Kamis, 23 Oktober 2014


HUKUM PERJANJIAN

Oleh:
Bisdan Sigalingging, SH, MH
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara)
Emai:
bilqisadzkia@gmail.com
bisdansigalingging@yahoo.com

Hukum perjanjian merupakan bagian (sub sistem) dari hukum privat. Berbicara soal hukum perjanjian berarti konsep hukumnya adalah berada dalam konsep hukum perdata, sebab hukum perjanjian merupakan bagian dari hukum perdata (hukum privat). Hukum perjanjian pada prinsipnya derivatif (turunan) dari hukum perikatan, walaupun kadang-kadang, kajiannya dibedakan antara perikatan dan perjanjian, tetapi pada prinsipnya antara hukum perjanjian dan hukum perikatan adalah sama. Ditingkat teoritis boleh dikatakan bahwa hukum perikatan berada pada tataran teoritis yang mungkin dapat disebut dengan teori kesepakatan sedangkan dalam tataran normatif terdapat di dalam KUH Perdata.
Dalam KUH Perdata pengaturan mengenai hukum perjanjian dapat ditemukan dari sebahagian dalam buku III KUH Perdata tersebut yang secara khusus diatur di dalam mulai dari Pasal 1313 s/d Pasal 1351 KUH Perdata dan di bawah sub judul besar Bab II berjudul “Perikatan-Perikatan yang Dilahirkan Dari Kontrak Atau Persetujuan”. Dari ketentuannya diketahui bahwa pada prinsipnya terdapat hukum perjanjian.
Walaupun hukum perjanjian dan hukum perikatan dikaji secara terpisah. Namun itu tidak berarti konsepnya harus berbeda, sebagaimana pada umumnya terdapat dalam karya-karya para ahli hukum, mengkaji kedua aspek ini berada dalam satu kajian, walaupun sedikit terdapat perbedaan.
Perjanjian dan perikatan merupakan dua hal yang berbeda meskipun keduanya memiliki ciri yang hampir sama. Untuk membedakan antara perjanjian dan perikatan dapat diperhatikan dalam tabel 2 berikut ini:





