Kamis, 02 Mei 2013

SIKAP PEMERINTAH TERHADAP KEBERADAAN YAYASAN YANG BELUM MENYESUAIKAN DIRI TERHADAP UU YAYASAN DAN PP NO.63 TAHUN 2008 TENTANG PELAKSANAAN UU YAYASAN

SIKAP PEMERINTAH TERHADAP KEBERADAAN YAYASAN YANG BELUM MENYESUAIKAN DIRI TERHADAP UU YAYASAN DAN PP NO.63 TAHUN 2008 TENTANG PELAKSANAAN UU YAYASAN

Oleh: Bisdan Sigalingging, S.H., M.H.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa Medan

Data global Yayasan yang terdaftar di Direktorat Perdata Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Kementerian Hukum dan HAM RI hingga bulan April 2012 berjumlah 39.750 Yayasan, dengan perincian sebanyak 34.397 Yayasan yang mendapatkan surat keputusan pengesahan akta pendirian Yayasan disebut juga Yayasan yang baru berdiri setelah disahkannya UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008, dan sebanyak 5.183 Yayasan yang sudah berdiri sebelum disahkannya UU Yayasan dan telah melakukan perubahan akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasan terhadap UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 dan telah mendapat surat keputusan pengesahan akta pendirian Yayasan (Tabel.5: Data Entry Yayasan untuk Tahun 2003 sampai dengan Tahun 2012), dalam arti semua Yayasan tersebut telah terdaftar dan mendapat pengesahan dari Dirjen AHU Kemenkumham RI.
Berdasarkan data entry Yayasan untuk tahun 2003 s/d 2012 pada Direktorat Perdata Dirjend AHU Kemenkumham RI tertanggal 15 Mei 2012, sebanyak 39.750 Yayasan telah mendapat pengesahan ditunjuk dalam Tabel 5 di bawah ini:
Tabel 5:
Data Entry Yayasan Untuk Tahun 2003 Sampai Dengan Tahun 2012

