Kamis, 01 Desember 2011

ANALISIS TERHADAP BEBERAPA PRAKTIK INSIDER TRADING

Oleh: Bisdan Sigalingging[*]

Salah satu teori yang melandasi larangan terhadap praktik insider trading dalam Pasar Modal dikenal dengan asymetris information theory yang mengatakan “orang dalam lebih dahulu mengetahui informasi dari pada orang luar”. Tentunya jika orang dalam menggunakan informasi yang lebih lebih dahulu diketahuinmya itu untuk kepentingan pribadinya atau kolektif dapat dikategorikan sebagai suatu perbuatan yang dilarang. Secara philosofis larangan terhadap orang dalam menggunakan informasi yang telah diketahuinya lebih dahulu itu pada hakikatnya untuk membuat adil bagi setiap pelaku bisnis dalam pasar modal. Berikut ini tiga contoh kasus dianalisis:

1.      KASUS CHIARELLA
Chiarella adalah seorang karyawan perusahaan Pandick Press (perusahaan percetakan) yang mencetak surat-surat berharga di bidang perdagangan dan keuangan. Chiarella mengetahui isi dokumen-dokumen yang dicetak ternyata dokumen rahasia tentang rencana take over sebuah perusahaan. Chiarella memanfaatkan rencana take over itu dengan membeli saham perusahaan yang akan take over. Ketika Chiarella membeli saham yang akan di-take over, harga sahamnya masih murah hingga Chiarella memperoleh keuntungan pada saat informasi take over disampaikan, karena harga saham perusahaan ketika dilakukan take over akan menjadi naik.
Atas perintah SEC, Chiarella pun ditangkap dan dituntut atas dasar Section 10 (b) The 1933 Act dan Rule 10b-5 ‘34 yang melarang penipuan dalam perdagangan saham. Pertimbangan dari Hakim Powel pada kasus Chiarella melalui Putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat (Chiarella versus United States) memutuskan dengan pertimbangan “seseorang yang mempelajari dokumen rahasia sebuah perusahaan dalam hubungannya dengan pembelian atau penjualan saham sebelum saat informasi disampaikan kepada publik adalah termasuk dalam perbuatan melanggar hukum”.
Menurut hukum pasar modal Amerika Serikat pada kasus Chiarella menentukan kategori insider adalah orang yang menggunakan informasi non public dan orang tersebut mempunyai fudiciary duty dengan perusahaan. Namun oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat, Chiarella tidak dikategorikan sebagai insider dan tidak dapat diberikan sanksi larangan insider trading.
Chiarella dibebaskan dari tuntutan hukum dan hanya dikenakan sanksi “pengembalian uang atau ganti rugi” yang didasarkan kepada tord. Chiarella hanya dikenakan sanksi untuk mengembalikan kerugian akibat perbuatannya atas dasar bahwa pada posisi Chiarella sebagai karyawan perusahaan percetakan memiliki hubungan kepercayaan (fiduciary duty) secara tidak langsung dengan perusahaan yang akan take over tersebut karena pihak perusahaan yang akan melakukan take over menggunakan jasa percetakan yang seharusnya perusahaan percetakan itu bersama karyawannya harus merahasiakan isi dokumen-dokumen perusahaan dimaksud. Tindakan Chiarella yang memanfaatkan dokumen rahasia perusahaan termasuk menegasi atau melawan sebuah teori yaitu teori penyalahgunaan (misappropriation theory) yang mengatakan bagi siapapun dilarang untuk menggunakan suatu informasi yang bukan miliknya untuk digunakan demi kepentingan pribadi ataupun kepentingan kolektif.
Jika dibandingkan dengan ketentuan dalam Pasal 95 UUPM dan penjelasannya menetapkan insider masih menganut kategori traditional insiders. Ketentuan ini menetapkan kategori  insider mutlak” yang berarti hanya orang-orang yang bekerja dalam perusahaan dan terafiliasi dengan perusahaan sedangkan dalam hal misalnya kasus Chiarella dikaitkan dengan UUPM perbuatan Chiarella tidak termasuk insider trading karena tidak terkait dengan apa yang dimaksud dengan hubungan kepercayaan (fiduciary duty).

2.      KASUS CARPENTER
Apabila sebuah tulisan dalam kolom media menilai entitas sebuah perusahaan yang akan listing dengan prospek ke depannya baik, harga sahamnya akan cenderung membaik demikian sebaliknya apabila tulisan itu menilai perusahaan yang akan listing di bursa saham dengan prospek ke depannya suram atau buruk, harga sahamnya dapat dipastikan akan menurun. Seperti itulah yang terjadi dalam  kasus  Carpenter atas terdakwa R. Foster Winans sebagai penulis ternama dan handal di The Wall Street Journal yang menulis “Heard on the Street Column” tentang hasil penilaian dan analisisnya terhadap kondisi perusahaan tertentu yang akan segera melakukan listing di bursa saham Amerika Serikat.
Ekspose tulisan R. Foster Winans sebagai penulis ternama dan handal di The Wall Street Journal menulis “Heard on the Street Column,” dalam sebuah kolom dapat mempengaruhi harga saham dari perusahaan yang dinilai. Pada esensinya sebenarnya Winans memanfaatkan peluang akan mendapatkan untung besar dari perusahaan yang akan listing untuk kepentingan dirinya sendiri dengan cara bersekongkol dengan temannya dan memberitahukan isi dalam kolom tersebut kemudian menganjurkan temannya itu untuk melakukan transaksi saham sebelum listing di bursa. Akibat persekongkolan itu mereka memperoleh keuntungan besar dari transaksi tersebut. Praktik Winans oleh SEC dituduh melakukan insider trading berdasarkan tuduhan bahwa Winans menyalahgunakan informasi milik The Wall Street Journal untuk kepentingan pribadinya.
Teori yang mendasari tuduhan terhadap Wianans oleh Pengadilan adalah misappropriation theory yang menyatakan Winans melakukan penipuan  melalui The Wall S treet Journal sehingga menetapkan Winans melanggar ketentuan insider trading. Penerapan misappropriation theory diterapkan oleh Pengadilan USA dalam kasus Carpenter versus United States. Dengan mendasarkan pada misapprotiation theory, menetapkan kategori seseorang melakukan pelanggaran didasarkan karena:
a.       Melakukan penyalahgunaan materiel nonpublic information;
b.      Termasuk orang yang tidak mempunyai hubungan dari suatu trust dan confidence;
c.       Informasi itu digunakan untuk perdagangan saham; dan
d.      Termasuk orang yang mempunyai kewajiban kepada pemegang saham dan perdagangan saham.
Pada putusan kasus Carpenter yang menerapkan konsep hukum berdasarkan misappropriation theory tidak menganut lagi konsep hukum SEC yang menentukan kategori insider berdasarkan adanya fiduciary duty seperti  yang diterapkan dalam kasus Chiarella.
Jika dikaitkan putusan atas kasus Chiarella dengan Carpenter menunjukkan suatu hal bahwa tidak ada kepastian hukum dalam hukum pasar modal Amerika Serikat. Inilah menurut Jeremy Bentham sebagai penganut paham utilitarianisme disebutnya sebagai hukum anjing. Mengenai hal ini petikannya:

Meski pun sudah dialami manfaat dari utilitarisme bukan berarti utilitarisme secara teoritis tidak memiliki masalah. Jika semua yang dikategorikan sebagai baik hanya diperoleh dari manfaat terbanyak bagi orang terbanyak, maka apakah akan ada orang yang dikorbankan? Anggap saja ada anjing gila, anjing tersebut suka menggigit orang yang lewat. 7 dari 10 orang menyarankan anjing tersebut dibunuh sedangkan 3 lainnya menyarankan jangan dibunuh. Penganut utilitarisme akan menjawab tentu yang baik jika anjing itu dibunuh. Lalu saran 3 orang tadi dikemanakan? Apakah mereka harus menerima itu begitu saja? Kalau menurut teori ini YA. Kasus di atas hanyalah sebatas anjing bagaimana jika manusia? Bukan tidak mungkin hal ini terjadi bahkan sudah terjadi, tentu dalam perkembangan peradaban ada sejarah diskriminasi rasmau pun etnis. Kasus diskriminasi ras kulit hitam dan diskriminasi etnis Tionghoa sebelum tahun1997 tampaknya tidak terdengar asing lagi di telinga. Salah satu sebab mereka didiskriminasikan karena mereka minoritas, sementara mayoritas berhak atas mereka. Oleh utilitarisme hal ini dibenarkan selama diskriminasi membawa manfaat. Dibalik kengerian dari aplikasi teori utilitarisme ini, ada pula hal yang melegakan. Salah satunya adalah ketika berkenaan dengan bisnis dan keuangan. Perhitungan ala utilitaris ini dapat berlaku sebagai tinjauan atas keputusan yang akan diambil. Mengingat dalam keuangan yang ada kebanyakan adalah angka-angka, jadi keputusan dapat diambil secara mudah berdasarkan jumlah terbanyak bagi manfaat terbanyak. Teori ini juga dikatakan sebagai konsekuensionalisme karena segala keputusan diambil atas tinjauan konsekuensi. Konsekuensi paling menguntungkan adalah konsekuensi yang akan diambil.  

