Selasa, 05 Maret 2013

ANALISIS PRAKTIK INSIDER TRADING
Oleh: Bisdan Sigalingging[*]

Salah satu teori yang melandasi larangan terhadap praktik insider trading dalam Pasar Modal dikenal dengan asymetris information theory yang mengatakan “orang dalam lebih dahulu mengetahui informasi dari pada orang luar”. Tentunya jika orang dalam menggunakan informasi yang lebih lebih dahulu diketahuinmya itu untuk kepentingan pribadinya atau kolektif dapat dikategorikan sebagai suatu perbuatan yang dilarang. Secara philosofis larangan terhadap orang dalam menggunakan informasi yang telah diketahuinya lebih dahulu itu pada hakikatnya untuk membuat adil bagi setiap pelaku bisnis dalam pasar modal. Berikut ini tiga contoh kasus dianalisis:

1.      KASUS CHIARELLA
Chiarella adalah seorang karyawan perusahaan Pandick Press (perusahaan percetakan) yang mencetak surat-surat berharga di bidang perdagangan dan keuangan. Chiarella mengetahui isi dokumen-dokumen yang dicetak ternyata dokumen rahasia tentang rencana take over sebuah perusahaan. Chiarella memanfaatkan rencana take over itu dengan membeli saham perusahaan yang akan take over. Ketika Chiarella membeli saham yang akan di-take over, harga sahamnya masih murah hingga Chiarella memperoleh keuntungan pada saat informasi take over disampaikan, karena harga saham perusahaan ketika dilakukan take over akan menjadi naik.
Atas perintah SEC, Chiarella pun ditangkap dan dituntut atas dasar Section 10 (b) The 1933 Act dan Rule 10b-5 ‘34 yang melarang penipuan dalam perdagangan saham. Pertimbangan dari Hakim Powel pada kasus Chiarella melalui Putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat (Chiarella versus United States) memutuskan dengan pertimbangan “seseorang yang mempelajari dokumen rahasia sebuah perusahaan dalam hubungannya dengan pembelian atau penjualan saham sebelum saat informasi disampaikan kepada publik adalah termasuk dalam perbuatan melanggar hukum”.
Menurut hukum pasar modal Amerika Serikat pada kasus Chiarella menentukan kategori insider adalah orang yang menggunakan informasi non public dan orang tersebut mempunyai fudiciary duty dengan perusahaan. Namun oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat, Chiarella tidak dikategorikan sebagai insider dan tidak dapat diberikan sanksi larangan insider trading.
Chiarella dibebaskan dari tuntutan hukum dan hanya dikenakan sanksi “pengembalian uang atau ganti rugi” yang didasarkan kepada tord. Chiarella hanya dikenakan sanksi untuk mengembalikan kerugian akibat perbuatannya atas dasar bahwa pada posisi Chiarella sebagai karyawan perusahaan percetakan memiliki hubungan kepercayaan (fiduciary duty) secara tidak langsung dengan perusahaan yang akan take over tersebut karena pihak perusahaan yang akan melakukan take over menggunakan jasa percetakan yang seharusnya perusahaan percetakan itu bersama karyawannya harus merahasiakan isi dokumen-dokumen perusahaan dimaksud. Tindakan Chiarella yang memanfaatkan dokumen rahasia perusahaan termasuk menegasi atau melawan sebuah teori yaitu teori penyalahgunaan (misappropriation theory) yang mengatakan bagi siapapun dilarang untuk menggunakan suatu informasi yang bukan miliknya untuk digunakan demi kepentingan pribadi ataupun kepentingan kolektif.
Jika dibandingkan dengan ketentuan dalam Pasal 95 UUPM dan penjelasannya menetapkan insider masih menganut kategori traditional insiders. Ketentuan ini menetapkan kategori  insider mutlak” yang berarti hanya orang-orang yang bekerja dalam perusahaan dan terafiliasi dengan perusahaan sedangkan dalam hal misalnya kasus Chiarella dikaitkan dengan UUPM perbuatan Chiarella tidak termasuk insider trading karena tidak terkait dengan apa yang dimaksud dengan hubungan kepercayaan (fiduciary duty).

2.      KASUS CARPENTER
Apabila sebuah tulisan dalam kolom media menilai entitas sebuah perusahaan yang akan listing dengan prospek ke depannya baik, harga sahamnya akan cenderung membaik demikian sebaliknya apabila tulisan itu menilai perusahaan yang akan listing di bursa saham dengan prospek ke depannya suram atau buruk, harga sahamnya dapat dipastikan akan menurun. Seperti itulah yang terjadi dalam  kasus  Carpenter atas terdakwa R. Foster Winans sebagai penulis ternama dan handal di The Wall Street Journal yang menulis “Heard on the Street Column” tentang hasil penilaian dan analisisnya terhadap kondisi perusahaan tertentu yang akan segera melakukan listing di bursa saham Amerika Serikat.
Ekspose tulisan R. Foster Winans sebagai penulis ternama dan handal di The Wall Street Journal menulis “Heard on the Street Column,” dalam sebuah kolom dapat mempengaruhi harga saham dari perusahaan yang dinilai. Pada esensinya sebenarnya Winans memanfaatkan peluang akan mendapatkan untung besar dari perusahaan yang akan listing untuk kepentingan dirinya sendiri dengan cara bersekongkol dengan temannya dan memberitahukan isi dalam kolom tersebut kemudian menganjurkan temannya itu untuk melakukan transaksi saham sebelum listing di bursa. Akibat persekongkolan itu mereka memperoleh keuntungan besar dari transaksi tersebut. Praktik Winans oleh SEC dituduh melakukan insider trading berdasarkan tuduhan bahwa Winans menyalahgunakan informasi milik The Wall Street Journal untuk kepentingan pribadinya.
Teori yang mendasari tuduhan terhadap Wianans oleh Pengadilan adalah misappropriation theory yang menyatakan Winans melakukan penipuan  melalui The Wall S treet Journal sehingga menetapkan Winans melanggar ketentuan insider trading. Penerapan misappropriation theory diterapkan oleh Pengadilan USA dalam kasus Carpenter versus United States. Dengan mendasarkan pada misapprotiation theory, menetapkan kategori seseorang melakukan pelanggaran didasarkan karena:
a.       Melakukan penyalahgunaan materiel nonpublic information;
b.      Termasuk orang yang tidak mempunyai hubungan dari suatu trust dan confidence;
c.       Informasi itu digunakan untuk perdagangan saham; dan
d.      Termasuk orang yang mempunyai kewajiban kepada pemegang saham dan perdagangan saham.
Pada putusan kasus Carpenter yang menerapkan konsep hukum berdasarkan misappropriation theory tidak menganut lagi konsep hukum SEC yang menentukan kategori insider berdasarkan adanya fiduciary duty seperti  yang diterapkan dalam kasus Chiarella. Jika dikaitkan putusan atas kasus Chiarella dengan Carpenter menunjukkan suatu hal bahwa tidak ada kepastian hukum dalam hukum pasar modal Amerika Serikat.
Tampaknya penerapan hukum pasar modal Amerika Serikat pada kasus Carpenter melihat kepada asas manfaat terbanyak dari dari banyak orang. Mungkin oleh karena teori inilah mendasari bahwa walaupun Carpenter tidak termasuk insiders akan tetapi jika perbuatannya itu dihukum akan membawa manfaat terbanyak dari banyak orang.  Kategori insiders yang terdiri dari komisaris, direktur, pemegang saham utama dan karyawan perusahaan adalah contoh klasik dari seseorang  yang mempunyai fiduary duty atau yang disebut dengan traditional insiders.
Jika dibandingkan dengan konsep hukum yang menentukan seseorang dikategorikan insider di Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 95 UUPM jelas bahwa dalam Pasal 95 UUPM menganut teori fiduciary duty seperti putusan kasus Chiarella. Lalu bagaimana kesiapan UUPM jika terjadi kasus yang sama dengan Carpenter di Indonesia???
Perlu pasal tersebut dikaji ulang untuk diterapkan ketentuannya dengan perkembangan penentuan kategori insider sesuai dengan misappropriation theory di dalam peraturan pasar modal di Indonesia (UUPM).