No
Tahun
SK Yayasan
Perubahan Yayasan
Jumlah
1.
2003
376
35
411
2.
2004
1106
158
1264
3.
2005
2104
341
2445
4.
2006
3085
574
3659
5.
2007
4151
701
4852
6.
2008
5017
880
5897
7.
2009
5007
780
5787
8.
2010
5278
720
5998
9.
2011
6354
824
7178
10.
2012
1919
170
2089
Jumlah
34.397
5.183
39.750
Sumber:   Direktorat Perdata, Dirjen AHU Kemenkumham RI tertanggal 15 Mei 2012
Berdasarkan dari jumlah 34.397 Yayasan yang mendapat surat keputusan pengesahan akta pendirian Yayasan disebut juga Yayasan baru, termasuk di dalamnya Yayasan yang sudah berdiri sebelum lahirnya UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008, namun karena tenggang waktu untuk menyesuaikan diri terhadap UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 telah berakhir pada tanggal 06 Oktober 2008 (vide Penjelasan Pasal 39 PP No.63 Tahun 2008) pihak Yayasan membuat akta pendirian Yayasan yang baru, tanpa menghubungkannya dengan akta pendirian Yayasan atau akta-akta Yayasan yang sudah ada sebelumnya, dengan nama yang sama dengan Yayasan sebelumnya. Sebagai contoh, Yayasan AA, dengan Akta Pendirian 1, Akta Perubahan 2,3,4. Yayasan tersebut telah berdiri jauh hari sebelum sahkannya UU Yayasan. Pihak Yayasan mau menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasarnya terhadap UU Yayasan, namun karena beberapa faktor niat tersebut tidak terlaksana. Batas akhir untuk menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasan yang sudah berdiri sebelum disahkannya UU Yayasan terhadap ketentuan UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008  telah berakhir tanggal 06 Oktober 2008. Bagaimana cara yang dilakukan oleh pihak Yayasan? Pihak Yayasan membuat akta pendirian Yayasan dihadapan Notaris dengan nama Yayasan AA setelah tanggal 06 Oktober 2008, tanpa menyebutkan Akta Pendirian 1, Akta Perubahan 2,3,4 yang sudah dimiliki Yayasan itu sebelumnya. Akta pendirian Yayasan AA yang didirikan setelah tanggal 06 Oktober 2008 diajukan/dimohonkan untuk mendapatkan pengesahan dari Dirjen AHU, tentunya permohonan yang demikian akan dikabulkan oleh Dirjen AHU. Artinya dalam Yayasan tersebut terdapat dua Yayasan, yakni satu Yayasan tidak terdaftar di Dirjen AHU dan satu Yayasan lagi terdaftar di Dirjen AHU dengan nama yang sama atau hampir sama. Cara yang demikian diamini oleh Dirjen AHU. Cara yang demikian di atas diyakini termasuk dalam kategori dari jumlah 34.397 Yayasan yang terdaftar di Dirjen AHU. Hal demikian dapat menimbulkan persoalan hukum, terutama terhadap izin operasional/kegiatan Yayasan, aset-aset, organ  Yayasan, dan sebagainya. Untuk meminimalisir masalah hukum Yayasan AA yang sudah berdiri sebelum diundangkannya UU Yayasan tersebut dengan cara membubarkan diri dan sekaligus melikuidasi aset-asetnya serta menyerahkannya kepada Yayasan AA yang sudah berdiri setelah tanggal 06 Oktober 2008 dan sudah mendapatkan pengesahan dari Dirjen AHU.
Data entry tersebut di atas hanya sebanyak 5.183 Yayasan yang sudah berdiri sebelum disahkannya UU Yayasan yang menyesuaikan diri terhadap UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008 yakni melakukan Perubahan Anggaran Dasar Yayasan tersebut sebelum berakhirnya batas akhir tanggal 06 Oktober 2008 (vide Penjelasan Pasal 39 PP No.63 Tahun 2008). Dalam akta perubahan Anggaran Dasar Yayasan tersebut jelas terlihat riwayat dari Yayasan tersebut dan tertuang dalam surat keputusan pengesahan akta pendirian Yayasan tersebut yang diterbitkan Dirjen AHU.
Pendistribusian Yayasan dalam Data Base pada Dirjen AHU belum terbagi per Provinsi/Kabupaten/Kota, artinya Data Base yang ada pada Dirjen AHU tersebut menyatukan untuk seluruh Indonesia. Rachmad Riyanto menyarankan agar ke depan Data Base yang ada di Dirjen AHU dibuat per Provinsi yang ada di Indonesia untuk mempermudah mencari data-data tentang Yayasan tersebut, mana Yayasan yang terdaftar atau yang sudah mendapat pengesahan dari Dirjen AHU.
Menyinggung mengenai batas waktu bagi Yayasan yang sudah berdiri sebelum diundangkannya UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 di mana Yayasan tersebut belum juga menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasarnya terhadap ketentuan UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 sampai dengan batas tenggang waktu yang ditetapkan dalam Pasal 39 PP No. 63 Tahun 2008 yakni tanggal 06 Oktober 2008, Rachmad Riyanto menyarakan agar ke depan dibuat sebuah Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI (Permen) untuk menganulir masa tenggang waktu tersebut beberapa tahun ke depan agar Yayasan-yayasan tersebut dapat menyesuaikan diri terhadap ketentuan UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008, sepanjang ada desakan dari masyarakat. Bilamana tidak ada desakan dari masyarakat, Pemerintah akan tetap menganggap pelaksanaan PP No.63 Tahun 2008 tidak ada masalah. Dirjen AHU selaku pelaksana dari PP No.63 Tahun 2008 masih terikat dengan PP No.63 Tahun 2008 tersebut. Lebih lanjut Rachmad Riyanto mengatakan bahwa di Gorontalo, ribuan Yayasan yang sudah berdiri sebelum diundangkannya UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 juga belum menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasanya terhadap UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008. Bila hal itu terus terjadi pada semua daerah, tentu akan berakibat fatal, Yayasan tersebut tidak dibenarkan menggunakan kata Yayasan di depan nama Yayasannya dan juga hal dimaksud akan membawa dampak terhadap pertanggungjawaban hukum dikemudian hari.
Yayasan-yayasan yang belum menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasarnya terhadap UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008 menurut Rachmad Riyanto akan diberi lagi kesempatan untuk menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasan  yang akan diatur kemudian dengan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, karena kalau berdasarkan PP No.63 Tahun 2008 diterapkan secara konsekwen maka telah pupus lah harapan bagi Yayasan-yayasan yang berdiri sebelum diundangkannya UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 untuk menyesuaikan diri terhadap ketentuan UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 karena batas waktu untuk menyesuaikan diri terhadap ketentuan UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 telah berakhir pada tanggal 06 Oktober 2008.
Banyaknya Yayasan menurut Rachmad Riyanto yang berdiri sebelum lahirnya UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 belum menyesuaikan diri terhadap UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 yang diperkirakan mencapai 90%  disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut:
  1. Kurangnya sosialisasi atas UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 terhadap masyarakat yang disebabkan oleh dana dan waktu.
  2. Tidak adanya lembaga pengawasan terhadap Yayasan, baik di tingkat Kabupaten/Kota  maupun Provinsi terhadap keberadaan Yayasan tersebut; dan
  3. Sikap dari Dirjen AHU dan Notaris yang ada di seluruh Wilayah Indonesia terhadap persoalan Yayasan hanya bersikap passif.
Mengenai sikap Dirjen AHU terhadap Yayasan yang belum menyesuaikan diri terhadap UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 pada prinsifnya Dirjen AHU terikat kepada ketentuan UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008, namun walaupun demikian Dirjen AHU tetap memperhatikan kepentingan masyarakat, sekalipun batas akhir penyesuaian akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasan yang sudah berdiri sebelum disahkannya UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 telah berakhir. Sikap Pemerintah dalam hal ini merencanakan akan mengeluarkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM untuk menambah waktu agar penyesuaian dimaksud dapat dilakukan, sepanjang ada desakan dari masyarakat.
Pada hakikatnya, menurutnya kontribusi Yayasan dapat dirasakan manfaatnya yang besar bagi kemajuan dan pembangunan bangsa dalam mendukung program-program Pemerintah. Jika Yayasan-yayasan tersebut dibubarkan dan atau dilikuidasi maka secara logika dengan pertimbangan sosial dan hak asasi manusia merupakan sesuatu yang sangat sulit untuk dilakukan, karena jauh sebelum Republik ini merdeka peran Yayasan sudah sangat dirasakan bangsa ini. Oleh sebab itu jalan yang harus ditempuh adalah melakukan revisi terhadap ketentuan UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 khususnya terkait dengan batas waktu yang telah lewat untuk menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasan yakni tanggal 06 Oktober 2008. Untuk mengatasi persoalan ini, uji materil harus segera dilakukan sebab sejak berakhirnya batas waktu yakni tanggal 06 Oktober 2008 hingga saat ini tahun 2012 atau telah berlangsung kurang lebih empat tahun belum ada nampak reaksi dari Pemerintah untuk mengatasi persoalan ini.
Terhadap persoalan Yayasan yang demikian di atas adalah sesuatu yang tidak mungkin dibiarkan. Dalam situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kopertis Wilayah XII diberitakan bahwa terhitung sejak tanggal 29 Maret 2011, sekitar 90% dari 21.000 Yayasan yang bergerak di bidang pendidikan masuk kategori illegal karena tidak menyesuaikan akta pendiriannya hingga telah lewat tenggang waktu yang ditentukan yakni tanggal 06 Oktober 2008.
Sebuah kritik tajam dalam penelitian ini ditujukan kepada pihak Pemerintah, di mana Pemerintah tampaknya tidak mampu menawarkan solusi terbaik terhadap persoalan Yayasan demikian hingga telah berlangsung selama kurang lebih 4 (empat) tahun. Dengan tidak adanya kebijakan dari Pemerintah Republik Indonesia selain mengeluarkan PP No.63 Tahun 2008, seolah-olah Pemerintah melakukan pembiaran atau membiarkan Yayasan-yayasan yang belum menyesuaikan akta pendiriannya terhadap UU Yayasan tersebut mati secara perlahan-lahan atau dengan sengaja dimatikan tanpa penerapan sanksi hukum baik sanksi pidana (straf) maupun sanksi tindakan (matregel) yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya. 
Misalnya polemik Yayasan yang bergerak dalam bidang pendidikan yang belum menyesuaikan akta pendiriannya terhadap UU Yayasan ada sekitar 90% dari 21.000 Yayasan tersebut. Jumlah itu masih dalam kategori Yayasan yang bergerak di bidang pendidikan belum lagi jika dikalkulasikan semua Yayasan yang bergerak pada bidang-bidang lainnya, misalnya Yayasan yang bergerak di bidang Haji dan Umroh, dan lain sebagainya. Kondisi demikian butuh solusi, namun, belum ada kejelasan cara penyelesaiannya.
Dalam situs tersebut, Dirjen AHU Kemenkumham RI menyikapinya dengan mengatakan sebagai berikut:
Kami hanya pelaksana, yang bisa dilakukan Yayasan lama mengajukan untuk dibuat Yayasan baru. Artinya, harus ada hibah dari Yayasan lama ke Yayasan baru. Pemerintah tidak bisa memutihkan Yayasan pendidikan yang terlambat menyesuaikan diri selama aturan hukum soal Yayasan masih mengikat pemerintah. Namun, pemerintah juga tidak menindak tegas Yayasan pendidikan yang belum menyesuaikan diri. Pembubaran juga tidak direncanakan. Pembubaran baru bisa dilakukan dengan putusan pengadilan atas permohonan kejaksaan atau pihak berkepentingan.

