UPAYA HUKUM TERHADAP KEBIJAKAN PUBLIK YANG SALAH DARI PERSPEKTIF HUKUM PIDANA
Oleh
Bisdan Sigalingging, SH, MH
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
Seharusnya dalam kasus-kasus kebijakan publik yang salah atau karena penyalahgunaan wewenang, lebih dahulu diterapkan prinsip primum remedium baru kemudian diterapkan prinsip ultimum remedium. Artinya terhadap kebijakan publik yang salah seharusnya lebih dahulu disikapi secara hukum administrasi dan bukan hukum pidana.
Penegakan hukum pidana terhadap kebijakan publik dengan memperhatikan asas ultimum remedium berarti mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Tetapi dalam hal kasus-kasus kebijakan dikaitkan dengan UU Tipikor tidak dengan tegas disebutkan dalam undang-undang asas ini, berbeda dengan UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup terhadap asas ultimum remedium dengan tegas disebutkan dalam undang-undang ini.
Dalam perspektif teoritis pengambilan kebijakan tidak dapat dipidanakan, tetapi yang dikenakan pidana adalah perilaku si pengambil kebijakan yang telah dilarang oleh hukum pidana. Ini berarti tidak menutup kemungkinan hukum pidana dapat dijalankan atau dikenakan kepada si pengambil kebijakan, jika perilakunya melanggar ketentuan hukum yang dilarang dalam hukum pidana.
Perilaku koruptif dirumuskan adalah orang yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Beliau juga mengatakan bahwa perilaku koruptif tersebut dirumuskan sebagai orang yang mempunyai tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Kedua pendapat dapat dibenarkan, sesuai pula dengan asas hukum pidana yang bersifat ultimum remedium, ini berarti upaya mengajukan perkara terhadap si pengambil kebijakan ke ranah hukum pidana merupakan sebagai upaya terakhir setelah upaya hukum yang lain telah dijalankan seperti upaya hukum administrasi dan perdata. Ketika upaya hukum administrasi negara tidak berhasil dilakukan dan karena terdapatnya dugaan kuat bahwa perkara tersebut memenuhi rumusan delik pidana, maka upaya hukum pidana dapat diajukan tuntutan kepada si pengambil kebijakan tersebut.
Bila ada unsur koruptif, maka hukum pidana bisa diterapkan sebagai upaya terakhir. Oleh sebab itu, dalam konteks ini, mana perbuatan yang dapat dikategorikan (dikriminalisasi) sebagai perbuatan pidana atas tindakan pejabat yang mengeluarkan kebijakan publik tersebut harus pula memenuhi unsur-unsur tindak pidana dan perbuatan melawan hukum dalam perspektif hukum pidana (wederrechtelijkheid).
Pertimbangan tersebut didasarkan bahwa tidak semua kebijakan publik yang dikeluarkan oleh para pejabat publik bisa dipidanakan dan tidak semua pula kebijakan publik dapat dikategorikan sebagai produk hukum administrasi negara yang tidak dapat dipidana meskipun kebijakan tersebut adalah salah. Pertimbangan inilah yang semestinya dipahami agar tidak keliru dalam menafsirkan hukum mana yang akan diterapkan. Apakah hukum administrasi negara atau hukum pidana.
Untuk menentukan parameter terhadap kebijakan publik yang memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana, perlu dibedakan mana kebijakan publik yang dapat dikategorikan sebagai wederrechtelijkheid (dalam ranah hukum pidana) dan mana kebijakan publik yang dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum dalam bentuk onrechtmatige overheids daad atau detornement de pouvoir (dalam ranah hukum administrasi negara).
Asas ultimum remedium merupakan salah satu asas yang terdapat dalam hukum pidana Indonesia yang berarti bahwa hukum pidana hendaklah dijadikan upaya terakhir dalam hal penegakan hukum. Hal ini memiliki makna apabila suatu perkara dapat diselesaikan melalui jalur lain (kekeluargaan, negosiasi, mediasi, perdata, ataupun hukum administrasi) hendaklah jalur tersebut terlebih dahulu dilalui.
Jika dikaitkan dengan asas hukum pidana yang bersifat publik memang disadari bertolak belakang antara asas hukum pidana yang bersifat publik dengan asas ultimum remedium. Dengan asas bersifat publik menyebabkan hukum pidana memiliki karakteristik bahwa walaupun terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang telah dibuat perjanjian perdamaian dengan pihak korban, maka terhadap perkara tersebut tetap juga dapat dilakukan pemeriksanaan lanjutan ditingkat kepolisian. Selain itu dengan karekteristik “publik” tersebut, maka terhadap suatu tindak pidana yang telah terjadi, pihak kepolisian tetap dapat memproses tindak pidana tersebut.
