KEPASTIAN HUKUM
Oleh:
Bisdan Sigalingging, SH, MH
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa Medan )
Emai:
bilqisadzkia@gmail.com
bisdansigalingging@yahoo.com
Kepastian hukum dalam the concept of law karya H.L.A. Hart mengomentari kepastian hukum dalam undang-undang. Beliau berpendapat bahwa kadang-kadang kata-kata dalam sebuah undang-undang dan apa yang diperintahkan undang-undang tersebut dalam suatu kasus tertentu bisa jadi jelas sekali, namun terkadang mungkin ada keraguan terkait dengan penerapannya. Keraguan itu terkadang dapat diselesaikan melalui interpretasi atas peraturan hukum lainnya. Hal inilah menurut H.L.A Hart salah satu contoh ketidakpastian (legal uncertainty) hukum.[1]
Menurut Tan Kamello, dalam suatu undang-undang, kepastian hukum (certainty) meliputi dua hal pertama, kepastian hukum dalam perumusan norma dan prinsip hukum yang tidak bertentangan antara satu dengan yang lainnya baik dari pasal-pasal undang-undang itu secara keseluruhan maupun kaitannya dengan pasal-pasal lainnya yang berada di luar undang-undang tersebut. Kedua, kepastian hukum juga berlaku dalam melaksanakan norma-norma dan prinsip-prinsip hukum undang-undang tersebut.[2]
Jika perumusan norma dan prinsip hukum sudah memiliki kepastian hukum tetapi hanya berlaku secara yuridis saja dalam arti hanya demi undang-undang semata-mata (law in the books), menurut Tan Kamello kepastian hukum seperti ini tidak akan dan tidak pernah menyentuh kepada masyarakatnya. Pendapat ini mungkin peraturan hukum yang demikian disebut dengan norma hukum yang mati (doodregel) atau hanya sebagai penghias yuridis dalam kehidupan manusia.[3]
Argumentasi yang didasarkan pada asas-asas, dan norma-norma, serta ketentuan-ketentuan hukum sesungguhnya memiliki argumentatif yang didasarkan pada kepastian hukum. Sebagaimana Mahfud MD mengatakan sebenarnya kedua belah pihak yang berhadapan dalam kontroversi hukum hanya mendasarkan pada pandangan dan argumentasi menurut logika pilihannya sendiri, bukan menurut undang-undang.[4] Pendapat ini merupakan sebuah protes terhadap kepastian hukum dalam undang-undang sehingga orang yang bersengketa beralih untuk mendasarkan pada pandangan dan argumentasi menurut logika pilihannya sendiri.
Faisal dalam pandangan lain melihat dari segi putusan-putusan para hakim pengadilan, dalam sarannya mengatakan hakim harus dijiwai oleh tiga nilai dasar yaitu, keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Pendapat ini muncul sesuai dengan realitas yang menunjukkan kecenderungan terjadi pertentangan antara nilai yang satu dan nilai yang lainnya. Bila telah terjadi pertentangan antara keadilan dan kepastian hukum muncul pula pertanyaan, nilai manakah yang harus didahulukan.[5] Masalah kepastian hukum masih menjadi perdebatan ketika memperhatikan perkara-perkara tertentu, terutama di kalangan para hakim yang mempertimbangkan dalam putusannya secara berbeda-beda.
Kepastian hukum pada negara hukum (rechtstaat) dalam sistem eropa kontinental (civil law) positivistik hukum merupakan prioritas utama meskipun dirasakan sangat tidak adil, namun setidaknya menimbulkan kepastian hukum dalam arti law in the books. Apakah kepastian hukum dalam arti law in the books tersebut akan pasti dilaksanakan secara substantif, maka dalam hal ini bergantung pada aparatur penegak hukum itu sendiri. Walaupun law in the books mencerminkan suatu kepastian hukum, namun jika aparatur penegak hukum itu sendiri tidak menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, tetap saja dikatakan tidak ada kepastian hukum.