Pernyataan sikap yang disampaikan Dirjen AHU tersebut, jelas tampak tidak ada tindakan tegas dari Pemerintah terhadap persoalan Yayasan-yayasan yang belum menyesuaikan akta pendiriannya, bahkan pembubaran juga tidak direncanakan melainkan pembubaran baru bisa dilakukan apabila ada putusan Pengadilan atas permohonan oleh pihak Kejaksaan atau pihak berkepentingan dalam hal ini masyarakat yang dirugikan. Jelas dalam pernyataan ini, Pemerintah membiarkan Yayasan-yayasan yang belum menyesuaikan akta pendiriannya terhadap UU Yayasan mati secara perlahan-lahan atau sengaja dimatikan melalui kebijakan yuridis. Dari kebijakan yuridis tersebut terkesan Pemerintah lebih mengutamakan atau menganak emaskan Yayasan yang baru berdiri untuk mendapatkan status badan hukum dari Dirjen AHU, sekalipun Yayasan yang baru berdiri tersebut belum ada berbuat yang terbaik untuk bangsa dan negara ini. Kondisi demikian adalah sesuatu hal yang mendesak dan darurat untuk segera dilakukan uji materil terhadap ketentuan Pasal 71 UU Yayasan ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan uji materil ketentuan Pasal 39 PP No.63 Tahun 2008 ke Mahkamah Agung Republik Indonesia terkait dengan penyesuaian akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasan terutama berkenaan dengan batas waktu penyesuaian perubahan akta pendirian/Anggaran Dasar yang telah berakhir tanggal 06 Oktober 2008 yang lalu.
Thomas Suyatno, Ketua Umum Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Seluruh Indonesia (ABPPTSI) menyayangkan sikap Pemerintah yang demikian dan pihak ABPPTSI mendukung kuat untuk pengujian materil terhadap Pasal 71 UU Yayasan tersebut. Pengujian materil ketentuan Pasal 71 UU Yayasan dan Pasal 39 PP No.63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan UU Yayasan juga didukung oleh Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS).
Apabila Yayasan-yayasan yang belum menyesuaikan Akta Pendirian/Anggaran Dasarnya dan belum mendapatkan pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM tetap dibiarkan beroperasi seperti sediakala, maka dapat dibayangkan berapa banyak keuntungan yang terus dinikmati oleh para pendiri atau pemilik Yayasan yang merangkap sebagai pengurus Yayasan. Setidaknya jika Pemerintah menerapkan ketentuan Pasal 71 ayat (4) UU Yayasan dan Pasal 39 PP No.63 Tahun 2008 tersebut dengan secara sungguh-sungguh dan serius menerapkan sanksi hukum dimaksud, yakni membubarkan dan melikuidasi aset kekayaan Yayasan yang tidak menyesuaikan Akta Pendiriannya tersebut, sehingga menjadi contoh konkrit implementasi UU Yayasan kepada Yayasan-yayasan yang tetap beroperasi saat ini.
Namun, walaupun Yayasan-yayasan tersebut dapat dibubarkan atau dilikuidasi asetnya, akan tetapi berdasarkan ketentuan Pasal 71 ayat (4) UU Yayasan harus terlebih dahulu dimohonkan oleh Kejaksaan atau pihak lain yang berkepentingan ke Pengadilan Negeri setempat. Kejaksaan Negeri sekalipun masih tampak jarang melakukan permohonan ke Pengadilan Negeri demikian pula pihak-pihak yang berkepentingan misalnya masyarakat yang dirugikan.
Mengingat batas akhir penyesuaian akta pendirian/Anggaran Dasar yang ditentukan UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 telah berakhir pada tanggal 06 Oktober 2008 (vide Pasal 39 PP No.63 Tahun 2008) maka sudah saatnya Yayasan-yayasan tersebut ditutup dan terhadap pengurusnya dapat diterapkan sanksi pidana. Namun, jika dipertimbangkan lebih jauh dan mendalam mengenai dampak yang ditimbulkan secara yuridis bahwa semua kegiatan Yayasan yang belum menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasarnya itu termasuk kegiatan yang illegal dan bahkan lulusan atau para alumninya sekalipun yang berasal dari Yayasan tersebut (jika bergerak di bidang pendidikan) dapat dikatakan illegal.
Tidak tanggung-tanggung dampak dari UU Yayasan ini terhadap nasib Yayasan-Yayasan yang belum menyesuaikan diri terhadap UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008 sangat beresiko tinggi, sebab akan sangat banyak jumlah para alumni yang berasal dari Yayasan-yayasan tersebut khususnya di bidang pendidikan yang belum menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasarnya menyandang gelar akademik yang illegal, apakah kondisi demikian akan tetap dibiarkan tanpa ada tindakan dari Pemerintah? Jika diterapkan sanksi hukum sebagaimana yang dijelaskan di atas akan menjadi dilema yang cukup sistemik terhadap seluruh lini dalam Yayasan termasuk masyarakat. Jika dibiarkan tanpa ada tindakan dari pemerintah, maka semakin memperjelas carut marutnya penegakan hukum di negara ini, karena masalah Yayasan akan timbul di mana-mana.
Untuk menghadapi persoalan ini, walaupun UU Yayasan mengamanatkan berupa sanksi pidana maupun berupa sanksi administratif atau tindakan terhadap Yayasan-yayasan dimaksud menurut hemat Penulis adalah sesuatu yang tidak adil jika kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah adalah menerapkan sanksi yang dimaksud. Sebab kontribusi dari Yayasan yang sudah berdiri sebelum disahkannya UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008 telah banyak pula memberikan manfaat terhadap kualitas bangsa dan negara ini dan bahkan sangat membantu program kerja Pemerintah misalnya dalam bidang pendidikan dan keagamaan yang tak bisa dinafikan oleh Pemerintah sendiri. Oleh sebab itu, satu-satunya jalan yang harus ditempuh guna menyelamatkan ribuan Yayasan-yayasan yang sudah berdiri sebelum lahirnya UU Yayasan dan belum menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasarnya terhadap UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008 adalah melakukan uji materil ke Mahkamah Konstitusi RI dan Mahkamah Agung RI terhadap pasal-pasal dalam UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 khususnya Pasal 71 UU Yayasan dan Pasal 39 PP No.63 Tahun 2008. Sebelum dilakukan uji materil atau direvisi ketentuan terkait dengan masa tenggang waktu penyesuaian akta pendirian/Anggaran Dasar yang ditentukan dalam UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 tersebut, maka tidak ada pilihan lain bagi Yayasan-yayasan tersebut yang saat ini untuk bergegas dan berusaha menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasanya terhadap UU Yayasan. Di topang pula adanya kegamangan para Pendiri dan Pengurus Yayasan yang sudah berdiri sebelum disahkannya UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008 terhadap ketentuan Pasal 3, Pasal 5, Pasal 7 UU Yayasan, yang dapat semakim memperuncing perlawanan terhadap UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008.
Tanggung jawab Pengurus Yayasan terhadap Yayasan yang sudah didirikan sebelum lahirnya UU Yayasan adalah menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasannya terhadap UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008 dengan akta notarial. Perubahan akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasan disampaikan kepada Dirjen AHU dengan dilampiri syarat-syarat formil yang ditetapkan UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008 bila Yayasan dimaksud mau menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasarnya terhadap UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008, namun harapan Yayasan yang sudah berdiri sebelum lahirnya UU Yayasan untuk menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasan terhadap UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 saat sekarang ini telah pupus karena terganjal ketentuan Pasal 39 PP No. 63 Tahun 2008. Bilamana Pengurus tidak menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasan terhadap UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008,  Pengurus Yayasan bertanggung jawab untuk melikuidasi Yayasan beserta harta kekayaannya dan membubarkan Yayasan tersebut kemudian menyerahkan harta kekayaan hasil likuidiasi kepada Yayasan lain atau badan hukum lain atau kepada Negara yang penggunaannya dilakukan sesuai kegiatan Yayasan yang bubar.
Pengurus Yayasan yang tidak menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasannya terhadap UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008, maka Pengurus Yayasan tersebut secara tanggung renteng bertanggung jawab memanggil likuidator untuk melikuidasi Yayasan beserta harta kekayaannya serta membubarkan Yayasan tersebut kemudian menyerahkan harta kekayaan hasil likuidasi kepada Yayasan lain atau badan hukum lain atau kepada Negara yang penggunaannya disesuaikan dengan kegiatan Yayasan yang bubar, atau bilamana Pengurus Yayasan dimaksud keberatan atas hal tersebut di atas Pengurus Yayasan yang dikategorikan illegal menurut UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008 dapat mengajukan permohonan uji materil terhadap UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008.
Status hukum harta kekayaan Yayasan yang sudah berdiri sebelum lahirnya UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 jika akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasan tersebut tidak disesuaikan terhadap UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008 bertalian dengan status hukum Yayasan tersebut ”dianggap tidak pernah ada atau illegal” menurut perspektif Pasal 71 ayat (4) UU Yayasan dan Pasal 39 PP No.63 Tahun 2008, sehingga konsekwensinya status hukum harta kekayaan Yayasan dimaksud harus diserahkan kepada likuidator untuk dilikuidasi dan diserahkan kepada Yayasan lain atau badan hukum lain atau Negara untuk digunakan mencapai maksud dan tujuan Yayasan yang bubar tersebut. Yayasan-yayasan yang masih beroperasi atau melaksanakan kegiatan dan tidak menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasarnya terhadap UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 serta tidak disahkan oleh Kemenkumham tidak boleh menggunakan kata Yayasan di depan namanya dan dapat dibubarkan berdasarkan putusan Pengadilan atas permohonan Kejaksaan atau pihak yang berkepentingan.
Diharapkan Pemerintah melalui kebijakan yuridisnya agar tidak terlalu mengintervensi kebebasan masyarakatnya dalam hal kegiatan berorganisasi sebagaimana diamanatkan UUD 1945 tentang kemerdekaan berserikat dan berkumpul dalam naungan Yayasan, sebab intervensi melalui UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008 tersebut dinilai terlalu berlebihan serta mematikan Yayasan yang tidak menyesuaikan Anggaran Dasar secara perlahan-lahan.
Sikap Pemerintah terhadap keberadaan Yayasan yang sudah berdiri sebelum lahirnya UU Yayasan dan belum menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasarnya terhadap UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008 hingga telah lewat batas akhir penyesuaian akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasan yang ditentukan tanggal 06 Oktober 2008, pemerintah masih tetap memberikan dan memperpanjang izin operasional/kegiatan sekolah-sekolah swasta yang berada di bawah naungan Yayasan yang illegal dimaksud. Hal ini dapat dibuktikan dari penetapan tanggal, bulan, dan tahun dari beberapa surat keputusan yang diterbitkan Dinas Pendidikan Kota Medan, Badan Akreditasi Nasional Sekolah/ Madrasah Provinsi Sumatera Utara, Badan Akreditasi Sekolah Kota Medan, Kementerian Agama Kota Medan, Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara, dan Dinas Kesejahteraan dan Sosial Provinsi Sumatera Utara, dengan berbagai pertimbangan diantaranya didasari faktor sosial dan politik, sekalipun Yayasan tersebut illegal menurut UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008.
Diharapkan agar Pemerintah segera merevisi masa tengggang waktu penyesuaian akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasan terhadap UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 dengan cara merevisi Pasal 71 UU Yayasan, Pasal 39 PP No.63 Tahun 2008 untuk menyelamatkan ribuan Yayasan lama agar tidak masuk kategori illegal, dan mencabut Pasal 3, Pasal 5, Pasal 7 UU Yayasan karena ketentuan itu dinilai para Pendiri dan Pengurus Yayasan sebagai salah satu faktor yang sangat menyulitkan mengingat pola budaya ber Yayasan di Indonesia di samping beramal juga sarana mata pencaharian, sehingga para Pendiri dan Pengurus Yayasan yang sudah berdiri sebelum lahirnya UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008 bermalas-malas menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasannya terhadap UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008, serta ditopang lagi oleh sikap Pemerintah yang masih memberi dan memperpanjang izin operasional/kegiatan Yayasan illegal tersebut.