Tampaknya penerapan hukum pasar modal Amerika Serikat pada kasus Carpenter melihat kepada asas manfaat terbanyak dari dari banyak orang. Mungkin oleh karena teori inilah mendasari bahwa walaupun Carpenter tidak termasuk insiders akan tetapi jika perbuatannya itu dihukum akan membawa manfaat terbanyak dari banyak orang.  Kategori insiders yang terdiri dari komisaris, direktur, pemegang saham utama dan karyawan perusahaan adalah contoh klasik dari seseorang  yang mempunyai fiduary duty atau yang disebut dengan traditional insiders.
Jika dibandingkan dengan konsep hukum yang menentukan seseorang dikategorikan insider di Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 95 UUPM jelas bahwa dalam Pasal 95 UUPM menganut teori fiduciary duty seperti putusan kasus Chiarella. Lalu bagaimana kesiapan UUPM jika terjadi kasus yang sama dengan Carpenter di Indonesia???
Perlu pasal tersebut dikaji ulang untuk diterapkan ketentuannya dengan perkembangan penentuan kategori insider sesuai dengan misappropriation theory di dalam peraturan pasar modal di Indonesia (UUPM).

3.      KASUS TEXAS GULF SULPHUR Co (TGS Co)
Penerapan teori kemungkinan (propability theory) misalnya dapat dilihat dari kasus SEC versus Texas Gulf Sulphur Co, 401 F.2d 833 (1968) (TGS Co) di Amerika Serikat. Informasi material yang berhubungan dengan pengeboran barang-barang tambang oleh perusahaan TGS di Timmins (Ontario) dan informasi itu belum di-disclose untuk publik. Pegawai TGS Co Darke dan Coates (seorang ahli geologi) mengetahui adanya berbagai macam barang tambang di setiap kali pengeboran dilakukan di tempat yang berbeda. Informasi yang bersifat rahasia itu oleh pegawai TGS Co Darke dan Coates dibuka dan disampaikan serta merekomendasikannya kepada beberapa manajemen TGS Co.
Pada tanggal 12 Nopember 1963 TGS Co melakukan penggeboran (eksplorasi) bijih besi atau bahan tembaga, perak dan sebagainya, dekat Timmins, Ontario, Canada. Dalam pengeboran tersebut diperoleh indikasi yang sangat menjanjikan dari lobang bor pertama (K-55-1) dalam suatu anomali di sebuah sektor yang dikenal sebagai Kidd-55. Selanjutnya TGS melakukan program pembebasan tanah, dan setelah tanah yang tersedia dibeli, pengeboran dilaksanakan dan dua lobang susulan (K-55-3 dan K-55-4) pada 31 Maret 1964, hasilnya ditemukan bijih besi bernilai tinggi.
Pada tanggal 31 Maret 1964 pengeboran telah selesai dilakukan. Pada tanggal 9 April setelah beberapa hasil tes diselesaikan, berkembanglah informasi mengenai penemuan tersebut. TGS Co membantah informasi temuan itu melalui press release dan mengatakan informasi itu berlebihan lagi pula disebutkan bahwa hasil penelitian belum selesai.
Sebelum di-disclose mereka yang mengetahui informasi itu yakni delapan orang tetap melakukan transaksi saham pada tanggal 12 Nopember dan 16 April 1964. Lima orang menerima opsi saham dari perusahaan tanpa mengungkapkan informasi hasil pengeboran, sementara empat orang menyampaikan informasi pengeboran dan membelinya berdasarkan informasi tersebut selanjutnya dua orang membeli saham pada hari dilangsungkannya konferensi pers tanggal 16 April 1964.
Dihadapan The US Financial Media di New York pada tanggal 16 April 1964 TGS Co mengumumkan secara resmi hasil penemuan di Timmins dalam Press Conference mulai dari jam 10.00 am  sampai dengan jam 10.15 am.  Beberapa menit kemudian barulah berita tersebut dibuka (disclose) ke publik.
Perbuatan kedua pegawai TGS Co Darke dan Coates bersama rekan-rekannya dinilai sebagai perbuatan melanggar hukum. District court berpendapat bahwa dua orang insiders itu telah melanggar Rule 10b-5. Pengadilan USA memutuskan perbuatan kedua pegawai TGS Co Darke dan Coates sebagai insider trading dan terhadap keduanya dikategorikan sebagai orang dalam (insiders). Beberapa orang direksi TGS Co juga dijatuhi hukuman karena melakukan insider trading.
Seharusnya karyawan emiten atau perusahaan publik (employee of the issuer) dikategorikan sebagai insiders yang tentunya memiliki tugas dan kewajiban untuk menjaga loyalitas (duty of loyality) termasuk tanggung jawabnya untuk tidak memanfaatkan keuntungan pribadi atau kolektif dari informasi rahasia (confidential information) yang diperoleh sehubungan dengan pekerjaannya di perusahaan dimaksud.
Penerapan teori kemungkinan (propability theory) di pasar modal Amerika Serikat baru pertama kali diterapkan tepatnya pada kasus antara SEC versus Texas Gulft Sulphur. Berangkat dari pemikiran kemungkinan (probability magnitude) pada kasus TGS Co akhirnya ditetapkan kriteria atau standar materiel yang dirinci dengan pengujian:
a.       Apabila disampaikan kepada publik, dapat mengakibatkan fluktuasi harga saham;
b.      Informasi yang dapat diprediksi oleh orang luar perusahaan (outsiders) melalui keahliannya yang dapat mempengaruhi keputusan untuk berinvestasi;
c.       Fakta materiel tidak hanya terbatas pada sesuatu informasi melainkan dapat pula membawa dampak bagi perusahaan di masa akan datang dan dapat membawa akibat yang mempengaruhi keinginan investor untuk membeli atau menjual saham.
Terhadap perbuatan kedua pegawai TGS Co Darke dan Coates oleh Pengadilan USA dalam mengambil keputusan dengan menggunakan ukuran atau standar material terhadap kasus Texas Gulf Sulphur dan pengadilan berpendapat bahwa informasi yang dihilangkan adalah materiel karena besarnya dan luasnya potensi pelanggaran serta pelanggaran tersebut aktual terjadi di banyak tempat sehingga dimungkinkannya dilakukan tuntutan hukum terhadap kedua pegawai yaitu TGS Co Darke dan Coates.
Untuk menentukan fakta material menurut tes dalam kasus TGS Co bergantung pada keseimbangan indikasi kemungkinan bahwa suatu peristiwa akan terjadi dan antisipasi ukuran dari peristiwa berdasarkan totalitas kegiatan perusahaan. Pengadilan dalam kasus TGS Co menyimpulkan bahwa pengetahuan tentang hasil penemuan mungkin penting terhadap investor yang rasional dan mungkin telah mempengaruhi harga saham.

SEPUTAR PERDAGANGAN ORANG DALAM
(INSIDER TRADING)

