idealistisi.”
Menurut W.I.G. Lemaire manyatakan bahwa yayasan adalah diciptakan dengan suatu perbuatan hukum, yakni pemisahan suatu harta kekayaan untuk tujuan yang tidak diharapkan keuntungan (altruisttihe doel) serta penyusunan suatu organisasi (berikut pengurus), dengan mana sungguh-sungguh dapat terwujud tujuannya dengan alat-alat itu.
Paul Scholten, lebih menekankan pada sifatnya sebagai badan hukum, Yayasan merupakan “Suatu badan hukum yang dilagirkan oleh pernyataan sepihak, pernyataan mana harus berisi pemisahan harta kekayaan untuk tujuan tertentu dengan menunjukkan bagaimana kekayaan tersebut diurus dan digunakan”. Menurut Hayati Soeroredjo, yayasan harus bersifat sosial dan kemanusiaan serta idealistis dan pasti tidak diperbolehkan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan atau kesusilaan. Rochmat Soemitro, mengemukakan bahwa yayasan merupakan suatu badan hukum yang lazimnya bergerak di bidang sosial dan bukan menjadi tujuannya untuk mencari keuntungan, melainkan tujuannya ialah untuk melakukan usaha yang bersifat sosial.
Berbeda dengan pengertian Yayasan menurut Wirjono Prodjodikoro, yang lebih melihat Yayasan pada aspek harta yang dikumpulkan sehingga dikonsepsikan Yayasan sebagai “Kumpulan harta benda kekayaan yang dengan kemauan pemiliknya ditetapkn guna mencapai tujuan tertentu, sementara pengurusnya ditentukan oleh yang mendirikan Yayasan”. Penggunaan kata pemilik dalam konsepsi tersebut dapat menimbulkan permasalahan, karena memberi kesan terdapatnya hak yang sebebas-bebasnya atas suatu kebendaan atau kekayaan tertentu. Konsepsi yayasan seperti tersebut di tas sampai sekarang memberi kesan bahwa pendiri adalah juga pemilik Yayasan. Sri Sudewi, merumuskan Yayasan adalah sebagai setiap organisasi yang didirikan oleh seorang atau lebih dengan pernyataan sebelah pihak untuk tujuan tertentu dengan menyisihkan harta kekayaan sendiri oleh pendirinya.
Chidir Ali, mengkonsepsikan Yayasan sebagai setiap organisasi yang didirikan seorang atau lebih dengan suatu pernyataan yang menyebelah untuk tujuan tertentu dengan menyendirikan kekayaan atau harta benda tertentu. Sementara GHS. Lumban Tobing, mengartikan Yayasan sebagai suatu kesatuan yang berwenang untuk memperoleh dan melakukan hak-hak perdata. Yayasan tidak mempunyai anggota dan untuk mendirikannya diperlukan syarat-syarat yang harus dipenuhi diantaranya yang terpenting adalah adanya kekayaan yang dipisahkan, tujuan tertentu dan organisasi. Karena pendirian Yayasan tidak ditujukan untuk mengejar keuntungan, maka Yayasan disebut sebagai non profit organization lebih tepat diterjemahkan sebagai organisasi tanpa tujuan laba seperti yang ditegaskan Rochmat Soemitro.
Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan (UU Yayasan), disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 yakni ”Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan yang tidak mempunyai anggota.” Persyaratan yang ditentukan agar Yayasan dapat diperlakukan dan memperoleh status badan hukum adalah pendirian Yayasan sebagai badan hukum harus mendapat pengesahan oleh Menteri Hukum dan HAM dan Hak Asasi Manusia. Yayasan harus dapat berperan sebagai wadah untuk mengembangkan kegiatan sosial, keagamaan dan kemanusiaan. Jadi, menurut pendapat maupun pandangan beberapa pakar hukum Yayasan tersebut di atas, dan pengertian Yayasan berdasarkan UU Yayasan, maka sifat-sifat yayasan adalah sebagai berikut: Sosial; Kegamaan; dan Kemanusiaan.
Sesuai dengan Pasal 1 angka 1, penjelasan umum dan penjelasan Pasal 3 Ayat (2), sifat-sifat Yayasan tersebut di atas harus tercermin dalam maksud dan tujuan serta kegiatan Yayasan. Karena sifat-sifat tersebut di atas, maka berimplikasi kepada para anggota pembina, pengurus dan pengawas Yayasan harus bekerja secara sukarela, yakni tanpa menerima gaji, upah atau honor tetap, serta tidak boleh bertujuan untuk memperkaya diri para pendiri, pembina, pengurus dan pengawas Yayasan.
Untuk mendirikan Yayasan, sesuai dengan ketentuan Pasal 9 Ayat (2) UU Yayasan, maka harus dilakukan dengan akta notaris dan dibuat dalam bahasa Indonesia . Dalam akta notaris tersebut harus dinyatakan dengan jelas pihak-pihak pendiri Yayasan serta berapa besar harta kekayaan dari para pendirinya yang akan dijadikan harta kekayaan awal Yayasan.
Sehubungan dengan pendirian Yayasan, Menurut Gunawan Widjaya, bahwa Yayasan juga dimungkinkan didirikan berdasarkan surat wasiat. Ini berarti bahwa:
1) Yayasan jelas merupakan suatu kumpulan modal dan bukan kumpulan orang;
2) Dikatakan bukan kumpulan orang, karena Yayasan dapat didirikan hanya oleh satu orang yang menyisihkan harta kekayaan pribadinya menjadi harta kekayaan awal Yayasan; dan
3) Selanjutnya oleh karena akta pendirian Yayasan harus dibuat dalam bentuk akta Notaris, maka surat wasiat yang memungkinkan pendirian Yayasan juga harus merupakan surat wasiat yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris.
2. Organ-Organ Yayasan
Mengenai organ-organ dalam Yayasan, menurut penjelasan umum dan Pasal 2 UU Yayasan terdiri dari beberapa organ yaitu:
1. Pembina
Istilah yang digunakan dalam UU Yayasan untuk legislatif Yayasan adalah Pembina. Berbeda dengan Perseroan yang menggunakan istilah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Untuk Yayasan dengan menggunakan istilah Pembina, menurut Gatot Supramono, adalah kurang tepat. Karena menurutnya lebih tepat digunakan dengan Rapat Pembina. Alasan lain adalah karena seolah-olah Pembina hanya terdiri dari satu orang saja. Padahal UU Yayasan menghendaki lebih dari satu orang Pembina.