Namun dalam pelaksanaannya di Indonesia seringkali asas ultimum remedium ini terabaikan. Banyak perkara pidana yang walaupun pihak dari korban maupun keluarga korban merasa bahwa perkara tersebut dapat diselesaikan melalui jalur kekeluargaan, tetapi tetap saja pihak kepolisian terus melanjutkan pemeriksanaan terhadap kasus tersebut. Demikian pula dalam hal keputusan administrasi negara atau kebijakan publik yang dikeluarkan oleh pejabat pemerintah yang berindikasi menimbulkan kerugian atau tidak sesuai dengan yang diharapkan, juga bisa diarahkan menjadi perbuatan pidana.
Sanksi pidana dalam beberapa kasus tertentu telah bergeser kedudukannya. Tidak lagi sebagai ultimum remedium melainkan sebagai primum remedium (alat yang utama). Ketentuan pengaturan mengenai sanksi pidana sebagai primum remedium dapat dilihat dalam UU tentang Anti Terorisme dan dalam praktek termasuk UU Tipikor. Argumentasinya dari perspektif sosiologis hal ini dikarenakan perbuatan yang diatur dalam dua undang-undang tersebut merupakan tindakan yang “luar biasa” dan besar dampaknya bagi masyarakat.
Sehingga dampaknya tidak lagi mempertimbangkan penggunaan sanksi lain, karena mungkin dirasa sudah tepat apabila langsung menggunakan atau menjatuhkan sanksi pidana terhadap para pelaku tindak pidana tersebut. Kini faktanya sanksi pidana itu bukan merupakan ultimum remedium lagi, banyak perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan aturan undang-undang yang berlaku dan masyarakat merasa dirugikan, maka yang diberlakukan adalah sanksi pidana sebagai pilihan utama (premium remedium).
Hal inilah yang menyebabkan seolah-olah asas ultimum remedium tersebut hanyalah teori belaka yang sulit untuk ditegakkan. Jika dikaitkan dengan tujuan pemidanaan, maka apabila terhadap suatu tindak pidana pihak korban maupun keluarga telah terpenuhi rasa keadilannya, pemidanaan terhadap pelaku menjadi tidak diperlukan lagi. Dalam konteks terhadap si pengambil kebijakan publik seharusnya diajukan gugatannya ke ranah hukum administrasi, dan tidak perlu dilanjutkan ke ranah hukum pidana jika permasalahan perkara telah berkekuatan hukum tetap di PTUN.
Tentang penerapan asas ultimum remedium ini, norma-norma atau kaidah-kaidah dalam bidang hukum tata negara dan hukum tata usaha negara harus pertama-tama ditanggapi dengan sanksi administrasi, begitu pula norma-norma dalam bidang hukum perdata pertama-tama harus ditanggapi dengan sanksi perdata. Hanya, apabila sanksi administrasi dan sanksi perdata ini belum mencukupi untuk mencapai tujuan meluruskan neraca kemasyarakatan, maka baru diadakan juga sanksi pidana sebagai pamungkas (terakhir) atau ultimum remedium.
Sifat keberlakuan dari sanksi pidana sebagai alat terakhir atau ultimum remedium jika dibandingkan dengan sanksi perdata atau sanksi administrasi. Sifat ini sudah menimbulkan kecenderungan untuk menghemat dalam mengadakan sanksi pidana. Dapat diketahui bahwa asas ultimum remedium merupakan istilah yang menggambarkan suatu keberlakuan dari sifat sanksi pidana.
Selain dikenal dalam hukum pidana, asas ultimum remedium juga dikenal dalam hukum penyelesaian sengketa. Sebagaimana Frans Hendra Winarta, dalam bukunya Hukum Penyelesaian Sengketa, dikatakan bahwa penyelesaian sengketa secara litigasi merupakan sarana akhir (ultimum remedium) setelah alternatif penyelesaian sengketa lain tidak membuahkan hasil.
Dari uraian di atas, maka berdasarkan asas ultimum remedium inilah hukum pidana dapat diupayakan sebagai alat terakhir untuk menjerat pelaku atau pejabat publik yang mengeluarkan kebijakan yang salah atau menimbulkan kerugian negara. Dengan demikian, sekalipun upaya penegakan hukum administrasi telah dijalankan, namun tidak menutup pula kemungkinan hukum pidana dapat digunakan sebagai upaya terkahir.