Tabel 2
Perbedaan Antara Perjanjian dan Perikatan

No
Perjanjian
Perikatan
1.
Perjanjian menimbulkan atau melahirkan perikatan.
Perikatan adalah isi dari perjanjian.
2.
Perjanjian lebih konkrit daripada perikatan, artinya perjanjian itu dapat dilihat dan didengar.
Perikatan merupakan pengertian yang abstrak (hanya dalam alam pikiran saja).
3.
Pada umumnya perjanjian merupakan hubungan hukum bersegi dua, artinya akibat hukumnya dikehendaki oleh kedua belah pihak. Hal ini bermakna bahwa hak dan kewajiban dapat dipaksankan. Pihak-pihak berjumlah lebih dari atau sama dengan dua pihak sehingga bukan pernyataan sepihak, dan pernyataan itu merupakan perbuatan hukum.
Perikatan bersegi satu, artinya: belum tentu menimbulkan akibat hukum, sebagai contoh, perikatan alami tidak dapat dituntut di sidang pengadilan (hutang karena judi) karena pemenuhannya tidak dapat dipaksakan. Pihaknya hanya berjumlah satu sehingga ia disebut bersegi satu dan pernyataannya merupakan pernyataan sepihak serta merupakan perbuatan biasa (bukan perbuatan hukum).
Perjanjian merupakan sumber perikatan. Dasar hukumnya adalah Pasal 1233 KUH Perdata, yang menentukan tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena persetujuan, maupun karena undang-undang. Dari ketentuan tersebut disimpulkan bahwa sumber perikatan adalah perjanjian dan undang-undang. Perjanjian melahirkan perikatan-perikatan karena memang perjanjian seringkali (bahkan kebanyakan) melahirkan sekelompok perikatan.
Sumber perikatan adalah perjanjian dan undang-undang. Perjanjian sebagai sumber perikatan berarti perikatan itu dikehendaki oleh para pihak yang berjanji, sedangkan undang-undang sebagai sumber perikatan berarti tanpa ada kehendak dari para pihak yang terikat. Perikatan dapat lahir karena tanpa para pihak melakukan suatu perbuatan tertentu, perikatan bisa lahir karena para pihak berada dalam kondisi tertentu sesuai Pasal 1352 dan Pasal 1353 KUH Perdata.
Sehingga penafsiran terhadap ketentuan dalam Pasal 1233 KUH Perdata tersebut sebagai sumber dari hukum perikatan berasal dari perjanjian dan undang-undang. Selain itu di samping berasal dari perjanjian dan undang-undang, sumber perikatan dapat juga berasal dari kesusilaan.
Sehingga dikenal pula istilah perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama. Perjanjian bernama adalah perjanjian yang ditentukan di dalam undang-undang, yang secara khusus ditentukan di dalam Bab V s/d XVIII Buku III KUH Perdata. Sedangkan perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak ditentukan dalam undang-undang tetapi terjadi di dalam praktik yang diperbolehkan berdasarkan asas kepantasan, kepatutan, dan kesusialaan.
Hukum perjanjian adalah seperangkat aturan hukum yang mengatur mengenai hal-hal yang berhubungan dengan masalah perjanjian. Hukum perjanjian tidak hanya mengatur mengenai keabsahan suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak, tetapi juga akibat dari perjanjian tersebut, penafsiran, dan pelaksanaan dari perjanjian yang dibuat tersebut. Hukum perjanjian merupakan suatu lapangan dalam hukum perdata yang lebih sempit daripada hukum perikatan. Hukum perjanjian merupakan bagian dari hukum perikatan yang lebih luas cakupannya.
Hukum perjanjian kadang-kadang diidentikkan pula dengan hukum kontrak. Bagaimana pula perbedaan antara kedua hal ini. Beberapa literatur ditemukan membedakan kedua istilah ini tetapi makna dari kedua istilah sebenarnya sama, yakni sama-sama menyatakan suatu kesepakatan. Hanya penggunaan dalam penempatan istilahnya saja yang berbeda, tetapi hakikatnya adalah sama. Walaupun hukum perjanjian bersifat lebih luas daripada hukum kontrak, atau hukum kontrak merupakan derivatif dari hukum perjanjian, tetapi hakikatnya tetap lah sama.
Hukum kontrak lahir dari kehendak para pihak yang menghendaki suatu perjanjian harus dibuat dalam bentuk tertulis, sebab hingga kini tidak pernah ditemukan ada kontrak yang tidak dilaksanakan secara tertulis, atau tidak ada kontrak yang dilaksanakan dalam bentuk lisan. Perlunya perjanjian dalam bentuk tertulis dimaksudkan untuk menciptakan kepastian hukum bagi para pihak dalam melaksanakan prestasi.
Wajar saja dalam kegiatan bisnis atau kegiatan perdagangan mudah ditemukan banyak persoalan dagang, oleh karena itu perjanjian harus dibuat dalam bentuk tertulis, perjanjian yang dibuat dalam bentuk tertulis inilah yang sering diidentikkan dengan kontrak. Tapi ada juga ahli hukum dengan tegas menentang para pendapat yang menyamakan penggunaan kedua istilah ini walaupun maksudnya sama.
Banyak orang mencampuradukkan kedua istilah ini dalam menafsirkan perjanjian (overeenkomst) dalam Buku III KUH Perdata (BW), padahal sebenarnya hukum kontrak (contract law) merupakan bidangnya dalam kegiatan bisnis atau kegiatan perdagangan. Hukum kontrak memiliki pengertian yang lebih sempit dari hukum perjanjian. Sedangkan di sisi lain diartikan tidak sependapat untuk membedakan kedua istilah itu, ia justru menyamakan pengertian antara perjanjian dan kontrak (Agus Yudha Hernoko).
Sedangkan para ahli hukum yang lain seperti: Jacob Hans Niewenhuis, Hofman, J. Satrio, Soetojo Prawirohamidjojo, Mathalena Pohan, Mariam Darus Badrulzaman, Purwahid Patrik, Trtodiningrat, dan Pothier, sebagaimana yang dapat dihimpun, semua menyebutkan kedua istilah ini dalam pengertian yang sama.
Peter Mahmud Marzuki sependapat dengan Subekti, dalam argumentasi kritis Peter menyebutkan untuk agreement yang berkaitan dengan bisnis harus disebut contract, sedangkan untuk yang tidak terkait dengan bisnis hanya disebutnya sebagai agreement saja.
Y. Sogar Simamora, juga memaknai kontrak merupakan aspek yang berada dalam lapangan bisnis. Sebagaimana disebutnya, kontrak merupakan bagian yang melekat dari transaksi bisnis baik dalam skala besar maupun skala kecil, baik domestik maupun internasional. Fungsinya penting dalam menjamin bahwa seluruh harapan yang dibentuk dari janji-janji para pihak dalam kontrak terlaksana dan dapat dipenuhi.
Kemudian perbedaan itu juga dikaji secara kritis oleh Muhammad Syaifuddin yang mengatakan pelaku bisnis banyak memahami kedua istilah tersebut memiliki pengertian yang berbeda. Padahal menurutnya secara dogmatik, KUH Perdata sebagai induk hukum yang menggunakan istilah overeenkomst adalah juga istilah contract, karena titel Bukut III yang berjudul tentang “Perikatan-Perikatan yang Lahir Dari Kontrak Atau Perjanjian”, diterjemahkan ke dalam Bahasa Belanda adalah “Van Verbintenissen Die Uit Contract of Overeenkomst Geboren Worden”.
Berikut disebutkan oleh Peter Mahmud Marzuki, istilah kontrak lebih menunjukkan nuansa bisnis atau komersil dalam hubungan hukum yang dibentuk, sedangkan istilah perjanjian cakupannya lebih luas. Dengan demikian pembedaan kedua istilah ini bukan pada bentuknya. Tidak tepat jika kontrak diartikan sebagai perjanjian yang dibuat secara tertulis, sebab kontrak pun dapat dibuat secara lisan.
Berdasarkan pendekatan istilah bahasa juga kedua istilah ini pada prinsipnya memiliki maksud yang sama. Kalau di dalam kebiasaan di Indonesia dan juga di dalam bahasa Indonesia sering digunakan istilah perjanjian, demikian pula dalam kebiasaan di negara Eropa Barat termasuk Belanda, istilah contract (kontrak) sudah menjadi istilah sehari-hari untuk menyebutkan kesepakatan, apakah itu kesekapatan dalam kegiatan yang mendatangkan nilai ekonomis atau tidak, tetap menggunakan istilah kontrak tersebut di Eropa Barat.
Sehingga dengan demikian, antara istilah kontrak dan perjanjian sesungguhnya sama saja, tidak ada bedanya berdasarkan teori-teori, norma-norma, serta doktrin-doktrin yang ada. Walaupun kadang-kadang dalam praktik sering dibedakan, namun berdasarkan pendekatan sejarah lahirnya kedua istilah ini sama sekali tidak memiliki perbedaan. Bahkan di Indonesia sendiri dasar hukum keduanya tetap mendasarkan pada overeenkomst dalam KUH Perdata.
Setelah dilakukan penelitian, terkait perbedaan ini disimpulkan bahwa kedua istilah antara kontrak dan perjanjian tidak ada bedanya, hanya saja hal itu menjadi berbeda karena faktor kebiasaan (tradisi) penggunaannya di Indonesia. Warga negara Indonesia yang berurusan dengan bisnis atau kegiatan dagang sering menggunakan istilah kontrak padahal sama maksudnya dengan perjanjian.