Dalam UU Yayasan dan dalam Anggaran Dasar (AD) Yayasan, ditentukan bahwa pembina adalah orang Yayasan yang mempunyai kewenangan yang tidak diserahkan kepada pengurus atau pengawas yang meliputi kewenangan mengenai:
1) Keputusan untuk melakukan perubahan AD Yayasan;
2) Pengangkatan dan pemberhentian anggota pengurus dan anggota pengawas Yayasan;
3) Penetapan kebijakan umum Yayasan berdasarkan AD Yayasan;
4) Pengesahan program kerja dan rancangan anggaran tahunan Yayasan; dan
5) Penetapan keputusan mengenai penggabungan atau pembubaran Yayasan.
Pihak yang dapat diangkat menjadi anggota Pembina adalah orang perseorangan yang merupakan pendiri Yayasan dan/atau mereka yang berdasarkan keputusan rapat anggota Pembina dinilai mempunyai dedikasi yang tinggi untuk mencapai maksud dan tujuan Yayasan. Jadi, menurut UU Yayasan terdiri dari alternatif sebagai berikut:
1) Pendiri Yayasan selaku pribadi;
2) Orang yang bukan pendiri Yayasan; dan
3) Pendiri Yayasan selaku pribadi dan orang yang bukan pendiri Yayasan.
Mengenai syarat-syarat orang yang dapat diangkat menjadi Pembina dalam Yayasan adalah:
1) Orang perorangan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 27 Ayat (3);
2) Mempunyai dedikasi yang tinggi sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 27 Ayat (3);
3) Diangkat berdasarkan keputusan rapat gabungan seluruh anggota pengurus dan anggota pengawas, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 27 Ayat (4);
4) Tidak boleh merangkap menjadi pengurus atau pembina; dan
5) Anggota Pembina yang berkewarganegaraan asing, jika bertempat tinggal di Indonesia harus memegang izin melakukan kegiatan atau usaha di wilayah negara Republik Indonesia dan pemegang Kartu Izin Tinggal Sementara.
2. Pengurus
Pasal 31 Ayat (1) UU Yayasan, ditentukan bahwa Pengurus adalah organ Yayasan yang melaksanakan kepengurusan Yayasan. Pengurus Yayasan bertanggung jawab penuh atas kepengurusan Yayasan untuk kepentingan dan tujuan Yayasan serta berhak mewakili Yayasan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Ini berarti setiap pengurus menjalankan tugas dengan itikad baik, dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan dan tujuan Yayasan. Dalam menjalankan tugasnya tersebut, pengurus tidak harus melakukannya sendiri, pengurus dapat mengangkat dan memberhentikan pelaksana kegiatan Yayasan. Untuk keperluan itu maka segala ketentuan yang berhubungan dengan syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentikan pelaksana kegiatan Yayasan harus diatur dalam anggaran dasar Yayasan.
Dalam Pasal 31 Ayat (2) UU Yayasan, ditentukan bahwa orang yang dapat diangkat menjadi pengurus adalah orang perseorangan yang mampu dan cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Sebagaimana halnya larangan bagi pembina, maka pengurus pun dilarang untuk merangkap sebagai pembina atau pengawas Yayasan.
Pengurus Yayasan diangkat oleh pembina berdasarkan keputusan rapat pembina untuk jangka waktu selama 5 (lima ) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Susunan pengurus sekurang-kurangnya terdiri atas 3 (tiga) yaitu, seorang ketua; seorang sekretaris; dan seorang bendahara.
Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 36 Ayat (1) dan Pasal 37 Ayat (1) UU Yayasan, bahwa anggota pengurus tidak berwenang mewakili Yayasan apabila terjadi hal-hal seperti berikut :
a) Terjadi perkara di depan pengadilan antara Yayasan dengan anggota pengurus yang bersangkutan;
b) Anggota pengurus yang bersangkutan mampunyai kepentingan yang bertentangan dengan kepentingan Yayasan;
c) Mengikat Yayasan sebagai penjamin utang;
d) Mengalihkan kekayaan Yayasan kecuali dengan persetujuan pembina; dan
e) Membebani kekayaan Yayasan untuk kepentingan pihak lain.
3. Pengawas
Dalam Pasal 40 Ayat (1) UU Yayasan diberikan definisi Pengawas yaitu organ Yayasan yang bertugas melakukan pengawasan serta memberi nasehat kepada pengurus dalam menjalankan kegiatan Yayasan. Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 yang kemudian dirubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004, Yayasan harus memiliki pengawas sekurang-kurangnya 1 (satu) orang pengawas. Adapun wewenang, tugas dan tanggung jawab pengawas Yayasan diserahkan pengaturan sepenuhnya dalam anggaran dasar Yayasan. Yang jelas pengawas Yayasan wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan Yayasan.
Sehubungan dengan kewenangan pengawas Yayasan, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 yang kemudian dirubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 memberikan hak kepada pengawas Yayasan untuk memberhentikan sementara anggota pengurus dengan menyebutkan alasannya. Pemberhentian sementara yang dilakukan oleh pengawas Yayasan harus dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal pemberhentian sementara, dilaporkan secara tertulis kepada pembina. Selanjutnya dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal laporan diterima pembina wajib mengganti anggota pengurus yang bersangkutan untuk diberi kesempatan membela diri. Dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal pembelaan diri, pembina wajib:
a) Mencabut keputusan pemberhentian sementara
b) Memberhentikan anggota pengurus yang bersangkutan.
Apabila pembina tidak melaksanakan hal tersebut, maka pemberhentian sementara tersebut batal demi hukum dan pengurus Yayasan yang diberhentikan sementara tersebut kembali memangku jabatan dan karenanya melaksanakan kembali tugas dan wewenangnya sebagai pengurus Yayasan.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 yang kemudian dirubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 menentukan bahwa mereka yang dapat diangkat menjadi pengawas adalah orang perseorangan yang mampu dan cakap untuk melakukan perbuatan atau tindakan hukum. Setiap anggota pengawas Yayasan yang dinyatakan bersalah dalam melakukan pengawasan Yayasan yang menyebabkan kerugian bagi Yayasan, masyarakat dan negara berdasarkan putusan pengadilan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak putusan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap, tidak dapat diangkat menjadi pengawas Yayasan mana pun. Serupa dengan jabatan pembina dan pengurus, maka mereka yang menduduki jabatan pengawas Yayasan tidak diperbolehkan untuk merangkap sebagai pembina atau pengurus Yayasan.