3.      KASUS TEXAS GULF SULPHUR Co (TGS Co)
Penerapan teori kemungkinan (propability theory) misalnya dapat dilihat dari kasus SEC versus Texas Gulf Sulphur Co, 401 F.2d 833 (1968) (TGS Co) di Amerika Serikat. Informasi material yang berhubungan dengan pengeboran barang-barang tambang oleh perusahaan TGS di Timmins (Ontario) dan informasi itu belum di-disclose untuk publik. Pegawai TGS Co Darke dan Coates (seorang ahli geologi) mengetahui adanya berbagai macam barang tambang di setiap kali pengeboran dilakukan di tempat yang berbeda. Informasi yang bersifat rahasia itu oleh pegawai TGS Co Darke dan Coates dibuka dan disampaikan serta merekomendasikannya kepada beberapa manajemen TGS Co.
Pada tanggal 12 Nopember 1963 TGS Co melakukan penggeboran (eksplorasi) bijih besi atau bahan tembaga, perak dan sebagainya, dekat Timmins, Ontario, Canada. Dalam pengeboran tersebut diperoleh indikasi yang sangat menjanjikan dari lobang bor pertama (K-55-1) dalam suatu anomali di sebuah sektor yang dikenal sebagai Kidd-55. Selanjutnya TGS melakukan program pembebasan tanah, dan setelah tanah yang tersedia dibeli, pengeboran dilaksanakan dan dua lobang susulan (K-55-3 dan K-55-4) pada 31 Maret 1964, hasilnya ditemukan bijih besi bernilai tinggi.
Pada tanggal 31 Maret 1964 pengeboran telah selesai dilakukan. Pada tanggal 9 April setelah beberapa hasil tes diselesaikan, berkembanglah informasi mengenai penemuan tersebut. TGS Co membantah informasi temuan itu melalui press release dan mengatakan informasi itu berlebihan lagi pula disebutkan bahwa hasil penelitian belum selesai.
Sebelum di-disclose mereka yang mengetahui informasi itu yakni delapan orang tetap melakukan transaksi saham pada tanggal 12 Nopember dan 16 April 1964. Lima orang menerima opsi saham dari perusahaan tanpa mengungkapkan informasi hasil pengeboran, sementara empat orang menyampaikan informasi pengeboran dan membelinya berdasarkan informasi tersebut selanjutnya dua orang membeli saham pada hari dilangsungkannya konferensi pers tanggal 16 April 1964.
Dihadapan The US Financial Media di New York pada tanggal 16 April 1964 TGS Co mengumumkan secara resmi hasil penemuan di Timmins dalam Press Conference mulai dari jam 10.00 am  sampai dengan jam 10.15 am.  Beberapa menit kemudian barulah berita tersebut dibuka (disclose) ke publik.
Perbuatan kedua pegawai TGS Co Darke dan Coates bersama rekan-rekannya dinilai sebagai perbuatan melanggar hukum. District court berpendapat bahwa dua orang insiders itu telah melanggar Rule 10b-5. Pengadilan USA memutuskan perbuatan kedua pegawai TGS Co Darke dan Coates sebagai insider trading dan terhadap keduanya dikategorikan sebagai orang dalam (insiders). Beberapa orang direksi TGS Co juga dijatuhi hukuman karena melakukan insider trading.
Seharusnya karyawan emiten atau perusahaan publik (employee of the issuer) dikategorikan sebagai insiders yang tentunya memiliki tugas dan kewajiban untuk menjaga loyalitas (duty of loyality) termasuk tanggung jawabnya untuk tidak memanfaatkan keuntungan pribadi atau kolektif dari informasi rahasia (confidential information) yang diperoleh sehubungan dengan pekerjaannya di perusahaan dimaksud.
Penerapan teori kemungkinan (propability theory) di pasar modal Amerika Serikat baru pertama kali diterapkan tepatnya pada kasus antara SEC versus Texas Gulft Sulphur. Berangkat dari pemikiran kemungkinan (probability magnitude) pada kasus TGS Co akhirnya ditetapkan kriteria atau standar materiel yang dirinci dengan pengujian:
a.       Apabila disampaikan kepada publik, dapat mengakibatkan fluktuasi harga saham;
b.      Informasi yang dapat diprediksi oleh orang luar perusahaan (outsiders) melalui keahliannya yang dapat mempengaruhi keputusan untuk berinvestasi;
c.       Fakta materiel tidak hanya terbatas pada sesuatu informasi melainkan dapat pula membawa dampak bagi perusahaan di masa akan datang dan dapat membawa akibat yang mempengaruhi keinginan investor untuk membeli atau menjual saham.
Terhadap perbuatan kedua pegawai TGS Co Darke dan Coates oleh Pengadilan USA dalam mengambil keputusan dengan menggunakan ukuran atau standar material terhadap kasus Texas Gulf Sulphur dan pengadilan berpendapat bahwa informasi yang dihilangkan adalah materiel karena besarnya dan luasnya potensi pelanggaran serta pelanggaran tersebut aktual terjadi di banyak tempat sehingga dimungkinkannya dilakukan tuntutan hukum terhadap kedua pegawai yaitu TGS Co Darke dan Coates.
Untuk menentukan fakta material menurut tes dalam kasus TGS Co bergantung pada keseimbangan indikasi kemungkinan bahwa suatu peristiwa akan terjadi dan antisipasi ukuran dari peristiwa berdasarkan totalitas kegiatan perusahaan. Pengadilan dalam kasus TGS Co menyimpulkan bahwa pengetahuan tentang hasil penemuan mungkin penting terhadap investor yang rasional dan mungkin telah mempengaruhi harga saham.

SEPUTAR PERDAGANGAN ORANG DALAM
(INSIDER TRADING)