Sedangkan istilah perjanjian di Indonesia sering ditafsirkan lebih luas, termasuk semua aspek kehidupan bisa dibuat kesepakatan dalam bentuk perjanjian baik tertulis maupun tidak tertulis. Itulah yang membuat kedua istilah ini menjadi berbeda khususnya di Indonesia. Padahal di Eropa Barat tempat perdagangan yang sangat kompleks dan maju dari dulu hingga saat ini istilah kontrak tetap menjadi istilah yang sering dipergunakan daripada perjanjian.
Di Indonesia, dapat ditelaah berdasarkan ketentuan pada Pasal 1313 KUH Perdata diperoleh bahwa pengertian perjanjian adalah “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Dari istilah perjanjian ini saja pada prinsipnya sebenarnya sama dengan istilah kontrak di Eropa Barat, tetapi di Indonesia sering menggunakan istilah kontrak hanya untuk kegiatan dalam bisnis atau perdagangan, padahal tidak demikian menurut asal muasal istilah ini digunakan.
Pengertian perjanjian dalam ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata memiliki kelemahan, oleh sebab itu semestinya harus diperbaiki. Kelemahan itu terdapat pada beberapa hal sebagaimana tabel 3 berikut ini.
Tabel 3
Kelemahan Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata
No
Kelemahan
Seharusnya
1.
Merupakan perbuatan (hal ini bermakna terlalu luas).
Perbuatan hukum
2.
Yang mengikatkan dirinya hanya satu pihak (kurang lengkap) sehingga bisa disebut perjanjian sepihak.
Saling mengikatkan diri atau syarat minimal pihaknya harus dua orang saja.
3.
Tujuannya tidak jelas.
Harus dijelaskan tujuannya untuk apa.
Kelemahan Pasal 1313 KUH Perdata juga terdapat ada empat hal dari defenisi tersebut, yaitu:
  1. Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja;
  2. Kata perbuatan mencakup juga perbuatan tanpa kesepakatan, termasuk mengurus kepentingan orang lain, dan perbuatan melawan hukum;
  3. Pengertiannya terlalu luas (bisa termasuk perjanjian kawin);
  4. Tanpa menyebutkan tujuannya.
Kebanyakan pakar hukum mengatakan Pasal 1313 KUH Perdata memiliki banyak kelemahan. Kata “perbuatan” terlalu luas dapat berupa perbuatan hukum dan perbuatan bukan hukum, juga bisa termasuk perbuatan melawan hukum. Sementara dari kalimat “mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih” dapat diartikan hanya cocok untuk perbuatan sepihak.
Oleh karena kelemahan tersebut, dicoba diberikan penyempurnaan, seharusnya pengertian perjanjian di dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut memiliki redaksi seperti beirkut ini:
Suatu hubungan hukum di bidang harta kekayaan yang didasari kata sepakat antara subjek hukum yang satu dengan yang lain, dan di antara mereka (para pihak/subjek hukum) saling mengikatkan dirinya sehingga subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga dengan subjek hukum yang lain berkewajiban melaksanakan prestasinya sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati para pihak tersebut serta menimbulkan akibat hukum.
Poin-poin penting yang digaris bawahi tersebut di atas mesti ada dalam membuat pengertian perjanjian sebagaiman dalam Pasal 1313 KUH Perdata harus diharmonisasikan dengan makna tersebut, agar tidak membingungkan, syarat minimal jumlah para pihak, apakah perjanjian atau perikatan, apa bidang perjanjian dimaksud, tujuannya, kekuatan mengikatnya, kewajiban melaksanakan prestasi, dan akibat hukumnya.
Unsur-unsur dalam perjanjian harus dipenuhi yaitu:
1.      Ada pihak-pihak (subjek), sedikitnya dua pihak;
2.      Ada persetujuan dari pihak-pihak yang bersifat tetap;
3.      Ada tujuan yang akan dicapai, yaitu untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak;
4.      Ada prestasi yang akan dilaksanakan;
5.      Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan;
6.      Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian.
Norma yang mengandung syarat-syarat perjanjian di dalam Pasal 1320 KUH Perdata mensyaratkan unsur-unsur perjanjian. Agar suatu perjanjian menimbulkan perikatan sehingga mempunyai kekuatan yang mengikat dan berlaku sebagai undang-undang, maka bagi para pihak yang membuatnya haruslah memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata.
Dirumuskan secara normatif di dalam Pasal 1320 KUH Perdata, bahwa sahnya suatu perjanjian harus memenuhi 1) kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan diri, 2) kecakapan untuk membuat perjanjian, 3) sesuatu hal tertentu, dan 4) sesuatu sebab yang diperbolehkan oleh hukum. Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subjektif sedangkan dua syarat yang terakhir merupakan syarat objektif.
Suatu perjanjian/kontrak tanpa memenuhi keempat syarat sah yang disebutkan di dalam Pasal 1320 KUH Perdata tersebut, maka perjanjian/kontrak tersebut dapat dibatalkan (apabila tidak memenuhi syarat subyektif yaitu: sepakat mereka yang mengikatkan dirinya dan syarat kecakapan untuk membuat suatu perikatan) atau dapat batal demi hukum (apabila tidak memenuhi syarat obyektif yaitu: suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal).
Jika tidak terpenuhi syarat subjektif perjanjian, maka perjanjian itu dapat dibatalkan. Jika tidak terpenuhi syarat objektif perjanjian, maka perjanjian itu terancam batal demi hukum. Kecakapan merupakan unsur subjektif sahnya perjanjian. Orang yang sudah dewasa, dan sehat pikirannya merupakan orang yang cakap menurut hukum. Ada pula hal yang diperjanjikan menyangkut obyek tertentu dan objek itu harus jelas. Dilakukan pula atas sebab yang halal, dengan itikad baik bukan ditujukan untuk suatu kejahatan.
Unsur para pihak atau pihak-pihak inilah yang disebut sebagai subjek perjanjian yang terikat di dalam perjanjian. Subjek perjanjian dapat berupa orang atau badan hukum. Syarat menjadi subjek perjanjian adalah harus mampu atau berwenang melakukan perbuatan hukum, yang dalam KUH Perdata dibagi tiga golongan yaitu: para pihak yang mengadakan perjanjian, para ahli waris dari para pihak, dan pihak ketiga.
Subjek perjanjian adalah orang-orang sebagai anggota masyarakat, bisa pula suatu badan hukum, atau suatu korporasi. Namun umumnya dalam KUH Perdata hanya mengenal orang perseorangan atau suatu badan hukum sebagai subjek hukum. Sedangkan subjek hukum korporasi mulai dikenal pada beberapa bidang hukum yang baru misalnya dalam hukum lingkungan hidup, dalam hukum perusahaan, dan lain-lain.
Subjek perjanjian merupakan pelaku yang bertindak dan sangat dipentingkan, demikian objek perjanjian juga merupakan suatu hal yang dipentingkan mengenai suatu hal yang diperlakukan oleh subjek perjanjian. Sehingga objek perjanjian harus terang dan jelas sebagai hal yang diwajibkan kepada para pihak (subjek perjanjian) untuk memenuhi prestasi masing-masing. Itu sebabnya objek perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata harus disebutkan dalam makna yang bersifat general yaitu suatu hubungan hukum di bidang harta kekayaan.
Sifat perjanjian merupakan salah satu unsur penting dalam perjanjian yaitu harus ada persetujuan (kesepakatan) antara para pihak, untuk melakukan tujuan perjanjian. Tujuan mengadakan perjanjian terutama untuk memenuhi kebutuhan para pihak. Tujuan itu sifatnya tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan tidak dilarang dalam perundang-undangan.
Prestasi merupakan kewajiban yang wajib dipenuhi oleh para pihak sesuai dengan kesepakatan yang telah diperjanjikan. Hakikat dari perjanjian sesungguhnya menghendaki suatu prestasi. Tetapi jika makna perjanjian sebagaimana dalam Pasal 1313 KUH Perdata sedemikian adanya, tidak menunjukkan hakikatnya untuk menimbulkan suatu prestasi. Tujuan menimbulkan suatu prestasi hanya pada umumnya berada pada penafsiran di dalam doktrin-doktrin para ahli hukum saja, sedangkan mana yuridisinya tidak terpenuhi dalam ketentuan tersebut. Pentingnya prestasi sebagai hakikat dari perjanjian adalah sebagai penegasan agar pihak lain tidak melakukan atau dapat sebagai sarana pencegah meminimalisir terjadinya perbuatan wanprestasi.
Oleh karena ada ketentuan undang-undang yang kadang-kadang menentukan hanya dengan bentuk tertentu suatu perjanjian memiliki kekuatan mengikat dan kekuatan sebagai bukti. Bentuk tertentu dapat berupa akta. Bentuknya dapat dibuat secara lisan kecuali jika para pihak menghendaki harus dalam bentuk tertulis. Maka bentuk perjanjian mesti pula harus ditentukan dalam bentuk perjanjian tertulis.