3. Yayasan Sebagai Badan Hukum
Keinginan untuk menjadikan Yayasan sebagai badan hukum melalui pengundangan UU Yayasan sebenarnya sudah lama, bahkan belakangan di era reformasi keinginan untuk segera memiliki UU Yayasan itu berbarengan dengan konsekuensi pemerintah untuk menertibkan Yayasan-Yayasan yang semula didirikan tanpa ada dasar hukum yang kuat. Jadi, setelah menjadikan Yayasan sebagai badan hukum. Khususnya dalam hal pertanggungjawaban pengurus, pembina, dan pengawas tidak jelas dasar yang harus dijadikan dalam mempertanggungjawabkan kesalahannya. Sehubungan dengan itu, maka pemerintah menjadikan Yayasan-Yayasan tersebut menjadi berbadan hukum melalui UU Yayasan. Jadi, konsekuensinya adalah semua Yayasan di Indonesia harus berdasarkan prinsip-prinsip badan hukum dalam hal pertanggungjawaban organ-organ Yayasan.
Badan hukum merupakan suatu badan yang sekalipun bukan berupa manusia namun dianggap mempunyai harta kekayaan sendiri yang terpisah dari para anggotanya dan merupakan pendukung hak dan kewajiban seperti seorang manusia serta dapat turut serta dalam lalu lintas hukum. Dalam melakukan perbuatan hukum, badan hukum tidak dapat berdiri sendiri melainkan harus diwakili para pengurusnya.
NH. Brigstein menyebutkan Yayasan adalah suatu badan hukum yang bertujuan untuk membagikan kekayaan dan atau penghasilan kepada pendiri/penguasanya atau kepada orang lain sepanjang sesuai dengan tujuan Yayasan yang idealistis. Yayasan diciptakan dengan pemisahan harta kekayaan untuk tujuan tidak mengharapkan keuntungan serta penyusunan suatu organisasi demi terwujudnya tujuan dengan alat itu.
Pada Yayasan terdapat pokok-pokok penerapan tujuan dan organisasi oleh para pendirinya, tidak memiliki anggota, tidak ada hak bagi pengurusnya untuk mengadakan perubahan yang berakibat jauh dalam tujuan dan organisasi, serta perwujudan dari suatu tujuan terutama dengan modal yang diperlukan untuk itu. Akhirnya dapat dipahami bahwa Yayasan adalah suatu bentuk organisasi yang didirikan berdasarkan badan hukum, dengan bermodal atas kekayaan sendiri dan bertujuan untuk kepentingan sosial.
Untuk pendirian sebuah Yayasan harus memenuhi adanya pemisahan harta kekayaan, tujuan dan organisasi serta satu syarat formil yakni surat. Paul Scholten mengemukakan bahwa yayasan adalah suatu badan hukum yang dilahirkan dalam pernyataan sepihak, yang berisi pemisahan kekayaan untuk tujuan tertentu serta bagaimana kekayaan itu diurus dan dipergunakan. Maksud dan tujuan Yayasan hanya diperbolehkan oleh undang-undang mencakup 3 (tiga) bidang saja yakni di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yakni dalam Pasal 365, 899, 900, 1680, 1852, dan Pasal 1954 ada disebutkan istilah Yayasan, tetapi pasal-pasal tersebut dalam isinya tidak mengatur keberadaan Yayasan itu sendiri. Oleh karena itu menurut Fred Tumbuan, pasal-pasal dalam KUH Perdata tersebut hanya sekedar mengakui keberadaan Yayasan tersebut sebagai badan hukum perdata. Hal yang sama juga terdapat dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas, yang ada menyebut istilah Yayasan, tetapi juga tidak merinci mengenai status, hak maupun wewenang Yayasan dimaksud.
Sebagai contoh dalam Pasal 365 KUH Perdata mengatur tentang masalah perwalian (voogdij) dapat dipercayakan kepada perhimpunan yang berstatus badan hukum, yayasan (stichting) atau badan karikatif (insteling van weldadigheid). Demikian pula apabila perhatikan Pasal 899 KUH Perdata yang memuat tentang orang yang dapat menarik manfaat dari yayasan.
Apabila diperhatikan ada tiga istilah yang dipergunakan oleh Pembuat KUH Perdata yang kesemuanya menunjuk pada pengertian Yayasan sebagai badan hukum yang mempunyai maksud dan tujuan di bidang sosial, kemanusiaan dan keagamaan, yakni stichtingen, gestichten, dan armeninrichtingen.
Meskipun keberadaan Yayasan sebelum UU Yayasan tidak mendapat pengaturan yang jelas dan tegas, namun status badan hukum yayasan tersebut tidak pernah diragukan baik di kalangan akademisi maupun praktisi. Itulah sebabnya UU Yayasan sendiri tidak ragu-ragu dalam memberikan pengakuan terhadap status badan hukum Yayasan yang terbentuk sebelum berlakunya UU Yayasan.
Justifikasi eksistensi yayasan sebagai sebuah badan yang dapat bertindak dalam lalu lintas hukum juga mendapat justifikasi dari berbagai peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Kepailitan, Undang-Undang Perseroan Terbatas, dan berbagai Keputusan di tingkat menteri.
Selanjutnya menurut Chatamarrayid, suatu yayasan sekurang-kurangnya harus meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Harus bertujuan sosial dan kemanusiaan;
2. Tujuan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan;
3. Dana yayasan berasal dari harta kekayaan para pendiri yang dipisahkan dan sumbangan masyarakat;
4. Kekayaan yang dipisahkan harus sesuai dengan tujuan pendirian yayasan;
5. Fasilitas yang diperoleh dan dana yang berhasil dihimpun harus digunakan sesuai dengan tujuan yayasan;
6. Yayasan dapat melakukan usaha yang menghasilkan laba, tapi bukan merupakan tujuan dan harus digunakan untuk tujuan sosial;
7. Yayasan harus terbuka untuk partisipasi masyarakat;
8. Pertanggungjawaban pengurus yayasan harus jelas;
9. Yayasan harus ditujukan untuk menegakkan hak asasi manusia dan keadilan sosial.;
10. Kalau Yayasan bubar, kekayaan yayasan harus dilimpahkan pada badan atau yayasan yang bertujuan sama atau hampir sama; dan
11. Yayasan baik pendiriannya maupun pengaturan lainnya harus diatur oleh atau dengan undang-undang.
Pendapat beberapa ahli yang menyatakan bahwa Yayasan adalah badan hukum dengan tujuan sosial antara lain dikemukakan oleh Haryati Soeroredjo, yang menyatakan bahwa tujuan Yayasan tentunya bersifat sosial, keagamaan, dan kemanusiaan dan tidak diperbolehkan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, dan atau kesusilaan.