Pasal 1 angka 13 UU No.8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (selanjutnya disingkat UUPM) ditentukan bahwa yang dimaksud dengan Pasar Modal adalah suatu kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek.
Orang-orang yang terlibat langsung di dalam Pasar Modal merupakan pihak yang menempati posisi terpenting dan sebagai orang yang dipercaya menjaga rahasia berkenaan dengan dokumen-dokumen perusahaan termasuk orang-orang yang berkedudukan sebagai Komisaris, Pemegang Saham, Perantara, Pialang, Profesi Penunjang Pasar Modal (Konsultan Hukum; Notaris; Penilai; Akuntan publik) dan Karyawan serta orang-orang yang memiliki hubungan dengan insiders yaitu underwriter. Orang-orang yang menempati posisi tersebut disebut sebagai insiders sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 95 UUPM sebagi pihak-pihak yang tergolong insiders adalah:
1.      Emiten atau Perusahaan Publik dimaksud; atau
2.      Perusahaan lain yang melakukan transaksi dengan Emiten atau Perusahaan Publik yang bersangkutan.
Dijelaskan dalam penjelasan Pasal 95 yang dimaksud dengan “orang dalam” dalam termasuk:
  1. Komisaris, direktur, atau pegawai Emiten atau Perusahaan Publik;
  2. Pemegang saham utama Emiten atau Perusahaan Publik;
  3. Orang perseorangan yang karena kedudukan atau profesinya atau karena hubungan usahanya dengan Emiten atau Perusahaan Publik memungkinkan orang tersebut memperoleh informasi orang dalam; atau
  4. Pihak yang dalam waktu 6 (enam) bulan terakhir tidak lagi menjadi Pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, atau huruf c di atas.
Para investor yang berinvestasi dalam pasar modal dapat memperoleh dana segar melalui penjualan efek dalam prosedur pasar perdana atau Initial Public Offering (IPO) dan pasar sekunder, tetapi di dalam pasar modal tidak berarti bahwa kejahatan dan pelanggaran tidak ada, justru tindak kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran dalam pasar modal dapat dilakukan oleh orang-orang dalam yang disebut dengan perdagangan orang dalam (insider trading).
Insider trading adalah praktik penjualan saham yang dilaksanakan oleh orang-orang dalam pasar modal berdasarkan informasi orang dalam yang belum diinformasikan ke publik. Dalam arti lain insider trading adalah praktik penjualan saham yang dilaksanakan oleh orang dalam berdasarkan inside information. Apabila suatu informasi itu sudah di-disclose ke publik, maka informasi tersebut tidak dikatakan lagi sebagai inside information. Atau insider trading bisa juga diartikan transaksi saham berdasarkan bocoran informasi rahasia dari pihak-pihak yang terkait dengan emiten, konsultan perusahaan, atau regulator (insider information). Transaksi seperti ini biasanya melibatkan orang-orang yang menurut aturan tidak boleh melakukan transaksi. Dicontohkan misalnya seorang direksi perusahaan yang memperdagangkan saham perusahaan sendiri.
Perdagangan orang dalam (insider trading) adalah perdagangan efek yang dilakukan mereka yang tergolong “orang dalam” perusahaan (dalam artian luas), perdagangan mana yang didasarkan karena adanya suatu “informasi orang dalam” (inside information) yang penting dan belum terbuka untuk umum, dengan perdagangan mana, pihak insiders tersebut mengharapkan akan mendapatkan keuntungan ekonomi secara pribadi, langsug atau tidak langsung atau yang merupakan keuntungan jalan pintas. Insiders trading dalam bahasa hukum dikategorikan sebagai tindakan memperkaya diri sendiri secara tidak sah atau memiliki apa yang sebenarnya bukan merupakan haknya.
Informasi yang wajib diungkapkan (disclose) adalah fakta materil yang dapat mempengaruhi keputusan investor untuk berinvestasi. Fakta materil merupakan informasi yang relevan mengenai peristiwa, kejadian atau fakta yang dapat mempengaruhi harga efek pada pasar modal atas keputusan pemodal, calon pemodal, dan pihak lain yang berkepentingan atas fakta materil tersebut. Wajib hukumnya fakta materil itu diungkapkan ke publik akan tetapi oleh insiders, fakta materil tersebut terkadang demi kepentingan pribadinya tidak diungkapkan ke publik.
Salah satu prinsip yang bertentangan dengan insdier trading adalah prinsip keterbukaan, karena yang bersangkutan membeli atau menjual saham berdasarkan informasi fakta materil dari orang dalam yang sifatnya tidak terbuka ke publik atau tidak fair yang dapat merugikan pihak lain yang tidak menerima informasi yang sama, sehingga pihak lain tersebut tidak dapat mengambil keputusan untuk membeli atau menjual saham.
Namun, perbuatan insiders dalam pasar modal belum tentu dapat dikatakan melakukan tindak pidana dalam konteks insider trading atau insider trading itu tidak selamanya diasumsikan sebagai kejahatan. Sebagaimana insiders yang membeli saham perusahaan kemudian menjualnya ketika harganya naik, merupakan suatu peristiwa biasa. Adapun hal yang membuatnya menjadi tidak biasa adalah apabila dalam melakukan pembelian dan penjualan saham, insiders itu mendasarkan perbuatannya kepada adanya informasi mengenai fakta materil perusahaan yang belum diinformasikan kepada publik, misalnya tentang rencana perusahaan untuk melakukan merger, atau rencana akan mengakuisisi perusahaan lain yang akan membuat nilai perusahaan itu akan menajdi naik. Perbuatan yang demikian inilah yang dikategorikan sebagai insider trading. Secara teknis, bentuk-bentuk insider trading dibatasi dalam hal:
1.     Pihak yang mengemban kepercayaan secara langsung maupun tidak langsung dari emiten atau perusahaan oknum atau disebut juga sebagai pihak yang berada dalam fiduciary position; dan
2.     Pihak yang menerima informasi orang dalam dari pihak pertama (fiduciary position) atau dikenal dengan tippees.
Insider trading hanya dikenakan terhadap pihak-pihak atau orang-orang yang melakukan perdagangan efek atau sekuritas. Jadi, meskipun pihak penjual atau pembeli tidak memperoleh informasi yang sama tentang suatu barang atau jasa lain yang menjadi objek jual-beli, maka pihak-pihak tersebut tidak dikenakan tuduhan melakukan insider trading. Oleh sebab itu, maka harus ditentukan terlebih dahulu mengenai objek transaksi yang dilakukan itu adalah efek atau sekuritas.

PEMBUKTIAN INSIDER TRADING
Berdasarkan praktiknya sulit untuk dibuktikkan insider trading karena pembuktiannya memerlukan standar pembuktian yang tinggi dan tidak mudah membuktikan ada atau tidaknya insiders itu melakukan insider trading. Banyak contoh kasus pembuktian pelaku insider trading dibebaskan oleh pengadilan karena pengadilan tidak mampu membuktikan kesalahan pelaku.
Pembuktian praktik insider trading dapat dilakukan melalui investigasi para pihak yang dideteksi telah melakukan praktik tersebut dan juga dari pemeriksaan dokumen-dokumen tertulis, termasuk di dalamnya lembaran transaksi elektronik. Dalam dalam Pasal 95 sampai Pasal 99 dan Pasal 104 UUPM diatur larangan perdagangan orang dalam. Aturan ini melarang insiders perusahaan berbadan hukum yang memiliki informasi orang dalam untuk membeli atau menjual saham perusahaan atau perusahaan lain yang bertransaksi dengan perusahaan tersebut. Orang dalam juga dilarang mempengaruhi pihak lain untuk menjual atau membeli saham tersebut. Orang dalam dilarang membocorkan informasi kepada pihak lain yang untuk menggunakannya untuk jual-beli saham tersebut.

----------------




[*] Mahasiswa Semester III Kelas Hukum Bisnis pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan 2011.

Kamis, 14 Februari 2013

Pertanggungjawaban Pidana Berdasarkan Kesalahan Menurut Hukum Pidana Secara Umum

Oleh: Bisdan Sigalingging, SH, MH
Dosen Hukum Pasar Modal pada Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa Medan