STATUS YAYASAN YANG TIDAK MENYESUAIKAN AKTA PENDIRIANNYA DAN AD-NYA TERHADAP UU YAYASAN DAN PP NO.63 TAHUN 2008

STATUS YAYASAN YANG TIDAK MENYESUAIKAN AKTA PENDIRIANNYA DAN AD-NYA TERHADAP UU YAYASAN DAN PP NO.63 TAHUN 2008
Oleh
Bisdan Sigalingging, S.H., M.H.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa Medan

Pasal 71 UU No.16 Tahun 2001 yang telah direvisi melalui UU No.28 Tahun 2004 tentang Yayasan (UU Yayasan) dan Pasal 39 PP No.63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan UU Yayasan memerintahkan agar yayasan-yayasan yang ada sebelum keluarnya UU Yayasan dan PP dimaksud wajib menyesuaikan AKTA PENDIRIAN YAYASANNYA dan ANGGARAN DASARNYA terhadap ketentuan UU No.16 Tahun 2001 yang telah direvisi melalui UU No.28 Tahun 2004 tentang Yayasan (UU Yayasan) dan dan PP No.63 Tahun 2008.

Jika ternyata belum menyesuaikannya, maka:
Status hukum termasuk segala harta kekayaan Yayasan yang sudah berdiri sebelum lahirnya UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 jika akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasan tersebut tidak disesuaikan terhadap UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008 bertalian dengan status hukum Yayasan tersebut ”dianggap tidak pernah ada atau illegal” menurut Pasal 71 ayat (4) UU Yayasan dan Pasal 39 PP No.63 Tahun 2008, sehingga konsekwensinya status hukum harta kekayaan Yayasan dimaksud harus diserahkan kepada likuidator untuk dilikuidasi dan diserahkan kepada Yayasan lain atau badan hukum lain atau Negara untuk digunakan mencapai maksud dan tujuan Yayasan yang bubar tersebut. Yayasan-yayasan yang masih beroperasi atau melaksanakan kegiatan dan tidak menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasarnya terhadap UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 serta tidak disahkan oleh Kemenkumham tidak boleh menggunakan kata Yayasan di depan namanya dan dapat dibubarkan berdasarkan putusan Pengadilan atas permohonan Kejaksaan atau pihak yang berkepentingan.