Sedangkan Soenarto Soerodibroto, berpendapat bahwa salah satu prinsip yang fundamental yang melekat pada suatu yayasan ialah tujuan yayasan haruslah idiil dan usaha-usahanya adalah non komersial. Sehubungan dengan kepastian status Yayasan sebagai badan hukum sebelum diundangkan UU Yayasan kiranya perlu disebut di sini ketentuan dalam Pasal 236 dan Pasal 890 Rv (Reglement op de Rechtsvordering) yang mengakui dan memperlakukan Yayasan sebagai persona in judicio (subjek hukum yang mandiri).
Yayasan sebagai badan hukum semata-mata merupakan produk jurisprudensi. Diterimanya Yayasan sebagai badan hukum bukan berdasarkan peraturan perundang-undangan akan tetapi melalui Yurisprudensi (Putusan Hoogerechtshof tahun 1884 dan Putusan MA RI Nomor 124 /Sip/1973 tanggal 27 Juni 1973). Dapat pula dikatakan bahwa selama ini yayasan diterima sebagai subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban sendiri. Eksistensi Yayasan sebagai subjek hukum diterima dengan status badan hukum. Akan tetapi tidak terdapat ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang lembaga Yayasan secara lengkap dan jelas.
KUH Perdata mengenal istilah stichting untuk Yayasan seperti pada Pasal 1365, Pasal 900 dan Pasal 1680 KUH Perdata. Pasal 285 Ayat (1) KUH Perdata mengenal Yayasan sebagai badan hukum tanpa anggota dengan maksud melaksanakan tujuannya yang tertera dalam statuta dengan menyisihkan harta kekayaan untuk mencapai tujuan tersebut. Pendirian Yayasan di Indonesia selama ini hanya berdasarkan atas kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat yaitu didirikan dengan Akta Notaris dan didaftarkan pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Yayasan bila pengelola yayasan tersebut merasa perlu. Namun saat ini setelah diundangkannya UU Yayasan, mewajibkan dalam Akta Notaris wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri setempat.
Yayasan sebagai badan hukum, jelas sekali dirumuskan dalam rumusan Pasal 1 angka 1 UU Yayasan bahwa Yayasan adalah badan hukum dengan ketentuan bahwa status badan hukum Yayasan baru diperoleh setelah akta pendirian Yayasan disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM. Ini berarti bahwa pengesahan akta pendirian ini merupakan satu-satunya dokumen yang menentukan saat berubahnya status Yayasan menjadi badan hukum. Rumusan ini tentunya membawa konsekuensi bahwa sebagai badan hukum, Yayasan memiliki karakteristik dan kemampuan bertindak sebagai layaknya suatu subjek hukum.
Kewenangan Menteri Hukum dan HAM dalam memberikan pengesahan akta pendirian Yayasan sebagai badan hukum dilaksanakan oleh kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM atas nama Menteri Hukum dan HAM yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Yayasan. Dalam memberikan pengesahan, Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM dapat meminta pertimbangan dari instansi terkait, dalam hal ini adalah instansi yang membidangi masalah sosial, keagamaan dan kemanusiaan.
Pengesahan akta pendirian Yayasan dapat dilakukan oleh pendiri atau kuasanya dengan mengajukan permohonan tertulis kepada Menteri Hukum dan HAM. Pengesahan akta pendirian tersebut diberikan dalam waktu paling lambat 30 hari terhitung sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap oleh Menteri Hukum dan HAM. Dalam hal diperlukan pertimbangan dari instansi terkait, maka keputusan diberikan atau tidak diberikannya pengesahan akta pendirian Yayasan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 12 Ayat (3) UU Yayasan, harus dibuat dalam jangka waktu:
1) Paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal jawaban permintaan pertimbangan diterima dari instansi terkait
2) Dalam hal tidak diterima jawaban, maka jangka waktu dihitung setelah lewat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal jawaban permintaan pertimbangan kepada instansi terkait dikirim
Dalam hal permohonan pengesahan akta pendirian Yayasan ditolak, menurut ketentuan Pasal 13 Ayat (1) UU Yayasan, maka Menteri Hukum dan HAM wajib memberitahukannya secara tertulis disertai dengan alasannya, kepada permohonan mengenai penolakan pengesahan tersebut. Sebagai badan hukum, Yayasan wajib membayar segala biaya atau ongkos yang dikeluarkan oleh organ Yayasan dalam rangka menjalankan tugas Yayasan. Yang dimaksud dengan organ Yayasan adalah pembina, pengurus dan pengawas. Ini berarti bahwa Yayasan harus memikul segala biaya dan ongkos yang telah dikeluarkan oleh pembina, pengurus dan pengawas Yayasan dalam melaksanakan tugas mereka.
4. Maksud dan Tujuan Yayasan
Yayasan didirikan harus sesuai dengan maksud dan tujuan dalam Anggaran Dasar Yayasan. Dalam rangka mencapai tujuannya Yayasan dimungkinkan untuk menjalankan atau melaksanakan kegiatan usaha, termasuk untuk mendirikan badan usaha dan/atau ikut serta dalam badan usaha.
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 membatasi bentuk penyertaan Yayasan dengan menyatakan bahwa:
a) Yayasan dapat mendirikan badan usaha yang kegiatannya sesuai dengan maksud dan tujuan Yayasan;
b) Yayasan dapat melakukan penyertaan dalam berbagai bentuk usaha yang bersifat prospektif dengan ketentuan seluruh penyertaan tersebut paling banyak 25% dari seluruh nilai kekayaan Yayasan;
c) Kegiatan usaha dari badan usaha yang didirikan tersebut atau pun dimana Yayasan melakukan penyertaan moral harus tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d) Anggota pembina, pengurus dan pengawas Yayasan dilarang merangkap sebagai anggota direksi ataupengurus dan anggota dewan komisaris atau pengawas dari badan usaha yang didirikan tersebut.
Menurut Gunawan Widjaya, bahwa yang menarik dari pembatasan yang diberikan tersebut adalah:
a) Undang-Undang Yayasan tidak memberikan batasan kepemilikan pada badan usaha yang didirikan oleh Yayasan untuk mencapai maksud dan tujuannya.
b) Undang-Undang Yayasan tidak memberikan batasan penyertaan pada badan usaha yang prospektif berdasarkan pada besarnya modal yang dikeluarkan oleh badan usaha tersebut, melainkan berdasarkan pada nilai kekayaan Yayasan yaitu sebanyak-banyaknya 25% dari seluruh nilai kekayaan Yayasan.