Menurut Romli Atmasasmita, pertanggungjawaban pidana (criminal liability) diartikan sebagai suatu kewajiban hukum pidana untuk memberikan pembalasan yang akan diterima pelaku terkait karena orang lain yang dirugikan.[1] Pertanggungjawaban pidana menurut Roeslan Saleh, menyangkut pengenaan pidana karena sesuatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum pidana.[2] Dalam konsep Rancangan KUH Pidana Baru tahun 1991/1992 menegaskan pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif ada pada tindak pidana berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku dan secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat dalam peraturan perundang-undangan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu.[3]
Pendapat di atas mengisyaratkan bahwa pertanggungjawaban pidana itu menyangkut soal penerapan hukum pidana. Namun apakah hukum pidana lantas secara serta-merta dapat diterapkan kepada pelaku? Tentu dengan itu perlu dikaji ada atau tidaknya kesalahan yang melekat pada diri pelaku. Bahkan pada prakteknya tanpa ada kesalahan sekalipun, pelaku (baik orang, badan hukum atau bukan badan hukum atau suatu korporasi) dapat dipidana. Dalam pandangan yang terakhir ini, pertanggungjawaban pidana (criminal liability) sesungguhnya tidak hanya menyangkut soal hukum normatif semata, melainkan juga menyangkut soal nilai-nilai moral atau kesusilaan umum yang dianut oleh masyarakat atau kelompok-kelompok dalam masyarakat.
Sebelum mengkaji pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan, terlebih dahulu dibahas asas pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan atau “asas tiada pidana tanpa kesalahan” (geen straf zonder schuld atau keine strafe ohne schuld atau no punishment without guilt atau disebut juga sebaga asas mens rea atau asas culpabilitas. Dalam Pasal 35 ayat (1) RUU KUH Pidana 2004, asas ini merupakan asas yang fundamental yang oleh karenanya ditegaskan secara eksplisit di dalam konsep sebagai pasangan dari asas legalitas. Penegasan yang demikian merupakan perwujudan pula dari ide keseimbangan monodualistik (monisme dan dualisme).[4] Sehingga dengan adanya pasal yang menegaskan asas “tiada pidana tanpa kesalahan” ini atau asas culpabilitas diimbangi pula dengan adanya ketentuan tentang dalam berbagai perundang-undangan yang menganut asas strict liability dan vicarious liability.[5]
Kesalahan (schuld) menurut hukum pidana mencakup kesengajaan dan kelalaian. Kesengajaan (dolus) merupakan bagian dari kesalahan. Kesalahan pelaku berkaitan dengan kejiwaan yang lebih erat kaitannya dengan suatu tindakan terlarang karena unsur penting dalam kesengajaan adalah adanya niat (mens rea) dari pelaku itu sendiri. Ancaman pidana karena kesalahan lebih berat dibandingkan dengan kelalaian atau kealpaan (culpa). Bahkan ada beberapa tindakan tertentu, jika dilakukan dengan kealpaan, tidak merupakan tindak pidana, yang pada hal jika dilakukan dengan sengaja, maka hal itu merupakan suatu tindak pidana.[6]
Sifat pertama dari kesengajaan menurut EY Kanter dan SR. Sianturi, adalah dolus malus, yakni dalam hal seseorang melakukan tindakan pidana tidak hanya seseorang itu menghendaki tindakannya, tetapi ia juga menginsyafi tindakannya itu dilarang oleh undang-undang dan diancam dengan pidana; dan kedua: kesengajaan yang tidak mempunyai sifat tertentu (kleurloos begrip), yaitu dalam hal seseorang melakukan tindak pidana tertentu cukuplah jika atau hanya menghendaki tindakannya itu. Artinya ada hubungan yang erat antara kejiwaannya (batin) dengan tindakannya tidak disyaratkan apakah ia menginsyafi bahwa tindakannya itu dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang.[7]
Dalam KUH Pidana, sengaja diartikan sebagai kemauan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang. Ada 2 (dua) teori yang berhubungan dengan kesengajaan yaitu teori kehendak dan teori pengetahuan (teori membayangkan). Teori kehendak memandang bahwa sengaja adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang. Sedangkan menurut paham teori pengetahuan (teori membayangkan) memandang bahwa sengaja apabila suatu akibat yang ditimbulkan karena suatu tindakan yang dibayangkan sebagai maksud tindakan itu dan karena itu tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan yang terlebih dahulu tidak dibuat.[8]
Selain kesalahan yang didasarkan pada unsur kesengajaan, unsur lain yang dipenuhi oleh pelaku agar dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana secara umum adalah unsur kelalaian atau kealpaan (culpa). Menurut hukum pidana umum, dikatakan lalai atau alpa harus memiliki karakteristik dengan sengaja melakukan sesuatu yang ternyata salah atau dengan kata lain bahwa pelakunya kurang kewaspadaan dalam melakukan sesuatu hal sehingga mengakibatkan penderitaan atau kematian pada orang lain. Dalam hal lalai atau alpa, pelaku dapat memperkirakan akibat yang akan terjadi dari perbuatannya itu, tetapi ia merasa dapat mencegahnya. Oleh sebab pelaku tidak mengurungkan niatnya untuk berbuat sesuatu itu, maka terhadapnya dapat dipertanggungjawabkan secara pidana karena melakukan perbuatan melawan hukum.[9]
Kelalaian pada diri pelaku terdapat kekurangan pemikiran, kekurangan pengetahuan, dan kekurangan kebijaksanaan. Sehingga jika dipandang dari kealpaan yang disadari, ada kelalaian yang berat dan ada kelalaian yang ringan. Kealpaan yang disadari, pelaku dapat atau mampu membayangkan atau memperkirakan akibat yang ditimbulkan perbuatannya namun ketika melakukan tindakannya, tetap saja menimbulkan akibat fatal kepada orang lain walaupun sudah ada tindakan pencegahan dari pelaku. Kelalaian yang tidak disadari bilamana pelaku tidak dapat atau tidak mampu menyadari atau tidak memperkirakan akan timbulnya sesuatu akibat.[10]
Baik kesengajaan (dolus) maupun kelalaian atau kealpaan (culpa) menurut hukum pidana merupakan suatu perbuatan kesalahan. Oleh sebabnya, hukum pidana harus membuktikan kesalahan tersebut terlebih dahulu agar pelakunya dapat dipertanggungjawabkan. Kedua unsur kesalahan tersebut dianut dalam hukum pidana secara umum di Indonesia dan sampai saat ini masih tetap dipandang sebagai yang lebih baik.
Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila seseorang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Walaupun perbuatannya telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang jika tidak terdapat kesalahan, maka terhadapnya tidak dapat dijatuhkan pidana. Dengan kata lain hukum pidana secara umum berkaitan dengan tindak pidana umum (tipidum) harus ada kesalahan (kesengajaan atau kealpaan) sebagaimana telah diuraikan di atas barulah seseorang atau suatu subjek hukum dimaksud dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Berbeda halnya dengan tindak pidana khusus misalnya pengenaan pidana pada suatu korporasi yang melakukan tindak pidana dalam prakteknya dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan asas baru yaitu asas pertanggungjawaban mutlak (strict liability) yang merupakan kekecualian dari KUH Pidana. Menurut asas ini untuk membuktikan kesalahan saja tidak cukup agar seseorang dapat dipertanggungjawabkan melainkan juga harus melihat nila-nilai moral atau kesusialaan serta keadaan-keadaan batin yang berkembang di tengah-tengah masyarakat, sehingga dapat diterapkan asas baru strict liability ini untuk beberapa ketentuan tindak pidana khusus.[11]
Menurut hukum dikatakan salah karena melakukan pebuatan pidana atau tindak pidana. Perbuatan pidana merupakan perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggar larangan tersebut.[12] Siapa saja yang dimaksud melakukan perbuatan pidana mencakup semua subjek hukum seperti setiap orang atau individu, badan hukum atau bukan badan hukum atau suatu korporasi. Simons, mengatakan perbuatan pidana merupakan suatu tindakan melanggar hukum yang dilakukan dengan sengaja ataupun karena kelalaian dari subjek hukum yang dapat dipertangungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan atau tindakan yang dapat dihukum.[13]
Perbuatan pidana dapat diwujudkan dengan kelakuan aktif (positif) sesuai dengan uraian delik yang mensyaratkannya, seperti mencuri yang ditentukan dalam Pasal 362 KUH Pidana disebut delictum commissionis. Ada juga perbuatan pidana yang diwajibkan dengan kelakuan pasif (negatif) sesuai dengan uraian delik yang mensyaratkannya, misalnya pelanggaran terhadap orang yang memerlukan pertolongan seperti yang ditentukan dalam Pasal 531 KUH Pidana disebut delictum omissionis. Contoh kelakua pasif yang lain misalnya Pasal 341 KUH Pidana yang menentukan dimana seorang Ibu yang menghilangkan nyawa anaknya dengan cara tidak memberinya makanan.
Dikatakan sebagai perbuatan pidana, unsur-unsur atau elemen-elemen yang harus ada dalam suatu perbuatan pidana adalah: terdapat kelakuan dan akibat dari perbuatan, hal atau keadaan-keadaan yang menyertai perbuatan, keadaan tambahan yang memberatkan pidana, unsur melawan hukum yang objektif, dan unsur melawan hukum yang subjektif.[14]
Perbuatan subjek hukum yang termasuk ke dalam unsur pokok objektif adalah perbuatan aktif (positif) dan perbuatan tidak aktif (perbuatan negatif). Akibat perbuatan dari subjek hukum tersebut dapat membahayakan atau menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum misalnya nyawa, badan, kemerdekaan, hak milik/harta benda, atau kehormatan. Keadaan-keadaan tersebut mencakup atas keadaan pada saat perbuatan dilakukan itu dilakukan dan keadaan setelah perbuatan dilakukan. Sifat melawan hukum bertentangan dengan hukum yakni berkenaan dengan larangan atau perintah.[15]
Unsur pokok subjektif didasarkan pada kesalahan (sengaja atau lalai). Menurut pandangan ini, tidak ada hukuman tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld). Baik kesengajaan karena sebagai maksud, sengaja sebagai kepastian, sengaja sebagai kemungkinan maupun kealpaan. Kesengajaan dan kelalaian sama-sama dapat dipidana, namun kelalaian atau kealpaan sebagai bentuk kesalahan lebih ringan sanksi pidananya dibandingkan dengan kesengajaan karena kelalaian atau kealpaan disebabkan karena tidak berhati-hatinya pelaku dan tidak menduga-duga akibat perbuatan itu.[16]
Sifat melawan hukum sebagai suatu penilaian objektif terhadap perbuatan dan bukan terhadap si pembuat (subjektif). Dikatakan sebagai sifat melawan hukum secara formil apabila suatu perbuatan telah mencocoki semua unsur yang termuat dalam rumusan delik. Jika ada alasan-alasan pembenar, alasan-alasan tersebut harus juga disebutkan secara tegas dalam undang-undang. Melawan hukum sama dengan melawan undang-undang (hukum tertulis). Dikatakan sebagai sikap melawan hukum secara materil disamping memenuhi syarat-syarat formil, perbuatan itu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela dan telah dilarang oleh hukum.[17]
Menurut hukum pidana, dikenal 2 (dua) ajaran atau aliran dalam hal suatu subjek hukum dapat dijatuhi pidana atau hukum pidana didasarkan pada ajaran monisme dan ajaran dualisme. Ajaran monisme, memandang bahwa seorang yang telah melakukan perbuatan pidana sudah pasti dipidana tanpa harus melihat apakah subjek hukum itu mempunyai kesalahan atau tidak. Sedangkan ajaran dualisme, memandang dalam penjatuhan pidana terhadap seseorang, yang pertama kali dilakukan terlebih dahulu harus diselidiki apakah perbuatan yang telah dituduhkan itu telah memenuhi unsur-unsur rumusan delik. Apabila telah dipenuhi rumusan deliknya kemudian membuktikan apakah ada kesalahan atau tidak dan apakah pembuat itu mampu bertanggung jawab.[18]
Hukum pidana Indonesia awalnya menganut ajaran dualisme di atas, namun sesuai dengan perkembangan kekinian dengan berbagai modus operandi tindak pidana yang dapat mengakibatkan penderitaan atau korban yang berdampak luas misalnya mengakibatkan kerugian bagi masyarakat luas, maka beberapa tindak pidana khusus sesuai dengan bidang tertentu telah menegaskan secara normatif bahwa suatu korporasi yang melakukan suatu tindak pidana dalam prakteknya dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan asas baru ini yaitu asas pertanggungjawaban mutlak (strict liability) yang merupakan kekecualian dari KUH Pidana. Dapat dikatakan bahwa asas strict liability ini muncul dari ajaran monisme yang memandang bahwa seseorang atau suatu subjek hukum dapat dipertanggungjawabkan tanpa menyelidiki apakah terdapat kesalahan atau tidak.
Tentu dalam hal pertanggungjawaban karena kesalahan maupun tanpa kesalahan terhadap seseorang atau badan hukum atau bukan badan hukum atau suatu korporasi sebagai pembuat pidana diperlukan syarat bahwa pembuat pidana harus mampu bertanggung jawab artinya tidak berada pada pengampuan orang lain. Tidaklah mungkin seseorang dapat dipertanggungjawabkan, jika orang tersebut tidak sehat akalnya misalnya orang gila atau orang sakit. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 44 ayat (1) KUH Pidana bahwa “Barang siapa mengerjakan sesuatu perbuatan, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena kurang sempurna akalnya atau karena sakit tidak boleh dihukum”.[19]
Kemampuan bertanggung jawab menurut hukum pidana didasarkan pada adanya kemampuan bertanggung jawab untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk sesuai dengan aturan hukum dan mana hal perbuatan yang melawan hukum serta mampu untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafannya tentang baik dan buruknya sesuatu perbuatan yang dilakukannya tersebut.[20]


Jumat, 10 Agustus 2012

HARAPAN TERHADAP OJK

Masih ingat kisah film “Pearl Harbour” yang dibintangi Ben Affleck yang diputar tahun 2001? Film ini bercerita tentang penyerbuan militer Jepang ke pangkalan angkatan laut Amerika Serikat di Pulau Oahu, Hawaii, 7 Desember 1941. Ada sekuen kecil dalam film itu yang menarik namun luput dari perhatian sebagian besar penonton, yakni ucapan seorang Laksamana Angkatan Laut (AL) Jepang usai penyerangan yang “gilang-gemilang” itu. “Sepertinya kita sedang membangunkan seorang raksasa yang sedang tidur,” ujar sang Laksamana yang khawatir akan pukulan balik dari militer AS terhadap Jepang di kemudian hari. Dan, benar saja, hal itu terjadi ketika kota Hiroshima dan Nagasaki dibom atom oleh AS. Jepang pun menyerah tanpa syarat dan tercatat dalam sejarah dunia sebagai negara kalah perang.
Agaknya, para petinggi militer Jepang tidak menyerap dengan baik perkataan Sun Tzu sebelum memutuskan untuk menyerang pangkalan Armada Pasifik AS di Pearl Harbour. Bahwa sebelum angkatan bersenjata Jepang tumbuh menjadi negara maju dan moderen, militer Negeri Matahari Terbit itu berguru pada militer AS dalam segala segi. Ibarat murid ingin melawan guru, sudah barang tentu, sang guru masih menyimpan “ilmu pamungkas” yang belum diturunkan kepada muridnya. Pukulan balik sang guru akan mematikan langkah murid yang membangkang. Intinya, militer Jepang tidaklah mengenal siapa musuh yang sedang dihadapi di medan tempur serta terlalu yakin dengan kekuatan diri sendiri.
Bagi Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang baru saja dibentuk untuk mengatur dan mengawasi perbankan di Indonesia hendaknya tidak bersikap arogansi ketika melaksanakan tugas nantinya. Prinsip mengenal medan tempur (know your battle field) hendaknya telah diterjemahkan dan dimodifikasi oleh DK OJK sebelum bertempur dalam penanganan perbankan. 