Pasal 1 angka 13 UU No.8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (selanjutnya disingkat UUPM) ditentukan bahwa yang dimaksud dengan Pasar Modal adalah suatu kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek.
Orang-orang yang terlibat langsung di dalam Pasar Modal merupakan pihak yang menempati posisi terpenting dan sebagai orang yang dipercaya menjaga rahasia berkenaan dengan dokumen-dokumen perusahaan termasuk orang-orang yang berkedudukan sebagai Komisaris, Pemegang Saham, Perantara, Pialang, Profesi Penunjang Pasar Modal (Konsultan Hukum; Notaris; Penilai; Akuntan publik) dan Karyawan serta orang-orang yang memiliki hubungan dengan insiders yaitu underwriter. Orang-orang yang menempati posisi tersebut disebut sebagai insiders sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 95 UUPM sebagi pihak-pihak yang tergolong insiders adalah:
1.      Emiten atau Perusahaan Publik dimaksud; atau
2.     Perusahaan lain yang melakukan transaksi dengan Emiten atau Perusahaan Publik yang bersangkutan.
Dijelaskan dalam penjelasan Pasal 95 yang dimaksud dengan “orang dalam” dalam termasuk:
  1. Komisaris, direktur, atau pegawai Emiten atau Perusahaan Publik;
  2. Pemegang saham utama Emiten atau Perusahaan Publik;
  3. Orang perseorangan yang karena kedudukan atau profesinya atau karena hubungan usahanya dengan Emiten atau Perusahaan Publik memungkinkan orang tersebut memperoleh informasi orang dalam; atau
  4. Pihak yang dalam waktu 6 (enam) bulan terakhir tidak lagi menjadi Pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, atau huruf c di atas.
Para investor yang berinvestasi dalam pasar modal dapat memperoleh dana segar melalui penjualan efek dalam prosedur pasar perdana atau Initial Public Offering (IPO) dan pasar sekunder, tetapi di dalam pasar modal tidak berarti bahwa kejahatan dan pelanggaran tidak ada, justru tindak kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran dalam pasar modal dapat dilakukan oleh orang-orang dalam yang disebut dengan perdagangan orang dalam (insider trading).
Insider trading adalah praktik penjualan saham yang dilaksanakan oleh orang-orang dalam pasar modal berdasarkan informasi orang dalam yang belum diinformasikan ke publik. Dalam arti lain insider trading adalah praktik penjualan saham yang dilaksanakan oleh orang dalam berdasarkan inside information. Apabila suatu informasi itu sudah di-disclose ke publik, maka informasi tersebut tidak dikatakan lagi sebagai inside information. Atau insider trading bisa juga diartikan transaksi saham berdasarkan bocoran informasi rahasia dari pihak-pihak yang terkait dengan emiten, konsultan perusahaan, atau regulator (insider information). Transaksi seperti ini biasanya melibatkan orang-orang yang menurut aturan tidak boleh melakukan transaksi. Dicontohkan misalnya seorang direksi perusahaan yang memperdagangkan saham perusahaan sendiri.
Perdagangan orang dalam (insider trading) adalah perdagangan efek yang dilakukan mereka yang tergolong “orang dalam” perusahaan (dalam artian luas), perdagangan mana yang didasarkan karena adanya suatu “informasi orang dalam” (inside information) yang penting dan belum terbuka untuk umum, dengan perdagangan mana, pihak insiders tersebut mengharapkan akan mendapatkan keuntungan ekonomi secara pribadi, langsug atau tidak langsung atau yang merupakan keuntungan jalan pintas. Insiders trading dalam bahasa hukum dikategorikan sebagai tindakan memperkaya diri sendiri secara tidak sah atau memiliki apa yang sebenarnya bukan merupakan haknya.
Informasi yang wajib diungkapkan (disclose) adalah fakta materil yang dapat mempengaruhi keputusan investor untuk berinvestasi. Fakta materil merupakan informasi yang relevan mengenai peristiwa, kejadian atau fakta yang dapat mempengaruhi harga efek pada pasar modal atas keputusan pemodal, calon pemodal, dan pihak lain yang berkepentingan atas fakta materil tersebut. Wajib hukumnya fakta materil itu diungkapkan ke publik akan tetapi oleh insiders, fakta materil tersebut terkadang demi kepentingan pribadinya tidak diungkapkan ke publik.
Salah satu prinsip yang bertentangan dengan insdier trading adalah prinsip keterbukaan, karena yang bersangkutan membeli atau menjual saham berdasarkan informasi fakta materil dari orang dalam yang sifatnya tidak terbuka ke publik atau tidak fair yang dapat merugikan pihak lain yang tidak menerima informasi yang sama, sehingga pihak lain tersebut tidak dapat mengambil keputusan untuk membeli atau menjual saham.
Namun, perbuatan insiders dalam pasar modal belum tentu dapat dikatakan melakukan tindak pidana dalam konteks insider trading atau insider trading itu tidak selamanya diasumsikan sebagai kejahatan. Sebagaimana insiders yang membeli saham perusahaan kemudian menjualnya ketika harganya naik, merupakan suatu peristiwa biasa. Adapun hal yang membuatnya menjadi tidak biasa adalah apabila dalam melakukan pembelian dan penjualan saham, insiders itu mendasarkan perbuatannya kepada adanya informasi mengenai fakta materil perusahaan yang belum diinformasikan kepada publik, misalnya tentang rencana perusahaan untuk melakukan merger, atau rencana akan mengakuisisi perusahaan lain yang akan membuat nilai perusahaan itu akan menajdi naik. Perbuatan yang demikian inilah yang dikategorikan sebagai insider trading. Secara teknis, bentuk-bentuk insider trading dibatasi dalam hal:
1.     Pihak yang mengemban kepercayaan secara langsung maupun tidak langsung dari emiten atau perusahaan oknum atau disebut juga sebagai pihak yang berada dalam fiduciary position; dan
2.     Pihak yang menerima informasi orang dalam dari pihak pertama (fiduciary position) atau dikenal dengan tippees.
Insider trading hanya dikenakan terhadap pihak-pihak atau orang-orang yang melakukan perdagangan efek atau sekuritas. Jadi, meskipun pihak penjual atau pembeli tidak memperoleh informasi yang sama tentang suatu barang atau jasa lain yang menjadi objek jual-beli, maka pihak-pihak tersebut tidak dikenakan tuduhan melakukan insider trading. Oleh sebab itu, maka harus ditentukan terlebih dahulu mengenai objek transaksi yang dilakukan itu adalah efek atau sekuritas.

PEMBUKTIAN INSIDER TRADING
Berdasarkan praktiknya sulit untuk dibuktikkan insider trading karena pembuktiannya memerlukan standar pembuktian yang tinggi dan tidak mudah membuktikan ada atau tidaknya insiders itu melakukan insider trading. Banyak contoh kasus pembuktian pelaku insider trading dibebaskan oleh pengadilan karena pengadilan tidak mampu membuktikan kesalahan pelaku.
Pembuktian praktik insider trading dapat dilakukan melalui investigasi para pihak yang dideteksi telah melakukan praktik tersebut dan juga dari pemeriksaan dokumen-dokumen tertulis, termasuk di dalamnya lembaran transaksi elektronik. Dalam dalam Pasal 95 sampai Pasal 99 dan Pasal 104 UUPM diatur larangan perdagangan orang dalam. Aturan ini melarang insiders perusahaan berbadan hukum yang memiliki informasi orang dalam untuk membeli atau menjual saham perusahaan atau perusahaan lain yang bertransaksi dengan perusahaan tersebut. Orang dalam juga dilarang mempengaruhi pihak lain untuk menjual atau membeli saham tersebut. Orang dalam dilarang membocorkan informasi kepada pihak lain yang untuk menggunakannya untuk jual-beli saham tersebut.

----------------




[*] Mahasiswa Semester III Kelas Hukum Bisnis pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan 2011.