Tanggung jawab Pengurus Yayasan terhadap Yayasan yang sudah didirikan sebelum lahirnya UU Yayasan adalah menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasannya terhadap UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008 dengan akta notarial. Perubahan akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasan disampaikan kepada Dirjen AHU dengan dilampiri syarat-syarat formil yang ditetapkan UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008 bila Yayasan dimaksud mau menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasarnya terhadap UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008, namun harapan Yayasan yang sudah berdiri sebelum lahirnya UU Yayasan untuk menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasan terhadap UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 saat sekarang ini telah pupus karena terganjal ketentuan Pasal 39 PP No. 63 Tahun 2008. Bilamana Pengurus tidak menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasan terhadap UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008,  Pengurus Yayasan bertanggung jawab untuk melikuidasi Yayasan beserta harta kekayaannya dan membubarkan Yayasan tersebut kemudian menyerahkan harta kekayaan hasil likuidiasi kepada Yayasan lain atau badan hukum lain atau kepada Negara yang penggunaannya dilakukan sesuai kegiatan Yayasan yang bubar.

Batas waktu penyesuaian akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasan tanggal 06 Oktober 2008 yang lalu, saat ini sudah tahun 2013. Namun demikian permasalahan Yayasan dalam masyarakat sebenarnya bermula dari keluarnya UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 yang memerintahkan semua yayasan yang didirikan sebelum UU Yaysaan dan PP dimaksud wajib menyesuaikan akta pendiriannya dan anggaran dasarnya terhadap UU Yasan dan PP dimaksud.

Jika diikuti tujuan UU Yayaysan dan PP dimaksud seharusnya yayasan-yayasan yang terlambat atau tidak mau menyesuaikan akta pendiriannya sebalum tanggal 06 Oktober 2008 harus dilikuidasi dan asetnya diserahkan kepada yayasan lain yang memiliki kesamaan tujuan. Tetapi langkah untuk melikuidasi semua yayasan-yayasan yang tidak tuntuk pada UU Yayasan dan PP sampai saat ini dibiarkan saja oleh pemerintah, tidak ada langkah yang bijak dilakukan Pemerintah hingga saat ini bahkan batas akhir tanggal 6 Oktober 2008 tersebut juga tidak diperpanjang lagi hingga kini.

Oleh karena itu, walaupun yayasan itu illegal tapi tidak ”dimatikan” karena dapat berpotensi menimbulkan masalah yang lebih besar lagi. Saat ini tim kami ingin mengajukan judicial review terhadap UU Yayasan dan PP dimaksud khususnya Pasal 71 ayat (3) dan ayat (4) UU Yayasan serta Pasal 39 PP No.63 Tahun 2008 yang menentukan:

Pasal 71 UU Yayasan menentukan:
(1) Pada saat Undang-undang ini mulai berlaku, Yayasan yang:
a. telah didaftarkan di Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita
Negara Republik Indonesia; atau
b. telah didaftarkan di Pengadilan Negeri dan mempunyai izin melakukan kegiatan dari instansi terkait; tetap diakui sebagai badan hukum dengan ketentuan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal Undang-undang ini mulai berlaku, Yayasan tersebut wajib menyesuaikan Anggaran Dasarnya dengan ketentuan Undang-undang ini.
(2) Yayasan yang telah didirikan dan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat memperoleh status badan hukum dengan cara menyesuaikan Anggaran Dasarnya dengan ketentuan Undang-undang ini, dan mengajukan permohonan kepada Menteri dalam jangka waktu paling lambat I (satu) tahun terhitung sejak tanggal Undang-undang ini mulai berlaku.
(3) Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib diberitahukan kepada Menteri paling lambat 1 (satu) tahun setelah pelaksanaan penyesuaian.
(4) Yayasan yang tidak menyesuaikan Anggaran Dasarnya dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak dapat menggunakan kata "Yayasan" di depan namanya dan dapat dibubarkan berdasarkan putusan Pengadilan atas permohonan Kejaksaan atau pihak yang berkepentingan."

Pasal 39 PP No.63 Tahun 2008 ttg Pelaksanaan UU Yayasan:
Yayasan yang belum memberitahukan kepada Menteri sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) Undang-Undang tidak dapat menggunakan kata “Yayasan” di depan namanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (4) Undang-Undang dan harus melikuidasi kekayaannya serta menyerahkan sisa hasil likuidasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 Undang-Undang.

Sikap Pemerintah terhadap keberadaan Yayasan yang sudah berdiri sebelum lahirnya UU Yayasan dan belum menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasarnya terhadap UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008 hingga telah lewat batas akhir penyesuaian akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasan yang ditentukan tanggal 06 Oktober 2008, pemerintah masih tetap memberikan dan memperpanjang izin operasional/kegiatan sekolah-sekolah swasta yang berada di bawah naungan Yayasan yang illegal dimaksud. Hal ini dapat dibuktikan dari penetapan tanggal, bulan, dan tahun dari beberapa surat keputusan yang diterbitkan Dinas Pendidikan Kota Medan, Badan Akreditasi Nasional Sekolah/ Madrasah Provinsi Sumatera Utara, Badan Akreditasi Sekolah Kota Medan, Kementerian Agama Kota Medan, Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara, dan Dinas Kesejahteraan dan Sosial Provinsi Sumatera Utara, dengan berbagai pertimbangan diantaranya didasari faktor sosial dan politik, sekalipun Yayasan tersebut illegal menurut UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008.

(PENELITIAN INI TELAH DILAKUKAN TERHADAP 50 YAYASAN DI SUMUT DAN ENTRY DI DIRJEN AHU KEMENKUMHAM RI). Baca postingan saya ttg “SIKAP PEMERINTAH TERHADAP KEBERADAAN YAYASAN YANG BELUM MENYESUAIKAN DIRI TERHADAP UU YAYASAN DAN PP NO.63 TAHUN 2008”.