Berdasarkan rumusan yang disebutkan di atas, maka dalam rangka menjalankan kegiatan usaha yang sesuai dengan maksud dan tujuan Yayasan, Undang-Undang Yayasan memberikan kewenangan sepenuhnya kepada pengurus Yayasan, dengan atau tanpa persetujuan organ lainnya untuk secara penuh dan mandiri melakukan pengelolaan badan usaha tersebut. Ini berarti memang tidak diperlukan pembatasan kepemilikan yang demikian.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tidak ingin membatasi kemungkinan Yayasan ikut serta dalam kegiatan usaha lain, yang berada di luar maksud dan tujuan Yayasan yang memiliki prospek yang cukup baik sehingga Yayasan dapat meningkatkan harta kekayaannya, yang pada akhirnya bermuara juga pada pencapaian maksud dan tujuan Yayasan. Walau demikian, oleh karena hal tersebut berada di luar maksud dan tujuan Yayasan, dan karenanya untuk lebih memfokuskan pengurus Yayasan pada jalannya pengurusan Yayasan yang sesuai dengan maksud dan tujuan Yayasan yang sebenarnya, maka sepantasnya jika penyertaan yang demikian hanya dibatasi hingga 25% dari seluruh nilai kekayaan Yayasan. Dengan makin berkembangnya Yayasan, yang pada akhirnya juga meningkatkan harta kekayaan Yayasan, maka tentunya makin banyak juga penyertaan usaha prospektif yang dapat dilakukan oleh Yayasan.
Berbeda dengan kebiasaan yang ada sebelum Undang-Undang Yayasan berlaku, pembatasan hanya diberikan terhadap penyertaan pada usaha prospektif di luar kegiatan usaha berdasarkan maksud dan tujuan Yayasan, dan bahwa penyertaan ini pun tidak dibatasi hingga suatu jumlah persentasi tertentu dalam kepemilikan (saham) badan usaha dimana penyertaan dilakukan. Sebelum berlakunya UU Yayasan, terdapat suatu pengakuan tidak tertulis bahwa Yayasan hanya boleh melakukan penyertaan pada Perseroan Terbatas setinggi-tingginya sejumlah 25% dari modal yang ditempatkan oleh Perseroan Terbatas tersebut.
5. Yayasan Sebagai Organisasi Nirlaba (Filantropis)
Tidak ada ketentuan dalam UU Yayasan yang menyatakan bahwa Yayasan adalah organisasi nirlaba. Hanya saja dalam Pasal 1 butir 1 menyatakan bahwa, “Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota.“
Oleh karena itu, dalam konteks UU Yayasan, pengertian nirlaba tersebut perlu mendapat penegasan atau pendefinisian dan pengaturan yang jelas setidaknya dalam berbagai peraturan pelaksana nantinya. Pasal 2 UU Yayasan secara tegas telah mengizinkan Yayasan melakukan kegiatan usaha untuk mendapatkan laba, hanya saja laba tersebut dipergunakan semata-mata untuk tujuan-tujuan sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Dengan demikian keberadaan Yayasan harus merupakan manifestasi dari tujuan sosial, keagamaan, dan kemanusiaan yang diwujudkan dalam bentuk kegiatan amal dan kedermawanan secara terorganisasi dan sistematis.
Meskipun beramal dan juga menggalang dana untuk kegiatan amal (charity) dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, Yayasan lebih mempunyai kesan sebagai bentuk penggalangan dana amal secara mutakhir (filantropisme). Kegiatan filantropisme ini selain melibatkan kegiatan amal yang lebih besar juga bersifat kelembagaan dari pada perorangan. Pengelolaannya dilakukan secara sistemik melalui lembaga-lembaga yang dirancang khusus untuk itu. Akhirnya kegiatan kedermawanan sosial tersebut menjadi sesuatu yang hampir-hampir tidak terbatas baik dalam ukuran jumlah uang yang dikelola maupun cakupan kegiatannya.
Terdapat berbagai masalah hukum yang berkenaan dengan Yayasan sebagai organisasi nirlaba belum terpecahkan selama ini. Bagaimana semestinya sebuah Yayasan sesuai dengan sistem pengaturan organisasi nirlaba yang ada saat ini adalah merupakan suatu masalah. Hukum Indonesia tidak ada yang mengatur dengan tegas mengenai pemecahan penyalahgunaan hak yang dilakukan oleh Yayasan, misalnya mengenai pembatasan keuntungan individu, pembatasan aktivitas perdagangan dan sebagainya.
Dalam lapangan organisasi kemasyarakatan, nirlaba biasanya mengacu kepada sifat organisasi yang non pemerintah, sukarela, dan mandiri. Secara umum organisasi semacam itu termasuk dalam kategori filantropis karena sifat dasarnya untuk berbagai kasih sayang sesama manusia melalui kegiatan amal. Karena sifat dasarnya tersebut, organisasi ini kemudian bergerak dengan tanpa mencari keuntungan ekonomis, secara sukarela membantu memberdayakan masyarakat.
Organisasi nirlaba adalah organisasi sosial non pemerintah yang bertujuan membantu dan memberdayakan masyarakat melalui managemen nirlaba secara sukarela dan bersifat mandiri. Kegiatan organisasi nirlaba ini dapat diklasfikasikan ke dalam kegiatan karikatif (bantuan amal langsung) dan kegiatan advokasi transformatif (pemberdayaan dalam arti luas). Kegiatan ini biasanya dilakukan melalui pendekatan struktural, demokratis dan menjujung tinggi hak asasi manusia serta menjalankan kewajiban sebagai warga negara.
Kerangka hukum yang memadai bagi organisasi nirlaba di Indonesia belum berkembang. Ketentuan hukum yang dirancang untuk mengawasi organisasi nirlaba lebih menonjol dari pada yang mengembangkannya. Walaupun situasinya masih demikian, organisasi nirlaba Indonesia tampaknya enggan untuk mendukung upaya perbaikan kerangka hukum yang ada. Pembaharuan hukum mengenai organisasi nirlaba secara pesimis dipandang justru akan merusak tatanan yang dinilai telah cukup demokratis selama ini, meskipun diakui terdapat berbagai kelemahan antara lain penyalahgunaan Yayasan untuk tujuan dan kepentingan pribadi sebagaimana telah dikemukakan dengan perkataan lain sebagian besar masyarakat khususnya kalangan aktivis organisasi nirlaba curiga bahwa legislasi merupakan regulasi yang seringkali juatru menghasilkan pembatasan dan kontrol yang lebih ketat serta akan mempersempit ruang yang diperlukan bagi kegiatan organisasi nirlaba yang ada sekarang.