Jumat, 23 September 2011

TINDAK PIDANA DESERSI MENURUT HUKUM PIDANA MILITER

Tindak pidana militer adalah tindak pidana yang dilakukan oleh subjek hukumnya yaitu militer. Tindak pidana semacam ini disebut tindak pidana militer murni (zuiver militaire delict). Tindak pidana militer murni adalah suatu tindak pidana yang hanya dilakukan oleh seorang militer, karena sifatnya khusus untuk militer. Contoh: Tindak pidana desersi sebagaimana diatur Pasal 87 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM); tindak pidana insubordinasi sebagaimana diatur dalam Pasal 105-109 KUHPM dan lain-lain. Maksudya tindak pidana insubordinasi ini adalah seorang bawahan dengan tindakan nyata mengancam dengan kekerasan yang ditujukan kepada atasannya atau komandannya. Tindakan nyata itu dapat berbentuk perbuatan dan dapat juga dengan suatu mimik atau isyarat. Tindak pidana meninggalkan pos penjagaan sebagaimana diatur dalam Pasal 118 KUHPM. Maksudya: Penjaga yang meninggalkan posnya dengan semuanya, tidak melaksanakan suatu tugas yang merupakan keharusan baginya dimana dia tidak mampu menjalankan tugasnya sebagai penjaga sebagaimana mestinya diancam dengan pidana penjara maksimal empat tahun.
Tindak pidana yang dilakukan oleh anggota TNI murni militer didasarkan kepada peraturan terkait dengan militer. Anggota TNI yang melakukan tindak pidana murni militer sebagaimana disebutkan dalam hukum pidana militer termasuk kejahatan yakni: kejahatan terhadap keamanan negara; kejahatan dalam pelaksanaan kewajiban perang, kejahatan menarik diri dari kesatuan dalam pelaksanaan kewajiban dinas (desersi); kejahatan-kejahatan pengabdian, kejahatan pencurian, penipuan, dan penadahan, kejahatan merusak, membinasakan atau menghilangkan barang-barang keperluan angkatan perang.
Tindak pidana militer campuran (germengde militaire delict) adalah tindak pidana mengenai perkara koneksitas artinya suatu tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama antara sipil dan militer yang dalam hal ini dasarnya kepada undang-undang militer dan KUH Pidana. Contoh: tindak pidana pencurian yang dilakukan secara bekerja sama antara sipil dan militer; tindak pidana pembunuhan yang korbannya adalah sipil; dan lain-lain. Tindak pidana campuran ini selalu melibatkan subjek hukum yakni sipil baik pelaku maupun sebagai korban tindak pidana.
Salah satu jenis tindak pidana yang menjadi fokus pembahasan dalam penelitian ini adalah tindak pidana desersi. Tindak pidana desersi ini merupakan contoh tindak pidana murni dilakukan oleh militer. Desersi adalah tidak beradanya seorang militer tanpa izin atasannya langsung, pada suatu tempat dan waktu yang sudah ditentukan oleh dinas, dengan lari dari kesatuan dan meninggalkan dinas kemiliteran, atau keluar dengan dengan cara pergi, melarikan diri tanpa ijin. Perbuatan tersebut adalah suatu perbuatan yang tidak boleh terjadi dalam kehidupan militer. Istilah desersi terdapat dalam KUHPM pada Bab III tentang ”Kejahatan-Kejahatan Yang Merupakan Suatu Cara Bagi Seorang Militer Menarik Diri dari Pelaksanaan Kewajiban-Kewajiban Dinas”.
Tindak pidana desersi merupakan suatu tindak pidana yang secara khusus dilakukan oleh seorang militer karena bersifat melawan hukum dan bertentangan dengan undang-undang khususnya hukum pidana militer. Tindak pidana desersi ini diatur dalam Pasal 87 KUHPM, yaitu:
1)      Diancam karena desersi, militer:
Ke-1,   yang pergi dengan maksud menarik diri untuk selamanya dari kewajiban-kewajiban dinasnya, menghindari bahaya perang, menyebrang ke musuh atau memasuki dinas militer pada suatu negara atau kekuasaan lain tanpa dibenarkan untuk itu.
Ke-2,   yang karena salahnya atau dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa izin dalam waktu damai lebih lama dari 30 (tiga puluh) hari, dalam waktu perang lebih lama dari empat hari.
Ke-3    yang dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa izin dan karenanya tidak ikut melaksanakan sebagian atau seluruhnya dari suatu perjalanan yang diperintahkan, seperti yang diuraikan dalam Pasal 85 ke-2.
2)      Desersi yang dilakukan dalam waktu damai, diancam dengan pidana penjara maksimum dua tahun delapan bulan.
3)      Desersi yang dilakukan dalam waktu perang, diancam dengan pidana pencara maksimum delapan tahun enam bulan.
Setelah mencermati substansi rumusan pasal tersebut mengenai ketentuan cara bagi seorang prajurit untuk menarik diri dari pelaksanaan kewajiban dinas, bahwa hakikat dari tindak pidana desersi harus dimaknai bahwa pada diri anggota TNI yang melakukan desersi harus tercermin sikap bahwa ia tidak ada lagi keingginanya untuk berada dalam dinas militer. Maksudnya bahwa seorang anggota militer yang karena salahnya atau dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa ijin dan tanpa ada suatu alasan untuk menghindari bahaya perang dan menyeberang ke wilayah musuh atau dalam keadaan damai tidak hadir pada tempatnya yang telah ditentukan untuk melakukan tugas yang dibebankan kepadanya.
Hal tersebut dapat saja terealisasi dalam perbuatan yang bersangkutan pergi meninggalkan kesatuan dalam batas tenggang waktu minimal 30 hari secara berturut-turut atau perbuatan menarik diri untuk selama-lamanya. Bahwa dalam kehidupan sehari-hari, seorang anggota militer dituntut kesiapsiagaannya ditempat dimana seharusnya berada, tanpa ia sukar dapat diharapkan padanya untuk menjadi militer yang mampu menjalankan tugasnya.
Tindakan-tindakan ketidakhadiran anggota militer pada suatu tempat untuk menjalankan tugas dinas ditentukan sebagai suatu kejahatan, karena penghayatan disiplin merupakan hal yang sangat urgen dari kehidupan militer karena disiplin merupakan tulang punggung dalam kehidupan militer. Lain halnya dengan kehidupan organisasi bukan militer, bahwa perbuatan tersebut bukan merupakan suatu kejahatan, melainkan sebagai pelanggaran disiplin organisasi.
Makna dari rumusan perbuatan menarik diri untuk selamanya apabila dicermati dari kewajiban-kewajiban dinasnya, secara sepintas perbuatan tersebut menunjukkan bahwa anggota militer yang melakukan desersi (petindak) itu tidak akan kembali ke tempat tugasnya yang harus ditafsirkan bahwa pada diri anggota militer tersebut terkandung kehendak bahwa dirinya tidak ada lagi keingginan untuk tetap berada dalam dinas militer.
Bentuk-bentuk desersi, disebutkan disebutkan dalam buku Badan Pembinaan Hukum TNI berdasarkan pada ketentuan Pasal 87 KUHPM ada dua bentuk desersi yaitu:
1.      Bentuk desersi murni, yaitu desersi karena tujuan antara lain:
a.       Pergi dengan maksud menarik diri untuk selama-lamanya dari kewajiban dinas. Arti dari untuk selamanya ialah tidak akan kembali lagi ke tempat tugasnya. Dari suatu kenyataan bahwa pelaku telah bekerja pada suatu jawatan atau perusahaan tertentu tanpa suatu perjanjian dengan kepala perusahaan tersebut bahwa pekerjaan itu bersifat sementara sebelum ia kembali ke kesatuannya. Bahkan jika si pelaku itu sebelum pergi sudah mengatakan tekadnya kepada seorang teman dekatnya tentang maksudnya itu, kemudian tidak lama setelah pergi ia ditangkap oleh petugas, maka kejadian tersebut sudah termasuk kejahatan desersi. Dari kewajiban-kewajiban dinasnya, maksudnya jika pelaku itu pergi dari kesatuannya, dengan maksud untuk selama-lamanya dan tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai seorang militer, maka perbuatan itu adalah desersi.
b.      Pergi dengan maksud menghindari bahaya perang. Maksudnya seorang militer yang kepergiannya itu dengan maksud menghindari bahaya dalam pertempuran dengan cara melarikan diri, dalam waktu yang tidak ditentukan, tindakan yang demikian dapat dikatakan sebagai desersi dalam waktu perang.
c.       Pergi dengan maksud menyeberang ke musuh. Untuk menyeberang ke musuh adalah maksud atau tujuan dari pelaku untuk pergi dan memihak pada musuh yang tujuannya dapat dibuktikan (misalnya sebelum kepergianya ia mengungkapkan kepada teman-teman dekatnya untuk pergi memihak musuh), maka pelaku telah melakukan desersi.
d.      Pergi dengan tidak sah memasuki dinas militer asing. Pengertian memasuki dinas militer apabila tujuan pelaku bermaksud memasuki kekuasaan lain pasukan, laskar, partisan dan lain sebagainya dari suatu organisasi pembrontak yang berkaitan dengan persoalan spionase, tindakan tersebut sudah termasuk melakukan kejahatan desersi.
2.      Bentuk desersi karena waktu sebagai peningkatan kejahatan dari ketidakhadiran tanpa ijin, yaitu:
a.       Tidak hadir dengan tidak sah karena kesalahannya, lamanya melebihi 30 (tiga puluh) hari waktu damai, contoh: seorang anggota militer yang melakukan kejahatan ketidakhadiran yang disengaja atau dengan sengaja dalam waktu damai selama 30 hari berlanjut.
b.      Tidak hadir dengan tidak sah karena kesalahannya, lebih lama dari 4 (empat) hari dalam masa perang, contoh seorang militer yang melakukan kejahatan ketidakhadiran dengan sengaja disaat Negara dalam keadaan sedang perang atau militer tersebut sedang ditugaskan kesatuannya di daerah konflik.
3.      Bentuk desersi karena sebagai akibat. Hal ini sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) ke-3, umumnya termasuk dalam pengertian Pasal 85 ke-2 ditambah dengan adanya unsur kesengajaan dari si pelaku.
Ada empat macam cara atau keadaan yang dirumuskan sebagai bentuk desersi murni yaitu:
1.      Anggota militer yang pergi dengan maksud (oogmerk) untuk menarik diri selamanya dari kewajiban-kewajiban dinasnya;