PERBEDAAN ANTARA HUKUM PUBLIK DAN HUKUM PRIVAT

Oleh:
Bisdan Sigalingging, SH, MH
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara)
Emai:
bilqisadzkia@gmail.com
bisdansigalingging@yahoo.com

Pada prinsipnya hukum dibagi dua yaitu hukum publik (publickrecht) dan hukum privat (privatrecht). Hukum publik mengandung ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hal-hal yang menyangkut kepentingan umum. Sedangkan hukum privat mengandung ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hal-hal yang bersifat keperdataan atau kepentingan pribadi (orang perseorangan atau badan hukum).
Hal-hal esensial yang diatur dalam hukum privat antara lain misalnya kebebasan setiap individu, masalah keluarga, masalah waris, masalah perkawinan, masalah harta kekayaan, jaminan, hak milik, perikatan, perjanjian, dan lain-lain. Menurut KUH Perdata dibagi dalam empat buku, yaitu buku I tentang orang, buku II tentang benda, buku III tentang perikatan, dan buku IV tentang bukti dan kadaluarsa.
Sedangkan dalam hukum publik memberikan jaminan bagi perlindungan hukum atas kenyamanan, keselamatan, keamanan warga negara dari pemerintah atau negara atau melindungi kepentingan umum. KUH Pidana terbagi tiga buku yaitu buku I tentang peraturan umum, buku II tentang, kejahatan dan buku III tentang pelanggaran. Hukum publik misalnya hukum pidana, hukum tata negara, hukum admisnitrasi negara, hukum internasional publik, dan lain-lain.
Tabel 1
Perbedaan Hukum Publik dan Hukum Privat