Terlepas dari motivasi masing-masing, aspek inilah salah satu yang sering mendapat kritik tajam dari para pengelola Yayasan maupun pengamat terhadap ketentuan dalam UU Yayasan. Memang tidak dapat dinafikan berbagai kritikan tajam terhadap organisasi filantrofis modern di Indonesia dapat dimengerti terutama pada era reformasi dewasa ini. Berbagai kasus Yayasan yang dipimpin oleh Soeharto (mantan Presiden RI) seperti Yayasan DAKAR, yayasan Supersemar, Yayasan Darmais dan sebagainya dipandang tidak lebih sebagai upaya penumpukan harta dan dana untuk kepentingan pribadi dan golongan serta diperoleh secara tidak sah atau tidak sesuai dengan prosedur semestinya.
D. Perubahan Akta Yayasan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Yayasan
Dalam Pasal 11 Ayat (1) UU Yayasan disebutkan bahwa, Yayasan memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian Yayasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) memperoleh pengesahan dari Menteri. Sehubungan dengan bunyi Pasal 11 Ayat (1) ini, berarti sejak didirikannya Yayasan, maka secara otomatis Yayasan tersebut sudah dipenuhi syarat-syarat pendirian Yayasan tersebut yang dutuangkan dalam sebuah akta. Jadi, untuk mengetahui mengenai perubahan Akta Yayasan, dapat dipahami maksud ketentuan dalam Pasal 14 Ayat (1), disebutkan bahwa akta pendirian Yayasan memuat Anggaran Dasar dan keterangan lain dianggap perlu. Sehubungan dengan itu, makna dari Pasal 14 Ayat (1) ini adalah berubahnya akta pendirian Yayasan, harus berubah pula ketentuan-ketentuan dalam Anggaran Dasar Yayasan. Dalam UU Yayasan mengatur mengenai perubahan akta pendirian Yayasan sebelum kelaurnya UU Yayasan, dimana akta pendiriannya harus disesuaikan dengan ketentuan dalam UU Yayasan tanpa terkecuali.
Dalam ketentuan dalam Pasal 37 Ayat (4) UU Yayasan dinyatakan bahwa Pemberitahuan perubahan Anggaran Dasar Yayasan, harus dilampiri:
a. Salinan akta perubahan Anggaran Dasar Yayasan;
b. Tambahan Berita Negara Republik Indonesia yang memuat akta pendirian Yayasan atau bukti pendaftaran akta pendirian di pengadilan negeri dan izin melakukan kegiatan dari instansi terkait;
c. Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Yayasan yang telah dilegalisir oleh notaris;
d. Surat pernyataan tempat kedudukan disertai alamat lengkap Yayasan yang ditandatangani oleh pengurus Yayasan dan diketahui oleh lurah atau kepala desa setempat;
Berdasarkan ketentuan di atas, beberapa hal yang harus dilampirkan dalam perubahan akta Yayasan tersebut untuk mewujudkan mekanisme pengawasan publik terhadap Yayasan yang diduga melakukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang, Anggaran Dasar, atau merugikan kepentingan umum, UU Yayasan mengatur tentang kemungkinan pemeriksaan terhadap Yayasan yang dilakukan oleh ahli berdasarkan penetapan pengadilan atas permohonan tertulis pihak ketiga yang berkepentingan atau atas permintaan kejaksaan dalam hal mewakili kepentingan umum.
Dengan adanya pemberkasan dokumen-dokumen Yayasan sesuai dengan ketentuan yang berlaku sebagaimana disebutkan dalam Pasal 37 Ayat (4) di atas, dapat mempermudah Pengadilan dalam melakukan pemeriksaan terhadap Yayasan. Lebih jelasnya ketentuan dalam Pasal 53 UU Yayasan yaitu:
1. Pemeriksaan terhadap Yayasan untuk mendapatkan data atau keterangan dapat dilakukan dalam hal terdapat dugaan bahwa organ Yayasan:
a. Melakukan perbuatan melawan hukum atau bertentangan dengan Anggaran Dasar;
b. Lalai dalam melaksanakan tugasnya;
c. Melakukan perbuatan yang merugikan Yayasan atau pihak ketiga; atau
d. Melakukan perbuatan yang merugikan Negara.
2. Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c hanya dapat dilakukan berdasarkan penetapan Pengadilan atas permohonan tertulis pihak ketiga yang berkepentingan disertai alasan.
3. Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d dapat dilakukan berdasarkan penetapan Pengadilan atas permintaan Kejaksaan dalam hal mewakili kepentingan umum.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Yayasan pada mulanya berpedoman kepada hukum kebiasaan belum memiliki landasan hukum, oleh karena dengan adanya UU Yayasan ini, wajib bagi setiap Yayasan untuk tunduk dan patuh segala ketentuan dalam UU Yayasan. Salah satu yang perlu ditekankan adalah dalam hal perubahan akta Yayasan, harus disesuaikan ketentuan Anggaran Dasarnya. Sehingga dengan demikian terhadap Yayasan akan semakin mudah untuk dilakukan pemeriksaan atas segala aktivitas Yayasan tersebut. Termasuk jika Yayasan itu melakukan perbuatan melwan hukum, lalai, melakukan tindakan yang merugikan masyarakat (pihak ketiga), dan merugikan negara. Dalam pemriksaan terhadap Yayasan harus melalui penetapan Ketua Pengadilan atas permintaan pihak Kejaksaan Ngeri setempat.
Pengadilan juga dapat mengabulkan dan menolak atas permintaan terhadap Yayasan untuk diperiksa sebagaimana ketentuan dalam Pasal 54 UU Yayasan sebagai berikut:
1. Pengadilan dapat menolak atau mengabulkan permohonan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2).
2. Dalam hal Pengadilan mengabulkan permohonan pemeriksaan terhadap Yayasan, Pengadilan mengeluarkan penetapan bagi pemeriksaan dan mengangkat paling banyak 3 (tiga) orang ahli sebagai pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan.