2.      Anggota militer yang pergi dengan maksud untuk menghindari bahaya perang;
3.      Anggota militer yang pergi dengan maksud untuk menyeberang ke musuh; dan
4.      Anggota militer yang pergi dengan maksud untuk memasuki dinas militer pada suatu negara atau kekuasaan lain tanpa dibenarkan untuk tiu.
Pengertian pergi ditegaskan dalam Pasal 95 KUHPM yaitu perbuatan menjauhkan diri dari, ketidakhadiran pada atau membuat diri tertinggal untuk sampai pada suatu tempat atau tempat-tempat dimana militer itu seharusnya berada untuk memenuhi kewajiban-kewajiban dinas yang ditugaskan kepadanya; yang disebut dengan ketidakhadiran adalah tidak hadir pada tempat atau tempat-tempat tersebut. Unsur bersifat melawan hukum yang tersirat dalam Pasal 87 KUHPM di atas jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 95 KUHPM, bahwa yang dimaksud dengan pergi (verwijderen) adalah perbuatan-perbuatan:
1.       Menjauhkan diri dari (zich verwijderen);
2.       Menyembunyikan diri dari;
3.       Meneruskan ketidakhadiran pada; atau
4.       Membuat diri sendiri tertinggal untuk sampai pada suatu tempat atau tempat-tempat dimana militer itu seharusnya berada untuk memenuhi kewajiban-kewajiban dinas yang ditugaskan kepadanya.
Sebagaimana diketahui salah satu unsur dari tiap-tiap kejahatan adalah bersifat melawan hukum baik secara tersurat maupun secara tersirat. Unsur bersifat melawan hukum dalam Pasal 87 ayat (1) ke-1 hanya secara tersirat dirumuskan yang dapat disimpulkan dari salah satu maksud tersebut adalah: Menjauhkan diri dari (zich verwijderen); Menyembunyikan diri dari; dan Meneruskan ketidakhadiran yang terkandung bagi pelaku dan harus dikaitkan dengan perbuatan kepergiannya itu.
Seorang anggota militer yang bermaksud menarik diri untuk selamanya dari kewajiban-kewajiban dinasnya, menghindari bahaya perang, selama maksud tersebut berada pada hati sanubarinya sendiri, tidak diwujudkan dengan suatu tindakan yang nyata, maka selama itu maksud tersebut belum dapat dikatakan sebagai perbuatan yang bersifat melawan hukum. Demikian juga perbuatan ”pergi”, belum tentu sudah merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum, jika kepergian itu tanpa ijin, sudah jelas sifat melawan hukumnya terdapat pada kata-kata ”tanpa ijin”, namun jika kepergian itu sudah mendapat ijin (misalnya cuti) maka kepergian itu tidak bersifat melawan hukum. Oleh karena itu, baru setelah maksud tersebut diwujudkan secara nyata dalam suatu tindakan (dalam hal kepergiannya itu) terdapat sifat melawan hukum dari tindakan tersebut.
Berdasarkan hal tersebut, jika seorang anggota militer meninggalkan tempat dan tugasnya keran sudah mendapatkan ijin cuti, tetapi ternyata kemudian anggota militer tersebut bermaksud untuk tidak akan kembali lagi untuk selamanya ke tempat tugasnya, perbuatan tersebut sudah merupakan perbuatan melawan hukum walaupu kepergiannya itu ”dengan ijin” dan sekaligus tindakan atau perbuatan sedemikian itu telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana desersi.
  Pasal 87 ayat (1) ke-2 menegaskan bahwa yang karena salahnya atau dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa izin dalam waktu damai lebih lama dari 30 (tiga puluh) hari, dalam waktu perang lebih lama dari empat hari. Berdasarkan pasal ini dapat dipahami bahwa sebagai batas tindak pidana desersi dari segi waktu adalah tiga puluh hari. Desersi yang dilakukan sesuai dengan Pasal 87 KUHPM sanksinya adalah penjara dan pemecatan dari anggota militer, karena terdapat ancaman pidana dalam pasal tersebut. Jika ketidakhadiran dilakukan kurang dari 30 (tiga puluh) hari atau setidak-tidaknya satu hari maka belum bisa dikatakan sebagai tindak pidana desersi tetapi disebut tidak hadir tanpa ijin yang dapat diselesaikan secara hukum disiplin militer (misalnya karena keterlambatan hadir dalam kesatuan militer. Tidak hadir tanpa ijin selama satu hari di sini adalah selama 1 x 24 jam. Sebagai patokan untuk menentukan ketidakhadiran itu dihitung mulai tidak hadir saat apel, atau pada saat dibutuhkan/penting tidak hadir pada tempatnya yang telah ditentukan untuk melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya.
Secara administratif, berdasarkan Juklak Kasal disebutkan deseri yang lebih dari 30 (tiga puluh) hari atau setidak-tidaknya pada hari ke-31 sudah dinyatakan desersi. Desersi yang dimaksud di sini adalah yang diancam dengan pidana dan pemecatan bukan penyelesaiannya secara hukum disiplin militer sebab waktunya sudah lebih dari 30 (tiga puluh) hari atau setidak-tidaknya hari ke-31 sejak dinyatakan desersi.
Terhadap anggota TNI yang akan dijatuhi hukuman disiplin perbuatannya harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam ketentuan Pasal 5 UU No.26 Tahun 1997 tentang Disiplin Militer (selanjutnya disingkat dengan UU Disiplin Prajurit TNI). Pasal 5 UU Disiplin Prajurit TNI, menegaskan, ”Pelanggaran disiplin prajurit adalah ketidaktaatan dan ketidakpatuhan yang sungguh-sungguh pada diri prajurit yang bersendikan Sapta Marga dan Sumpah Prajurit untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sesuai dengan aturan-aturan atau tata kehidupan prajurit”.
Pelanggaran disiplin anggota TNI sesuai dengan ketentuan Pasal 5 UU Disiplin Prajurit TNI meliputi pelanggaran hukum disiplin murni dan pelanggaran hukum disiplin tidak murni. Pelanggaran disiplin murni adalah setiap perbuatan yang bukan merupakan tindak pidana, tetapi bertentangan dengan perintah kedinasan atau peraturan kedinasan atau perbuatan yang tidak sesuai dengan tata kehidupan prajurit, contohnya: terlambat apel, berpakaian kurang rapi/baju tidak dikancingkan atau kotor, berambut gondrong dan sepatu tidak disemir. Jenis hukuman untuk pelanggaran ini berupa hukuman disiplin prajurit berupa tindakan fisik atau teguran lisan untuk menumbuhkan kesadaran dan mencegah terulangnya pelanggaran ini seperti push up dan lari keliling lapangan. Sedangkan pelanggaran hukum disiplin tidak murni adalah setiap perbuatan yang merupakan tindak pidana yang sedemikian ringan sifatnya sehingga dapat diselesaikan secara hukum disiplin militer.Tindak pidana ringan sifatnya adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan atau kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling tinggi Rp.6.000.000 (enam juta rupiah), perkaranya sederhana dan mudah pembuktiannya serta tindak pidana yang terjadi tidak akan mengakibatkan terganggunya kepentingan TNI atau kepentingan umum, contohnya: Penganiayaan ringan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan. Jenis hukuman untuk pelanggaran ini berupa hukuman disiplin prajurit berupa penahanan ringan paling lama selama 14 (empat belas hari) atau penahanan berat paling lama 21 (dua puluh satu hari). Pihak yang berhak menjatuhkan semua jenis hukuman disiplin kepada setiap anggota TNI yang berada di bawah wewenang komandonya adalah Komandan atau Atasan yang berhak Menghukum (selanjutnya disebut Ankum) yang dilaksanakan dalam sidang disiplin.
Bentuk-bentuk desersi yang dilakukan anggota TNI atau anggota militer sebagaimana dimaksud di atas, dapat diberlakukan kepada si pelaku ketentuan Pasal 88 KUHPM.
(1)   Maksimum diancam pidana yang diteapkan dalam Pasal 86 dan 87 diduakalikan:
1.      Apabila ketika melakukan kejahatan itu belum lewat lima tahun, sejak petindak telah menjalani seluruhnya atau sebahagian dari pidana yang dijatuhkan kepadanya dnegan putusan karena melakukan desersi atau dengan sengaja melakukan ketidakhadiran dengan tanpa ijin atau sejak pidana itu seluruhnya dihapuskan baginya, atau apabila ketika melakukan kejahatan itu hak untuk menjalankan pidana tersebut belum kadaluarsa.
2.      Apabila dua orang atau lebih, masing-masing untuk diri sendiri dalam melakukan salah satu kejahatan-kejahatan tersebut dalam Pasal 86 dan 87, pergi secara bersama-sama atau sebagai kelanjutan dari pemufakatan jahat.
3.      Apabila petindak adalah militer pemegang komando.
4.      Apabila dia melakukan kejahatan itu sedang dalam menjalankan dinas.
5.      Apabial dia pergi ke atau di luar negeri.
6.      Apabila dia melakukan kejahatan itu dengan menggunakan suatu perahu laut, pesawat terbang, atau kenderaan yang termasuk pada angkatan perang.
7.      Apabila dia melakukan kejahatan itu dengan membawa serta suatu binatang yang digunakan untuk kebutuhan angkatan perang, senjata, atau amunisi.
(2)   Apabila kejahatan tersebut dalam Pasal 86 atau kejahatan desersi dalam keadaan damai dibarengi dengan dua atau lebih keadaan-keadaan dalam ayat (1) nomor 1 s/d 7, maka maksimum ancaman pidana yang ditentukan pada ayat tersebut ditambah dengan setengahnya.
Maksud dari pasal di atas adalah pemberatan. Pemberatan dimaksud Pasal 88 ayat (1) nomor 1 KUHPM lazim disebut perulangan atau recidive yakni si pelaku sudah pernah dijatuhi hukuman oleh hakim karenamelakukan kejahatan yang serupa dengan kejahatan yang dilakukannya sekarang, maka dalam hal seperti ini, desersi atau tidak hadir dengan tidak sah dilakukannya dengan sengaja. Perbuatan itu baru dapat dikatakan pengulangan apabila masa kadaluarsa dari kejahatan itu belum habis. Tenggang masa kadaluarsa (verjaring) perbuatan tersebut adalah: satu tahun untuk pelanggaran ringan; dua tahun untuk pelanggaran berat; dua tahun untuk pelanggaran ringan; dan lima tahun untuk pelanggaran ringan. Khusus untuk kejahatan desersi masa kadaluarsanya dua belas tahun sesuai dengan ketentuan Pasal 41 KUHPM.