No
Perbedaan
Hukum Publik
Hukum Privat
1.
Dilihat dari subjeknya
Salah satu pihaknya adalah penguasa
Kedua belah pihak adalah perorangan
2.
Dilihat dari kedudukan dari pihak
Kedudukan tidak sejajar
Kedudukan sejajar
3.
Dilihat dari sifatnya
Umumnya memaksa (dwigenrecht)
Umumnya pelengkap (aanfulenrecht)
4.
Dilihat dari akibatnya
Aturannya tidak dapat disimpangi
Dapat disimpangi
5.
Dilihat dari aspek perlindungan kepentingan
Melindungi kepentingan umum
Melindungi perorangan
Jika dilihat dari sisi subjek hukum, maka para pihak dalam hukum publik terdiri dari syarat minimal dua orang atau lebih dan yang lainnya adalah negara. Dari dua orang tersebut, yang satu adalah pelaku dan yang lain adalah korban, sementara negara adalah sebagai penuntut. Sedangkan subjek hukum dalam hukum privat hanya orang perseorangan yang setidak-tidaknya harus memenuhi syarat minimal harus ada dua orang yang disebut dengan kedua belah pihak atau para pihak.
Hukum publik adalah keseluruhan garis-garis hukum yang berhubungan dengan bangunan negara atau badan-badan negara, bagaimana badan-badan negara melaksanakan tugasnya, bagaimana hubungan kekuasaannya satu sama lainnya dan perbandingan atau hubungannya dengan masyarakat atau perseorangan dan sebaliknya. Bangunan negara yang dimaksud adalah pemerintahan termasuk susunan dan kewenangan-kewenangan pemerintahan tersebut.
Hukum pidana adalah serangkaian ketentuan-ketentuan yang mengatur tingkah laku yang dilarang atau yang diharuskan atau diancamkan kepada pelanggarnya dengan pidana, jenis dan macam-macam pidana, cara-cara menyidik, menuntut, pemeriksaan dan penjatuhan pidana dalam persidangan, serta melaksanakan pidana.
Hukum perdata (privat) adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan hukum antara sesama warga perseorangan atau antara warga tersebut dengan penguasa sebagai pribadi (perseorangan), bukan dalam fungsinya sebagai pejabat, yang berarti penguasa atau pejabat tersebut dalam hal ini tunduk pada peradilan perdata.
Hukum perdata dalam arti sempit hanya meliputi ketentuan-ketentuan tentang orang, tentang kebendaan, tentang perikatan, dan tentang pembuktian dan daluarsa seperti yang di diatur dalam KUH Perdata (BW). Sedangkan hukum perdata dalam arti luas meliputi selain termasuk dalam arti sempit, juga termasuk ketentuan-ketentuan mengenai perdagangan sebagaimana diatur dalam KUHD dan kegiatan bisnis.
Kadang-kadang hukum perdata dalam arti luas dinamakan oleh orang sebagai hukum sipil, sedangkan hukum perdata dalam arti sempit sebagai hukum perdata. Karenanya jika membicarakan mengenai hukum perdata, maka harus disepakati terlebih dahulu istilah mana yang sedang digunakan.
Sehingga dengan demikian perbedaan antara hukum publik dan hukum privat semakin jelas. Ditinjau dari sudut kepentingan, maka hukum perdata mengatur kepentingan perseorangan (particuliere belangen), sedangkan hukum publik mengatur kepentingan umum (algemene belangen).
Ditinjau dari kedudukan subjek hukumnya, maka dalam hukum perdata mengatur hubungan-hubungan subjek yang kedudukannya sederajat atau sedejarat warga perseorangan, tanpa membeda-bedakan derajat kebangsawanan, derajat dalam pekerjaan, kedudukan dalam beragama, dan sebagainya. Sedangkan dalam hukum publik mengatur hubungan-hubungan subjek hukum yang kedudukannya tidak sederajat. Sebab dalam hukum publik, yang satu adalah penegak hukum, yang tentunya lebih tinggi kedudukannya daripada yang lain.
Ditinjau dari sudut menegakkan hukum, maka dalam hukum perdata penegakannya diserahkan kepada orang perseorangan yang berkepentingan, apakah ia akan mempertahankan hak dan kewajibannya sesuai dengan ketentuan hukum atau tidak. Negara tidak turut mencampurinya selama orang tersebut belum mengajukan gugatannya ke pengadilan. Misalnya apakah seseorang yang berpiutang (kreditur) akan menuntut pembayaran kembali piutangnya dari yang berutang (debitur) melalui peradilan perdata atau tidak, ataukah piutang itu dianggap saja sudah lunas atau dihibahkan, tentu penentuannya diserahkan kepada si kreditur.
Sedangkan dalam hukum publik, penguasa wajib menegakkan hukum, walaupun mungkin orang yang dirugikan itu tidak menghendaki penuntutan terhadap subjek yang merugikannya. Namun dalam hal ini ada juga pengecualian antara lain apabila yang terjadi itu adalah kejahatan penghinaan, perzinahan, pencurian dalam keluarga dan sebagainya.
Jika ditinjau dari sudut teori yang umum dan teori khusus, maka hukum perdata berlaku secara umum (ius commune, gemeine recht) baik untuk pemerintah maupun untuk rakyat berkedudukan sebagai pribadi-pribadi atau perseorangan. Sedangkan hukum publik merupakan hukum khusus (ius speciale) karena memberikan kekuasaan khusus kepada pemerintah untuk melakukan suatu tindakan kepada pribadi-pribadi, misalnya mengambil (onteigenen) suatu milik perseorangan atau pribadi tersebut untuk kepentingan umum (ten algemene nutte).
Hukum perdata pada hakikatnya merupakan hukum yang mengatur kepentingan antar warga perseorangan yang satu dengan warga perseorangan yang lainnya. Hal yang esensial dalam hukum perdata mengatur individu dalam hubungannya dengan keluarganya, hak miliknya, hartanya, peritakan, dan lain-lain. Sekaligus membedakannya dari hukum publik yang pengaturannya memberikan jaminan yang minimal bagi kehidupan pribadi. Dikatakan jaminan yang minimal karena dijamin dalam perundang-undangan.
Berdasarkan perbedaan-perbedaan yang telah dikemukakan di atas, intinya dari hukum perdata adalah hukum antar perorangan yang mengatur hak dan kewajiban orang perseorangan yang satu terhadap yang lain dari dalam hubungan kekeluargaan dan dalam pergaulan masyarakat yang pelaksanaannya diserahkan kepada masing-masing pihak.
Inti dari perbedaan ini adalah hukum publik merupakan hukum yang mengatur tentang kepentingan publik (masyarakat umum), sedangkan hukum perdata mengatur kepentingan privat atau pribadi atau perdata, perseorangan atau partikulir. Singkatnya dari hukum pidana apakah ia merupakan hukum publik atau tidak, maka pada satu sisi hukum pidana adalah hukum publik, tetapi di sisi lain ada pengecualian bahwa hukum pidana belum tentu sebagai hukum publik.
Ciri-ciri haukum publik antara lain:
1.    Mengatur hubungan antara kepentingan negara atau masyarakat dengan orang perseorangan.
2.    Kedudukan penguasa negara adalah lebih tinggi dari orang perseorangan. Dengan perkataan lain, orang perseorangan disubordinasikan kepada penguasa.
3.    Penuntutan terhadap seseorang yang telah melakukan suatu tindakan yang terlarang tidak tergantung kepada perseorangan (yang dirugikan), melainkan pada umumnya, negara atau penguasa wajib menuntut orang orang tersebut.
4.    Hak subjektif penguasa ditimbulkan oleh peraturan-peraturan hukum pidana positif.
Apakah pada hukum pidana itu terdapat ciri-ciri seperti yang terdapat pada ciri-ciri hukum publik, atau apakah hukum pidana bersifat hukum publik? Ppada umumnya hukum pidana adalah bersifat hukum publik. Karena dalam hukum pidana juga terdapat ciri-ciri yang terdapat pada hukum publik.
Jika dianalogikan misalnya A membunuh si B atas permintaan si B sendiri dengan sungguh-sungguh, namun penguasa tetap berkewajiban menuntut si A (Pasal 344 KUH Pidana). Dalam hal ini tidak perlu dipersoalkan keiinginan keluarga atau pihak dari si B agar A tidak dituntut oleh penguasa karena mereka mengetahui bahwa pembunuhan itu terjadi karena permintaan B. Tetapi dalam hal ini yang harus diutamakan adalah kepentingan umum, karena bagaimanapun juga, pembunuhan adalah perbuatan tercela, harus dicegah dan layak dipidana bagi pelakunya.
Mengapa alasannya pada kepentingan umum dalam kasus pembunuhan di atas, karena jika permintaan si B tadi dibiarkan agar si A membunuhnya atau tidak diproses secara hukum, maka dalam hal ini kepentingan umum akan tertarik atau dirugikan dengan alasan, pertama, jika hal itu terjadi dan tidak diproses oleh aparat penegak hukum, maka masyarakat yang lainnya bisa suatu waktu mencontoh sehingga terjadi hal serupa, kedua, karena undang-undang sudah menjamin untuk melindungi seluruh warga negara dari segala ancaman, gangguan, atas kenyamanan dan kelangsungan hidup warga masyarakat.
Tetapi dalam beberapa hal, terdapat pengecualian, tidak selalu penuntutan wajar dilakukan oleh penguasa tanpa memperhatikan kehendak dari pihak-pihak yang dirugikan. Pengecualian ini muncul sebagai reaksi dari doktrin-doktrin yang berprinsip pada “tiada suatu peraturan tanpa kekecualian” (there is no rule without exeption). Tentunya ini berlaku tidak bersifat umum, melainkan hanya untuk kasus-kasus tertentu yang sudah ditegaskan baik dalam tataran norma yang abstrak maupun yang sudah normatif di dalam undang-undang.
Prinsip tiada suatu peraturan tanpa kekecualian, ini berlaku misalnya untuk kasus-kasus delik aduan, seperti delik penghinaan dan delik perzinahan (KUH Pidana), ada pula dalam delik merek (UU No.15 Tahun 2001), dan lain-lain. Untuk delik aduan, pelaku dari delik aduan hanya dapat dituntut oleh negara karena adanya aduan dari korban.
Pertimbangan dengan menggunakan prinsip di atas didasarkan bahwa orang yang dirugikan atas terjadinya suatu kasus jangan hendaknya semakin dirugikan lagi terutama bagi masyarakat awam yang tidak banyak mengetahui arti peradilan yang tentu saja membutuhkan waktu, biaya, dan kesiapan mental. Bila terjadi dalam lingkungan keluarga misalnya atas pencurian yang dilakukan anak terhadap uang orang tuanya sendiri, proses hukum tidak akan berjalan jika orang tuanya memaafkan, tetapi negara akan bertindak jika ada pengaduan dari orang tuanya tersebut.
Hukum pidana bersifat hukum publik, walaupun ada alasan pengecualian yang mengatakan hukum pidana bukan hukum publik. Artinya bahwa sifat pemaksa (dwigen recht) dari hukum pidana tidak selamanya harus dijalankan oleh penguasa atau negara, melainkan harus pula memperhatikan prinsip “tiada suatu peraturan tanpa kekecualian” yang kira-kira prinsip ini melihat dan mendasarkan kajiannya pada asas kepatutan, kepantasan, dan kewajaran. Oleh karena negara tidak selalu wajib menuntut terhadap suatu tindak pidana tertentu karena dipersyaratkan harus ada pengaduan dari yang dirugikan atau korban tindak pidana pidana, menunjukkan karakter hukum pidana tidak bersifat hukum publik dalam kondisi tertentu, yaitu untuk delik-delik pengaduan saja.
Norma hukum yang bersifat memaksa (dwingen recht) menurut Nur Rahman adalah suatu suatu norma hukum yang secara apriori harus ditaati atau norma hukum dalam hal konkrit tidak dapat dikesampingkan oleh suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Walaupun dalan tabel 1 tersebut di atas, sifat hukum publik umumnya memaksa (dwingen recht) dan sifat hukum privat umumnya pelengkap (aanvullend recht), namun dalam hukum perdata (dalam pasal-pasal KUH Perdata) tentang perjanjian ada juga yang bersifat memaksa (dwingen recht).
Misalnya syarat-syarat perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang mensyaratkan wajib dipenuhi adalah: 1) kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan diri, 2) kecakapan untuk membuat perjanjian, 3) sesuatu hal tertentu, dan 4) sesuatu sebab yang diperbolehkan oleh hukum. Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subjektif sedangkan dua syarat yang terakhir merupakan syarat objektif.
Menurut Yahman, jika tidak terpenuhi syarat subjektif perjanjian, maka perjanjian itu dapat dibatalkan. Jika tidak terpenuhi syarat objektif perjanjian, maka perjanjian itu terancam batal demi hukum. Berarti ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata ini bersifat memaksa artinya keempat syarat tersebut wajib ada dalam perjanjian, jika tidak, maka konsekeunsi hukumnya dapat dibatalkan atau batal demi hukum.
Pada dasarnya bahwa hukum perjanjian dalam KUH Perdata juga mengandung ketentuan-ketentuan yang memaksa (dwingen, mandatory) dan juga bersifat opsional atau pelengkap (aanvullend, optional). Untuk ketentuan-ketentuan yang memaksa, para pihak tidak mungkin menyimpanginya dengan membuat syarat-syarat dan ketentuan-etentuan lain dalam perjanjian dibuat para pihak.
Namun terhadap ketentuan-ketentuan undang-undang yang bersifat melengkapi, para pihak bebas menyimpanginya dengan mengadakan sendiri syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan lain sesuai dengan kehendak para pihak. Maksud dari adanya ketentuan-ketentuan yang melengkapi itu adalah hanya untuk memberikan aturan yang berlaku bagi perjanjian yang dibuat oleh para pihak bila memang para pihak belum mengatur atau tidak mengatur secara tersendiri agar tidak terjadi kekosongan pengaturan mengenai hal atau materi yang dimaksud.
Buku III KUH Perdata menganut sistem terbuka, artinya hukum memberi keleluasaan kepada para pihak untuk mengatur sendiri pola hubungan hukum dalam perjanjian/kontrak yang dibuat para pihak. Apa yang di atur dalam Buku III KUH Perdata tersebut hanya sekedar mengatur dan melengkapi (regelend recht aanvullendrecht).
Tetapi Buku III KUH Perdata tersebut juga menganut sistem tertutup atau bersifat memaksa (dwingen recht), di mana para pihak dilarang menyimpangi aturan-aturan yang ada di dalam Buku III KUH Perdata tersebut. Berarti hukum publik maupun hukum privat sama-sama mengandung sifat hukum yang memaksa maupun sifatnya melengkapi, tetapi umumnya sifat memaksa itu ada pada hukum publik dan sifat pelengkap itu ada pada hukum privat.