3. Pembina, Pengurus, dan Pengawas serta pelaksana kegiatan atau karyawan Yayasan tidak dapat diangkat menjadi pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
Penjelasan Pasal 54 Ayat (2) yang dimaksud dengan ahli adalah mereka yang memiliki keahlian sesuai dengan masalah yang akan diperiksa. Misalnya jika terjadi perbuatan melawan hukum atas pengurus Yayasan, maka pihak Kejaksaan berhak untuk melakukan pemeriksaan tersebut. Kemudian hasil pemeriksaan oleh pihak Kejaksaan harus disampaikan kepada Ketua Pengadilan setempat atas telah atau tidak terjadinya suatu perbuatan melawan hukum. Pasal 56 UU Yayasan disebutkan bahwa:
1. Pemeriksa wajib menyampaikan laporan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan kepada Ketua Pengadilan di tempat kedudukan Yayasan paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pemeriksaan selesai dilakukan.
2. Ketua Pengadilan memberikan salinan laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada pemohon atau Kejaksaan dan Yayasan yang bersangkutan.
Berdasarkan beberapa ketentuan mengenai pemeriksaan Yayasan tersebut di atas, dapat dianalisis bahwa perubahan pendirian akta Yayasan yang wajib disesuaikan dengan ketentuan dalam UU Yayasan membawa konsekuensi hukum terhadap Yayasan atas segala kegiatan atau aktivitas Yayasan sehingga dapat mempermudah bagi Instansi terkait seperti Pengadilan, dan Kejaksaan dalam melakukan pemerisaan terhadap Yayasan tersebut.
1. Ruang Lingkup Perubahan Akta Yayasan
Ruang lingkup perubahan akta pendirian Yayasan dapat dilihat dan dipahami apa-apa saja yang dicantumkan dalam Anggaran Dasar. Namun harus memperhatikan ketentuan dalam Pasal 17 yaitu tidak dibenarkan merubah maksud dan tujuan. Selengkapnya disebutkan, “Anggaran Dasar dapat diubah kecuali maksud dan tujuan Yayasan”.
Perubahan nama dan tempat kedudukan. Nama sangat penting bagi Yayasan dengan menggunakan kata “Yayasan” di depan namanya. Sama hal dengan manusia, tidak dapat dilepaskan dari sebuah nama untuk mengetahui identitasnya, sehingga dengan nama itu akan dengan mudah diketahui siapa manusia tersebut. Begitu pulalah sebuah Yayasan jika tidak punya nama akan sulit untuk membedakannya. Lagi pula secara perdata juga mengenal subjek hukum yakni suatu badan atau organisasi yang dianggap dapat bertindak sebagaimana manusia biasa. Dalam pemberian nama terhadap Yayasan pada dasarnya bebas dengan nama apa saja seperti nama orang, nama bunga, nama tanaman, dan lain-lain. Meskipun demikian kebebasan memberikan nama terhadap Yayasan, oleh undang-undang dibatasi dalam Pasal 15 Ayat (1) UU Yayasan yakni, Pertama, telah dipakai secara sah oleh Yayasan lain; dan Kedua, bertentangan dengan ketertiban umum dan/atau kesusilaan.
Perubahan jangka waktu pendirian. Jika ingin merubah jangka waktu sampai kapan pendirian Yayasan itu, hanya diberikan oleh undang-undang dua alternatif. Hal tersebut diatur dalam Pasal 16 Ayat (1) UU Yayasan yakni untuk jangka waktu tertentu dan untuk jangka waktu tidak tertentu. Jika waktunya tertentu, maka dengan jelas disebutkan dalam akta maupun dalam perubahan akta pendirian Yayasan misalnya 10 (sepuluh) tahun. Dengan menyebutkan waktu tertentu tersebut, maka setelah tiba waktunya, Yayasan tersebut harus bubar. Namun dalam Ayat (2) diberikan pula waktu perpanjangan jika dikehendaki oleh pendiri. Mengenai jangka waktu tidak tertentu, Yayasan dapat berdiri sepanjang masa walaupun telah berganti-ganti organ-oragannya. Perubahan tidak boleh dilakukan pada waktu Yayasan akan pailit. Alasannya bertentangan dengan maksud ketentuan Pasal 1 Angka (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan. Perubahan akta tersebut harus berdasarkan kepada rapat pembina. Hal ini karena rapat pembina mempunyai kekuasaan yang diamanahkan Pasal 28 Ayat (2) huruf a UU Yayasan bahwa rapat pembina merupakan kedudukan organ tertinggi dalam Yayasan.
Perubahan yang harus mendapat persetujuan Menteri. Yakni menyangkut Pasal 21 Ayat (1) yaitu mengenai nama dan kegiatan Yayasan harus mendapat persetujuan Menteri. Hal ini disebabkan karena nama dan kegiatan Yayasan tersebut sangat berarti secara administratif. Perubahan yang hanya cukup diberitahukan kepada Menteri. Yakni mengenai Pasal 21 Ayat (2), dimana perubahan selain dari pada Pasal 17 dan Pasal 21 Ayat (1) UU Yayasan.
Maksud dan tujuan Yayasan tidak boleh diubah kecuali yang telah disebutkan di atas yaitu sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Memang ada disebutkan sebagai pengecualian yakni dalam ketentuan Pasal 14 Ayat (1) bila dinggap perlu. Akan tetapi hal tersebut diberi batasan oleh bunyi Pasal 17 dimana bahwa dalam mengubah akta beserta Anggaran Dasar Yayasan tersebut, dilarang oleh UU Yayasan untuk mengubah maksud dan tujuan Yayasan itu. Tujuan yang diperbolehkan oleh UU Yayasan adalah hanya untuk sosial, keagamaan, dan kemanusiaan.
2. Syarat-Syarat Perubahan Akta Yayasan
Yayasan didirikan dengan memperhatikan syarat-syarat formal dalam UU Yayasan. Kalau dalam hal permohonan pengesahan badan hukum Yayasan diajukan oleh Notaris kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Menkumham RI) dengan melampirkan syarat-syarat:
1. Salinan akta pendirian Yayasan yang dibubuhi materai;
2. Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atas nama Yayasan yang telah dilegalisir Notaris;
3. Fotokopi surat keterangan domisili Yayasan yang dikeluarkan oleh lurah atau kepala desa setempat dan dilegalisir notaris;
4. Bukti pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak;
5. Bukti pembayaran;
Sebagaimana dengan syarat-syarat permohonan pengesahan Yayasan di atas, begitu pulalah persyaratan yang harus dipenuhi jika dalam hal perubahan akta pendirian Yayasan.