Misalnya dalam hal memutus suatu perkara perdata, hakim harus memperhatikan asas-asas, norma-norma, dan ketentuan-ketentuan hukum perdata maupun asas-asas hukum dalam hukum acara perdata sehingga tidak mengeluarkan putusan yang tidak menjamin keadilan dan kepastian hukum. Kadang-kadang dalam suatu perkara tertentu hakim menjatuhkan putusan yang berbeda dasar pertimbangannya dengan perkara yang lain padahal kualifikasi perkara hampir menyerupai.
Disparitas pendapat (disenting opinion) salah satu contohnya, misalnya pertimbangan antara majelis hakim pengadilan negeri tidak sama dengan pertimbangan majelis hakim pada pengadilan tinggi, maupun Mahkamah Agung. Bahkan dalam satu forum majelis hakim sekalipun perbedaan pendapat itu pasti terjadi dalam menafsirkan hukum dan peristiwa hukum. Ketika perbedaan pendapat ini terjadi, maka perbedaan ini juga termasuk sebagai suatu ketidakpastian hukum dalam persidangan.
Menurut Mahmul Siregar mengatakan kepastian hukum itu harus meliputi seluruh bidang hukum.[6] Kepastian hukum tidak saja meliputi kepastian hukum secara substansi tetapi juga kepastian hukum dalam penerapannya (hukum acara) dalam putusan-putusan badan peradilan.[7] Antara kepastian substansi hukum dan kepastian penegakan hukum seharusnya harus sejalan, tidak boleh hanya kepastian hukum bergantung pada law in the books tetapi kepastian hukum yang sesungguhnya adalah bila kepastian dalam law in the books tersebut dapat dijalankan sebagaimana mestinya sesuai dengan prinsip-prinsip dan norma-norma hukum dalam menegakkan keadilan hukum.
Cicut Sutiarso menyarankan kepastian hukum yang berdasarkan keadilan menurutnya harus selalu ditanamkan untuk menciptakan budaya hukum yang tepat waktu.[8] Mungkin dari pendapat ini kepastian hukum akan lebih ampuh bila para penegak hukum membiasakan diri untuk membudidayakan penegakan hukum (rule of law) secara pasti, tidak pandang bulu, sesuai dengan prinisp equality before the law terhadap semua orang. Inilah gambaran suatu kepastian hukum.
Bila kepastian hukum menjadi primadona dalam penegakan hukum, di lain sisi tidak pula mampu menimbulkan keadilan, karena kepastian hukum dapat menimbulkan seolah-olah hukum tidak berpihak kepada orang yang butuh perlindungan hukum. Munculnya hukum moral (morality law) sebagai bukti bahwa kepastian hukum harus diubah dengan paradigma baru bilamana harus dipertimbangkan secara naluri dan hati nurani hakim-hakim pengadilan. Para hakim akan dikatakan tidak adil bila hanya bersandar pada apa yang dituliskan di dalam undang-undang belaka, tanpa mampu menggali nilai-nilai keadilan di dalam undang-undang. Hakim dalam melihat undang-undang bukan lah seperti kuda pakai kaca mata yang hanya boleh melihat ke depan tanpa boleh melihat ke lain sisi untuk mempertimbangkan hukum berdasarkan hati nurani.
[1] H.L.A Hart, The Concept of Law, (New York: Clarendon Press-Oxford, 1997) diterjemahkan oleh M. Khozim, Konsep Hukum, (Bandung : Nusamedia, 2010), hal. 230.
[2] Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia, (Bandung: Alumni, 2004), hal. 117.
[3] Ibid., hal. 118.
[4] Moh Mahfud MD, “Mendudukkan soal Ultra Petita”, Kompas, Tanggal 5 Februari 2007.
[5] Faisal, Menerobos Positivisme Hukum, (Bekasi: Gramata Publishing, 2012), hal. 162.
[6] Mahmul Siregar, “Kepastian Hukum Dalam Transaksi Bisnis Internasional dan Implikasinya Terhadap Kegiatan Investasi di Indonesia”, (Medan: Fakultas Hukum USU, tanpa tahun), hal. 4.
[7] Ibid.
[8] Cicut Sutiarso, Pelaksanaan Putusan Arbitrase Dalam Sengketa Bisnis, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), hal. 160.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar