Sabtu, 06 Agustus 2011

PERUBAHAN AKTA TERHADAP PENDIRIAN YAYASAN SETELAH KELUARNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2001 JO UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG YAYASAN

A.     Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Yayasan
Sebelum tahun 2001, peraturan tertulis tentang Yayasan belum ada. Dalam KUH Perdata tidak dijumpai ketentuan mengenai Yayasan. Demikian pula dalam KUH Dagang dan peraturan-peraturan lainnya tidak ada yang mengatur mengenai Yayasan. Namun, pada tahun 1977, Belanda telah memiliki peraturan mengenai Yayasan. Secara khusus di atur dalam Rechtspersoonen dalam Buku 2 Titel 5 Pasal 289 sampai dengan Pasal 305 yang dilakukan secara sistematis mengenai ketentuan tentang syarat-syarat pendiriannya, kewenangan pengurusnya, dan sebagainya.
Baru setelah 56 tahun Indonesia merdeka, Negara Republik Indonesia memiliki undang-undang mengenai Yayasan yakni Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan yang diundangkan pada tanggal 6 Agustus 2001 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Nomor 4132 dan mulai berlaku sejak tanggal 6 Agustus 2002. Jangka waktu yang deberikan Pemerintah atas sosialisasi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 selama satu tahun itu dimaksudkan agar masayarakat mengetahui dan memahami peraturannya dan dapat mempersiapkan segala sesuatunya yang berhubungan dengan Yayasan.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tersebut, dipandang tergolong lama, jika hal itu diukur sejak Negara Indonesia telah merdeka. Kelahirannya seolah-olah menunggu setelah adanya reformasi. Setelah itu juga dikarenakan kemungkinan persoalan Yayasan yang ada dipandang tidak begitu merugikan masyarakat pada umumnya.
Lambatnya membentuk undang-undang Yayasan ini, dapat berakibat lambatnya masyarakat Indonesia untuk menyesuaikan diri terhadap Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tersebut terutama bagi Yayasan yang telah berdiri sebelumnya, karena masyarakat Indonesia telah terbiasa mengelola Yayasan secara tradisional yang mana norma-normanya telah mendarah daging (internalized). Sedangkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 diundangkan untuk melakukan perubahan dalam masyarakat (agent of change) atas paradigma selama ini terhadap Yayasan. Dengan kata lain tujuan diundangkannya undang-undang Yayasan tersebut adalah untuk dapat mengelola Yayasan secara profesional dan mampu berperan maksimal dalam masyarakat Indonesia.
Setelah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 berjalan kurang lebih tiga tahun, kemudian diubah melalui Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 yang diundangkan pada tanggal 6 Oktober 2004 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4430 dan mulai berlaku sejak tanggal 6 Oktober 2005 yakni satu tahun setelah diundangkan. Sebelum diundangkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001, belum ada keseragaman tentang cara mendirikan Yayasan. Pendirian Yayasan hanya didasarkan kepada hukum kebiasaan dalam masyarakat. Untuk menghindari penafsiran dalam penelitian ini, baik Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 maupun Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan hanya disingkat dengan UU Yayasan saja.
Keberadaan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan (UU Yayasan), nampak adanya keinginan pemerintah untuk menampung kebutuhan akan pengaturan masalah Yayasan ini.
Prinsip yang ingin diwujudkan dalam ketentuan UU Yayasan adalah kemandirian yayasan sebagai badan hukum, keterbukaan seluruh kegiatan yang dilakukan yayasan, dan akuntabilitas kepada masyarakat mengenai apa yang telah dilakukan oleh yayasan, serta prinsip nirlaba yang merupakan prinsip yang fundamental bagi suatu yayasan.
Hal itu terlihat dari beberapa ketentuan dalam undang-undang tersebut. Misalnya dengan adanya kewajiban pada setiap pendiri yayasan untuk memintakan pengesahan badan hukum kepada Menteri Hukum dan HAM, dan seterusnya setiap ada perubahan mengenai nama dan kegiatan ikhtisar laporan tahunan yang menyangkut keuangan dan kegiatan yayasan dalam tahun yang lampau.
Keinginan pemerintah untuk mengatur dan mengendalikan pendirian dan pengoperasian Yayasan tentunya didasarkan kepada pengalaman di masa lampau, tatkala banyak Yayasan yang menyalahgunakan segala kemudahan yang diberikan kepada Yayasan. Secara praktis, asumsi demikian memang perlu dibuktikan dengan suatu penelitian khusus. Namun secara kualitatif dapat dirasakan dan juga disaksikan berbagai Yayasan yang disalahgunakan untuk kepentingan tertentu, baik untuk kepentingan pribadi maupun kepentingan golongan.
Menurut UU Yayasan, semua Yayasan yang telah berdiri dan didaftarkan di Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, atau didaftarkan di pengadilan negeri dan mempunyai izin melakukan kegiatan dari instansi terkait tetap diakui sebagai badan hukum, dengan ketentuan dalam waktu paling lambat 5 (lima) tahun sejak dimulai berlakunya undang-undang tersebut wajib disesuaikan Anggaran Dasar.
Ada 4 (empat) prinsip yang harus dimiliki Yayasan sesuai dengan harapan UU Yayasan, yakni:
1.      Kemandirian Yayasan sebagai badan hukum;
2.      Keterbukaan seluruh kegiatan Yayasan;
3.      Akuntabilitas publik; dan
4.      Prinsip nirlaba.
Menurut UU Yayasan, badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu dalam bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, dan tidak mempunyai anggota. Yayasan didirikan dengan akta notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia oleh satu orang atau lebih dengan memisahkan sebagian harta kekayaan pendiriannya sebagai kekayaan awal Yayasan. Dalam hal Yayasan didirikan berdasarkan surat wasiat, pendirian Yayasan dilakukan dengan akta, notaris oleh penerima wasiat yang bertindak mewakili pemberi wasiat. Apabila dianggap perlu, Menteri dapat meminta pertimbangan instansi terkait yang ruang lingkup tugasnya meliputi kegiatan Yayasan.
Dalam hal permohonan pengesahan ditolak, Menteri wajib menyampaikan penolakan secara tertulis disertai alasannya. Adapun alasan penolakan adalah permohonan yang diajukan tidak sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam UU Yayasan dan atau peraturan pelaksananya. Namun dalam UU Yayasan tidak dikenal adanya “badan pendiri” pada Yayasan seperti selama ini dikenal sebelum adanya UU Yayasan. Namun dalam UU Yayasan hanya memakai istilah “pembina” bukan “badan pembina”, hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya kekosongan apabila pendirinya berupa orang-perseorangan meninggal dunia.
B.     Hakikat Yayasan Sebagai Bentuk Partisipasi Publik   
Meskipun gerakan reformasi dinilai belum berhasil sesuai dengan harapan dan cita-cita, tetapi dalam berbagai hal telah menimbulkan berbagai perubahan yang cukup penting, antara lain dalam hal kesadaran akan signifikasinya peranan publik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Roman N. Lendong (Ketua Lembaga Sekretariat Bina Desa) mengemukakan bahwa reformasi menjadi relevan sebagai era timbulnya berbagai inisiatif masyarakat sipil. Organisasi non Pemerintah sebagai pilar kekuatan masyarakat sipil dituntut agar komitmen popularisme dan spirit demokratisasi diwujudkan melalui agenda-agenda konkrit.
Partisipasi masyarakat yang kuat merupakan salah satu ciri-ciri masyarakat madani (civil society) Indikator masyarakat yang telah menuju pada suatu masyarakat yang berpartisipasi (participating society) dapat dilihat dari karakteristik sebagai berikut:
1.    Masyarakat yang kritis, masyarakat yang berpartisipasi adalah masyarakat yang mengetahui masalah yang dihadapinya dan berusaha memecahkan masalah tersebut demi untuk meningkatkan mutu kehidupan masyarakat;
2.    Mampu berdiri sendiri; yakni masyarakat yang mengetahui arah hidup dan perkembangannya termasuk kemampuannya untuk berkomunikasi dan bekerjasama dengan masyarakat lainnya bahkan pada tingkat regional dan internasional; dan
3.    Masyarakat yang mau berkarya; yakni masyarakat yang tidak puas dengan apa yang diberikan orang lain kepadanya, mengetahui akan kemampuannya dan berkarya untuk kepentingan masyarakatnya sendiri, serta bersifat inovatif.
Bertitik tolak dari pemahaman tersebut di atas, pertama-tama perlu melihat eksistensi yayasan selama ini sebagai perwujudan atau bentuk partisipasi masyarakat dalam kehidupan komunal sebagai bangsa dan negara sekaligus merupakan indikasi keberdayaan masyarakat dalam suatu civil society sebagaimana dikemukakan di atas. Untuk mengakomodasi potensi, daya  kritis, dan produktivitas masyarakat yang partisipatif diperlukan berbagai bentuk lembaga-lembaga penyaluran sehingga betul-betul produktif dan dapat merumuskan masalah dan langkah yang akan dilaksanakan tersebut secara sistematis, terorganisir sekaligus menjadi wadah aktualisasi idealisme dan cita-cita luhur seseorang atau sekelompok orang.
Dalam perspektif ini terlihat betapa urgensinya keberadaan lembaga yang bernama Yayasan sebagai suatu instrumen masyarakat untuk membangun dan mengembangkan masyarakatnya sendiri, maupun sebagai mitra pemerintah dalam masyarakat yang demokratis. Sekali lagi dalam konteks inilah pertama-tama akan dibahas eksistensi yayasan tersebut.
Suatu masyarakat madani adalah suatu masyarakat yang percaya atas kemampuan para anggotanya untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik. Meningkatkan partisipasi masyarakat atau istilah yang populer dewasa ini memberdayakan masyarakat bermuara pada satu tujuan menciptakan masyarakat madani. Suatu masyarakat madani adalah suatu masyarakat yang teratur, yang mempunyai kesadaran akan hak dan kewajiban, dan kesadaran hukum dari para anggotanya, suatu masyarakat yang terus menerus berubah dan membangun demi untuk kesejahteraan seluruh masyarakat tersebut.
Secara praktis selama ini, eksistensi lembaga yayasan merupakan  perwujudan dan jalan keluar bagi masyarakat dalam menampung aspirasi, kreativitas, daya kritis dan potensi mereka untuk disalurkan secara baik, terorganisir sebagaimana dikemukakan di atas. Fred G. Tumbuan menyatakan bahwa. perhimpunan/perkumpulan (vereniging) dipakai sebagai wahana untuk melakukan berbagai pekerjaan sosial, kemanusiaan dan keagamaan oleh masyarakat. Perbedaan antara perhimpunan sebagai badan hukum perdata diatur secara jelas dalam Staatsblad 1870-64 Rechtspersoonlijkheid van Vereeningen; Sedangkan yayasan sebagai badan hukum, semata-mata merupakan produk junsprudensi.
Laju pertumbuhan organisasi nirlaba dalam kehidupan masyarakat di Indonesia dapat dikatakan cukup revolusioner dengan berbagai alasan dan motivasi sesuai dengan zamannya. Pada masa Orde Baru yang penuh tekanan dan pembatasan misalnya Yayasan sebagai badan atau organisasi nirlaba dijadikan semacam jalan keluar dari berbagai macam bentuk tekanan dan pembatasan tersebut baik pembatasan secara politik, maupun keterbatasan secara ekonomi. Selanjutnya pada era reformasi yang didengungkan orang sebagai era demokratisasi dan keterbukaan dewasa ini, aspirasi yang terpendam dapat kembali dihidupkan dan disalurkan melalui berbagai bentuk Yayasan dengan berbagai macam bentuk struktur yang dianggap para pendirinya baik dan ideal bagi mereka.
Menurut catatan John G. Simon, di Amerika Serikat telah lama dirasakan ketergantungan yang sangat besar pada organisasi-organisasi nirlaba dalam menghadapi berbagai masalah nasional. Mereka mendidik, menyembuhkan, memberi kenyamanan, kekuatan untuk mempertahankan sumber-sumber alam serta kebebasan, dan pada puncaknya menerima keluhan-keluhan. Sektor nirlaba ini telah pula bertindak sebagai laboratorium atau inkubator untuk inovasi-inovasi besar dalam sektor publik dan bisnis. Mereka membuka jalan guna melancarkan inisiatif-inisiatif baru dari pemerintah di bidang pendidikan, perlindungan lingkungan hidup, eksplorasi ruang, serta pemeliharaan kesehatan. Mereka juga membuka wilayah-wilayah usaha baru dalam bidang teknologi komputer, kefarmasian, dan industri-industri yang berlandaskan sains lainnya. Organisasi-organisasi itu semua dikenal sebagai organisasi non-pemerintah, tidak mencari keuntungan, dan suka-rela pula yaitu sektor ketiga atau organisasi­organisasi mandiri yang semakin memainkan peranan sentral di seantero dunia termasuk di Amerika Serikat sebagaimana disebutkan di atas.
Karakter dasar dari organisasi nirlaba adalah tidak mencari keuntungan/laba, yaitu semata-mata ”murni” untuk kepentingan sosial dan tidak melakukan aktivitas politik seperti orpol/parpol. Dalam bentuk badan hukum atau badan usaha, pada umumnya organisasi nirlaba di Indonesia merupakan Yayasan, perkumpulan, atau perhimpunan. Nirlaba dalam konteks Yayasan diartikan hanya sebagai istilah yang biasa digunakan sebagai sesuatu yang bertujuan sosial, kemasyarakatan atau lingkungan yang tidak semata-mata untuk mencari keuntungan materi (uang). Jika dilihat dalam UU Yayasan, itilah nirlaba tersebut tidak ada ditemukan. Istilah nirlaba ini digunakan sebagai mewakili dari suatu institusi atau lembaga yang tujuannya tidak diperuntukkan untuk mencari untuk sebesar-besarnya seperti halnya badan usaha yang bergerak dibidang ekonomis.
Berdasarkan prinsip Yayasan sebagai badan hukum yang tidak mencari laba, maka menjadi pertanyaan dari mana Yayasan tersebut memperoleh laba. Laba tidak dicari sebagaimana mencari laba layaknya sebuah Perseroan. Untuk itu, Yayasan ada juga memungut biaya operasional yang wajar sebagai biaya-biaya operasional, selain itu juga dimungkinkan menerima sumbangan dari para donatur yang semata-mata tidak bermaksud untuk menanam sahamnya pada Yayasan terkait.
Munculnya pengurusan terhadap Yayasan ini sebagai pertimbangan terhadap pengaturan dan pelaksanaan urusan rakyat tidak selalu menjadi urusan pemerintah saja seperti persepsi banyak orang. Mengurus ekonomi, pidana, sosial, pendidikan, dan lain-lain seharusnya juga melibatkan rakyat. Di sinilah peran dari organisasi nirlaba dan LSM-LSM lainnya sebagai pilar ke-4 demokrasi setelah lembaga eksekutif, legislatif, dan judikatif. Dalam konteks good governance, LSM, dan yayasan organisasi nirlaba lainnya akan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari struktur pemerintahan modern yang demokratis dan tidak dapat lagi dianggap bermain di luar sistem karena ia merupakan bagian dari governance system.
C.     Yayasan Menurut Undang-Undang Yayasan (UU Yayasan)
1.      Pengertian Yayasan
Keberadaan Yayasan merupakan suatu kebutuhan bagi masyarakat yang menginginkan adanya wadah atau lembaga yang bersifat dan bertujuan sosial, keagamaan dan kemanusiaan. Pada beberapa waktu lalu, Yayasan merupakan alat yang secara fungsional menjadi sarana untuk hal-hal atau pekerjaan dengan tujuan sosial, kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Sehubungan dengan itu, pengertian mengenai Yayasan ini berbeda-beda redaksinya, namun maksud pengungkapan defenisinya adalah sama. Menurut NH. Bregstein Yayasan adalah;
“Suatu badan hukum, yang didirikan dengan suatu perbuatan hukum, yang tidak bertujuan untuk membagikan kekayaan dan sutau penghasilan kepada pendiri atau penguasanya di dalam yayasan itu, atau kepada orang-orang lain kecuali sepanjang mengenai yang terakhir ini adalah sesuai dengan tujuan yayasan yang idealistisi.”
Menurut W.I.G. Lemaire manyatakan bahwa yayasan adalah diciptakan dengan suatu perbuatan hukum, yakni pemisahan suatu harta kekayaan untuk tujuan yang tidak diharapkan keuntungan (altruisttihe doel) serta penyusunan suatu organisasi (berikut pengurus), dengan mana sungguh-sungguh dapat terwujud tujuannya dengan alat-alat itu.
Paul Scholten, lebih menekankan pada sifatnya sebagai badan hukum, Yayasan merupakan “Suatu badan hukum yang dilagirkan oleh pernyataan sepihak, pernyataan mana harus berisi pemisahan harta kekayaan untuk tujuan tertentu dengan menunjukkan bagaimana kekayaan tersebut diurus dan digunakan”. Menurut Hayati Soeroredjo, yayasan harus bersifat sosial dan kemanusiaan  serta idealistis dan pasti tidak diperbolehkan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan atau kesusilaan. Rochmat Soemitro, mengemukakan bahwa yayasan merupakan suatu badan hukum yang lazimnya bergerak di bidang sosial dan bukan menjadi tujuannya untuk mencari keuntungan, melainkan tujuannya ialah untuk melakukan usaha yang  bersifat sosial.
Berbeda dengan pengertian Yayasan menurut Wirjono Prodjodikoro, yang lebih melihat Yayasan pada aspek harta yang dikumpulkan sehingga dikonsepsikan  Yayasan sebagai “Kumpulan harta benda kekayaan yang dengan kemauan pemiliknya ditetapkn guna mencapai tujuan tertentu, sementara pengurusnya  ditentukan oleh yang mendirikan Yayasan”. Penggunaan kata  pemilik dalam konsepsi tersebut dapat menimbulkan permasalahan, karena memberi kesan terdapatnya hak yang sebebas-bebasnya atas suatu kebendaan atau kekayaan tertentu. Konsepsi yayasan seperti tersebut di tas sampai sekarang memberi kesan bahwa pendiri adalah juga pemilik Yayasan. Sri Sudewi, merumuskan Yayasan adalah sebagai setiap organisasi yang didirikan oleh seorang atau lebih dengan pernyataan sebelah pihak untuk tujuan tertentu dengan menyisihkan harta kekayaan sendiri oleh pendirinya.
Chidir Ali, mengkonsepsikan Yayasan sebagai setiap organisasi yang didirikan seorang atau lebih dengan suatu pernyataan yang menyebelah untuk tujuan tertentu dengan menyendirikan kekayaan atau harta benda tertentu. Sementara GHS. Lumban Tobing, mengartikan Yayasan sebagai suatu kesatuan yang berwenang untuk memperoleh dan melakukan hak-hak perdata. Yayasan tidak mempunyai anggota dan untuk mendirikannya diperlukan syarat-syarat yang harus dipenuhi diantaranya yang terpenting adalah adanya kekayaan yang dipisahkan, tujuan tertentu dan organisasi. Karena pendirian Yayasan tidak ditujukan untuk mengejar keuntungan, maka Yayasan disebut sebagai non profit organization lebih tepat diterjemahkan sebagai organisasi tanpa tujuan laba seperti yang ditegaskan Rochmat Soemitro.
Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan (UU Yayasan), disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 yakni ”Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan yang tidak mempunyai anggota.” Persyaratan yang ditentukan agar Yayasan dapat diperlakukan dan memperoleh status badan hukum adalah pendirian Yayasan sebagai badan hukum harus mendapat pengesahan oleh Menteri Hukum dan HAM dan Hak Asasi Manusia. Yayasan harus dapat berperan sebagai wadah untuk mengembangkan kegiatan sosial, keagamaan dan kemanusiaan. Jadi, menurut pendapat maupun pandangan beberapa pakar hukum Yayasan tersebut di atas, dan pengertian Yayasan berdasarkan UU Yayasan, maka sifat-sifat yayasan adalah sebagai berikut: Sosial; Kegamaan; dan Kemanusiaan.
Sesuai dengan Pasal 1 angka 1, penjelasan umum dan penjelasan Pasal 3 Ayat (2), sifat-sifat Yayasan tersebut di atas harus tercermin dalam maksud dan tujuan serta kegiatan Yayasan. Karena sifat-sifat tersebut di atas, maka berimplikasi kepada para anggota pembina, pengurus dan pengawas Yayasan harus bekerja secara sukarela, yakni tanpa menerima gaji, upah atau honor tetap,  serta tidak boleh bertujuan untuk memperkaya diri para pendiri, pembina, pengurus dan pengawas Yayasan.
Untuk mendirikan Yayasan, sesuai dengan ketentuan Pasal 9 Ayat (2) UU Yayasan, maka harus dilakukan dengan akta notaris dan dibuat dalam bahasa Indonesia. Dalam akta notaris tersebut harus dinyatakan dengan jelas pihak-pihak pendiri Yayasan serta berapa besar harta kekayaan dari para pendirinya yang akan dijadikan harta kekayaan awal Yayasan.
Sehubungan dengan pendirian Yayasan, Menurut  Gunawan Widjaya, bahwa Yayasan juga dimungkinkan didirikan berdasarkan surat wasiat. Ini berarti bahwa:
1)      Yayasan jelas merupakan suatu kumpulan modal dan bukan kumpulan orang;
2)      Dikatakan bukan kumpulan orang, karena Yayasan dapat didirikan hanya oleh satu orang yang menyisihkan harta kekayaan pribadinya menjadi harta kekayaan awal Yayasan; dan
3)      Selanjutnya oleh karena akta pendirian Yayasan harus dibuat dalam bentuk akta Notaris, maka surat wasiat yang memungkinkan pendirian Yayasan juga harus merupakan surat wasiat yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris.
2.      Organ-Organ Yayasan
Mengenai organ-organ dalam Yayasan, menurut penjelasan umum dan Pasal 2 UU Yayasan terdiri dari beberapa organ yaitu:
1.      Pembina
Istilah yang digunakan dalam UU Yayasan untuk legislatif Yayasan adalah Pembina. Berbeda dengan Perseroan yang menggunakan istilah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Untuk Yayasan dengan menggunakan istilah Pembina, menurut Gatot Supramono, adalah kurang tepat. Karena menurutnya lebih tepat digunakan dengan Rapat Pembina. Alasan lain adalah karena seolah-olah Pembina hanya terdiri dari satu orang saja. Padahal UU Yayasan menghendaki lebih dari satu orang Pembina.
Dalam UU Yayasan dan dalam Anggaran Dasar (AD) Yayasan, ditentukan bahwa pembina adalah orang Yayasan yang mempunyai kewenangan yang tidak diserahkan kepada pengurus atau pengawas yang meliputi kewenangan mengenai:
1)      Keputusan untuk melakukan perubahan AD Yayasan;
2)      Pengangkatan dan pemberhentian anggota pengurus dan anggota pengawas Yayasan;
3)      Penetapan kebijakan umum Yayasan berdasarkan AD Yayasan;
4)      Pengesahan program kerja dan rancangan anggaran tahunan Yayasan; dan
5)      Penetapan keputusan mengenai penggabungan atau pembubaran Yayasan.
Pihak yang dapat diangkat menjadi anggota  Pembina adalah orang perseorangan yang merupakan  pendiri Yayasan dan/atau mereka yang berdasarkan keputusan rapat anggota Pembina dinilai mempunyai dedikasi yang tinggi untuk mencapai maksud dan tujuan Yayasan. Jadi, menurut UU Yayasan terdiri dari alternatif sebagai berikut:
1)      Pendiri Yayasan selaku pribadi;
2)      Orang yang bukan pendiri Yayasan; dan
3)      Pendiri Yayasan selaku pribadi dan orang yang bukan pendiri Yayasan.
Mengenai syarat-syarat orang yang dapat diangkat menjadi Pembina dalam Yayasan adalah:
1)      Orang perorangan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 27 Ayat (3);
2)      Mempunyai dedikasi yang tinggi sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 27 Ayat (3);
3)      Diangkat berdasarkan keputusan rapat gabungan seluruh anggota pengurus dan anggota pengawas, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 27 Ayat (4);
4)      Tidak boleh merangkap menjadi pengurus atau pembina; dan
5)      Anggota Pembina yang berkewarganegaraan asing, jika bertempat tinggal di Indonesia harus memegang izin melakukan kegiatan atau usaha di wilayah negara Republik Indonesia dan pemegang Kartu Izin Tinggal Sementara.
2.      Pengurus
Pasal 31 Ayat (1) UU Yayasan, ditentukan bahwa Pengurus adalah organ Yayasan yang melaksanakan kepengurusan Yayasan. Pengurus Yayasan bertanggung jawab penuh atas kepengurusan Yayasan untuk kepentingan dan tujuan Yayasan serta berhak mewakili Yayasan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Ini berarti setiap pengurus menjalankan tugas dengan itikad baik, dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan dan tujuan Yayasan. Dalam menjalankan tugasnya tersebut, pengurus tidak harus melakukannya sendiri, pengurus dapat mengangkat dan memberhentikan pelaksana kegiatan Yayasan. Untuk keperluan itu maka segala ketentuan yang berhubungan dengan syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentikan pelaksana kegiatan Yayasan harus diatur dalam anggaran dasar Yayasan.
Dalam Pasal 31 Ayat (2) UU Yayasan, ditentukan bahwa orang yang dapat diangkat menjadi pengurus adalah orang perseorangan yang mampu dan cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Sebagaimana halnya larangan bagi pembina, maka pengurus pun dilarang untuk merangkap sebagai pembina atau pengawas Yayasan.
Pengurus Yayasan diangkat oleh pembina berdasarkan keputusan rapat pembina untuk jangka waktu selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Susunan pengurus sekurang-kurangnya terdiri atas 3 (tiga) yaitu, seorang ketua; seorang sekretaris; dan seorang bendahara.
Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 36 Ayat (1) dan Pasal 37 Ayat (1) UU Yayasan, bahwa anggota pengurus tidak berwenang mewakili Yayasan apabila terjadi hal-hal seperti berikut :
a)      Terjadi perkara di depan pengadilan antara Yayasan dengan anggota pengurus yang bersangkutan;
b)      Anggota pengurus yang bersangkutan mampunyai kepentingan yang bertentangan dengan kepentingan Yayasan;
c)      Mengikat Yayasan sebagai penjamin utang;
d)      Mengalihkan kekayaan Yayasan kecuali dengan persetujuan pembina; dan
e)      Membebani kekayaan Yayasan untuk kepentingan pihak lain.
3.      Pengawas
Dalam Pasal 40 Ayat (1) UU Yayasan diberikan definisi Pengawas yaitu organ Yayasan yang bertugas melakukan pengawasan serta memberi nasehat kepada pengurus dalam menjalankan kegiatan Yayasan. Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 yang kemudian dirubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004, Yayasan harus memiliki pengawas sekurang-kurangnya 1 (satu) orang pengawas. Adapun wewenang, tugas dan tanggung jawab pengawas Yayasan diserahkan pengaturan sepenuhnya dalam anggaran dasar Yayasan. Yang jelas pengawas Yayasan wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan Yayasan.
Sehubungan dengan kewenangan pengawas Yayasan, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 yang kemudian dirubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 memberikan hak kepada pengawas Yayasan untuk memberhentikan sementara anggota pengurus dengan menyebutkan alasannya. Pemberhentian sementara yang dilakukan oleh pengawas Yayasan harus dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal pemberhentian sementara, dilaporkan secara  tertulis kepada pembina. Selanjutnya dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal laporan diterima pembina wajib mengganti anggota pengurus yang bersangkutan untuk diberi kesempatan membela diri. Dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal pembelaan diri, pembina wajib:
a)      Mencabut keputusan pemberhentian sementara
b)      Memberhentikan anggota pengurus yang bersangkutan.
Apabila pembina tidak melaksanakan hal tersebut, maka pemberhentian sementara tersebut batal demi hukum dan pengurus Yayasan yang diberhentikan sementara tersebut kembali memangku jabatan dan karenanya melaksanakan kembali tugas dan wewenangnya sebagai pengurus Yayasan.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 yang kemudian dirubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 menentukan bahwa mereka yang dapat diangkat menjadi pengawas adalah orang perseorangan yang mampu dan cakap untuk melakukan perbuatan atau  tindakan hukum. Setiap anggota pengawas Yayasan yang dinyatakan bersalah dalam melakukan pengawasan Yayasan yang menyebabkan kerugian bagi Yayasan, masyarakat dan negara berdasarkan putusan pengadilan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak putusan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap, tidak dapat diangkat menjadi pengawas Yayasan mana pun. Serupa dengan jabatan pembina dan pengurus, maka mereka yang menduduki jabatan pengawas Yayasan tidak diperbolehkan untuk merangkap sebagai pembina atau pengurus Yayasan.
3.      Yayasan Sebagai Badan Hukum
Keinginan untuk menjadikan Yayasan sebagai badan hukum melalui pengundangan UU Yayasan sebenarnya sudah lama, bahkan belakangan di era reformasi keinginan untuk segera memiliki UU Yayasan itu berbarengan dengan konsekuensi pemerintah untuk menertibkan Yayasan-Yayasan yang semula didirikan tanpa ada dasar hukum yang kuat. Jadi, setelah menjadikan Yayasan sebagai badan hukum. Khususnya dalam hal pertanggungjawaban pengurus, pembina, dan pengawas tidak jelas dasar yang harus dijadikan dalam mempertanggungjawabkan kesalahannya. Sehubungan dengan itu, maka pemerintah menjadikan Yayasan-Yayasan tersebut menjadi berbadan hukum melalui UU Yayasan. Jadi, konsekuensinya adalah semua Yayasan di Indonesia harus berdasarkan prinsip-prinsip badan hukum dalam hal pertanggungjawaban organ-organ Yayasan.
Badan hukum merupakan suatu badan yang sekalipun bukan berupa manusia namun dianggap mempunyai harta kekayaan sendiri yang terpisah dari para anggotanya dan merupakan pendukung hak dan kewajiban seperti seorang manusia serta dapat turut serta dalam lalu lintas hukum. Dalam melakukan perbuatan hukum, badan hukum tidak dapat berdiri sendiri melainkan harus diwakili para pengurusnya.
NH. Brigstein menyebutkan Yayasan adalah suatu badan hukum yang bertujuan untuk membagikan kekayaan dan atau penghasilan kepada pendiri/penguasanya atau kepada orang lain sepanjang sesuai dengan tujuan Yayasan yang idealistis. Yayasan diciptakan dengan pemisahan harta kekayaan untuk tujuan tidak mengharapkan keuntungan serta penyusunan suatu organisasi demi terwujudnya tujuan dengan alat itu.
Pada Yayasan terdapat pokok-pokok penerapan tujuan dan organisasi oleh para pendirinya, tidak memiliki anggota, tidak ada hak bagi pengurusnya untuk mengadakan perubahan yang berakibat jauh dalam tujuan dan organisasi, serta perwujudan dari suatu tujuan terutama dengan modal yang  diperlukan untuk itu. Akhirnya dapat dipahami bahwa Yayasan adalah suatu bentuk organisasi yang didirikan berdasarkan badan hukum, dengan bermodal atas kekayaan sendiri dan bertujuan untuk kepentingan sosial.
Untuk pendirian sebuah Yayasan harus memenuhi adanya pemisahan harta kekayaan, tujuan dan organisasi serta satu syarat formil yakni surat. Paul Scholten mengemukakan bahwa yayasan adalah suatu badan hukum yang dilahirkan dalam pernyataan sepihak, yang berisi pemisahan kekayaan untuk tujuan tertentu serta bagaimana kekayaan itu diurus dan dipergunakan. Maksud dan tujuan Yayasan hanya diperbolehkan oleh undang-undang mencakup 3 (tiga) bidang saja yakni di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yakni dalam Pasal 365, 899, 900, 1680, 1852, dan Pasal 1954 ada disebutkan istilah Yayasan, tetapi pasal-pasal tersebut dalam isinya tidak mengatur keberadaan Yayasan itu sendiri. Oleh karena itu menurut Fred Tumbuan, pasal-pasal dalam KUH Perdata tersebut hanya sekedar mengakui keberadaan Yayasan tersebut sebagai badan hukum perdata. Hal yang sama juga terdapat dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas, yang ada menyebut istilah Yayasan, tetapi juga tidak merinci mengenai status, hak maupun wewenang Yayasan dimaksud.
Sebagai contoh dalam Pasal 365 KUH Perdata mengatur tentang masalah perwalian (voogdij) dapat dipercayakan kepada perhimpunan yang berstatus badan hukum, yayasan (stichting) atau badan karikatif (insteling van weldadigheid). Demikian pula apabila perhatikan Pasal 899 KUH Perdata yang memuat tentang orang yang dapat menarik manfaat dari yayasan.
Apabila diperhatikan ada tiga istilah yang dipergunakan oleh Pembuat KUH Perdata yang kesemuanya menunjuk pada pengertian Yayasan sebagai badan hukum yang mempunyai maksud dan tujuan di bidang sosial, kemanusiaan dan keagamaan, yakni stichtingen, gestichten, dan armeninrichtingen.
Meskipun keberadaan Yayasan sebelum UU Yayasan tidak mendapat pengaturan yang jelas dan tegas, namun status badan hukum yayasan tersebut tidak pernah diragukan baik di kalangan akademisi maupun praktisi. Itulah sebabnya UU Yayasan sendiri tidak ragu-ragu dalam memberikan pengakuan terhadap status badan hukum Yayasan yang terbentuk sebelum berlakunya UU Yayasan.
Justifikasi eksistensi yayasan sebagai sebuah badan yang dapat bertindak dalam lalu lintas hukum juga mendapat justifikasi dari berbagai peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Kepailitan, Undang-Undang Perseroan Terbatas, dan berbagai Keputusan di tingkat menteri.
Selanjutnya menurut Chatamarrayid, suatu yayasan sekurang-kurangnya harus meliputi hal-hal sebagai berikut:
            1.      Harus bertujuan sosial dan kemanusiaan;
            2.      Tujuan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang­-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan;
            3.      Dana yayasan berasal dari harta kekayaan para pendiri yang dipisahkan dan sumbangan masyarakat;
            4.      Kekayaan yang dipisahkan harus sesuai dengan tujuan pendirian yayasan;
            5.      Fasilitas yang diperoleh dan dana yang berhasil dihimpun harus digunakan sesuai dengan tujuan yayasan;
            6.      Yayasan dapat melakukan usaha yang menghasilkan laba, tapi bukan merupakan tujuan dan harus digunakan untuk tujuan sosial;
            7.      Yayasan harus terbuka untuk partisipasi masyarakat;
            8.      Pertanggungjawaban pengurus yayasan harus jelas;
            9.      Yayasan harus ditujukan untuk menegakkan hak asasi manusia dan keadilan sosial.;
        10.      Kalau Yayasan bubar, kekayaan yayasan harus dilimpahkan pada badan atau yayasan yang bertujuan sama atau hampir sama; dan
        11.      Yayasan baik pendiriannya maupun pengaturan lainnya harus diatur oleh atau dengan undang-undang.
Pendapat beberapa ahli yang menyatakan bahwa Yayasan adalah badan hukum dengan tujuan sosial antara lain dikemukakan oleh Haryati Soeroredjo, yang menyatakan bahwa tujuan Yayasan tentunya bersifat sosial, keagamaan, dan kemanusiaan dan tidak diperbolehkan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, dan atau kesusilaan.
Sedangkan Soenarto Soerodibroto, berpendapat bahwa salah satu prinsip yang fundamental yang melekat pada suatu yayasan ialah tujuan yayasan haruslah idiil dan usaha-usahanya adalah non komersial. Sehubungan dengan kepastian status Yayasan sebagai badan hukum sebelum diundangkan UU Yayasan kiranya perlu disebut di sini ketentuan dalam Pasal 236 dan Pasal 890 Rv (Reglement op de Rechtsvordering) yang mengakui dan memperlakukan Yayasan sebagai persona in judicio (subjek hukum yang mandiri).
Yayasan sebagai badan hukum semata-mata merupakan produk jurisprudensi. Diterimanya Yayasan sebagai badan hukum bukan berdasarkan peraturan perundang-undangan akan tetapi melalui Yurisprudensi (Putusan Hoogerechtshof  tahun 1884 dan Putusan MA RI Nomor 124 /Sip/1973 tanggal 27 Juni 1973). Dapat pula dikatakan bahwa selama ini yayasan diterima sebagai subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban sendiri. Eksistensi Yayasan sebagai subjek hukum diterima dengan status badan hukum. Akan tetapi tidak terdapat ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang lembaga Yayasan secara lengkap dan jelas.
KUH Perdata mengenal istilah stichting untuk Yayasan seperti pada Pasal 1365, Pasal 900 dan Pasal 1680 KUH Perdata. Pasal 285 Ayat (1) KUH Perdata mengenal Yayasan sebagai badan hukum tanpa anggota dengan maksud melaksanakan tujuannya yang tertera dalam statuta dengan menyisihkan harta kekayaan untuk mencapai tujuan tersebut. Pendirian Yayasan di Indonesia selama ini hanya berdasarkan atas kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat yaitu didirikan dengan Akta Notaris dan didaftarkan pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Yayasan bila pengelola yayasan tersebut merasa perlu. Namun saat ini setelah diundangkannya UU Yayasan, mewajibkan dalam Akta Notaris wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri setempat.
Yayasan sebagai badan hukum, jelas sekali dirumuskan dalam rumusan Pasal 1 angka 1 UU Yayasan bahwa Yayasan adalah badan hukum dengan ketentuan bahwa status badan hukum Yayasan baru diperoleh setelah akta pendirian Yayasan disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM. Ini berarti bahwa pengesahan akta pendirian ini merupakan satu-satunya dokumen yang menentukan saat berubahnya status Yayasan menjadi badan hukum. Rumusan ini tentunya membawa konsekuensi bahwa sebagai badan hukum, Yayasan memiliki karakteristik dan kemampuan bertindak sebagai layaknya suatu subjek hukum.
Kewenangan Menteri Hukum dan HAM dalam memberikan pengesahan akta pendirian Yayasan sebagai badan hukum dilaksanakan oleh kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM atas nama Menteri Hukum dan HAM yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Yayasan. Dalam memberikan pengesahan, Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM dapat meminta pertimbangan dari instansi terkait, dalam hal ini adalah instansi yang membidangi masalah sosial, keagamaan dan kemanusiaan.
Pengesahan akta pendirian Yayasan dapat dilakukan oleh pendiri atau kuasanya dengan mengajukan permohonan tertulis kepada Menteri Hukum dan HAM. Pengesahan akta pendirian tersebut diberikan dalam waktu paling lambat 30 hari terhitung sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap oleh Menteri Hukum dan HAM. Dalam hal diperlukan pertimbangan dari instansi terkait, maka keputusan diberikan atau tidak diberikannya pengesahan akta pendirian Yayasan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 12 Ayat (3) UU Yayasan, harus dibuat dalam jangka waktu:
1)      Paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal jawaban permintaan pertimbangan diterima dari instansi terkait
2)      Dalam hal tidak diterima jawaban, maka jangka waktu dihitung setelah lewat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal jawaban permintaan pertimbangan kepada instansi terkait dikirim
Dalam hal permohonan pengesahan akta pendirian Yayasan ditolak, menurut ketentuan Pasal 13 Ayat (1) UU Yayasan, maka Menteri Hukum dan HAM wajib memberitahukannya secara tertulis disertai dengan alasannya, kepada permohonan mengenai penolakan pengesahan tersebut. Sebagai  badan hukum, Yayasan wajib membayar segala biaya atau ongkos yang dikeluarkan oleh organ Yayasan dalam rangka menjalankan tugas Yayasan. Yang dimaksud dengan organ Yayasan adalah pembina, pengurus dan pengawas. Ini berarti  bahwa Yayasan harus memikul segala biaya dan ongkos yang telah dikeluarkan oleh pembina, pengurus dan pengawas Yayasan dalam melaksanakan  tugas mereka.
4.      Maksud dan Tujuan Yayasan
Yayasan didirikan harus sesuai dengan maksud dan tujuan dalam Anggaran Dasar Yayasan. Dalam rangka mencapai tujuannya Yayasan dimungkinkan untuk menjalankan  atau melaksanakan kegiatan usaha, termasuk untuk mendirikan badan usaha dan/atau ikut serta dalam badan usaha.
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 membatasi bentuk penyertaan Yayasan dengan menyatakan bahwa:
a)      Yayasan dapat mendirikan badan usaha yang kegiatannya sesuai dengan maksud dan tujuan Yayasan;
b)      Yayasan dapat melakukan penyertaan dalam berbagai bentuk usaha yang bersifat prospektif dengan ketentuan seluruh penyertaan tersebut paling banyak 25% dari seluruh nilai kekayaan Yayasan;
c)      Kegiatan usaha dari badan usaha yang didirikan tersebut atau pun dimana Yayasan melakukan penyertaan moral harus tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d)      Anggota pembina, pengurus dan pengawas Yayasan dilarang merangkap sebagai anggota direksi ataupengurus dan anggota dewan komisaris atau pengawas dari badan usaha yang didirikan tersebut.
Menurut Gunawan Widjaya, bahwa yang menarik dari pembatasan yang diberikan tersebut adalah:
a)      Undang-Undang Yayasan tidak memberikan batasan kepemilikan pada badan usaha yang didirikan oleh Yayasan untuk mencapai maksud dan tujuannya.
b)      Undang-Undang Yayasan tidak memberikan batasan penyertaan pada badan usaha yang prospektif berdasarkan pada besarnya modal yang dikeluarkan oleh badan usaha tersebut, melainkan berdasarkan pada nilai kekayaan Yayasan yaitu sebanyak-banyaknya 25% dari seluruh nilai kekayaan Yayasan.
Berdasarkan rumusan yang disebutkan di atas, maka dalam rangka menjalankan kegiatan usaha yang sesuai dengan maksud dan tujuan Yayasan, Undang-Undang Yayasan memberikan kewenangan sepenuhnya kepada pengurus Yayasan, dengan atau tanpa persetujuan organ lainnya untuk secara penuh dan mandiri melakukan pengelolaan badan usaha tersebut. Ini berarti memang tidak diperlukan pembatasan kepemilikan yang demikian.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tidak ingin membatasi kemungkinan Yayasan ikut serta dalam kegiatan usaha lain, yang berada di luar maksud dan tujuan Yayasan yang memiliki prospek yang cukup baik sehingga Yayasan dapat meningkatkan harta kekayaannya, yang pada akhirnya bermuara juga pada pencapaian maksud dan tujuan Yayasan. Walau demikian, oleh karena hal tersebut berada di luar maksud dan tujuan Yayasan, dan karenanya untuk lebih memfokuskan pengurus Yayasan pada jalannya pengurusan Yayasan yang sesuai dengan maksud dan tujuan Yayasan yang sebenarnya, maka sepantasnya jika penyertaan yang demikian hanya dibatasi hingga 25% dari seluruh nilai kekayaan Yayasan. Dengan makin berkembangnya Yayasan, yang pada akhirnya juga meningkatkan harta kekayaan Yayasan, maka tentunya makin banyak juga penyertaan usaha prospektif yang dapat dilakukan oleh Yayasan.
Berbeda dengan kebiasaan yang ada sebelum Undang-Undang Yayasan berlaku, pembatasan hanya diberikan terhadap penyertaan pada usaha prospektif di luar kegiatan usaha berdasarkan maksud dan tujuan Yayasan, dan bahwa penyertaan ini pun tidak dibatasi hingga suatu jumlah persentasi tertentu dalam kepemilikan (saham) badan usaha dimana penyertaan dilakukan. Sebelum berlakunya UU Yayasan, terdapat suatu pengakuan tidak tertulis bahwa Yayasan hanya boleh melakukan penyertaan pada Perseroan Terbatas setinggi-tingginya sejumlah 25% dari modal yang ditempatkan oleh Perseroan Terbatas tersebut.
5.      Yayasan Sebagai Organisasi Nirlaba (Filantropis)
Tidak ada ketentuan dalam UU Yayasan yang menyatakan bahwa Yayasan adalah organisasi nirlaba. Hanya saja dalam Pasal 1 butir 1 menyatakan bahwa, “Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota.“
Oleh karena itu, dalam konteks UU Yayasan, pengertian nirlaba tersebut perlu mendapat penegasan atau pendefinisian dan pengaturan yang jelas setidaknya dalam berbagai peraturan pelaksana nantinya. Pasal 2 UU Yayasan secara tegas telah mengizinkan Yayasan melakukan kegiatan usaha untuk mendapatkan laba, hanya saja laba tersebut dipergunakan semata-mata untuk tujuan-tujuan sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Dengan demikian keberadaan Yayasan harus merupakan manifestasi dari tujuan sosial, keagamaan, dan kemanusiaan yang diwujudkan dalam bentuk kegiatan amal dan kedermawanan secara terorganisasi dan sistematis.
Meskipun beramal dan juga menggalang dana untuk kegiatan amal (charity) dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, Yayasan lebih mempunyai kesan sebagai bentuk penggalangan dana amal secara mutakhir (filantropisme). Kegiatan filantropisme ini selain melibatkan kegiatan amal yang lebih besar juga bersifat kelembagaan dari pada perorangan. Pengelolaannya dilakukan secara sistemik melalui lembaga-lembaga yang dirancang khusus untuk itu. Akhirnya kegiatan kedermawanan sosial tersebut menjadi sesuatu yang hampir-hampir tidak terbatas baik dalam ukuran jumlah uang yang dikelola maupun cakupan kegiatannya.
Terdapat berbagai masalah hukum yang berkenaan dengan Yayasan sebagai organisasi nirlaba belum terpecahkan selama ini. Bagaimana semestinya sebuah Yayasan sesuai dengan sistem pengaturan organisasi nirlaba yang ada saat ini adalah merupakan suatu masalah. Hukum Indonesia tidak ada yang mengatur dengan tegas mengenai pemecahan penyalahgunaan hak yang dilakukan oleh Yayasan, misalnya mengenai pembatasan keuntungan individu, pembatasan aktivitas perdagangan dan sebagainya.
Dalam lapangan organisasi kemasyarakatan, nirlaba biasanya mengacu kepada sifat organisasi yang non pemerintah, sukarela, dan mandiri. Secara umum organisasi semacam itu termasuk dalam kategori filantropis karena sifat dasarnya untuk berbagai kasih sayang sesama manusia melalui kegiatan amal. Karena sifat dasarnya tersebut, organisasi ini kemudian bergerak dengan tanpa mencari keuntungan ekonomis, secara sukarela membantu memberdayakan masyarakat.
Organisasi nirlaba adalah organisasi sosial non pemerintah yang bertujuan membantu dan memberdayakan masyarakat melalui managemen nirlaba secara sukarela dan bersifat mandiri. Kegiatan organisasi nirlaba ini dapat diklasfikasikan ke dalam kegiatan karikatif (bantuan amal langsung) dan kegiatan advokasi transformatif (pemberdayaan dalam arti luas). Kegiatan ini biasanya dilakukan melalui pendekatan struktural, demokratis dan menjujung tinggi hak asasi manusia serta menjalankan kewajiban sebagai warga negara.
Kerangka hukum yang memadai bagi organisasi nirlaba di Indonesia belum berkembang. Ketentuan hukum yang dirancang untuk mengawasi organisasi nirlaba lebih menonjol dari pada yang mengembangkannya. Walaupun situasinya masih demikian, organisasi nirlaba Indonesia tampaknya enggan untuk mendukung upaya perbaikan kerangka hukum yang ada. Pembaharuan hukum mengenai organisasi nirlaba secara pesimis dipandang justru akan merusak tatanan yang dinilai telah cukup demokratis selama ini, meskipun diakui terdapat berbagai kelemahan antara lain penyalahgunaan Yayasan untuk tujuan dan kepentingan pribadi sebagaimana telah dikemukakan dengan perkataan lain sebagian besar masyarakat khususnya kalangan aktivis organisasi nirlaba curiga bahwa legislasi merupakan regulasi yang seringkali juatru menghasilkan pembatasan dan kontrol yang lebih ketat serta akan mempersempit ruang yang diperlukan bagi kegiatan organisasi nirlaba yang ada sekarang.
Terlepas dari motivasi masing-masing, aspek inilah salah satu yang sering mendapat kritik tajam dari para pengelola Yayasan maupun pengamat terhadap ketentuan dalam UU Yayasan. Memang tidak dapat dinafikan berbagai kritikan tajam terhadap organisasi filantrofis modern di Indonesia dapat dimengerti terutama pada era reformasi dewasa ini. Berbagai kasus Yayasan yang dipimpin oleh Soeharto (mantan Presiden RI) seperti Yayasan DAKAR, yayasan Supersemar, Yayasan Darmais dan sebagainya dipandang tidak lebih sebagai upaya penumpukan harta dan dana untuk kepentingan pribadi dan golongan serta diperoleh secara tidak sah atau tidak sesuai dengan prosedur semestinya.
D.    Perubahan Akta Yayasan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Yayasan
Dalam Pasal 11 Ayat (1) UU Yayasan disebutkan bahwa, Yayasan memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian Yayasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) memperoleh pengesahan dari Menteri. Sehubungan dengan bunyi Pasal 11 Ayat (1) ini, berarti sejak didirikannya Yayasan, maka secara otomatis Yayasan tersebut sudah dipenuhi syarat-syarat pendirian Yayasan tersebut yang dutuangkan dalam sebuah akta. Jadi, untuk mengetahui mengenai perubahan Akta Yayasan, dapat dipahami maksud ketentuan dalam Pasal 14 Ayat (1), disebutkan bahwa akta pendirian Yayasan memuat Anggaran Dasar dan keterangan lain dianggap perlu. Sehubungan dengan itu, makna dari Pasal 14 Ayat (1) ini adalah berubahnya akta pendirian Yayasan, harus berubah pula ketentuan-ketentuan dalam Anggaran Dasar Yayasan. Dalam UU Yayasan mengatur mengenai perubahan akta pendirian Yayasan sebelum kelaurnya UU Yayasan, dimana akta pendiriannya harus disesuaikan dengan ketentuan dalam UU Yayasan tanpa terkecuali.
Dalam ketentuan dalam Pasal 37 Ayat (4) UU Yayasan dinyatakan bahwa Pemberitahuan perubahan Anggaran Dasar Yayasan, harus dilampiri:
a.       Salinan akta perubahan Anggaran Dasar Yayasan;
b.      Tambahan Berita Negara Republik Indonesia yang memuat akta pendirian Yayasan atau bukti pendaftaran akta pendirian di pengadilan negeri dan izin melakukan kegiatan dari instansi terkait;
c.       Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Yayasan yang telah dilegalisir oleh notaris;
d.      Surat pernyataan tempat kedudukan disertai alamat lengkap Yayasan yang ditandatangani oleh pengurus Yayasan dan diketahui oleh lurah atau kepala desa setempat;
Berdasarkan ketentuan di atas, beberapa hal yang harus dilampirkan dalam perubahan akta Yayasan tersebut untuk mewujudkan mekanisme pengawasan publik terhadap Yayasan yang diduga melakukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang, Anggaran Dasar, atau merugikan kepentingan umum, UU Yayasan mengatur tentang kemungkinan pemeriksaan terhadap Yayasan yang dilakukan oleh ahli berdasarkan penetapan pengadilan atas permohonan tertulis pihak ketiga yang berkepentingan atau atas permintaan kejaksaan dalam hal mewakili kepentingan umum.
Dengan adanya pemberkasan dokumen-dokumen Yayasan sesuai dengan ketentuan yang berlaku sebagaimana disebutkan dalam Pasal 37 Ayat (4) di atas, dapat mempermudah Pengadilan dalam melakukan pemeriksaan terhadap Yayasan. Lebih jelasnya ketentuan dalam Pasal 53 UU Yayasan yaitu:
1.      Pemeriksaan terhadap Yayasan untuk mendapatkan data atau keterangan dapat dilakukan dalam hal terdapat dugaan bahwa organ Yayasan:
a.       Melakukan perbuatan melawan hukum atau bertentangan dengan Anggaran Dasar;
b.      Lalai dalam melaksanakan tugasnya;
c.       Melakukan perbuatan yang merugikan Yayasan atau pihak ketiga; atau
d.      Melakukan perbuatan yang merugikan Negara.
2.      Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c hanya dapat dilakukan berdasarkan penetapan Pengadilan atas permohonan tertulis pihak ketiga yang berkepentingan disertai alasan.
3.      Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d dapat dilakukan berdasarkan penetapan Pengadilan atas permintaan Kejaksaan dalam hal mewakili kepentingan umum.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Yayasan pada mulanya berpedoman kepada hukum kebiasaan belum memiliki landasan hukum, oleh karena dengan adanya UU Yayasan ini, wajib bagi setiap Yayasan untuk tunduk dan patuh segala ketentuan dalam UU Yayasan. Salah satu yang perlu ditekankan adalah dalam hal perubahan akta Yayasan, harus disesuaikan ketentuan Anggaran Dasarnya. Sehingga dengan demikian terhadap Yayasan akan semakin mudah untuk dilakukan pemeriksaan atas segala aktivitas Yayasan tersebut. Termasuk jika Yayasan itu melakukan perbuatan melwan hukum, lalai, melakukan tindakan yang merugikan masyarakat (pihak ketiga), dan merugikan negara. Dalam pemriksaan terhadap Yayasan harus melalui penetapan Ketua Pengadilan atas permintaan pihak Kejaksaan Ngeri setempat.
Pengadilan juga dapat mengabulkan dan menolak atas permintaan terhadap Yayasan untuk diperiksa sebagaimana ketentuan dalam Pasal 54 UU Yayasan sebagai berikut:
1.      Pengadilan dapat menolak atau mengabulkan permohonan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2).
2.     Dalam hal Pengadilan mengabulkan permohonan pemeriksaan terhadap Yayasan, Pengadilan mengeluarkan penetapan bagi pemeriksaan dan mengangkat paling banyak 3 (tiga) orang ahli sebagai pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan.
3.      Pembina, Pengurus, dan Pengawas serta pelaksana kegiatan atau karyawan Yayasan tidak dapat diangkat menjadi pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
Penjelasan Pasal 54 Ayat (2) yang dimaksud dengan ahli adalah mereka yang memiliki keahlian sesuai dengan masalah yang akan diperiksa. Misalnya jika terjadi perbuatan melawan hukum atas pengurus Yayasan, maka pihak Kejaksaan berhak untuk melakukan pemeriksaan tersebut. Kemudian hasil pemeriksaan oleh pihak Kejaksaan harus disampaikan kepada Ketua Pengadilan setempat atas telah atau tidak terjadinya suatu perbuatan melawan hukum. Pasal 56 UU Yayasan disebutkan bahwa:
1.     Pemeriksa wajib menyampaikan laporan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan kepada Ketua Pengadilan di tempat kedudukan Yayasan paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pemeriksaan selesai dilakukan.
2.      Ketua Pengadilan memberikan salinan laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada pemohon atau Kejaksaan dan Yayasan yang bersangkutan.
Berdasarkan beberapa ketentuan mengenai pemeriksaan Yayasan tersebut di atas, dapat dianalisis bahwa perubahan pendirian akta Yayasan yang wajib disesuaikan dengan ketentuan dalam UU Yayasan membawa konsekuensi hukum terhadap Yayasan atas segala kegiatan atau aktivitas Yayasan sehingga dapat mempermudah bagi Instansi terkait seperti Pengadilan, dan Kejaksaan dalam melakukan pemerisaan terhadap Yayasan tersebut.
1.      Ruang Lingkup Perubahan Akta Yayasan
Ruang lingkup perubahan akta pendirian Yayasan dapat dilihat dan dipahami apa-apa saja yang dicantumkan dalam Anggaran Dasar. Namun harus memperhatikan ketentuan dalam Pasal 17 yaitu tidak dibenarkan merubah maksud dan tujuan. Selengkapnya disebutkan, “Anggaran Dasar dapat diubah kecuali maksud dan tujuan Yayasan”.
Perubahan nama dan tempat kedudukan. Nama sangat penting bagi Yayasan dengan menggunakan kata “Yayasan” di depan namanya. Sama hal dengan manusia, tidak dapat dilepaskan dari sebuah nama untuk mengetahui identitasnya, sehingga dengan nama itu akan dengan mudah diketahui siapa manusia tersebut. Begitu pulalah sebuah Yayasan jika tidak punya nama akan sulit untuk membedakannya. Lagi pula secara perdata juga mengenal subjek hukum yakni suatu badan atau organisasi yang dianggap dapat bertindak sebagaimana manusia biasa. Dalam pemberian nama terhadap Yayasan pada dasarnya bebas dengan nama apa saja seperti nama orang, nama bunga, nama tanaman, dan lain-lain. Meskipun demikian kebebasan memberikan nama terhadap Yayasan, oleh undang-undang dibatasi dalam Pasal 15 Ayat (1) UU Yayasan yakni, Pertama, telah dipakai secara sah oleh Yayasan lain; dan Kedua, bertentangan dengan ketertiban umum dan/atau kesusilaan.
Perubahan jangka waktu pendirian. Jika ingin merubah jangka waktu sampai kapan pendirian Yayasan itu, hanya diberikan oleh undang-undang dua alternatif. Hal tersebut diatur dalam Pasal 16 Ayat (1) UU Yayasan yakni untuk jangka waktu tertentu dan untuk jangka waktu tidak tertentu. Jika waktunya tertentu, maka dengan jelas disebutkan dalam akta maupun dalam perubahan akta pendirian Yayasan misalnya 10 (sepuluh) tahun. Dengan menyebutkan waktu tertentu tersebut, maka setelah tiba waktunya, Yayasan tersebut harus bubar. Namun dalam Ayat (2) diberikan pula waktu perpanjangan jika dikehendaki oleh pendiri. Mengenai jangka waktu tidak tertentu, Yayasan dapat berdiri sepanjang masa walaupun telah berganti-ganti organ-oragannya. Perubahan tidak boleh dilakukan pada waktu Yayasan akan pailit. Alasannya bertentangan dengan maksud ketentuan Pasal 1 Angka (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan. Perubahan akta tersebut harus berdasarkan kepada rapat pembina. Hal ini karena rapat pembina mempunyai kekuasaan yang diamanahkan Pasal 28 Ayat (2) huruf a UU Yayasan bahwa rapat pembina merupakan kedudukan organ tertinggi dalam Yayasan.
Perubahan yang harus mendapat persetujuan Menteri. Yakni menyangkut Pasal 21 Ayat (1) yaitu mengenai nama dan kegiatan Yayasan harus mendapat persetujuan Menteri. Hal ini disebabkan karena nama dan kegiatan Yayasan tersebut sangat berarti secara administratif. Perubahan yang hanya cukup diberitahukan kepada Menteri. Yakni mengenai Pasal 21 Ayat (2), dimana perubahan selain dari pada Pasal 17 dan Pasal 21 Ayat (1) UU Yayasan.
Maksud dan tujuan Yayasan tidak boleh diubah kecuali yang telah disebutkan di atas yaitu sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Memang ada disebutkan sebagai pengecualian yakni dalam ketentuan Pasal 14 Ayat (1) bila dinggap perlu. Akan tetapi hal tersebut diberi batasan oleh bunyi Pasal 17 dimana bahwa dalam mengubah akta beserta Anggaran Dasar Yayasan tersebut, dilarang oleh UU Yayasan untuk mengubah maksud dan tujuan Yayasan itu. Tujuan yang diperbolehkan oleh UU Yayasan adalah hanya untuk sosial, keagamaan, dan kemanusiaan.
2.      Syarat-Syarat Perubahan Akta Yayasan
Yayasan didirikan dengan memperhatikan syarat-syarat formal dalam UU Yayasan. Kalau dalam hal permohonan pengesahan badan hukum Yayasan diajukan oleh Notaris kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Menkumham RI) dengan melampirkan syarat-syarat:
1.      Salinan akta pendirian Yayasan yang dibubuhi materai;
2.      Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atas nama Yayasan yang telah dilegalisir Notaris;
3.      Fotokopi surat keterangan domisili Yayasan yang dikeluarkan oleh lurah atau kepala desa setempat dan dilegalisir notaris;
4.      Bukti pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak;
5.      Bukti pembayaran;
Sebagaimana dengan syarat-syarat permohonan pengesahan Yayasan di atas, begitu pulalah persyaratan yang harus dipenuhi jika dalam hal perubahan akta pendirian Yayasan. 
Dalam Pasal 21 Ayat (1) UU Yayasan, permohonan persetujuan atas akta perubahan AD Yayasan. Permohonan persetujuan perubahan AD Yayasan diajukan oleh Notaris kepada Menkumham RI dengan melampirkan syarat-syarat yakni:
1.      Salinan Akta Notaris yang memuat perubahan AD Yayasan yang dibubuhi materai;
2.      Fotokopi NPWP atas nama Yayasan yang telah dilegalisir notaris;
3.      Fotokopi surat keterangan domisili Yayasan yang dikeluarkan oleh lurah atau Kepala Desa setempat dan dilegalisir notaris;
4.      Bukti pembayaran PNBP; dan
5.      Bukti pembayaran pengumuman dalam Tambahan Berita Negara (TBN).
Dalam hal pemberitahuan Pasal 21 Ayat (2), permohonan diajukan oleh Notaris kepada Menkumham RI dengan melampirkan syarat-syarat:
  1. Salinan akta Notaris yang memuat perubahan anggaran dasar Yayasan yang dibubuhi materai;
  2. Fotokopi NPWP atas nama Yayasan yang telah dilegalisir Notaris;
  3. Fotokopi surat keterangan domisili Yayasan yang dikeluarkan oleh lurah atau kepala desa setempat dan dilegalisir notaris;
  4. Bukti pembayaran PNBP;
  5. Bukti pembayaran pengumuman dalam TBN.
Dalam hal pemberitahuan menurut Pasal 71 Ayat (2) UU Yayasan, permohonan diajukan oleh Notaris kepada Menkumham RI dengan melampirkan syarat-syarat:
  1. Salinan akta Notaris yang memuat perubahan AD Yayasan yang dibubuhi materai;
  2. Bukti pendaftaran Yayasan pada Pengadilan Negeri dan surat izin kegiatan atau operasional dari instansi terkait;
  3. Bukti pendaftaran Yayasan pada Pengadilan Negeri dan Tambahan Berita Negara (TBN);
  4. Seluruh dokumen yang terkait dengan Yayasan;
  5. Fotokopi NPWP atas nama Yayasan yang telah dilegalisir notaris;
  6. Fotokopi surat keterangan domisili Yayasan yang dikeluarkan oleh lurah atau kepala desa setempat dan dilegalisir Notaris;
  7. Bukti pembayaran PNBP;
  8. Bukti pembayaran pengumuman dalam TBN.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa AD dapat dapat diubah kecuali mengenai maksud dan tujuan Yayasan. Perubahan AD Yayasan dapat dilakukan melalui keputusan rapat pembina yang dihadiri 2/3 anggota pembina. Perubahan itu dilakukan dengan akta Notaris dan harus dibuat dalam bahasa Indonesia.
Rapat pembina untuk memutuskan perubahan AD dilakukan berdasarkan musyawarah untuk mufakat sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 19 Ayat (1). Pada saat musyawarah dilakukan, ada tahapan-tahapan dalam mengambil keputusan. Jika rapat pertama tidak menghasilkan keputusan juga, maka diadakan rapat kedua. Rapat kedua ini dilakukan paling cepat 3 (tiga) hari sejak rapat pertama. Rapat kedua sah apabila dihadiri oleh lebih dari 50% jumlah anggota pembina. Keputusan diambil melalui suara terbanyak dari jumlah anggota yang hadir.
3.      Prosedur Perubahan Akta Yayasan
Prosedur perubahan akta pendirian Yayasan harus memperhatikan ketentuan formal dalam UU Yayasan. Yakni Pasal 18 Ayat (1), harus dilakukan terlebih dahulu melalui rapat pembina. Pada waktu rapat pembina harus minimal dihadiri 2/3 dari jumlah anggota pembina. Untuk melakukan perubahan akta pendirian Yayasan tersebut harus dilakukan oleh Notaris dan dibuat dalam bahasa Indonesia.
Jika kesepakatan dalam rapat pembina telah bulat, maka selanjutnya untuk menyampaikan perubahan akta itu kepada Menteri Hukum dan HAM adalah Notaris. Setelah adanya persetujuan dari Menteri Hukum dan HAM, maka sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 24 Ayat (1), bahwa terhadap akta pendirian Yayasan yang telah disahkan sebagai badan hukum atau perubahan Anggaran Dasar yang telah disetujui, wajib diumumkan dalam Tambahan Berita Negara (TBN) Republik Indonesia.
Kemudian untuk melakukan pengumuman perubahan akta sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) diajukan permohonannya oleh Pengurus Yayasan atau kuasanya kepada Kantor Percetakan Negara Republik Indonesia dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal akta pendirian Yayasan yang disahkan atau perubahan AD yang disetujui. Dengan demikian bahwa permohonan pengumuman dalam Tambahan Berita Negara (TBN) Republik Indonesia dapat diajukan secara langsung atau dikirim melalui surat tercatat.
Menurut Rita M, prosedur perubahan akta Yayasan dapat dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut:
1.      Pendiri atau kuasanya mengajukan permohonan perubahan AD kepada Menteri dengan mengirimkan surat permohonan perubahan AD;
2.      Perubahan AD tersebut kemudian disetujui oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Persetujuan perubahan itu, paling lambat dilakukan atau diberikan 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan AD diterima. Jika permohonan perubahan AD ditolak, harus diberi tahu secara tertulis kepada pendiri Yayasan.
Dalam surat permohonan tersebut, wajib melampirkan alasan-alasan penolakan permohonan. Umumnya, alasan penolakan permohonan terkait erat dengan adanya cacat hukum dalam perubahan AD Yayasan.
KESIMPULAN
            Perubahan akta pendirian Yayasan setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 junto Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan (UU yayasan) dimaksudkan agar Yayasan yang sudah ada sebelum lahirnya UU Yayasan supaya memiliki status sebagai badan hukum yang sama dengan Yayasan yang didirikan setelah keluarnya UU Yayasan tersebut. Dengan pengesahan Yayasan sebagai badan hukum, maka perbuatan organ-organ seperti pengurus, pembina, dan pengawas, dalam menjalankan tugasnya mengelola Yayasan harus bertanggung jawab atas segala tindakannya berdasarkan pertanggungjawaban layaknya sebuah badan hukum. Perlu dilakukakan pembedaan antara Yayasan yang kekayaannya dari negara atau yang mengelola dana bantuan negara ataupun dana masyarakat dengan Yayasan yang sifatnya pribadi dengan sumber kekayaan dari harta pribadi dan sumber keuangan rutinnya dari sumbangan perusahaan milik pribadi pendirinya.

Minggu, 31 Juli 2011

PEMIDANAAN PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI

Terhadap pelaku tindak pidana korupsi terhadap keuangan suatu negara, harus diupayakan pemberantasan dan penanggulangannya melalui kebijakan-kebijakan pidana dan pemidanaan. Barda Nawawi Arief, mengatakan, “pedoman pemidanaan dimaksudkan sebagai jembatan untuk menginformasikan prinsip-prinsip atau ide-ide yang melatar belakangi disusunnya konsep antara lain ide untuk mengefektifkan penggabungan jenis sanksi yang lebih bersifat pidana dengan jenis sanksi yang bersifat tindakan”. Pernyataan Barda di atas, dipertegas Mahmud Mulyadi  dan Feri Antoni Surbakti yang mengatakan:
Pentingnya menginformasikan secara sistematis mengenai prinsip-prinsip atau ide-ide dasar “sistim dua jalur” atau double track system. Menetapkan jenis sanksi, tidak hanya meliputi sanksi pidana tetapi sanksi tindakan. Penekanan kesetaraan sanksi pidana dan sanksi tindakan dalam kerangka double track system, sesungguhnya terkait bahwa unsur pencelaan lewat sanksi pidana dan unsur pembinaan melalui sanksi tindakan memiliki kedudukan yang sama pentingnya.
Hukum pidana mengenal adanya sanksi pidana (straf) dan tindakan (maatregel). Bagian dari pemidanaan adalah penerapan sanksi pidana (straf) bukan tindakan (maatregel), akan tetapi menurut Jan Remmelink, terkadang penerapan tindakan (maatregel) dalam praktiknya sering jga menimbulkan penderitaan terhadap pelaku. Salah satu tujuan pemidanaan adalah untuk menjadikan efek jera pelaku tindak pidana. Pemidanaan dimaksud dalam hal ini adalah penerapan sanksi pidana (straf) terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Penerapan sanksi pidana dalam pemidanaan merupakan suatu penghukuman bagi pelaku agar menjadikan efek jera terhadap pelaku. Pandangan Jan Remmelink dalam penerapan sanksi pidana lebih menitikberatkan kepada perbuatan pembalasan atau penderitaan yang dijatuhkan kepada penguasa terhadap seseorang yang melanggar pidana.
Tujuan pemidanaan dalam penerapan sanksi pidana selama ini selalu berkaitan dengan peraturan perundang-undangan. Penerapan sanksi pidana tidak mengurangi terjadinya kejahatan, justru menambah kejahatan. Dengan demikian, muncul teori-teori pemidanaan yang menekankan kepada tindakan (maatregel). Teori pemidanaan dikenal dalam hukum pidana yaitu teori retributif (absolut), teori relatif (teori tujuan), teori gabungan, teori pengobatan (treatment), teori tertib sosial (social defence), dan teori restoratif (restorative).
Teori retributif (absolute) menekankan pembalasan karena pelaku kejahatan dianggap layak menerima sanksi pidana atas kejahatan yang dilakukannya. Teori retributif (absolute) dalam perkembangan kemudian menimbulkan masalah sebab semakin diberikan sanksi pidana, kejahatan justru meningkat. Muncul teori yang menedepankan apa sebenarnya tujuan atau apa sebenarnya yang dicari dalam pemberian sanksi pidana. Teori semacam ini disebut teori relatif (teori tujuan). Teori relatif ini muncul sebagi protes terhadap teori retributif (absolute). Teori relatif berorientasi pada upaya pencegahan terjadinya tindak pidana. Orientasi teori relatif mengedepankan tujuan mencegah, menimbulkan rasa takut, dan memperbaiki yang salah.
Teori pengobatan (treatment) memandang bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan kepada perbuatannya. Pemidanaan dimaksud adalah untuk memberi tindakan perawatan atau pengobatan (treatment) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. Alasannya adalah didasarkan kepada alasan bahwa pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga dibutuhkan tindakan perawatan atau pengobatan.
Teori tertib sosial (social defence) terbagi dua yaitu aliran radikal dan aliran moderat. Aliran radikal memandang ”hukum perlindungan sosial harus menggantikan hukum pidana yang ada sekarang”. Aliran ini masih mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya. Aliran moderat memandang bahwa setiap masyarakat mensyaratkan tertib sosial dalam seperangkat peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan bersama, tetapi sesuai dengan aspirasi warga masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, peranan yang besar dari hukum pidana merupakan kebutuhan yang tidak dapat dielekkan dalam suatu sistim hukum.
Teori restoratif (restorative) mamandang adanya perlindungan secara berimbang terhadap hak-hak dan kepentingan pelaku dan korban tindak pidana, masyarakat dan negara, sehingga dewasa ini dikenal dengan adanya peradilan restoratif sebagai konsep peradilan yang menghasilkan keadilan restoratif. Keadilan restoratif merupakan produk peradilan yang berorientasi pada upaya untuk melakukan perbaikan-perbaikan atau pemulihan dampak-dampak kerusakan atau kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan-perbuatan yang merupakan tindak pidana. Konstruksi pemikiran peradilan restoratif dan keadilan restoratif yang dihasilkannya, perlindungan hak-hak dan kepentingan korban tindak pidana tidak semata-mata berupa perlakuan yang menghargai hak-hak asasi para korban tindak pidana dalam mekanisme sistem peradilan pidana, melainkan juga mencakup upaya sistematis untuk memperbaiki dan memulihkan dampak kerusakan atau kerugian yang ditimbulkan oleh perbuatan pelaku tindak pidana baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat emosional.
Lilik Mulyadi mengatakan, implementasi dari teori restoratif salah satunya adalah pengembalian aset pelaku tindak pidana korupsi berupa tindakan hukum pidana, gugatan perdata berupa perampasan in rem yaitu tindakan negara mengambil alih aset melalui putusan pengadilan dalam perkara perdata berdasarkan bukti-bukti yang lebih kuat bahwa aset tersebut diduga berasal dari tindak pidana atau digunakan untuk tindak pidana maupun kerja sama internasional dalam bantuan timbal balik masalah pidana (mutual assistance in criminal matters) antara negara korban korupsi atau negara asal (country of origin) dan negara penyimpan aset korupsi atau negara ketempatan (custodial state).
Pandangan dalam teori restoratif adalah memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. J. Andeneses mengatakan teori ini dapat juga disebut sebagai teori perlindungan masyarakat (the theori of social defence). Berdasarkan pandangan J. Andeneses di atas, mengarahkan pemikiran bahwa selain teori restoratif yang dapat dijadikan dasar dalam pengembalian dan pemulihan aset hasil tindak pidana korupsi, teori perlindungan masyarakat (the theori of social defence) atau teori tertib sosial dapat juga sebagai landasan dalam perampasan aset korupsi. Sedangkan teori retributif (absolut), teori relatif (teori tujuan), teori gabungan, teori pengobatan (treatment) sebagaimana telah dijelaskan di atas, tidak cocok digunakan dalam pembahasan perampasan aset korupsi.
Justifikasi teoretis perampasan aset secara filosofis, argumentasinya adalah pengembalian aset pelaku tindak pidana korupsi dapat terdiri dari benda tetap maupun benda bergerak atau dapat pula berupa uang hasil korupsi baik yang berada di dalam negeri (Indonesia) maupun di luar negeri. Aset tersebut hakikatnya merupakan uang negara in casu adalah berasal dari dana masyarakat. StAR pada negara-negara berkembang mengalami hambatan karena tidak adanya regulasi yang mengatur perampasan harta benda tanpa melalui proses peradilan pidana (non conviction base) sehingga diperlukan adanya pengaturan non conviction base stolen asset recovery yang mengatur mekanisme hukum tentang pembekuan (freezing), perampasan (seizure) dan penyitaan (confiscation) harta benda tanpa perlu dibuktikan keterlibatan dalam perkara pidana dimana proses ini dalam RUU Perampasan Aset Tindak Pidana Korupsi Indonesia Tahun 2008 dikenal tindakan berupa penelusuran, penggeledahan, pemblokiran, penyitaan dan perampasan yang berupa perampasan in rem dan perampasan pidana. Logikanya dengan pelaku melakukan pengembalian aset diharapkan akan berdampak langsung untuk memulihkan keuangan negara atau perekonomian negara yang akhirnya bermuara kepada kesejahteraan dan keadilan masyarakat.


TENTANG CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR)

Konsep CSR sudah ada sejak kerajaan Babilonia di Yunani hingga dalam sejarah modern semakin dikenal sejak Howard R. Bowen menerbitkan bukunya berjudul Social Responsibilities of The Businessman pada era 1950-1960 di Amerika Serikat. Pengakuan publik terhadap prinsip-prinsip tanggung jawab sosial yang beliau kemukakan membuat dirinya dinobatkan secara aklamasi sebagai Bapak CSR. Bahkan dalam dekade 1960-an, pemikiran Howard terus dikembangkan oleh berbagai ahli sosiologi bisnis lainnya seperti Keith Davis yang memperkenalkan konsep Iron Law of Social Responsibility. Suhandari M. Putri mengenai CSR menyatakan adalah, ”Komitmen perusahaan atau dunia bisnis untuk berkontribusi dalam pengembangan ekonomi yang berkelanjutan dengan memperhatikan tanggung jawab sosial perusahaan dan menitikberatkan pada keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomis, sosial, dan lingkungan”. 
Pada dasarnya, CSR merupakan tanggung jawab perusahaan terhadap para pemangku kepentingan (stakeholders), dan juga tanggung jawab perusahaan terhadap para pemegang saham (shareholders). Dewasa ini pengertian CSR masih beraneka ragam dan memiliki perbedaan defenisi antara satu dengan yang lainnya. Secara global bahwa CSR adalah suatu komitmen perusahaan perusahaan adalah memiliki suatu tanggung jawab terhadap konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas dan lingkungan dalam segala aspek operasional perusahaan. CSR berhubungan erat dengan “pembangunan berkelanjutan”, dimana ada argumentasi bahwa suatu perusahaan dalam melaksanakan aktivitasnya harus mendasarkan keputusannya tidak semata berdasarkan faktor keuangan, misalnya keuntungan atau deviden melainkan juga harus berdasarkan konsekuensi sosial dan lingkungan untuk saat ini maupun untuk jangka panjang.
Defenisi CSR menurut Edi Suharto, adalah “kepedulian perusahaan yang menyisihkan sebagian keuntungannya (profit) bagi kepentingan pembangunan manusia (people) dan lingkungan (planet) secara berkelanjutan berdasarkan prosedur (procedure) yang tepat dan profesional”. Defenisi CSR menurut Ismail Solihin, adalah “salah satu dari bentuk tanggung jawab perusahaan terhadap pemangku kepentingan (stakeholders)”. CSR dalam buku Gunawan Widjaja dan Yeremia Ardi Pratama dalam bukunya yang berjudul “Resiko Hukum & Bisnis Perusahaan Tanpa CSR”, belum mendefenisikan CSR dengan pendapat sendiri, tetapi dalam buku tersebut mendefenisikan CSR merujuk kepada isi Pasal 1 Butir 3 UUPT, dimana bahwa TJSL merupakan suatu kewajiban.