Dalam Pasal 21 Ayat (1) UU Yayasan, permohonan persetujuan atas akta perubahan AD Yayasan. Permohonan persetujuan perubahan AD Yayasan diajukan oleh Notaris kepada Menkumham RI dengan melampirkan syarat-syarat yakni:
1. Salinan Akta Notaris yang memuat perubahan AD Yayasan yang dibubuhi materai;
2. Fotokopi NPWP atas nama Yayasan yang telah dilegalisir notaris;
3. Fotokopi surat keterangan domisili Yayasan yang dikeluarkan oleh lurah atau Kepala Desa setempat dan dilegalisir notaris;
4. Bukti pembayaran PNBP; dan
5. Bukti pembayaran pengumuman dalam Tambahan Berita Negara (TBN).
Dalam hal pemberitahuan Pasal 21 Ayat (2), permohonan diajukan oleh Notaris kepada Menkumham RI dengan melampirkan syarat-syarat:
- Salinan akta Notaris yang memuat perubahan anggaran dasar Yayasan yang dibubuhi materai;
- Fotokopi NPWP atas nama Yayasan yang telah dilegalisir Notaris;
- Fotokopi surat keterangan domisili Yayasan yang dikeluarkan oleh lurah atau kepala desa setempat dan dilegalisir notaris;
- Bukti pembayaran PNBP;
- Bukti pembayaran pengumuman dalam TBN.
Dalam hal pemberitahuan menurut Pasal 71 Ayat (2) UU Yayasan, permohonan diajukan oleh Notaris kepada Menkumham RI dengan melampirkan syarat-syarat:
- Salinan akta Notaris yang memuat perubahan AD Yayasan yang dibubuhi materai;
- Bukti pendaftaran Yayasan pada Pengadilan Negeri dan surat izin kegiatan atau operasional dari instansi terkait;
- Bukti pendaftaran Yayasan pada Pengadilan Negeri dan Tambahan Berita Negara (TBN);
- Seluruh dokumen yang terkait dengan Yayasan;
- Fotokopi NPWP atas nama Yayasan yang telah dilegalisir notaris;
- Fotokopi surat keterangan domisili Yayasan yang dikeluarkan oleh lurah atau kepala desa setempat dan dilegalisir Notaris;
- Bukti pembayaran PNBP;
- Bukti pembayaran pengumuman dalam TBN.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa AD dapat dapat diubah kecuali mengenai maksud dan tujuan Yayasan. Perubahan AD Yayasan dapat dilakukan melalui keputusan rapat pembina yang dihadiri 2/3 anggota pembina. Perubahan itu dilakukan dengan akta Notaris dan harus dibuat dalam bahasa Indonesia.
Rapat pembina untuk memutuskan perubahan AD dilakukan berdasarkan musyawarah untuk mufakat sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 19 Ayat (1). Pada saat musyawarah dilakukan, ada tahapan-tahapan dalam mengambil keputusan. Jika rapat pertama tidak menghasilkan keputusan juga, maka diadakan rapat kedua. Rapat kedua ini dilakukan paling cepat 3 (tiga) hari sejak rapat pertama. Rapat kedua sah apabila dihadiri oleh lebih dari 50% jumlah anggota pembina. Keputusan diambil melalui suara terbanyak dari jumlah anggota yang hadir.
3. Prosedur Perubahan Akta Yayasan
Prosedur perubahan akta pendirian Yayasan harus memperhatikan ketentuan formal dalam UU Yayasan. Yakni Pasal 18 Ayat (1), harus dilakukan terlebih dahulu melalui rapat pembina. Pada waktu rapat pembina harus minimal dihadiri 2/3 dari jumlah anggota pembina. Untuk melakukan perubahan akta pendirian Yayasan tersebut harus dilakukan oleh Notaris dan dibuat dalam bahasa Indonesia.
Jika kesepakatan dalam rapat pembina telah bulat, maka selanjutnya untuk menyampaikan perubahan akta itu kepada Menteri Hukum dan HAM adalah Notaris. Setelah adanya persetujuan dari Menteri Hukum dan HAM, maka sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 24 Ayat (1), bahwa terhadap akta pendirian Yayasan yang telah disahkan sebagai badan hukum atau perubahan Anggaran Dasar yang telah disetujui, wajib diumumkan dalam Tambahan Berita Negara (TBN) Republik Indonesia.
Kemudian untuk melakukan pengumuman perubahan akta sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) diajukan permohonannya oleh Pengurus Yayasan atau kuasanya kepada Kantor Percetakan Negara Republik Indonesia dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal akta pendirian Yayasan yang disahkan atau perubahan AD yang disetujui. Dengan demikian bahwa permohonan pengumuman dalam Tambahan Berita Negara (TBN) Republik Indonesia dapat diajukan secara langsung atau dikirim melalui surat tercatat.
Menurut Rita M, prosedur perubahan akta Yayasan dapat dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut:
1. Pendiri atau kuasanya mengajukan permohonan perubahan AD kepada Menteri dengan mengirimkan surat permohonan perubahan AD;
2. Perubahan AD tersebut kemudian disetujui oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Persetujuan perubahan itu, paling lambat dilakukan atau diberikan 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan AD diterima. Jika permohonan perubahan AD ditolak, harus diberi tahu secara tertulis kepada pendiri Yayasan.
Dalam surat permohonan tersebut, wajib melampirkan alasan-alasan penolakan permohonan. Umumnya, alasan penolakan permohonan terkait erat dengan adanya cacat hukum dalam perubahan AD Yayasan.
KESIMPULAN
Perubahan akta pendirian Yayasan setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 junto Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan (UU yayasan) dimaksudkan agar Yayasan yang sudah ada sebelum lahirnya UU Yayasan supaya memiliki status sebagai badan hukum yang sama dengan Yayasan yang didirikan setelah keluarnya UU Yayasan tersebut. Dengan pengesahan Yayasan sebagai badan hukum, maka perbuatan organ-organ seperti pengurus, pembina, dan pengawas, dalam menjalankan tugasnya mengelola Yayasan harus bertanggung jawab atas segala tindakannya berdasarkan pertanggungjawaban layaknya sebuah badan hukum. Perlu dilakukakan pembedaan antara Yayasan yang kekayaannya dari negara atau yang mengelola dana bantuan negara ataupun dana masyarakat dengan Yayasan yang sifatnya pribadi dengan sumber kekayaan dari harta pribadi dan sumber keuangan rutinnya dari sumbangan perusahaan milik pribadi pendirinya.