Sabtu, 14 Juli 2012

BISDAN SIGALINGGING, S.H.: PERSPEKTIF ANAK MEDAN TERHADAP MUNCULNYA OTORITAS ...

BISDAN SIGALINGGING, S.H.: PERSPEKTIF ANAK MEDAN TERHADAP MUNCULNYA OTORITAS ...: INILAH PANDANGANKU TERHADAP KEHADIRAN OTORITAS JASA KEUANGAN Independensi merupakan sesuatu yang mendesak di era reformasi ini. Indep...

PERSPEKTIF ANAK MEDAN TERHADAP MUNCULNYA OTORITAS JASA KEUANGAN

OTORITAS JASA KEUANGAN
Oleh: Bisdan Sigalingging, SH, MH
Dosen Hukum Pasar Modal pada Fakultas Hukum
Dharmawangsa Medan

Independensi merupakan sesuatu yang mendesak di era reformasi ini. Independensi menjadi ciri khas dalam ekonomi negara demokrasi. Ketika independensi itu dirasuki oleh jiwa-jiwa politik, maka laju pembangunan program-program pemerintah yang dicanangkan, cenderung akan didominasi oleh pihak-pihak tertentu sedangkan pihak lainnya akan dimarginalkan atau dipinggirkan.[1] Independensi merupakan sikap untuk mempertahankan hak publik dalam pencapaian tujuan bersama yakni negara yang berdaulat, adil, dan makmur.
Bergulirnya reformasi tahun 1998, rakyat Indonesia sibuk dengan urusan tuntutan untuk mengumandangkan perlunya independensi harus turut campur dalam mengurusi negara ini. Tuntutan demikian sebagai bukti nyata, bahwa rakyat Indonesia tidak percaya seutuhnya kepada para pejabat publik untuk mengelola, mengurusi aset-aset negara, memberikan pelayanan, mengayomi, melindungi, menjalankan program-program pembangunan dalam mengisi kemerdekaan Republik Indonesia.
Independensi merupakan bagian dari mata hati rakyat Indonesia. Ketika instrumen hukum didominasi oleh pemerintah melalui kebijakan politik, maka tujuannya cenderung akan berpola dan berpihak kepada pemerintah itu sendiri. Ketika instrumen hukum itu dikolaborasi dengan pihak independen, bukan pula secara otomatis dapat mencapai tujuan bersama untuk negara yang berdaulat, adil, dan makmur. Independensi tidak membuat secara otomatis berhasil dalam pencapaian tujuan bersama, melainkan penekanan ini difokuskan pada unsur etika dan moralitas untuk membasmi kepraktisan hukum.
Independensi memangkas peran pemerintah absolut dalam meregulasi dan mengawasi sektor ekonomi khususnya perbankan. Pentingnya peran negara atau pemerintah pada prinsipnya dalam sistem demokrasi ekonomi pada prinsipnya hanya sebatas fungsinya sebagai penonton (in partial spectator).[2] Negara atau pemerintah hanya boleh atau dapat mengintervensi pasar gagal untuk menyeimbangkan (stabilisator) pasar ketika sistem pasar keuangan terganggu, sebab bila tidak ada intervensi pemerintah akan menimbulkan distorsi.[3]
Dalam hal terjadinya monopoli alamiah (natural monopoly)[4] terbuka peluang dua pilihan yang mungkin akan terjadi misalnya monopoli dilakukan oleh pihak swasta, monopoli dilakukan oleh pihak pemerintah baik pada saat merancang regulasi maupun ketika regulasi dikeluarkan oleh pemerintah.[5] Berbicara soal independensi dalam mengatur dan mengawasi kegiatan perbankan tidak berfokus pada salah satu pilihan di atas, melainkan dilakukan pendekatan melalui koordinasi yang baik dalam hal mengeluarkan pengaturan dan melakukan pengawasan yang melekat pada suatu lembaga yang independen.
Lembaga yang dimaksud adalah Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disingkat OJK). Lembaga OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan[6] sebagaimana dimaksud dalam UU No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disingkat UU OJK).
Lembaga OJK dibentuk untuk memenuhi amanat dari Pasal 34 UU BI.[7] Tugas pokoknya untuk melakukan pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan terhadap bank-bank dan perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat. Lembaga ini bersifat independen dalam menjalankan tugasnya, berarti kedudukannya berada di luar institusi pemerintah dan berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) serta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Kendatipun Bank Indonesia dan Lembaga Penjamin Simpanan adalah lembaga yang independen tetapi keindependensiannya tidak berlaku secara absolut (mutlak). Begitu juga dengan lembaga OJK tidak mutlak sebagai lembaga yang independen. UU No.23 Tahun 1999 sebagaimana diubah melalui UU No.3 Tahun 2004 sebagaimana diubah melalui UU No.6 Tahun 2009 tentang Bank Indonesia (selanjutnya disingkat UU BI) menegaskan di Pasal 4 ayat (2) UU BI tidak berlaku keindependensian Bank Indonesia secara murni sebab pasal ini merupakan pasal pengecualian.[8] Ketentuan pengecualian itu ditentukan, jika diatur secara tegas dalam UU BI. UU OJK juga mengatur ketentuan pengecualian di Pasal 1 angka 1 jo Pasal 2 ayat (2) terdapat pengecualian jika diatur secara tegas menurut UU OJK.[9]
Pembentukan rezim OJK mulai memangkas ruang lingkup keindependensian Bank Indonesia sebagai Bank Sentral dalam meregulasi dan mengawasi kegiatan sektor perbankan. Tetapi cenderung merembes pada persoalan dalam praktik ke depannya seperti pengecualian yang ditentukan dalam Pasal 4 UU BI dan Pasal 1 angka 1 jo Pasal 2 ayat (2) UU OJK tersebut membuka peluang selebar-lebarnya kepada pemerintah untuk melakukan intervensi dalam mengambil keputusan bisnis perbankan. Kecenderungan itu dapat terjadi ketika dalam hal melakukan pencegahan dan penanganan krisis dalam Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) yang dikoordinator oleh Kemenkeu sementara pihak Kemenkeu itu sendiri bukan pihak yang independen melainkan lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di sektor keuangan. Peluang seperti ini perlu diwaspadai bersama dan menimbulkan pertanyaan, apakah sikap independesi itu hanya ditentukan dalam undang-undang atau disesuaikan dengan kondisi di luar daripada ketentuan undang-undang?, dan apakah koordinasi dapat dijalan dengan baik atau karena kepentingan politik tertentu?.
Robert W. Gordon, sebagaimana yang dikutip oleh David Kairys, kemudian dikutip oleh Bismar Nasution dalam Pidato Pengukuhan Guru Besarnya, bahwa kegagalan pasar sebagai alasan utama untuk intervensi pemerintah di bidang ekonomi, sekaligus harus membuat hukum untuk mengarahkan kegiatan ekonomi itu sendiri.[10] Independensi bagi BI dan OJK tidak diserahkan kepada kedua lembaga ini secara mutlak. Ketika misalnya sistem itu berurusan dengan penyehatan perbankan seperti persoalan ekonomi makro (macro economic supervision) sebagaimana ditentukan di Pasal 39 UU OJK[11], maka jika terjadi hal demikian, dapat dijawab berdasarkan Pasal 2 ayat (2) UU OJK.[12]
Kaitannya dengan Pasal 2 ayat (2) UU OJK di atas adalah, ketika misalnya bank berdampak sistemik (vide Pasal 39 huruf e), maka dapat dicegah dan ditangani melalui Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK), sebab kondisi ini dikategorikan tidak normal sebagaimana yang ditentukan dakam Pasal 45 ayat (2) UU OJK.[13] Sehingga dengan masuknya Kemenkeu ke dalam FKSSK di sini, keindependensian diragukan. Inilah yang mungkin bisa menjadi rembesan dari maksud Pasal 2 UU OJK, yang menentukan: “OJK adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang ini”.
Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan (selanjutnya disingkat LJK)[14] pada prinsipnya terbagi atas dua jenis, pertama, pengawasan dalam rangka mendorong lembaga-lembaga ikut menyokong, menunjang pertumbuhan ekonomi dan menjaga kestabilan moneter (macro economic supervision) melalui pengaturan dan pengawasan yang mendorong agar LJK secara individual tetap sehat serta mampu memelihara kepentingan masyarakat dengan baik (prudential supervision).[15]
Paradigma menjunjung tinggi nilai-nilai moral ketika diterapkan dalam merancang undang-undang (kebijakan formulatif) yang kemudian disepakati bersama melalui sistem demokrasi yang sehat, berarti independensi diperlukan kala itu semata-mata untuk mengatur, mempertahankan dan membangun kepentingan masyarakat luas. Namun, ketika LJK dicampuri oleh urusan-urusan lain di luar lembaga itu sendiri, maka keindependensiannya akan percuma, misalnya mengenai anggaran operasional OJK dipungut dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Sulit untuk memerankan independensi OJK jika anggarannya di luar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).[16] Dikhawatirkan independensi itu akan pincang atau cedera ketika pungutan itu bersumber dari non APBN. Independensi harus otonom, bebas dari pengaruh kepentingan-kepentingan pemerintah, partai politik, swasta, lembaga lain penyandang dana, sektor bisnis dan siapapun.
Secara ilmu hukum tata negara, Bank Indonesia sebagai Bank Sentral terlepas dari ketiga kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.[17] Namun, ketika Bank Indonesia dihadapkan pada ketentuan pengecualian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 UU BI, maka keindependensian Bank Indonesia patut dipertanyakan ketika membuat keputusan atau kebijakan terkait dengan pengaturan dan pengawasan perbankan. Demikian halnya di OJK yang akan dibentuk terdiri dari sembilan orang, dua orang dari ex efficio[18] dan tujuh orang dari independen. Perlu dipertanyakan independensi OJK ketika lembaga ini bertindak sebagai pengatur dan pengawas LJK di sektor perbankan sebagaimana mempedomani makna Pasal 1 angka 1 jo Pasal 2 ayat (2) UU OJK.
Bank-bank konvensional dan bank non konvensional terikat secara terpusat menurut perundang-undangan di bidang perbankan dan kebijakan Gubernur Bank Indonesia. Bank-bank tersebut, baik bank milik pemerintah maupun milik swasta tidak dapat mengelola usahanya dengan cara-caranya sendiri melainkan harus tunduk dan taat terhadap perundang-undangan di bidang perbankan dan kebijakan Gubernur Bank Indonesia.
Pandangan di atas, mengarahkan argumentasi-argumentasi pemikiran terhadap kondisi pencapaian tujuan negara Indonesia khususnya di bidang ekonomi perbankan rezim baru OJK. Krisis perbankan di tahun 1998[19] menjadi polemik yang tidak henti-hentinya dibicarakan oleh semua orang, baik orang awam, mahasiswa, praktisi, maupun akademisi. Benang merah dari rembesan persoalan ekonomi khusunya di bidang perbankan, dapat dikatakan berfokus pada persoalan penerapan hukum dan peraturan perundang-undangan menyangkut kegiatan bisnis khususnya perbankan. Indikator dari persoalan perbankan pada masa itu hingga kini misalnya hampir semua kasus-kasus tersebut diproses di sidang pengadilan.[20]
Permasalahan di sektor jasa keuangan khususnya perbankan pada masa krisis bisa dikatakan menyangkut masalah moral hazard, perlindungan nasabah/konsumen, dan koordinasi lintas sektoral.[21] Namun, perlu pula diamati bahwa di samping sistem hukum juga sebagai penyebab krisis, dapat juga disebabkan timbulnya penurunan dalam disiplin pasar (market dicipline) atau moral hazard (sikap aji mumpung) di berbagai sektor ekonomi dan politik bahkan permasalahan moral hazard itu sudah cukup luas dan mendalam.[22] Pembuatan sistem hukum yang efektif ditujukan pula untuk mengurangi moral hazard sekaligus untuk mengatasi krisis ekonomi.[23] Perlindungan terhadap nasabah/konsumen dilakukan misalnya melalui penerapan prinsip kehati-hatian dalam mengelola sistem perbankan.[24]
Tujuan pengaturan dan pengawasan terhadap bank agar setiap bank, baik secara individal maupun keseluruhan menjadi sehat dan aman serta dapat memelihara kepercayaan masyarakat akan tercipta perbankan nasional yang sehat dimaksud. Maka rezim OJK meminimalisir berbagai risiko yang mungkin timbul dengan cara mengatur dan mengawasi kegiatan sektor perbankan, sekurang-kurangnya mengingatkan perlunya penanganan risiko secara seksama, bahkan jika perlu melarang bank melakukan kegiatan tertentu yang cenderung mengundang risiko tinggi.[25]
Amanat UU OJK menambah satu anggota Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) yang terdiri dari: Menteri Keuangan selaku koordinator, Gubernur Bank Indonesia, Dewan Komisioner (DK OJK, dan Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (DK LPS) sebagai anggota. Forum tersebut tercantum dalam salah satu pokok pikiran yakni ”hubungan kelembagaan”.[26] Untuk mewujudkan hubungan kelembagaan dimaksud dilakukan melalui koordinasi lintas lembaga. Koordinasi merupakan kunci untuk menciptakan perbankan nasional yang sehat dan aman. Tetapi disadari atau tidak, koordinasi merupakan barang mewah di negeri ini. Walaupun demikian, setidaknya melalui koordinasi dapat meminimalisir kendala-kendala yang membuat terhambatnya sistem perbankan. Apalagi koordinasi antar instansi di negeri ini, meski sudah dirasakan membaik masih lebih banyak yang merupakan mimpi.[27]
Koordinasi dapat membawa dampak yang baik, pencitraan terhadap profil suatu lembaga, jika orang-orang yang terikat didalamnya mampu menjalankan tugas dan tanggung jawabnya secara arif, bijak, dan profesional. Demikian sebaliknya, koordinasi justru akan memperburuk suatu lembaga jika para pengemban tugas dan tanggung jawab itu berperilaku cenderung mengabaikan hukum, etika, dan moral. Persoalan koordinasi mudah untuk diucapkan tetapi sulit untuk diterapkan. Melalui koordinasi dapat merusak citra lembaga-lembaga dan melalui koordinasi juga dapat mencapai tujuan yang hakiki.
Dalam melaksanakan tugasnya, lembaga OJK melakukan koordinasi dan bekerjasama dengan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral. Lembaga OJK dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank dengan koordinasi dengan Bank Indonesia dan meminta penjelasan atau keterangan dari Bank Indonesia dan data makro yang diperlukan. Adapun tugas mengatur akan tetap dilakukan oleh Bank Indonesia secara independen dalam koridor-koridor tertentu. Ketentuan dalam UU OJK yang memuat pasal-pasal tentang koordinasi dari Pasal 39 sampai dengan Pasal 46 tidak satupun dari ketentuan itu akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Secara tidak tegas ditentukan akan diatur lebih lanjut oleh Peraturan Pemerintah. Dengan tidak dicantumkannya perintah tertulis dalam UU OJK demikian pada prinsipnya untuk menghindari campur tangan pemerintah ketika mengeluarkan Peraturan Pemerintah terkait dengan koordinasi. Sehingga dapat dimengerti ketika dalam penjelasan Pasal 39 UU OJK djelaskan tata cara koordinasi OJK dengan Bank Indonesia diatur bersama antara OJK dan Bank Indonesia, bukan dibuat dalam bentuk Peraturan Pemerintah. Jika amanat Pasal 39 pengaturannya demikian dapat meminimalisir intervensi pemerintah dalam mengatur dan mengawasi lembaga keuangan sektor perbankan dalam konteks pelaksanaan koordinasi antar OJK dan BI. 