Reza Rahman memberikan 3 (tiga) defenisi CSR sebagai berikut:
1.   Melakukan tindakan sosial (termasuk kepedulian terhadap lingkungan hidup, lebih dari batas-batas yang dituntut dalam peraturan perundang-undangan;
2.   Komitmen usaha untuk bertindak secara etis, beroperasi secara legal, dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup karyawan dan keluarganya, komunitas lokal, dan masyarakat yang lebih luas; dan
3.   Komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan karyawan perusahaan, keluarga karyawan tersebut, berikut komunitas setempat (local) dan masyarakat secara keseluruhan dalam rangka meningkatkan kualitas hidup;
CSR menurut Merrick Dodd menyatakan, bahwa CSR adalah “suatu pengertian terhadap para buruh, konsumen dan masyarakat pada umumnya dihormati sebagai sikap yang pantas untuk diadopsi oleh pelaku bisnis….”. Saleem Sheikh menjelaskan bahwa “CSR merupakan tanggung jawab perusahaan, apakah bersifat sukarela atau berdasarkan undang-undang, dalam pelaksanaan kewajiban sosial-ekonomi di masyarakat”. Salem Sheikh mengamati bahwa CSR meliputi 2 (dua) hal yang utama dalam corporate philanthropy (filantropi korporasi), yang Pertama, perusahaan melakukan peranan jasa sosial, Kedua, melaksanakan trusteeship principle (prinsip perwalian), dimana direksi bertindak sebagai wali bagi pemegang saham, kreditur, buruh, konsumen dan komunitas yang lebih luas.
Ramon Mullerat menggambarkan CSR sebagai konsep bahwa perusahaan secara sukarela sebagai penghargaan kepada stakeholders yang lebih luas memberikan kontribusi terhadap lingkungan hidup lebih bersih, kehidupan masyarakat lebih baik melalui interaksi aktif dengan semua pihak. S. Zadek, M. Fostater dan P. Raynard membagi CSR ke dalam 3 (tiga) generasi yakni mulai dari yang sifatnya sekedar filantropis, menjadi  bagian  yang  tidak terpisahkan dari strategi bersaing jangka panjang perusahaa, serta yang terakhir yang lebih maju lagi, yakni yang berorientasi pada advokasi dan kebijakan publik.
The World Business Council of for Sustainable Development (WBSCSD) juga menggambarkan CSR sebagai “busines” commitment to contribute to sustainable economic development,  working with employees, their, the local community, and society at large to improve their quality  of life. (komitmen bisnis untuk memberikan kontribusi pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, bekerja sama dengan pegawai, keluarganya, komunitas lokal dan masyarakat luas untuk meningkatkan kualitas hidup bersama).
Menurut defenisi The Jakarta Consulting Group, CSR diarahkan baik ke dalam (internal) maupun keluar (eksternal) perusahaan. Tanggung jawab internal (Internal Responsibilities) diarahkan kepada pemegang saham dalam bentuk profitabilitas yang optimal dan pertumbuhan perusahaan, termasuk juga tanggung jawab yang diarahkan kepada karyawan terhadap kontribusi mereka kepada perusahaan berupa kompensasi yang adil dan peluang pengembangan karir. Sedangkan tanggung jawab eksternal (External Responsibilities) berkaitan dengan peran serta perusahaan sebagai pembayar pajak dan penyedia lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan dan kompetisi masyarakat, serta memelihara lingkungan bagi kepentingan  generasi mendatang.
Magnan dan Ferrel juga memberikan defenisi CSR yaitu “A business acts in socially responsible manner when its decision and account for and balance diverse stake holder interest.” Defenisi ini menekankan kepada perlunya memberikan perhatian secara seimbang terhadap kepentingan berbagai pihak stakeholders yang beragam dalam setiap keputusan yang diambil oleh pelaku bisnis melalui perilaku yang secara sosial bertanggung jawab.
Versi lain mengenai defenisi CSR diberikan oleh World Bank. Lembaga keuangan global ini memandang CSR sebagai ”the commitment of business to contribute to sustainable economic development working with employees and their representative the local community and society at large to improve quality of life, in ways that are both good for business and good for development.” (yaitu komitmen bisnis dalam memberikan kontribusi untuk pembangunan ekonomi berkelanjutan bekerjasama dengan para pegawai dan melibatkan komunitas lokal serta masyarakat luas untuk meningkatkan kualitas hidup, yang mana cara-cara ini baik untuk bisnis dan pembangunan). CSR Forum juga memberikan definisi, “CSR mean open and transparent business practices that are based on ethical values and respect for employees, communities and environment..” (CSR berarti praktek bisnis yang terbuka dan transparan berdasarkan nilai-nilai etis dan penghargaan bagi para pegawai, komunitas dan lingkungan). Sementara sejumlah negara juga mempunyai defenisi tersendiri mengenai CSR. Uni Eropa (EU Green Paper on CSR) mengemukakan bahwa “CSR is a concept where by companies integrate social and environmental concerns in their business operations and in their interaction with their stakeholders on a voluntary basic.” (CSR  adalah  suatu  konsep  dimana  perusahaan mengintegrasikan keprihatinan terhadap lingkungan dan sosial terhadap kegiatan bisnis dan interaksi mereka dengan stakeholders mereka berlandaskan dasar sukarela).
Defenisi CSR secara etimologis di Indonesia kerap diterjemahkan sebagai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL). Namun setelah tanggal 16 Agustus 2007, CSR di Indonesia telah diatur melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menggantikan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas yang selanjutnya disingkat UUPT bahwa CSR yang dikenal dalam undang-undang ini sebagaimana yang termuat dalam Pasal 1 Ayat 3 yang berbunyi, “Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.”
Dari berbagai defenisi CSR yang beragam diungkapkan oleh para ilmuan tersebut di atas, maka peneliti menyatakan konsep yang perlu dipahami tentang CSR ini, yakni CSR menawarkan sebuah kesamaan dalam bentuk keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomis dan perhatian terhadap aspek sosial serta lingkungan. Selain itu, ada beberapa isu yang terkait dengan CSR antara lain Good Corporate Governance (GCG), Sustainable Development, Protokol Kyoto, Millenium Development Goals (MDGs) dan Triple Bottom Line.
Good Corporate Governance (GCG) atau tata kelola perusahaan yang baik diperlukan agar perilaku bisnis mempunyai arahan yang baik. Intinya, GCG merupakan sebuah sistem  dan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara berbagai pihak yang berkepentingan terutama dalam arti sempit hubungan antara pemegang saham dan dewan komisaris serta dewan direksi demi tercapainya tujuan korporasi. Dalam arti luas mengatur hubungan seluruh kepentingan stakeholders dapat dipenuhi secara proporsional. Dalam hal ini sedikitnya ada 5 (lima) prinsip GCG yang dapat dijadikan pedoman bagi para pelaku bisnis yaitu, Transparency (Keterbukaan Informasi), Accountability (Akuntabilitas), Responsibility (Pertanggungjawaban), Independency (Kemandirian), Fairness (Kesetaraan dan Kewajaran). Adapun hubungan antara GCG dengan CSR terdapat pada prinsip responsibility yang merupakan prinsip yang paling dekat dengan CSR. Dalam prinsip ini, penekanan yang signifikan diberikan kepada stakeholders perusahaan. Penerapan prinsip ini diharapkan perusahaan dapat menyadari bahwa dalam kegiatan operasionalnya seringkali menghasilkan dampak eksternal yang harus ditanggung oleh stakeholders. Oleh sebab itu, wajar bila perusahaan juga memperhatikan kepentingan dan nilai tambah bagi stakeholders-nya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penerapan CSR merupakan salah satu bentuk implementasi dari konsep GCG. Sebagai entitas bisnis yang bertanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungannya, perusahaan memang mesti bertindak sebagai good citizen yang merupakan tuntutan dari good business ethics.
CSR juga dapat ditelusuri melalui konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Konsep ini secara sederhana didefenisikan sebagai pembangunan atau perkembangan yang memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa membahayakan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Istilah pembangunan berkelanjutan mulai popular setelah terbitnya buku “Silent Spring” karangan Rachel Carson. Sejak saat itu, perhatian terhadap permasalahan lingkungan semakin berkembang dengan dilakukannya berbagai konferensi antara lain Konferensi Lingkungan Hidup di Stockholm (1972), KTT Bumi di Rio de Janeiro (1992), KTT Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg (2002) dan konferensi lainnya yang masih terus dilakukan oleh berbagai Negara untuk menangani permasalahan global secara bersama dimana isu yang membahas pembangunan berkelanjutan yang didasarkan atas perlindungan lingkungan hidup, pembangunan ekonomi dan sosial selalu menjadi agenda pertemuan. Hal ini juga merupakan konsep CSR yang selanjutnya berkembang di berbagai negara.
Dalam Protokol Kyoto yang dideklarasikan di Jepang, juga membahas isu global yang berkaitan dengan peningkatan suhu bumi akibat efek gas rumah kaca atau Green Houses Gases (GPGs). Peranan seluruh Negara diharapkan dalam menjaga laju pemanasan global akibat peningkatan emisi gas rumah kaca tersebut. Kontribusi emisi gas rumah kaca tersebut ternyata didominasi oleh perusahaan-perusahaan multinasional di berbagai negara terutama Amerika Serikat sebagai kontributor emisi terbesar dunia. Hal ini semakin menyadarkan para pelaku bisnis untuk berkomitmen menerapkan CSR demi kepentingan bersama.
Pada Tahun 2000, dilaksanakan KTT  Millennium (Millennium Summit) sebagai wujud dari kepedulian dunia terhadap kemiskinan dengan lahirnya United Millennium Declaration yang berupa Millennium Development Goals/MDGs. Tujuan dari MDGs antara lain menghapuskan tingkat kemiskinan, pencapaian pendidikan dasar secara universal, serta menjamin berlanjutnya pembangunan lingkungan. Maka, jelas hal ini juga dapat diwujudkan melalui CSR sebagai bagian untuk pencapaian MDGs.
Triple Bottom Line dipopulerkan oleh John Elkington pada tahun 1997 melalui bukunya “Cannibals with Forks, the Triple Bottom Line of Twentieth Century Business”. Elkington mengembangkan konsep Triple Bottom Line (disingkat TBL) dalam istilah economic prosperty, environmental quality dan social justice. Elkington memberi pandangan bahwa perusahaan yang ingin berkelanjutan harus memperhatikan 3P. Selain mengejar Profit, perusahaan juga harus memperhatikan dan terlibat pada pemenuhan kesejateraan masyarakat (People) dan turut berkontribusi aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (Planet). Dalam gagasan tersebut, perusahaan tidak lagi dihadapkan pada tanggung jawab yang berpijak pada single bottom line, yaitu aspek ekonomi yang direfleksikan dalam kondisi financial-nya saja, namun juga harus memperhatikan aspek sosial dan lingkungan. Aliran pemikiran yang semakin diminati dan semakin punya daya tarik untuk masa yang akan datang adalah aliran yang meyakini bahwa kondisi keuangan saja tidak cukup menjamin nilai perusahaan tumbuh secara berkelanjutan (sustainable).
            Di Indonesia, CSR lebih dikenal dengan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) sebagaimana yang sudah termuat dalam UUPT. Dengan keberadaan UUPT tersebut membuat kegiatan atau program TJSL menjadi wajib. Ketentuan itu terdapat dalam Pasal 74 Ayat (1). Konsep CSR juga telah banyak berkembang di negara lain dan Indonesia mengadopsi CSR yang awalnya berkembang di negara kapitalis karena menilai hal ini perlu diatur mengingat semakin besarnya jumlah perusahaan di Indonesia yang menjalankan CSR setengah hati disertai kerusakan lingkungan yang semakin parah. Jika melihat sasaran CSR yang memperhatikan aspek lingkungan dan sosial maka kedua aspek tersebut yang memiliki kecenderungan sebagai latar belakang pengaturan CSR di Indonesia yang lebih dikenal dengan TJSL.