Maksud dari Pasal 88 ayat (1) nomor 2 KUHPM di atas, pemberatan dikarenakan adanya kerja sama antara para pelaku, baik yang dilakukan secara sadar atau secara tidak sadar dan tidak perlu terjadinya kejahatan-kejahatan itu pada saat yang bersamaan. Pemberatan yang dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) nomor 3 KUHPM diberikan apabila yang memerlukan kejahatan dengan sengaja tidak hadir dengan tidak sah bagi seseorang anggota militer yang memegang pimpinan. Anggota militer yang memegang komando adalah suatu pasukan yang berdiri sendiri.
Pemberatan dimaksud Pasal 88 ayat (1) nomor 4 KUHPM bagi anggota militer yang sedang melakukan dinas dimana mereka yang secara nyata-nyata sedang dalam keadaan melakukan tugas dinas. Arti melaksanakan dinas lebih luas daripada pengertian sedang melaksanakan tugas. Hal yang juga memberatkan bagi pelaku dalam Pasal 88 ayat (1) nomor 5 KUHPM jika kejahatan desersi itu tidak hadir dengan tidak sah dilakukan dengan jalan pergi ke laur negeri atau dilakukan di luar negeri atau melakukan desersi pergi ke laur wilayah NKRI. Memberatkan dimaksud Pasal 88 ayat (1) nomor 6 apabila kejahatan itu dilakukan dengan membawa perahu atau kapal, pesawat terbang, atau kendaraan-kendaraan yang termasuk kepunyaan TNI. Kajahatan ini mungkin suatu perbuatan yang merupakan rangkaian tindak pidana yaitu seial melakukan desersi, juga melakukan pencurian terhadap perlengkapan militer. Hal yang memberatkan dimaksud Pasal 88 ayat (1) nomor 7 KUHPM di atas ialah kejahatan tersebut dilakukan dengan membawa binatang, senjata atau mesiu yang seharusnya digunakan untuk kepentingan TNI. Binatang yang dimaksud di sini yaitu binatang-binatang yang bisa digunakan untuk kepentingan TNI misalnya kuda, anjing, merpati pos, dan lain-lain yang dianggap penting untuk membantu peperangan dalam situasi medan yang sulit.
Sementara maksud pada ketentuan Pasal 88 ayat (2) KUHPM menentukan hal yang lebih memberatkan lagi hingga ancaman hukumannya ditambah dengan setengahnya, setelah hukuman dalam Pasal 88 ayat (2) KUHPM ini diduakalikan. Hal yang memberatkan itu apabila si pelaku melakukan kejahatan yang disertai atau tidak dengan sah karena disengaja, disertai dengan dua orang atau lebih dari ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) dari nomor 1 s/d 7 KUHPM.      
Desersi yang dimaksud dalam Pasal 87 KUHPM merupakan suatu tindak pidana militer murni dan bukan merupakan pelanggaran disiplin sehingga untuk penyelesaian tidak bisa diselesaikan melalui hukum disiplin militer melainkan harus diselesaikan melalui sidang pengadilan. Oleh karena itu yang berhak mengadili tindak pidana desersi adalah Hakim Militer dalam Sistim Peradilan Pidana Militer, dimana bentuk penjatuhan pidana militernya terdapat di dalam Pasal 6 KUHPM yaitu berupa pidana pokok (yakni: pidana mati; penjara; kurungan; pidana tutupan) sampai dengan pidana tambahan (yakni: pemecatan dari dinas militer dengan atau tanpa pencabutan haknya untuk memasuki TNI; penurunan pangkat; dan pencabutan hak-hak yang disebutkan dalam Pasal 35 KUHPM).
Bagi anggota TNI yang terlibat masalah perdata (baik sebagai tergugat maupun penggugat) maka untuk penyelesaiannya melalui pengadilan di lingkungan peradilan umum, dan apabila yang dihadapi adalah masalah yang ada hubungan dengan perceraian maupun waris menurut hukum islam maka penyelesaian melalui peradilan Agama. Mengenai gugatan tata usaha militer, apabila ada orang atau badan hukum perdata yang merasa dirugikan atas dikeluarkannya suatu keputusan yang dikeluarkan badan atau pejabat tata usaha militer maka sesuai dengan hukum acara tata usaha militer pada Bab V Pasal 265 UU No.31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer, gugatan diajukan, ke Pengadilan Militer Tinggi, namun sampai saat ini Peradilan Tata Usaha Militer tersebut belum terwujud, karena belum ada Peraturan Pemerintahnya.
Unsur-unsur tindak pidana desersi dalam ketentuan Pasal 87 ayat (1) ke-2 KUHPM yang ditegaskan berikut: “yang karena salahnya atau dengan sengaja melakukan ketidakhadiran tanpa ijin dalam waktu damai lebih lama dari tiga puluh hari”. Berdasarkan pada Pasal 87 ayat (1) ke-2, maka ada 5 (lima) unsur tindak pidana desersi, yaitu:
  1. Militer;
  2. Dengan sengaja;
  3. Melakukan ketidakhadiran tanpa ijin;
  4. Dalam masa damai; dan
  5. Lebih lama dari tiga puluh hari.
Terhadap unsur-unsur tersebut di atas terdapat pengertian bahwa unsur:
  1. Militer
a.       Menurut Pasal 46 KUHPM ialah mereka yang berkaitan dinas secara sukarela pada Angkatan Perang yang diwajibkan berada dalam dinas secara terus menerus dalam tenggang waktu dinas tersebut (disebut militer) ataupun semua sukarelawan lainnya pada angkatan perang dan para wajib militer selama mereka berada dalam dinas.
b.      Baik militer sukarela maupun militer wajib adalah merupakan yustisiabel peradilan militer yang berarti kepada mereka dapat dikenakan atau diterapkan ketentuan-ketentuan hukum pidana militer di samping ketentuan-ketentuan hukum pidana umum, termasuk di sini terdakwa sebagai anggota militer/TNI.
c.       Bahwa di Indonesia yang dimaksud dengan militer adalah kekuatan angkatan perang dari suatu Negara.
d.      Bahwa seorang militer ditandai dengan mempunyai: Pangkat, NRP (Nomor Registrasi Pusat), Jabatan, Kesatuan didalam melaksanakan tugasnya atau berdinas memakai pakaian seragam sesuai dengan Matranya lengkap dangan tanda Pangkat, Lokasi Kesatuan dan Atribut lainnya.
  1. Dengan sengaja. Bahwa yang dimaksud dengan sengaja (dolus) di dalam KUH Pidana tidak ada pengertian maupun penafsirannya secara khusus, tetapi penafsiran “Dengan sengaja atau kesengajaan” disesuaikan dengan perkembangan dan kesadaran hukum masyarakat oleh karena itu terdapat banyak ajaran, pendapat dan pembahasan mengenai istilah kesengajaan ini.
  2. Melakukan ketidakhadiran tanpa ijin. Bahwa melakukan ketidakhadiran tanpa ijin berarti tidak hadir di kesatuan sebagaimana lazimnya seorang anggota TNI antara lain didahului dengan apel pagi, melaksanakan tugastugas yang dibebankan atau yang menjadi tanggung jawabnya, kemudian apel siang. Sedangkan yang dimaksud tanpa ijin artinya ketidakhadiran tanpa sepengetahuan atau seijin yang sah dari Komandan atau Kesatuannya atau kewajibannya sebagai anggota TNI.
  3. Dalam waktu damai. Bahwa yang dimaksud dimasa damai berarti bahwa terdakwa atau seorang anggota TNI melakukan ketidakhadiran tanpa ijin itu Negara Republik Indonesia dalam keadaan damai atau kesatuannya tidak melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 KUHPM yaitu perluasan dari keadaan perang.
  4. Lebih lama dari tiga puluh hari. Bahwa melakukan ketidakhadiran lebih lama dari tiga puluh hari berarti terdakwa tidak hadir tanpa ijin secara berturutturut lebih dari waktu tiga puluh hari.
Desersi kepada musuh merupakan pengertian dengan maksud menyebarang kepada musuh, ancaman pidananya yaitu pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana maksimum dua puluh tahun. Ketentuannya diatur dalam Pasal 89 KUHPM yaitu:
Diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau sementara maksimum dua puluh tahun:
  1. Desersi ke musuh;
  2. (Diubah dengan UU No.39 Tahun 1947). Desersi dalam waktu perang, dari satuan pasukan, perahu laut, atau pesawat terbang yang ditugaskan untuk dinas pengamanan, ataupun dari suatu tempat atau pos yang diserang atau terancam serangan oleh musuh.
Desersi kepada musuh berarti si pelaku sudah berada di daerah atau sudah berada di pihak musuh atau dengan kalimat lain, si pelaku sudah betul-betul bekerja pada pihak musuh. Perbuatan ini dapat digolongkan sebagai pengkhianatan militer sebagaiman dimaksud dalam Pasal 64 KUHPM junto Pasal 124 KUH Pidana. Maksud Pasal 89 ayat (2) KUHPM di atas adalah desersi khusus yaitu desersi yang disertai perbuatan-perbuatan khusus karena dilakukan dalam keadaan perang yang dilakukan oleh pasukan-pasukan, perahu atau kapal, atau pesawat udara yang diserahi tugas pengamanan. Mengenai pengertian tugas pengamanan tersebut oleh undang-undang tidak diberikan penjelasan yang rinci namun hal ini dapat dihubungkan dengan pelajaran taktik penyerangan dalam militer, maka yang dimaksud dengan tugas pengamanan itu adalah perlindungan ata perlindungan depan, perlindungan lambung, perlindungan belakang, dan sebagainya.
Perbuatan dengan sengaja menarik diri dari kewajiban-kewajiban dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 KUHPM yaitu: dengan akal bulus atau suatu rangkaian karangan bohong, menarik diri dari kewajiban untuk sementara waktu; menarik diri untuk selamanya; dan sengaja membuat dirinya tidak terpakai. Sedangkan perbuatan pemalsuan surat cuti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 KUHPM adalah: perbuatan memalsu surat cuti; perbuatan menuruh orang lain atau meminta surat cuti itu dengan nama palsu; dan surat cuti itu dipakai sendiri atau dipakai oleh orang lain. Militer yang sengaja menggunakan pas jalan, kartu keamanan, perintah jalan, surat cuti, dari orang lain, seolah-olah dialah oknum yang disebutkan didalamnya, diancam dengan pidana pencara maksimum dua tahun. Sehubungan dengan Pasal 91 KUHPM dan Pasal 92 KUHPM ditegaskan kembali dalam Pasal 93 KUHPM bahwa apabila salah satu kejahatan-kejahatan yang dirumuskan pada Pasal 91 dan Pasal 92 KUHPM atau Pasal 267, Pasal 268, atau Pasal 270 KUH Pidana dilakukan oleh militer dalam waktu perang, untuk mempermudah kejahatan desersi, diancam dengan pidana penjara maksimum tujuh tahun.