TEORI TENTANG PERJANJIAN

TEORI TENTANG PERJANJIAN

Oleh:
Bisdan Sigalingging, SH, MH
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara)
Emai:
bilqisadzkia@gmail.com
bisdansigalingging@yahoo.com

Teori yang digunakan adalah teori tentang kesepakatan dan teori tentang perbuatan pidana. Teori kesepakatan digunakan di dalam penelitian ini untuk menganalisis permasalahan wanprestasi dalam perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak, sedangkan teori perbuatan pidana digunakan untuk menganalisis permasalahan tentang delik penipuan dalam perjanjian. Apakah suatu perbuatan wanprestasi masuk dalam ranah hukum privat atau masuk dalam ranah hukum pidana, akan dikaji berdasarkan kerangka teoritis berikut ini.
Roscoe Pound, mengatakan suatu kesepakatan mengikat karena memang merupakan keinginan para pihak yang menginginkan kesepakatan itu mengikat. Para pihak sendirilah yang pada intinya menyatakan kehendaknya untuk mengikatkan diri. Kata sepakat antara subjek terjadi secara disadari antara yang satu dengan yang lain, dan diantaranya saling mengikatkan diri sehingga subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga dengan subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati para pihak.
Dalam teori kesepakatan, kata sepakat, merupakan hal yang paling penting. George W. Paton, menyebut, kehendak yang “senyatanya” bukan kehendak yang “dipernyatakan” sebagaimana disebutnya, “a secret mental reservation should be a bar to enforcement since the test is the real will and not the will as declared”. Kehendak tersebut harus diberitahukan pada pihak lain, tidak menjadi soal apakah disampaikan secara lisan maupun tertulis, bahkan dengan bahasa isyarat sekalipun atau dengan cara membisu sekalipun tetap dapat terjadi perjanjian asal ada kata sepakat.
Hal ini berarti kata sepakat tidak hanya ”kesesuaian” kehendak antar para pihak yang berjanji saja, tetapi juga menyangkut kehendak dan pernyataan dari kehendak para pihak itu harus sesuai, atau persesuaian kehendak, dan tidak sekedar persesuaian sehingga tidak timbul cacat kehendak. Konsekuensi adanya kesepakatan untuk mengikatkan diri bahwa semua pihak telah menyetujui materi yang diperjanjikan, tidak ada paksaan atau di bawah tekanan.
R. Wirjono Prodjodikoro, ”kalau seseorang berjanji melaksanakan sesuatu hal, maka janji ini dalam hukum pada hakikatnya ditujukan kepada orang lain”. Bahwa sifat pokok dari perjanjian adalah hubungan hukum antara orang-orang berdasarkan atas suatu janji, wajib untuk melakukan sesuatu hal, dan orang lain tentu berhak menuntut pelaksanaan suatu janji itu.
Pemenuhan kewajiban terhadap suatu janji, misalnya contoh seorang A dan seorang B membuat perjanjian jual-beli bilamana A adalah penjual dan B adalah pembeli serta barang yang dibeli adalah suatu lemari tertentu yang berada di dalam rumah penjual A. Harga pembelian sudah dibayar, tetapi sebelum lemari diserahkan kepada B, ada pencuri yang mengambil lemari tersebut, sehingga lemari tersebut berada di tangan seorang C. Dalam contoh ini B tetap berhak menuntut kewajiban A untuk menyerahkan lemari itu kepada B, dan A tidak dapat beralasan tidak bisa menyerahkannya karena lemari tersebut dicuri oleh C kepada B, kecuali sesuatu hal yang disebabkan oleh kejadian alam yang tak terduga oleh kemampuan berfikir manusia.
R. Wirjono Prodjodikoro, juga mengatakan, ”berjanji sesuatu berarti mengikatkan diri secara membebankan pada diri sendiri suatu kewajiban untuk melaksanakan sesuatu”. Berarti perjanjian menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak. Subekti mengungkapkan bahwa “..Perikatan yang lahir dari perjanjian memang dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang membuat suatu perjanjian…”. Berarti hak dan kewajiban yang telah disepakati oleh para pihak merupakan kehendak dan pilihan bebas dari para pihak untuk menentukan isi perjanjian.
Teori hukum perjanjian yang tradisional menurut Suharnoko, mempunyai karakter yang menekankan pentingnya kepastian hukum dan predictability. Fungsi utama perjanjian harus memberikan kepastian hukum bagi para pihak bilamana syarat-syarat sah perjanjian sudah terpenuhi. Menyangkut kepastian hukum ini, menurut Tan Kamello, meliputi dua hal, pertama, kepastian dalam perumusan norma dan prinsip-prinsip hukum, dan kedua kepastian dalam melaksanakan norma-norma dan prinsip-prinsip hukum tersebut.
Teori hukum perjanjian yang modern menurut Suharnoko justru mempunyai kecenderungan untuk mengabaikan formalitas kepastian hukum demi tercapainya keadilan yang substansial. Pengecualian atas berlakunya doktrin consideration dan penerapan doktrin promisory estoppel serta asas itikad baik dalam perjanjian adalah contoh dari teori hukum perjanjian yang modern.
Consideration dan promisory estoppel merupakan dua prinsip dasar hukum perjanjian dalam tradisi common law. Suatu janji tanpa consideration tidak mengikat dan tidak dapat dituntut pelaksanaannya. Suatu janji untuk memberikan sesuatu secara cuma-cuma seperti hibah tidak mengikat karena tidak ada consideration. Jadi consideration merupakan kontra prestasi yang berupa janji, harga, atau perbuatan. Penerapan doktrin consideration dapat berakibat suatu janji/kontrak tidak dapat dituntut pemenuhannya secara hukum karena alasan yang sifatnya teknis.
Untuk mengatasi kekuatan doktrin consideration, pengadilan di Inggris dan Amerika Serikat, membuat doktrin promissory estoppel. Paul Latimer mengatakan, promissory estoppel ini adalah suatu doktrin hukum yang mencegah seseorang pemberi janji (promisor) untuk menarik kembali janjinya, dalam hal pihak yang menerima janji (promisee) karena kepercayaannya terhadap janji tersebut telah melakukan sesuatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu, sehingga penerima janji (promisee) akan menderita kerugian jika pemberi janji (promisor) diperkenankan untuk menarik janjinya itu.
Perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata, adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Ikat-mengikat dalam suatu janji menurut perspektif hukum perdata dikenal dengan istilah verbintenis, yang meliputi tiga terjemahan yaitu perikatan, perutangan, dan perjanjian. Sedangkan overeenskomst ada dua terjemahan yaitu perjanjian dan persetujuan. Overeenskomst inilah yang diterjemahkan sebagai perjanjian.
Dirumuskan secara normatif di dalam Pasal 1320 KUH Perdata, bahwa sahnya suatu perjanjian harus memenuhi 1) kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan diri, 2) kecakapan untuk membuat perjanjian, 3) sesuatu hal tertentu, dan 4) sesuatu sebab yang diperbolehkan oleh hukum. Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subjektif sedangkan dua syarat yang terakhir merupakan syarat objektif.
Jika tidak terpenuhi syarat subjektif perjanjian, maka perjanjian itu dapat dibatalkan. Jika tidak terpenuhi syarat objektif perjanjian, maka perjanjian itu terancam batal demi hukum. Kecakapan merupakan unsur subjektif sahnya perjanjian. Orang yang sudah dewasa, dan sehat pikirannya merupakan orang yang cakap menurut hukum. Ada pula hal yang diperjanjikan menyangkut obyek tertentu dan objek itu harus jelas. Dilakukan pula atas sebab yang halal, dengan itikad baik bukan ditujukan untuk suatu kejahatan.
Dalam teori kesepakatan melahirkan sebuah asas terpenting yaitu asas kebebasan para pihak untuk menentukan apa saja yang akan disepakati yang dengan pengertian lain disebut dengan asas kebebasan berkontrak, yang berarti para pihak bebas untuk membuat perjanjian dengan bentuk atau format apapun serta isi atau substansinya sesuai dengan yang dikehendaki para pihak.
Asas kebebasan berkontrak dilatarbelakangi oleh paham individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaissance melalui ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, John Locke dan J.J. Rosseau. Perkembangan ini mencapai puncaknya setelah revolusi Perancis muncul bersamaan dengan lahirnya paham ekonomi klasik yang menggunakan persaingan bebas (laissez faire).
Setiap orang bebas menentukan kehendaknya dalam suatu perjanjian, menentukan kewajiban masing-masing pihak untuk memberikan sesuatu dan/atau untuk tidak melakukan sesuatu (prestasi). Sebagai kesepakatan yang dibuat dengan sengaja, atas kehendak para pihak secara sukarela, maka segala sesuatu yang telah disepakati, disetujui oleh para pihak harus dilaksanakan oleh para pihak sebagaimana telah dikehendakinya, maka dalam hal salah satu pihak melakukan wanprestasi (ingkar janji) terhadap perjanjian, pihak lain berhak untuk memaksakan tuntutan akan haknya melalui mekanisme dan jalur hukum yang berlaku.
Suatu perjanjian pasti memiliki konsekuensi hukum atau akibat hukum dari perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak menimbulkan prestasi (hak dan kewajiban). Jika prestasi tersebut tidak dilaksanakan maka inilah yang dinamakan ingkar janji (wanprestasi) dan bagi pihak yang melanggar memperoleh sanksi sebagai akibat pelanggaran itu berupa ganti rugi yang dialami oleh mitranya sebagai akibat dari tindakan wanpretasi tersebut. Melalui suatu perjanjian menjadi jembatan bagi para pihak dalam suatu aktivitas dagang atau bisnis. Oleh karena itu, perjanjian menjadi suatu sumber hukum yang penting dalam pembangunan hukum.