Kamis, 28 Maret 2013

TUGAS DAN KEWENANGAN OTORITAS JASA KEUANGAN DAN BANK INDONESIA MENURUT UNDANG-UNDANG OTORITAS

TUGAS DAN KEWENANGAN OTORITAS JASA KEUANGAN DAN BANK INDONESIA MENURUT UNDANG-UNDANG OTORITAS
JASA KEUANGAN
Oleh: Bisdan Sigalingging, SH, MH
Dosen Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa Medan Sumatera Utara

Amanat Pasal 34 ayat (1) UU BI menentukan tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen dengan mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank. Dalam penjelasannya dikemukakan bahwa lembaga tersebut berfungsi antara lain melakukan pengawasan terhadap bank…. dan seterusnya. Amanat Pasal 34 ayat (1) UU BI menekankan kepada lembaga tersebut untuk bertindak sebagai dewan pengawas (supervisory board), dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank secara berkoordinasi dengan BI.
Namun ternyata setelah diundangkannya UU OJK menentukan lain, yakni memberikan kewenangan luas kepada OJK untuk membuat pengaturan dan pengawasan bahkan kewenangannya dapat bertindak sebagai penyidik layaknya seperti KPK. Sebagai contoh dalam Pasal 5 dan Pasal 6 ditegaskan OJK berwenang melaksanakan pengaturan dan pengawasan, padahal diketahui sebelumnya seperti yang telah ditentukan dalam amanat Pasal 34 ayat (1) UU BI, wewenangnya adalah mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank, namun fakta yuridisnya menentukan kewenangan OJK meliputi mengatur, mengawasi, memeriksa, dan bahkan sebagai penyidik. Oleh sebab itu, ketentuan-ketentuan dalam UU OJK tampak menjadikan OJK sebagai lembaga super body bukan supervisory board.
1.      Tugas Pengaturan dan Pengawasan antara Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia
Ketentuan tugas pengaturan dan pengawasan yang ditentukan dalam Pasal 5 UU OJK berarti tugas mengatur dikombinasi dengan tugas mengawai, dengan kata lain OJK memiliki kewenangan kedua-duanya secara sekaligus yakni mengatur dan mengawasi. Kombinasi antara kedua tugas tersebut sebagaimana ditentukan lebih lanjut pada Pasal 6 huruf a UU OJK yang ditentukan, “OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan”. Oleh karena OJK memiliki tugas untuk melaksanakan pengaturan dan pengawasan tersebut, maka OJK diberi kewenangan untuk itu.
Wewenang adalah sesuatu yang dilimpahkan atau dari kekuasaan, hak yang dimiliki untuk mengambil keputusan, sikap atau tindakan berdasarkan tanggung jawab yang diberikan. Dengan demikian, kewenangan berarti hak bagi yang menerimanya dan tidak bisa dilakukan oleh orang lain atau lembaga lain kecuali dialihkan oleh otoritas terkait melalui surat kuasa untuk mengalihkan kewenangan tersebut atau perintah dari yang berhak kepada pihak lain untuk melakukan kewenangan dimaksud.
Kombinasi kewenangan OJK dalam melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan, dapat dilihat ketentuan Pasal 7 UU OJK, bahwa untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor Perbankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, OJK mempunyai wewenang:
  1. Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi:
a.       Perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank; dan
b.      Kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa;
  1. Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi:
1)      Likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank;
2)      Laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank;
3)      Sistem informasi debitur;
4)      Pengujian kredit (credit testing); dan
5)      Standar akuntansi bank;
  1. Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi:
1)      Manajemen risiko;
2)      Tata kelola bank;
3)      Prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan
4)      Pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; dan
5)      Pemeriksaan bank.
Selain menjadi kewenangan OJK tentang perizinan untuk pendirian bank maupun pembukaan kantor bank, juga menjadi kewenangan BI sebagaimana ditentukan pada Pasal 15 ayat (1) huruf b UU BI, yakni “melaksanakan dan memberikan persetujuan dan izin atas penyelenggaraan jasa sistem pembayaran”, kemudian ditentukan pula dalam Pasal 24 UU BI yakni “…Bank Indonesia menetapkan peraturan memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank, melaksanakan pengawasan bank dan mengenakan sanksi terhadap Bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Mengenai merger, konsolidasi, dan akusisi bank menjadi kewenangan OJK untuk membuat pengaturan dan pengawasannya, kewenangan ini juga menjadi kewenangan BI sebagaimana ditentukan dalam Pasal 25 ayat (2) huruf e UU BI pada penjelasannya disebutkan salah satu pokok ketentuan yang akan ditetapkan dalam PBI adalah merger, konsolidasi, dan akuisisi bank. Pencabutan izin usaha bank yang menjadi kewenangan OJK juga menjadi kewenangan BI untuk mengatur dan mengawasi sebagaimana pada penjelasan Pasal 25 ayat (2) huruf j UU BI, ditentukan pencabutan izin usaha, likuidasi, dan pembubaran bentuk hukum bank juga menjadi kewenangan BI.
Mengenai kewenangan OJK tentang pengaturan dan pengawasan yang berkaitan dengan kesehatan bank sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 UU OJK, tidak ditentukan sebagai kewenagan BI dalam Pasal 24 sampai dengan Pasal 33 UU BI akan tetapi mengenai pengaturan dan pengawasan kesehatan bank menjadi wewenang BI dalam rangka menetapkan dan melaksanakan kebijakan monter sebagaimana yang dijelaskan dalam penjelasan Pasal 11 ayat (3) UU BI. Hal ini berarti BI juga dapat bertindak untuk membuat pengaturan dan pengawasan terhadap bank jika menyangkut pelaksanaan kebijakan moneter. 
Kewenangan OJK untuk membuat pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi sebagaimana yang ditentukan pada Pasal 7 UU BI juga menjadi kewenangan BI sebagaimana ditentukan dalam Pasal 25 ayat (1) UU BI bahwa, “Dalam rangka melaksanakan tugas mengatur bank, Bank Indonesia berwenang menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian”.
Berdasarkan kesamaan kewenangan antara BI dan OJK sebagaimana ditentukan di atas, merupakan kombinasi kewenangan tugas mengatur dan mengawasi antara BI dan OJK. Oleh sebab itu, dalam rangka menjalankan tugas dan kewenangan mengatur dan mengawasi bank sebagaimana dimaksud di atas, dilakukan kedua lembaga ini melalui koordinasi yang terintegrasi. Jika tidak dilakukan melalui koordinasi yang terintegrasi, niscaya sinergi pembuatan pengaturan dan pengawasan bank antara BI dan OJK tidak akan sinkron artinya pada suatu waktu bisa menimbulkan ketidaksesuaian substansi dalam pengaturan dan menimbulkan benturan kepentingan dalam rangka pengawasan terhadap bank.
2.      Tugas Pengaturan Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia
Dalam UU OJK terdapat ketentuan yang menentukan secara khusus tentang kewenangan OJK yang berkaitan dengan tugas mengatur bank yakni terdapat pada Pasal 8 UU OJK. Akan tetapi ketentuan ini dipandang tidak konsisten menentukan tugas OJK sebagai pembuat peraturan sebab aspek yang ditentukan dalam Pasal 8 UU OJK adalah “Untuk melaksanakan tugas pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang”. Sedangkan yang dimaksud dalam Pasal 6 UU OJK itu adalah kombinasi antara pengaturan dan pengawasan terhadap bank. Selengkapnya ketentuan Pasal 8 UU OJK menentukan sebagai berikut:
Untuk melaksanakan tugas pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang:
a.       Menetapkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini;
b.      Menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
c.       Menetapkan peraturan dan keputusan OJK;
d.      Menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan;
e.       Menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK;
f.       Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu;
g.      Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada Lembaga Jasa Keuangan;
h.      Menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan
i.        Menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
Persoalannya adalah, jika yang dimaksud dalam Pasal 8 UU OJK adalah tugas pengaturan, mengapa disebutkan dalam redaksinya “…..sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, …….”. Sedangkan yang dimaksud dalam Pasal 6 UU OJK itu adalah kombinasi antara pengaturan dan pengawasan terhadap bank. Hal ini berarti Pasal 8 UU OJK juga mengkombinasi kewenangan pengaturan dan pengwasan OJK terhadap bank, berarti sama saja dengan ketentuan dalam Pasal 7 UU OJK tentang kewenangan pengaturan dan pengawasan.
Jika dianalisa pasal-pasal dalam UU OJK secara keseluruhan, tidak ada satupun pasal yang mengamanatkan pembentukan Peraturan Pemerintah yang dibuat oleh pemerintah dalam arti luas. Akan tetapi dalam ketentuan Pasal 37 ayat (6) UU OJK di bagian penjelasannya dijelaskan bahwa yang menyiapkan rancangan Peraturan Pemerintah memuat antara lain: tata cara penetapan, jenis, besaran, waktu penagihan dan pembayaran pungutan, dan sanksi denda adalah OJK itu sendiri. Demikian pula halnya dalam UU BI tidak ada satupun pasal yang mengamanatkan kepada BI untuk membuat Peraturan Pemerintah, melainkan BI diberikan amanat oleh undang-undang untuk membuat PBI. Hal ini berarti dalam rangka menjalankan kewenangan tugas mengatur, BI dan OJK berwenang membuat peraturan pelaksananya bukan pemerintah dalam arti luas.
3.      Tugas Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia
Dalam UU OJK terdapat ketentuan yang menentukan secara khusus tentang kewenangan OJK yang berkaitan dengan tugas pengawasan terhadap bank yakni terdapat pada Pasal 9 UU OJK. Ketentuan ini juga dipandang tidak konsisten menentukan tugas OJK untuk pengawasan bank sebab aspek yang ditentukan dalam Pasal 9 UU OJK adalah “Untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang”. Pasal 9 UU OJK ini juga menentukan “….sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, …” yang berarti adalah kombinasi antara pengaturan dan pengawasan terhadap bank. Selengkapnya ketentuan Pasal 9 UU OJK menentukan sebagai berikut:
Untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang:
a.       Menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan;
b.      Mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh kepala eksekutif;
c.       Melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan konsumen, dan tindakan lain terhadap lembaga jasa keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
d.      Memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan dan/atau pihak tertentu;
e.       Melakukan penunjukan pengelola statuter;
f.       Menetapkan penggunaan pengelola statuter;
g.      Menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan
h.      Memberikan dan/atau mencabut:
1)      Izin usaha;
2)      Izin orang perseorangan;
3)      Efektifnya pernyataan pendaftaran;
4)      Surat tanda terdaftar;
5)      Persetujuan melakukan kegiatan usaha;
6)      Pengesahan;
7)      Persetujuan atau penetapan pembubaran; dan
8)      Penetapan lain,
sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
Aspek yang dikritik dalam hal ini tepatnya berada pada bagian pengantar Pasal 9 dan juga Pasal 8 UU OJK bahwa ketentuan ini tidak konsisten menentukan mana yang menjadi tugas mengawasi, mana tugas mengatur serta mana tugas mengawasi dan mengatur. Jika yang ingin dimaksud oleh pembuat undang-undang dalam Pasal 9 UU OJK adalah tugas pengawasan, mengapa mesti disebutkan lagi dengan redaksi “…..sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, …….”. Sedangkan yang dimaksud dalam Pasal 6 UU OJK itu adalah kombinasi antara pengaturan dan pengawasan terhadap bank. Hal ini berarti Pasal 9 UU OJK juga mengkombinasi kewenangan pengaturan dan pengwasan OJK terhadap bank, seperti dalam Pasal 7 UU OJK tentang kewenangan pengaturan dan pengawasan.
Jika dibaca sepintas lalu maksud ketentuan Pasal 9 UU OJK adalah menentukan kewenangan OJK yang berkaitan dengan pengawasan. Akan tetapi karena digunakan redaksi “…..sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, …….”, sehingga tampak ketentuannya benar-benar tidak konsisten sebab Pasal 9 UU OJK juga merupakan kombinasi kewenangan OJK untuk mengatur dan mengawasi bank.
Jika maksud pembuat undang-undang untuk menentukan kewenangan OJK untuk mengawasi dalam ketentuan ini, maka seharusnya redaksi yang digunakan di bagian pengantar Pasal 6 UU OJK adalah:
”OJK melaksanakan tugas pengaturan, pengawasan, pengaturan dan pengawasan terhadap:
a.       Kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;
b.      Kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan
c.       Kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.”
Sehingga dengan redaksi yang demikian di atas, akan tampak dengan jelas bidang-bidang apa saja yang menjadi kewenangan OJK untuk pengaturan, bidang apa saja yang menjadi kewenangan OJK untuk pengawasan, serta bidang apa saja yang menjadi kewenangan OJK untuk pengaturan dan pengawasan. Jika UU OJK khususnya Pasal 6 tetap menggunakan redaksi “….pengaturan dan pengawasan…” saja, maka ketentuan ini jelas bisa membuka peluang besar kepada lembaga OJK untuk masuk pada semua aspek dan termasuk hal-hal yang bersifat khusus yang seharusnya hal itu menjadi kewenangan BI. Selanjutnya dengan menggunakan redaksi “….pengaturan dan pengawasan…” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UU OJK tersebut, jelas-jelas DPR ingin menjadikan OJK adalah lembaga super body bukan dewan pengawas (supervisory board) sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 34 ayat (1) UU BI.