Sabtu, 13 Agustus 2011

PENYEBAB KORUPSI DAN KUTUKAN ALLAH SWT TERHADAP KORUPTOR

1.      Penyebab Korupsi
Jumlah penduduk Indonesia yang memeluk agam Islam lebih kurang 182,570,000 jiwa merupakan negara muslim terbesar di seluruh dunia sekitar 88% penduduknya beragama Islam, meskipun demikian Indonesia bukanlah negara Islam. Muslim di Indonesia dikenal dengan sifatnya yang moderat dan toleran. Terkait dengan meningkatkannya dewasa ini kasus-kasus korupsi di Indonesia dan jumlah kriminalitas yang semakin bertambah, tidak dapat dipungkiri bahwa pelaku pada umumnya adalah orang-orang yang beragama Islam. Berdasarkan fenomena itu, bangsa dari sebuah negara dengan tingkat keberagamaan (religiusitas) dan penduduknya yang mayoritas Islam, ternyata tidak bisa dijadikan sebagai ukuran. Ternyata, negara yang dikenal sangat religius seperti Indonesia, dalam beberapa survei justru meraih rekor yang sangat tinggi dalam urusan korupsi.
Sebaliknya, sejumlah negara sekuler dan negara-negara non Islam, justru berhasil menekan tingkat korupsi hingga pada tingkatan yang paling minimal. Padahal, jika merujuk kepada doktrin-doktrin normatif agama yang amat ideal dalam syari’ah Islam (hukum Islam), Indonesia sebagai negara dengan populasi muslim paling besar di dunia, tidak sepantasnya menduduki peringkat negara terkorup. Pertanyaannya, mengapa hal itu bisa terjadi? Jawabannya, dapat dimengerti hubungan antara agama dengan tingkat korupsi dari teori keseimbangan antara kecerdasan Inteligensia Question (IQ), Emosional Question (EQ), dan Spritual Question (SQ). Ketiga unsur ini harus seimbang di dalam tubuh manusia, jika salah satu dari unsur tersebut pengaruhnya menempati posisi lebih besar, maka akan terjadi kesalahan (false) misalnya jika IQ seseorang mendominasi daripada EQ dan SQ dapat mengakibatkan kontrol berpusat pada akal sehingga fenomena-fenomena politik bangsa ini, akan dikendalikan oleh akal pikiran yang membabi-buta tanpa mempertimbangkan perasaan dan ketuhanan. Para ilmuan yang sangat ahli dalam bidangnya tidak bisa menjadi pemimpin bangsa, kalau hanya mengandalkan IQ tanpa dibarengi dengan EQ (perasaan) dan SQ (ketuhanan). Mereka yang menjadi pemimpin adalah orang-orang yang cerdas akalnya (IQ) dan cerdas perasaanya (EQ) serta cerdas sifat-sifat ketuhanannya (SQ).
Kecerdasan IQ tanpa dibarengi dengan kecerdasan EQ dan SQ, maka itulah orang-orang yang kebiasaannya mengakal-akali orang lain yang lemah IQ-nya. Salah satu contohnya adalah koruptor. Orang semacam ini adalah cerdas IQ-nya namun tidak memiliki perasaan publik (EQ) dan tidak mengamalkan syariat agama Islam (SQ) sehingga yang haram menurutnya bisa menjadi halal.
Seseorang yang cerdas EQ-nya tidak pula suatu yang baik sebab orang yang cerdas EQ-nya ada dua sifat dimilikinya yaitu pemarah dan lemah yang berlebihan. Seseorang yang cerdas SQ-nya memiliki kebiasaan selalu mencari dan mencari kebenaran yang bersifat ketuhanan artinya bisa mengabaikan dunia tanpa memperhatikan anak dan istrinya serta jauh dari hablumminannas (hubungan sesama manusia) melainkan hanya mementingkan urusan akhirat untuk dirinya sendiri atau mementingkan urusan hablumminallah saja. Oleh sebab itu, sesuatu menjadi berarti dan penting adalah setiap insan khususnya pemimpin-pemimpin negara ini harus dapat menyeimbangkan ketiga kecerdasan itu yakni inteligensi, emosional, dan spritual sehingga dalam hal mengelola aset negara dapat terhindar dari tindakan-tindakan yang menghalalkan berbagai cara misalnya korupsi.
Orang yang tinggi pemahaman agamanya atau ketuhanannya (SQ-nya) juga bisa melakukan korupsi apalagi jika ia hanya memiliki kecerdasan IQ dan EQ saja. Lalu pertanyaannya adalah mengapa koruptor tidak pernah habis-habisnya di Indonesia? Jawabnya dengan mudah karena kecerdasan ketiga unsur tersebut tidak diseimbangkan dalam menjalankan amanah yang ada padanya. Sehingga dengan demikian, terdapat hubungan antara korupsi dengan agama dalam hal kecerdasan inteligensi, emosional, dan spritual.
Namun, perlu diketahui bahwa kelompok orang yang betul-betul takut dengan hukum Allah SWT belum tentu tidak melakukan korupsi. Motifnya bukan karena takut kepada Allah SWT melainkan lebih bersifat praktis. Misalnya, kalau mereka menyuap polisi, mereka sadar itu akan menghancurkan tatanan hukum, kalau mengambil hak orang lain, mereka sadar akan menyengsarakan banyak orang. Namun tetap saja korupsi dilakukan dengan dalih rasionalitas yakni karena keadaan sistimnya sudah seperti itu, sehingga terikut arus. Pertanyaan yang harus dijawab sendiri adalah mengapa kita tidak melawan arus terhadap sistim yang ada dalam negara ini?
2.      Allah SWT Mengutuk Koruptor Melalui Ayat-Ayat Dalam Al-Qur’an
Korupsi sesungguhnya merupakan nama keren (nama modern) dari mencuri. Secara tersurat, aturan hukum korupsi tidak terdapat dalam Al-Qur’an, melainkan larangan dalam bentuk lain yang ada hubungannya dengan mengambil hak orang lain yang bukan haknya (korupsi). Istilah korupsi sebenarnya derivatif (turunan) dari mencuri dan hal-hal lain yang dilarang dalam Al-Qur’an.  Allah SWT berfirman dalam QS: Al-Maidah ayat 38:
-------------------------------------------
Artinya: ”Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah dan Allah maha perkasa dan maha bijaksana”.
Sanksi bagi pencuri menurut Al-Qur’an sudah jelas tangannya dipotong. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) disebutkan bahwa mencuri adalah mengambil sesuatu barang milik orang lain yang bukan haknya. Walaupun sanksi pidana (penjara) dan perdata (ganti rugi) sudah diterapkan kepada koruptor melalui putusan sidang pengadilan, namun belum tentu Allah SWT melepaskannya dari segala ganjaran di Akhirat kelak. Allah SWT berfirman dalam QS: Al-Maidah ayat 39:
-------------------------
”Tetapi barang siapa yang bertaubat setelah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya”.
Pengecualian sanksi ini tidak berarti dan tidak bermakna di hadapan Allah SWT apabila taubat itu dikerjakan tidak sepenuh hati dengan kata lain bahwa taubatnya dilakukan tidak secara kaffah (keseluruhan) atau taubatan nasuha yaitu taubat sebenar-benar taubat.
Mengenai kejahatan pengambilan kekayaan orang lain secara tidak sah untuk memperkaya diri sendiri, digunakan terminologi syariqah (pencurian). Selain itu, dibahas juga ikhtilaf (menjambret), khiyanah (menggelapkan), ikhtilas (mencopet), al-nahb (merampas), dan al-ghasb (menggunakan tanpa seizin). Allah SWT dalam QS: Ali Imran ayat 161 berkata:
-----------------------------------------
Artinya: ”Barang siapa yang berkhianat (korupsi?) dalam urusan harta rampasan perang, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianati itu”.
Hadist sahih yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim juga disebutkan, ”Maka demi zat yang diri Muhammad di dalam gengamannya, tidaklah khianat/korupsi salah seorang dari kalian atas sesuatu, kecuali dia akan datang pada hari kiamat nanti dengan membawa di lehernya. Kalau yang dikorupsi itu adalah unta, maka ia akan datang dengan melenguh”.
Dalam pandangan Islam, korupsi (mencuri, suap) dan sejenisnya dilarang dan haram hukumnya. Bahkan Allah SWT mengutuk para koruptor, sebagaimana dikatakan dalam QS: Al-Anfal ayat 28 berkata:
---------------------
Artinya: ”Wahai orang-orang yang beriman!, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahuinya”.
Dalam QS: Al-Maarij ayat 24-25 memberi argumen cukup tegas bahwa dalam setiap harta yang dimiliki manusia, senantiasa ada hak orang lain dan hak itu, jelas bukan miliknya. Dengan ungkapan yang berbeda, Firman Allah dalam QS: Al-Hadid ayat 7 memberi ketegasan, bahwa sesungguhnya seorang manusia harus menafkahkan atas harta yang dikuasainya. Lalu, jika korupsi dilakukan, bukankah itu merupakan pengingkaran besar atas amanah kebendaan yang dititipkan pada manusia?. Hanya saja, ini sekadar menjadi sebuah kultur, tidak punya daya paksa struktural memberantas korupsi tersebut.
Hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan Abu Daud, berkata: ”Barang siapa yang kami pekerjakan pada suatu jabatan, kemudian kami beri gaji, malahan yang diambilnya selebih dari itu, berarti suatu penipuan”. Rasulullah SAW juga mengingatkan dalam sebuah haditsnya, diriwayatkan oleh Ahmad dan Hakim, berkata: ”Rasulullah SAW melaknat orang yang menyuap, yang menerima suap, dan yang menjadi perantara”.
Selain itu, Firman Allah SWT yang berkenaan dengan larangan korupsi dapat dipersamakan dengan maksud dalam QS: An-Nur ayat 27 yaitu:
--------------------
”Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu agar kamu selalu ingat”.
Bunyi ayat di atas, memiliki kaitan dengan suatu perbuatan yang dilakukan seseorang di luar daripada kewenangannya untuk dimilikinya, sama halnya dengan korupsi dilakukan bukan karena hak untuk memperolehnya, melainkan karena suatu perbuatan yang dilarang dalam Al-Qur’an.
Kekuasaan itu cenderung korup (power tends to corrupt). Al-Quran, tidak saja menghadirkan power tends to corrupt, bahkan melarang umat Islam untuk memilih kaum penindas jadi penguasa (lihat: QS. An-Naml: 34, Al-Kahfi: 71, Saba: 34-35, Al-Zuhruf: 23, Al-Isra: 16, Hud: 27). Namun jika mereka terlanjur berkuasa, maka perlu dilakukan oposisi melawan hegemoni kaum penindas itu (lihat: QS. Al-Hujurat: 9).