Gubernur Bank Indonesia, Darmin Nasution (Plt), mengakui kesulitan dalam menerapkan koordinasi dengan lembaga lainnya. Kesulitan itu bukan hanya terjadi di negeri ini, tetapi di negeri orang sekalipun, koordinasi itu sulit diintegrasikan apabila lembaganya berbeda.[28] Salah satu cara untuk mengatasi kesulitan ini, dapat dilakukan melalui suatu metode kerja berkoordinasi untuk meminimalisir perbedaan. Lembaga independen dapat menjalankan tugasnya dalam memastikan kesehatan lembaga keuangan, mengurangi risiko dan menciptakan stabilitas sektor jasa keuangan secara keseluruhan.
Penyeragaman kultur antar BI dan OJK akan menjadi kultur baru dalam pengaturan dan pengawasan perbankan. Tidak adanya koordinasi yang baik dan tidak adanya kesetaraan kultur berakibat pada kegagalan lembaga. Contoh kegagalan lembaga pengawasan jasa keuangan di Inggris, Amerika Serikat, dan Korea Selatan (serupa lembaga OJK) disebabkan karena tingginya ego sektoral dan perbedaan kultur yang sulit dipadukan. Struktur sistem pengawasan industri jasa keuangan di negara-negara ini juga terdiri dari beberapa bagian, seperti perbankan, asuransi, pasar modal dan Bank Sentral.[29]
Ego sektoral dan perbedaan kultur memposisikan dirinya lebih unggul. Belajar dari kasus yang terjadi di Inggris ketika Northern Rock Bank, ditangani dan diawasi oleh Financial Service Authority (FSA) semacam OJK di di Inggris akhirnya kolaps dan dibailout oleh Bank of England (BOE). Bank Sentral Inggris tidak pernah tahu tentang sepak terjang pengelola Northern Rock Bank yang terlalu berani melakukan ekspansi pengucuran kredit, akhirnya dipaksa untuk mengambil keputusan sulit ketika kasus tersebut dilimpahkan oleh FSA ke BOE untuk diselamatkan. Bank Sentral Inggris, Bank of England (BOE) justru kembali diberikan kewenangan dan tanggung jawab pengawasan perbankan dan industri keuangan yang lebih luas yang semula hal ini berada di pundak FSA, yang dinilai telah gagal pengawasan terhadap kasus Northern Rock Bank.
Hal serupa menyangkut lemahnya koordinasi dalam membuat pengaturan dan melakukan koordinasi pengawasan sektor perbankan juga terjadi di Amerika Serikat dimana Bank Sentral, Federal Reserve (The Fed), diberikan kewenangan yang lebih luas pasca kegagalan pasar finansial di tahun 2008. Kegagalan di sektor finansial yang terjadi di Amerika Serikat tahun 2008 tersebut secara cepat mengalir dan menyebar pada sistem keuangan global. Krisis ini diakibatkan oleh tidak mampunya otoritas jasa keuangan Amerika Serikat dalam mengidentifikasi potensi macetnya kredit perumahan berkualitas rendah (subprime mortgage).[30]
Lembaga pengawas jasa keuangan di Amerika Serikat tidak berhasil menjalankan pengawasannya terhadap bank dan tidak mampu mencegah praktik bank yang kurang hati-hati. Penilaian kegagalan otoritas jasa keuangan Amerika Serikat, diberikan oleh unit audit internal Bank Sentral Amerika Serikat, Office of Inspector General, menilai lemahnya pengawasan atas bank Midwest Bank, yang akhirnya ditutup pada bulan Mei 2010 karena telah menyebabkan beban kerugian bagi Federal Deposit Insurance Company (FDIC) semacam LPS senilai 200 juta dollar AS.[31] Otoritas pengawasan perbankan Amerika Serikat gagal menjalankan tugasnya yang terbukti dengan krisis tahun 2008.[32]
Sementara lembaga serupa OJK, Financial Supervisory Service (FSS) di Korea Selatan juga mengalami kegagalan yang sama. Padahal misi FSS dibentuk untuk menyehatkan industri perbankan di Korea Selatan yang terjadi ketika krisis 1998 yang kemudian FSS dibentuk tahun 1999. FSS pada prinsipnya harus berkoordinasi dengan Bank of Korea (Bank Sentral Korea).[33] Prinsip kerjasama antara FSS dengan Bank of Korea dilakukan melalui koordinasi, namun koordinasi itu disalahgunakan untuk berbuat praktik-praktik suap-menyuap atau korupsi yang melibatkan petinggi-petinggi di lembaga FSS. Pemerintah Korea Selatan akhirnya mengembalikan kewenangan dan tanggung jawab pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan Korea Selatan kepada Bank of Korea secara keseluruhan.[34]
Bukan hal mudah mewujudkan lembaga pengawasan perbankan yang tangguh jika tidak didukung dengan independensi lembaga pengawas dan koordinasi yang terpadu. Kegagalan menjalankan tugas, khusunya di bidang pengawasan sektor perbankan di Inggris, Amerika Serikat, dan Korea Selatan sebagaimana di atas, merupakan sebahagian kecil dari contoh yang terjadi. Negara yang tergolong berhasil menerapkan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan semacam OJK adalah negara Australia.[35] Tidak ada satupun pola pengawasan industri keuangan yang seragam bagi seluruh negara. Itu sebabnya sebahagian faktor penentu keberhasilan pengawasan perbankan adalah pembentukan kultur baru dan anti moral hazard para dewan pelaksananya harus diutamakan. Misalnya Australian Prudential Regulation Authority (APRA)[36], OJK-nya Australia bersama Bank Sentral, The Reserve Bank of Australia, dinilai yang paling berhasil menjalankan tugasnya mengawal kesehatan dan daya tahan industri keuangan negaranya termasuk perbankannya, rahasia keberhasilannya karena Dewan Komisioner APRA mengedepankan tanggung jawab moral di atas segala-galanya.[37]
Mengawasi perbankan memang bukan perkara mudah. Otoritas dituntut menjaga sistem perbankan untuk menjadi sehat, sekaligus melindungi kepentingan masyarakat khususnya nasabah dan konsumen. Intervensi lembaga pengawas jasa keuangan yang terlalu berlebihan (over acting) untuk mencampuri manajemen bank, misalnya arogansi, dinilai sebagai faktor kondusif kegagalan. Manajemen bank harus tetap bertanggung jawab penuh atas bank yang dikelolanya dan demikian halnya manajemen pengawas. Tanpa mengurangi keindependensian kedua lembaga (BI dan OJK), dapat dipertemukan melalui koordinasi dalam batas-batas hubungan kelembagaan yang ditentukan dalam undang-undang.
Tujuan utama dari sistem pengawasan perbankan adalah untuk menciptakan sistem perbankan nasional yang sehat. Jika independensi BI dan OJK dicampuri oleh pemerintah atau lembaga-lembaga lainnya dalam menjalankan tugas, niscaya tujuan untuk menciptakan sistem perbankan nasional yang sehat itu tidak bisa tercapai. Demikian pula koordinasi yang baik antar BI dengan OJK dan lembaga-lembaga lainnya juga sebagai faktor penentu keberhasilan pengawasan sistem perbankan nasional.