4.      Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia Tentang Penilaian Terhadap Kesehatan Bank
Berkaitan dengan tugas pengawasan BI khususnya masalah penilaian kesehatan terhadap bank yang bermasalah. Misalnya ketentuan dalam Pasal 31 UU No.23 Tahun 1999, yang menentukan:
a.       Bank Indonesia dapat memerintahkan bank untuk menghentikan sementara sebagian atau seluruh kegiatan transaksi tertentu apabila menurut penilaian Bank Indonesia terhadap suatu transaksi patut diduga merupakan tindak pidana di bidang perbankan.
b.      Berdasarkan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia wajib mengirim tim pemeriksa untuk meneliti kebenaran atas dugaan tersebut.
c.       Apabila dari hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diperoleh bukti yang cukup, Bank Indonesia pada hari itu juga mencabut perintah penghentian transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Selanjutnya, berkaitan dengan penilaian BI terhadap bank, juga ditentukan dalam Pasal 33 UU No.23 Tahun 1999, sebagai berikut:
Dalam hal keadaan suatu menurut penilaian Bank Indonesia membahayakan kelangsungan usaha bank yang bersangkutan dan atau membahayakan sistem perbankan atau terjadi kesulitan perbankan yang membahayakan perekonomian nasional, Bank Indonesia dapat melakukan tindakan sebagimana diatur dalam undang-undang tentang perbankan yang berlaku.
Makna dari ketentuan Pasal 31 UU No.21 Tahun 1999 tersebut, sesungguhnya BI berwenang memberikan penilaian terhadap bank yang melakukan transaksi yang patut diduga merupakan tindak pidana di bidang perbankan, bahkan BI berwenang dapat memerintahkan bank untuk menghentikan sementara sebagian atau seluruh kegiatan transaksi tertentu menurut penilaiannya.
Melalui penilaian BI juga berpeluang untuk menghentikan sementara atau seluruh kegiatan transaksi bank terkait dengan temuan-temuan yang membahayakan kelangsungan usaha bank yang bersangkutan dan atau membahayakan sistem perbankan atau terjadi kesulitan perbankan yang membahayakan perekonomian nasional (vide: Pasal 33 UU No.23 Tahun 1999).
Berdasarkan ketentuan Pasal 31 dan Pasal 33 UU No.23 Tahun 1999 tersebut di atas, menentukan kewenangan BI hanya sampai sebatas memberikan penilaian terhadap bank dan menghentikan sementara kegiatan transaksi tertentu. Untuk melakukan tindakan selanjutnya, BI tidak berwenang menentukan sehat atau tidak sehatnya bank dimaksud tersebut. Sebab kewenangan BI sebagai Bank Sentral berhenti pada tahap memberikan penilaian dan penghentian sementara kegiatan transaksi tertentu, kemudian selanjutnya dialihkan menurut ketentuan Pasal 40 UU OJK yang menentukan:
a.       Dalam hal Bank Indonesia untuk melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya memerlukan pemeriksaan khusus terhadap bank tertentu, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan langsung terhadap bank tersebut dengan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis terlebih dahulu kepada OJK.
b.      Dalam melakukan kegiatan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia tidak dapat memberikan penilaian terhadap tingkat kesehatan bank.
c.       Laporan hasil pemeriksaan bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada OJK paling lama 1 (satu) bulan sejak diterbitkannya laporan hasil pemeriksaan.
Pengalihan kewenangan untuk menentukan tingkat kesehatan bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) di atas, tidak ditujukan kepada OJK dan OJK sekalipun juga tidak berwenang menentukan sehat atau tidaknya bank dimaksud. Berdasarkan Pasal 41 ayat (1) UU OJK, diketahui bahwa OJK hanya diberi kewenangan melakukan upaya penyehatan terhadap bank dan menginformasikannya kepada LPS mengenai bank bermasalah tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Jika OJK diberi kewenangan untuk menyehatkan bank dimaksud, maka tidak ada ubahnya peran OJK dalam konteks ini serupa dengan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 76 ayat (2) UU BI.
Baik BI maupun OJK sama-sama tidak berwenang menetapkan tingkat kesehatan bank yang bermasalah, akan tetapi OJK berwenang melakukan upaya penanganan pertama pada bank dimaksud. Jika tidak bisa ditangani untuk disehatkan, maka dapat dirujuk kepada ketentuan dimaksud dalam Pasal 44 tentang Protokol Koordinasi untuk dilakukan pengambilan keputusan secara musyawarah sesuai dengan penilaiannya masing-masing.
Sebagaimana kewenangan BI untuk melaksanakan tugas pengawasan terhadap bank seperti yang dijelaskan pada bab sebelumnya khususnya pada Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, dan Pasal 33 UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, tetap dilakukan oleh BI. Akan tetapi dalam hal wewenangnya melakukan pemeriksaan khusus, sesuai Pasal 40 ayat (1) UU OJK, BI menyampaikan atau memberitahukannya secara tertulis terlebih dahulu kepada OJK.
Ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU OJK menentukan: “Dalam hal Bank Indonesia untuk melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya memerlukan pemeriksaan khusus terhadap bank tertentu, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan langsung terhadap bank tersebut dengan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis terlebih dahulu kepada OJK”.
Ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU OJK ini tidak menentukan “kewajiban” kepada BI untuk menyampaikan terlebih dahulu kepada OJK melainkan ditentukan dengan redaksi “….dengan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis terlebih dahulu kepada OJK”. Dengan demikian tidak ada kewajiban BI untuk menyampaikan terlebih dahulu kepada OJK menurut ketentuan ini. Itu berarti, BI bisa sewaktu-waktu melakukan pemeriksaan tanpa harus memberitahukannya kepada  OJK.