Al-Quran juga menyinggung kaum tertindas perlu menjadi pemimpin di bumi ini (lihat: QS. Al-Shaff 5, dan QS. Al-Anfal: 137). Jika dipahami secara kontekstual, dapat dimengerti bahwa sifat-sifat seorang pemimpin seharusnya bukan sosok koruptor, namun profilnya harus populis dan dekat dengan rakyat, dan mencintai mereka secara kaffah. Gerakan oposisi terhadap penguasa yang koruptor bahkan diyakini sebagai jihad fi sabilillah (lihat: QS. Al-Nisa: 75) yang juga merupakan agenda para rasul (lihat: QS. Al-Anfal: 157). Di sinilah praktis pembelaan terhadap kaum lemah perlu dilakukan.
Ruang ketaqwaan tidak saja dilihat melalui ibadah ritual serta kepuasan spiritual yang telah diraih, namun lebih dari itu, yang terpenting adalah bagaimana seseorang dapat bermanfaat bagi orang lain. Maka membela kaum lemah juga merupakan bagian dari karakter insan taqwa (lihat: QS. Al-Baqarah: 197, QS. Ali Imran: 134, QS. Al-Insan: 8-9, QS. Al-Maarij: 24, dan QS. Al-Dzariyat: 19).
Korupsi sebagai bagian dari monopoli dan konsentrasi kekuasaan juga disinggung dalam Al-Qur’an, seraya mengutuknya (lihat: QS. Al-Hasyr: 7). Pada sisi inilah, secara radikal Al-Quran “begitu berani” mengklaim orang yang (mushally) sebagai pendusta agama jika ia tidak memiliki keperpihakan pada anak yatim (lihat: QS. Al-Maun: 1-7). Kecelakaan lah bagi umat Islam yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya tanpa ada kesadaran nurani (inner conscious) untuk mewujudkan kesejahteraan sosial (social welfare) (lihat: QS. Al-Humazah: 1-9).
Dari sinilah, keberimanan manusia oleh Al-Qur’an perlu dipandu untuk menghidupkan kembali rasa kemanusiaan kita, melalui pembaharuan struktural, dan tidak hanya dorongan moral. Al-Qur’an harus menjadi inspirasi dan pelopor untuk melakukan gerakan pembebasan, termasuk dalam memberantas korupsi.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah SAW tersebut, jelas sekali bahwa korupsi dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Secara umum, dampak korupsi merugikan rakyat, merugikan perekonomian dan keuangan Negara, merendahkan martabat manusia dan bangsa di mata Allah SWT maupun bangsa-bangsa lain di dunia ini. Karena sangat membahayakan, maka Islam melarang kita untuk mendekatinya, sebagaimana tindakan preventif ketika Allah SWT melarang kita mendekati perbuatan zina.
Islam menawarkan beberapa konsep mencegah (terapi) terhadap terjadinya korupsi. Pertama, meningkatkan iman dan budaya malu. Melalui iman, setiap orang meyakini bahwa ia selalu diawasi oleh Allah SWT bukan manusia sebagai pengawasnya. Allah SWT selalu melihat dimana saja manusia itu berada. Rasulullah SAW mengingatkan bahwa iman dan malu kawanan seiring. Apabila salah satu misalnya iman tidak ada, malunya juga hilang. Karenanya, Rasulullah SAW menjelaskan, seseorang tidak akan berzina bila ia beriman, seseorang tidak akan mencuri bila ketika itu ia beriman.
Kedua, meningkatkan kualitas akhlak. Hal ini merupakan sendi keutuhan bangsa. Salah satu tugas Rasulullah SAW adalah beliau diutus untuk memperbaiki akhlak manusia. Suatu bangsa tetap utuh dan jaya selama masih menjaga akhlaknya, namun bangsa itu akan hancur bersama kehancuran akhlaknya. Ketiga, penegakan hukum. Hukum harus tegas, tanpa diskriminasi dan adil terhadap siapa pun yang melanggarnya. Keempat, contoh teladan dari pemimpin. Hendaknya pemimpin memberi teladan kepada yang dipimpin dan rakyatnya. Perbuatan, perkataan, dan sikap yang baik harus dimulai dari pemimpin yang paling tinggi. Kelima, pengamalan syari’at Islam secara kaffah. Syari’at Islam merupakan terapi untuk menanggulangi berbagai problema umat. Setiap orang beriman dan bertaqwa akan menjaga dirinya dari setiap kesalahan dan dosa. Dia tidak hanya taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, tetapi juga taat atas perintah dan larangan-Nya. Ia juga patuh kepada kepada hukum positif (hukum nasional) yang berlaku, baik KUHP maupun UU No.31 Tahun 1999 junto UU No.20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Korupsi adalah mengambil secara tidak jujur perbendaharaan milik publik atau barang yang diadakan dari pajak yang dibayarkan masyarakat untuk kepentingan memperkaya dirinya sendiri. Korupsi adalah tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi yang secara sengaja dilakukan sendiri atau bersama-sama untuk memperoleh keuntungan berupa status, kekayaan atau uang untuk perorangan, keluarga dekat atau kelompok sendiri.
Pendekatan atau perspektif orang awam dengan lugas mengatakan menggelapkan uang kantor, menyalahgunakan wewenangnya untuk menerima suap, menikmati gaji buta tanpa bekerja secara serius adalah tindakan korupsi. Inilah korupsi dipandang secara luas dan agama Islam juga memandang seperti itu bahkan lebih luas dari itu.
Namun perlu disadari bahwa untuk menghilangkan korupsi bukanlah perkara gampang karena ia telah berurat berakar dan menjalar kemana-mana terutama di negeri kita ini. Setidaknya ketiga-tiga kecerdasan yang telah disinggung di atas dapat diseimbangkan dalam setiap individu, sedikitnya akan mampu mengerem untuk melakukan perbuatan korupsi. Jika mereka sadar bahwa korupsi akan merusak sistim perekonomian, dengan rusaknya sistim perekonomian maka negara akan hancur. Islam sebenarnya menanamkan kesadaran seperti itu. Pada hakikatnya Islam dilahirkan untuk membebaskan manusia dari pelbagai bentuk perbudakan dan eksploitasi.
Islam datang untuk memerangi sistem ketidakadilan. Korupsi termasuk hal yang harus diperangi Islam karena dapat menimbulkan masalah besar. Korupsi dapat menghancurkan apa saja, walau ada pihak yang menyebutnya tidak berkaitan dengan soal agama, itu karena mereka menonjolkan kepentingan praktis saja tidak menyeimbangkan kecerdasan IQ, EQ, dan SQ-nya.
Mungkin praktik agama kita yang pemaknaannya keliru, karena lebih menekankan hal-hal yang bersifat praktis. Makanya, kadang sedikit aneh jika melihat orang-orang yang getol shalat sampai hitam jidatnya, tetapi dalam kehidupan sosial justru menolelir korupsi. Ketika sistim hukum dan sistim sosial tidak mendukung, maka keteladanan pejabat negara dan tokoh masyarakat akan berperan sangat penting dalam memberantas korupsi melalui penyeimbangan IQ, EQ, dan SQ yang harus dimulai dari diri sendiri.
Untuk pola hubungan masyarakat yang masih sangat dipengaruhi community leader (pemimpin kelompok) faktor keteladanan memang harus lebih ditonjolkan. Sayangnya, sentimen sosial kaum muslim terhadap isu-isu seperti korupsi, dan problem-problem sosial lainnya yang bersinggungan langsung dengan kita, nampaknya kurang bersemangat untuk mendapatkan perhatian dibandingkan dengan sentimen persaudaraan sesama muslim seperti dengan Palestina ataupun Irak yang sangat luar biasa. Semua energi bisa dilibatkan dan sedia dikerahkan. Padahal menurut sejarah, perhatian pertama Nabi Muhammad dalam dakwahnya terletak pada usaha perbaikan sistem sosial.
Cita-cita untuk menjadi Indonesia baru, membutuhkan ekstra kerja keras dalam menangani permasalahan yang sangat krusial ini, yang segera harus dicarikan jalan keluarnya untuk menangkal agar tidak lagi bangsa ini dihantui dengan berbagai kasus korupsi. Karena kalau kita perhatikan bahwa permasalahan korupsi tidak saja menjadi kendala struktural (para penegak hukum), namun lebih dari itu. Karena masalah struktural, korupsi telah membudaya (nation culture), menjadi bagian yang tak terpisahkan dari realitas birokrasi kita. Gerakan pemberantasan memang telah banyak dilakukan, bahkan beragam metode dan model gerakan telah digalakkan. Mulai dari gerakan moral-kultural, politis-struktural, maupun pembaharuan substansi perundang-undangan. Teapi korupsi tak urung usai, ia senantiasa menyelinap dalam setiap sendi kehidupan kita: ekonomi, politik, sosial, budaya, bahkan agama.
Bangsa ini perlu banyak belajar dan merenung untuk menghargai bahwa korupsi merugikan orang banyak yang telah bekerja keras dan berlaku jujur, korupsi tidak menghargai fitrah manusia yang diilhamkan kepadanya untuk cinta kepada kebaikan dan kejujuran dengan begitu kita semua sedang belajar untuk hidup lebih lurus dan jujur.
Tentu saja, sebagai bentuk kepedulian moral, agama harus tetap diikutkan untuk masalah korupsi. Karena, kita masih berkeyakinan bahwa saat ini, kualitas moral politisi sesungguhnya punya pengaruh yang sangat signifikan dalam membuka pintu-pintu terjadinya praktik korupsi. Pada level inilah, agama perlu menjadi moral guardian (benteng moral) untuk mengawal aktivitas politik penganutnya agar tidak terjebak pada pengingkaran amanah. Sehingga diperlukan pemaknaan kembali ke dasar (back to basic) yakni agama. Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an melarang perbuatan yang berkaitan dan mirip dengan korupsi ini.
3.      Penutup
Keseimbangan antara kecerdasan Inteligensia Question (IQ), Emosional Question (EQ), dan Spritual Question (SQ) adalah unsur-unsur yang wajib ada dalam diri setiap individu pejabat negara. Jika ketiga unsur ini sudah tidak seimbang, maka individu itu cenderung akan korupsi. Diharapkan ketiga unsur tersebut harus diseimbangkan agar menjadi pemimpin yang amanah seperti Rasulullah SAW. Semoga…..