TEORI TENTANG PERBUATAN PIDANA

Oleh:
Bisdan Sigalingging, SH, MH
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara)
Emai:
bilqisadzkia@gmail.com
bisdansigalingging@yahoo.com

Kadang-kadang dalam suatu perjanjian (perdata) bisa mengarah pada perbuatan pidana seperti delik penipuan, atau mungkin di dalam perjanjian itu tidak terdapat unsur delik penipuan tetapi di dalam praktik ternyata aktualisasi dari perjanjian itu diwujudkan oleh salah satu pihak yang mengarah pada delik penipuan.
Penipuan merupakan tindak pidana sehingga disebut delik penipuan. Seseorang dapat disebut telah melakukan tindak pidana penipuan, jika rumusan tindak pidana penipuan telah terpenuhi oleh si pembuat. Istilah het strafbare feit telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai: perbuatan yang dapat/boleh dihukum, peristiwa pidana, perbuatan pidana, dan tndak pidana.
Undang-undang menggunakan istilah strafbaar feit yang menurut P.A.F. Lamintang untuk menyebut tindak pidana. Simons merumuskan een strafbaar feit adalah suatu handeling (tindakan/perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh seorang yang mampu bertanggung jawab”.
Simon dan van Hattum menggunakan tindak pidana dalam merumuskan strafbaar feit. Sedangkan Moeljatno menyebut strafbaar feit sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa melanggar larangan tersebut. Dari uraian tersebut terlihat Moeljatno menggunakan perbuatan pidana untuk merumuskan strafbaar feit.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli tersebut, dapat dipahami mengenai perumusan tindak pidana atau delik penipuan, terpenuhinya suatu perbuatan yang melawan hukum. Dikatakan sebagai perbuatan pidana, unsur-unsur atau elemen-elemen yang harus ada dalam suatu perbuatan pidana adalah: terdapat kelakuan dan akibat dari perbuatan, hal atau keadaan-keadaan yang menyertai perbuatan, keadaan tambahan yang memberatkan pidana, unsur melawan hukum yang objektif, dan unsur melawan hukum yang subjektif.
Sifat melawan hukum sebagai suatu penilaian objektif terhadap perbuatan dan bukan terhadap si pembuat (subjektif). Dikatakan sebagai sifat melawan hukum secara formil apabila suatu perbuatan telah mencocoki semua unsur yang termuat dalam rumusan delik. Jika ada alasan-alasan pembenar, alasan-alasan tersebut harus juga disebutkan secara tegas dalam undang-undang. Melawan hukum sama dengan melawan undang-undang (hukum tertulis). Dikatakan sebagai sikap melawan hukum secara materil disamping memenuhi syarat-syarat formil, perbuatan itu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela dan telah dilarang oleh hukum.
Menurut Moeljatno, sifat melawan hukum dibagi dua yakni melawan hukum subjektif dan melawan hukum objektif. Sifat melawan hukum subjektif bergantung pada bagaimana sikap batin si pelaku. Sedangkan sifat melawan hukum objektif bergantung pada pelaksanaan perbuatan yang dilarang oleh hukum.
Sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid) ada dua yaitu bersifat melawan hukum formal dan bersifat melawan hukum materil. Sifat melawan hukum formal dilihat dari dilarangnya suatu perbuatan oleh undang-undang, maka pada setiap delik sudah dengan sendirinya terdapat sifat melawan hukum sedangkan sifat melawan hukum materil dilihat dari sikap batinnya pelaku, maka pada setiap delik dianggap ada unsur sifat melawan hukum, harus dibuktikan.
Melawan hukum yang dimaksud adalah melawan isi perjanjian yang telah disepakati para pihak. Orang yang dikenai pidana harus mempunyai kesalahan (asas tiada pidana tanpa kesalahan). Kesalahan itu sendiri terdiri dari kesalahan yang disebabkan secara sengaja dan yang disebabkan karena kelalaian dalam melaksanakan isi perjanjian. Pelaku delik penipuan baru dapat dipidana jika ia dapat bertanggung jawab dalam artian berfikiran waras.
Jika ingin merumuskan perbuatan wanprestasi masuk dalam delik penipuan, maka unsur-unsurnya harus memenuhi rumusan unsur-unsur delik penipuan sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 378 KUH Pidana. Unsur yang pertama yaitu melawan hukum. Unsur melawan hukum dapat memiliki dua pengertian yaitu secara formal dan materiil, yang masuk kategori melawan hukum secara formal yaitu, melakukan sesuatu terbatas pada yang dilarang oleh undang-undang. Sedangkan yang dimaksud dengan melawan hukum secara materil adalah melakukan sesuatu yang dilarang dalam perundang-undangan maupun berdasarkan asas hukum yang tidak tertulis.
Pencantuman unsur melawan hukum dalam suatu tindak pidana berpengaruh pada proses pembuktian. Apabila dalam suatu pasal secara nyata terdapat unsur melawan hukum, maka penuntut umum harus membuktikan unsur tersebut, jika unsur tersebut tidak terbukti maka putusannya vrijspraak atau putusan bebas. Sedangkan, jika unsur melawan hukum tidak secara tegas merupakan unsur dari suatu tindak pidana maka tidak terbuktinya unsur tersebut menyebabkan putusannya lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van rechtverfolging).
Selain karena melawan hukum, unsur yang kedua, yaitu unsur kesalahan (schuld). Adagium mengatakan, geen straf zonder schuld (tiada hukuman tanpa kesalahan), ini berarti orang yang dihukum harus terbukti bersalah secara pidana. Kesalahan mengandung dua pengertian, dalam arti sempit yang berarti kesengajaan (dolus/opzet) yang berarti berbuat dengan kehendak dan maksud atau dengan menghendaki dan mengetahui (willen en wetens), sedangkan dalam arti luas berarti dolus dan culpa.
Kelalaian atau kealpaan (culpa) bilamana pada diri pelaku terdapat kekurangan pemikiran, kekurangan pengetahuan, dan unsur yang ketiga yaitu pertanggungjawaban subjek. Sesuatu dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila ada subjek (pelaku) dari tindak pidana itu sendiri. Agar pelaku itu dapat dipidana, maka dalam diri pelaku secara subjek tidak terdapat dasar penghapus pidana, baik dasar pembenar maupun dasar pemaaf. kekurangan kebijaksanaan yang diperlukan.
Dengan demikian sesuai dengan rumusan unsur-unsur pidana jika dikaitkan dengan delik penipuan dalam perjanjian, maka pelaku harus memenuhi rumusan unsur-unsur pidana penipuan sebagaimana yang telah ditentukan di dalam Pasal 378 KUH Pidana. Tetapi jika, rumusan ini tidak terbukti, maka kemungkinan yang menjadi pertimbangan adalah perbuatan wanprestasi tersebut masuk dalam ranah hukum perdata bukan dalam ranah hukum pidana.