5.      Tugas Pengaturan Otoritas Jasa Keuangan yang Berkaitan Dengan Pengawasan Bank
Pengaturan tugas yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank antara BI dan OJK dilakukan melalui koordinasi di mana OJK meminta penjelasan dari BI tentang keterangan data makro yang diperlukan sebagaimana dimaksud Pasal 34 ayat (1) UU BI, yang dalam penjelasan Pasal 34 ayat (1) berikut ini:
Lembaga pengawasan jasa keuangan yang akan dibentuk melakukan pengawasan terhadap bank dan perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat. Lembaga ini bersifat independen dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada di luar pemerintah dan berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan dan Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam melaksanakan tugasnya, lembaga ini (supervisory board) melakukan koordinasi dan kerjasama dengan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang akan diatur dalam Undang-undang pembentukan lembaga pengawasan dimaksud. Lembaga pengawasan ini dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank dengan koordinasi dengan Bank Indonesia dan meminta penjelasan dari Bank Indonesia keterangan dan data makro yang diperlukan”.
Dalam penjelasan tersebut sesungguhnya amanat Pasal 34 ayat (1) UU BI menentukan tugas OJK adalah mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan terhadap bank dengan koordinasi dengan BI. Jika yang dibicarakan dalam konteks ini, mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank, maka peran OJK tidak lain hanya sebagai dewan pengawas (supervisory board).
Amanat Pasal 34 ayat (1) UU BI jelas menentukan tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen dengan mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank. Amanat Pasal 34 ayat (1) UU BI menekankan kepada lembaga OJK untuk bertindak sebagai dewan pengawas (supervisory board), dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank yang sifatnya koordinasi dengan BI.
Namun ternyata setelah diundangkannya UU OJK sebagaimana telah dijelaskan di atas menentukan lain, yakni memberikan kewenangan luas kepada OJK untuk membuat pengaturan dan pengawasan bahkan kewenangannya dapat bertindak sebagai penyidik layaknya seperti KPK. Sebagai contoh dalam Pasal 5 dan Pasal 6 ditegaskan OJK berwenang melaksanakan pengaturan dan pengawasan, padahal diketahui sebelumnya seperti yang telah ditentukan dalam amanat Pasal 34 ayat (1) UU BI, wewenangnya adalah mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank, tetapi norma pengaturannya menentukan kewenangan OJK meliputi mengatur, mengawasi, memeriksa, dan bahkan sebagai penyidik. Amanat Pasal 34 ayat (1) UU BI bernuansa politis bukan mencerminkan aspek yuridisnya sebab amanat tersebut pada perkembangannya atau setelah diundangkannya UU OJK, ketentuan-ketentuan dalam UU OJK tampak menjadikan OJK sebagai lembaga super body bukan supervisory board.