KEPASTIAN HUKUM

KEPASTIAN HUKUM

Oleh:
Bisdan Sigalingging, SH, MH
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa Medan)
Emai:
bilqisadzkia@gmail.com
bisdansigalingging@yahoo.com

Kepastian hukum dalam the concept of law karya H.L.A. Hart mengomentari kepastian hukum dalam undang-undang. Beliau berpendapat bahwa kadang-kadang kata-kata dalam sebuah undang-undang dan apa yang diperintahkan undang-undang tersebut dalam suatu kasus tertentu bisa jadi jelas sekali, namun terkadang mungkin ada keraguan terkait dengan penerapannya. Keraguan itu terkadang dapat diselesaikan melalui interpretasi atas peraturan hukum lainnya. Hal inilah menurut H.L.A Hart salah satu contoh ketidakpastian (legal uncertainty) hukum.[1]
Menurut Tan Kamello, dalam suatu undang-undang, kepastian hukum (certainty) meliputi dua hal pertama, kepastian hukum dalam perumusan norma dan prinsip hukum yang tidak bertentangan antara satu dengan yang lainnya baik dari pasal-pasal undang-undang itu secara keseluruhan maupun kaitannya dengan pasal-pasal lainnya yang berada di luar undang-undang tersebut. Kedua, kepastian hukum juga berlaku dalam melaksanakan norma-norma dan prinsip-prinsip hukum undang-undang tersebut.[2]
Jika perumusan norma dan prinsip hukum sudah memiliki kepastian hukum tetapi hanya berlaku secara yuridis saja dalam arti hanya demi undang-undang semata-mata (law in the books), menurut Tan Kamello kepastian hukum seperti ini tidak akan dan tidak pernah menyentuh kepada masyarakatnya. Pendapat ini mungkin peraturan hukum yang demikian disebut dengan norma hukum yang mati (doodregel) atau hanya sebagai penghias yuridis dalam kehidupan manusia.[3]
Argumentasi yang didasarkan pada asas-asas, dan norma-norma, serta ketentuan-ketentuan hukum sesungguhnya memiliki argumentatif yang didasarkan pada kepastian hukum. Sebagaimana Mahfud MD mengatakan sebenarnya kedua belah pihak yang berhadapan dalam kontroversi hukum hanya mendasarkan pada pandangan dan argumentasi menurut logika pilihannya sendiri, bukan menurut undang-undang.[4] Pendapat ini merupakan sebuah protes terhadap kepastian hukum dalam undang-undang sehingga orang yang bersengketa beralih untuk mendasarkan pada pandangan dan argumentasi menurut logika pilihannya sendiri.
Faisal dalam pandangan lain melihat dari segi putusan-putusan para hakim pengadilan, dalam sarannya mengatakan hakim harus dijiwai oleh tiga nilai dasar yaitu, keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Pendapat ini muncul sesuai dengan realitas yang menunjukkan kecenderungan terjadi pertentangan antara nilai yang satu dan nilai yang lainnya. Bila telah terjadi pertentangan antara keadilan dan kepastian hukum muncul pula pertanyaan, nilai manakah yang harus didahulukan.[5] Masalah kepastian hukum masih menjadi perdebatan ketika memperhatikan perkara-perkara tertentu, terutama di kalangan para hakim yang mempertimbangkan dalam putusannya secara berbeda-beda.
Kepastian hukum pada negara hukum (rechtstaat) dalam sistem eropa kontinental (civil law) positivistik hukum merupakan prioritas utama meskipun dirasakan sangat tidak adil, namun setidaknya menimbulkan kepastian hukum dalam arti law in the books. Apakah kepastian hukum dalam arti law in the books tersebut akan pasti dilaksanakan secara substantif, maka dalam hal ini bergantung pada aparatur penegak hukum itu sendiri. Walaupun law in the books mencerminkan suatu kepastian hukum, namun jika aparatur penegak hukum itu sendiri tidak menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, tetap saja dikatakan tidak ada kepastian hukum.
Misalnya dalam hal memutus suatu perkara perdata, hakim harus memperhatikan asas-asas, norma-norma, dan ketentuan-ketentuan hukum perdata maupun asas-asas hukum dalam hukum acara perdata sehingga tidak mengeluarkan putusan yang tidak menjamin keadilan dan kepastian hukum. Kadang-kadang dalam suatu perkara tertentu hakim menjatuhkan putusan yang berbeda dasar pertimbangannya dengan perkara yang lain padahal kualifikasi perkara hampir menyerupai.
Disparitas pendapat (disenting opinion) salah satu contohnya, misalnya pertimbangan antara majelis hakim pengadilan negeri tidak sama dengan pertimbangan majelis hakim pada pengadilan tinggi, maupun Mahkamah Agung. Bahkan dalam satu forum majelis hakim sekalipun perbedaan pendapat itu pasti terjadi dalam menafsirkan hukum dan peristiwa hukum. Ketika perbedaan pendapat ini terjadi, maka perbedaan ini juga termasuk sebagai suatu ketidakpastian hukum dalam persidangan.
Menurut Mahmul Siregar mengatakan kepastian hukum itu harus meliputi seluruh bidang hukum.[6] Kepastian hukum tidak saja meliputi kepastian hukum secara substansi tetapi juga kepastian hukum dalam penerapannya (hukum acara) dalam putusan-putusan badan peradilan.[7] Antara kepastian substansi hukum dan kepastian penegakan hukum seharusnya harus sejalan, tidak boleh hanya kepastian hukum bergantung pada law in the books tetapi kepastian hukum yang sesungguhnya adalah bila kepastian dalam law in the books tersebut dapat dijalankan sebagaimana mestinya sesuai dengan prinsip-prinsip dan norma-norma hukum dalam menegakkan keadilan hukum.
Cicut Sutiarso menyarankan kepastian hukum yang berdasarkan keadilan menurutnya harus selalu ditanamkan untuk menciptakan budaya hukum yang tepat waktu.[8] Mungkin dari pendapat ini kepastian hukum akan lebih ampuh bila para penegak hukum membiasakan diri untuk membudidayakan penegakan hukum (rule of law) secara pasti, tidak pandang bulu, sesuai dengan prinisp equality before the law terhadap semua orang. Inilah gambaran suatu kepastian hukum.
Bila kepastian hukum menjadi primadona dalam penegakan hukum, di lain sisi tidak pula mampu menimbulkan keadilan, karena kepastian hukum dapat menimbulkan seolah-olah hukum tidak berpihak kepada orang yang butuh perlindungan hukum. Munculnya hukum moral (morality law) sebagai bukti bahwa kepastian hukum harus diubah dengan paradigma baru bilamana harus dipertimbangkan secara naluri dan hati nurani hakim-hakim pengadilan. Para hakim akan dikatakan tidak adil bila hanya bersandar pada apa yang dituliskan di dalam undang-undang belaka, tanpa mampu menggali nilai-nilai keadilan di dalam undang-undang. Hakim dalam melihat undang-undang bukan lah seperti kuda pakai kaca mata yang hanya boleh melihat ke depan tanpa boleh melihat ke lain sisi untuk mempertimbangkan hukum berdasarkan hati nurani.




[1] H.L.A Hart, The Concept of Law, (New York: Clarendon Press-Oxford, 1997) diterjemahkan oleh M. Khozim, Konsep Hukum, (Bandung: Nusamedia, 2010), hal. 230.
[2] Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia, (Bandung: Alumni, 2004), hal. 117.
[3] Ibid., hal. 118.
[4] Moh Mahfud MD, “Mendudukkan soal Ultra Petita”, Kompas, Tanggal 5 Februari 2007.
[5] Faisal, Menerobos Positivisme Hukum, (Bekasi: Gramata Publishing, 2012), hal. 162.
[6] Mahmul Siregar, “Kepastian Hukum Dalam Transaksi Bisnis Internasional dan Implikasinya Terhadap Kegiatan Investasi di Indonesia”, (Medan: Fakultas Hukum USU, tanpa tahun), hal. 4.
[7] Ibid.
[8] Cicut Sutiarso, Pelaksanaan Putusan Arbitrase Dalam Sengketa Bisnis, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), hal. 160.