UPAYA PERDAMAIAN DALAM HUKUM KEPAILITAN
Oleh:
Bisdan Sigalingging, SH, MH
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara)
Emai:
bilqisadzkia@gmail.com
bisdansigalingging@yahoo.com
UUK dan PKPU memberikan peluang bagi debitor maupun kreditor untuk mengajukan upaya perdamaian. Upaya perdamaian (accord) dapat diajukan oleh salah satu pihak guna mengakhiri suatu perkara yang sedang berjalan atau mencegah timbulnya suatu perkara. Perdamaian (accord) dalam kepailitan diartikan sebagai suatu perjanjian perdamaian antara debitor pailit dengan para kreditor. Debitur pailit berhak untuk menawarkan perdamaian kepada seluruh kreditor berpiutangnya bersama-sama.
Dalam berbagai literatur yang membahas tentang kepailitan tidak ada keseragaman dalam menggunakan istilah padanan kata dari perdamaian. Ada yang menggunakan istilah accord, ada yang menggunakan accoord, ada yang menggunakan istilah akor (akkoord), ada yang menggunakan istilah akur. Tetapi menurut Zainal Asikin istilah asli dari perdamaian adalah accoord.
Steven R. Schuit dalam bukunya berjudul “Dutch Business Law” menggunakan istilah composition untuk accoord yang diartikannya sebagai persetujuan untuk pembayaran utang. Sedangkan di dalam Kamus Umum Bahasan Indonesia oleh WJS Poerwadarminta, akor atau akur diartikan dengan cocok, sesuai, dan setuju.
Sedangkan akor atau akur atau accoord dalam hukum kepailitan diartikan oleh Vollmar, sebagai suatu perjanjian perdamaian antara si pailit (debitor) dengan para kreditor di mana diadakan suatu ketentuan bahwa si pailit (debitor) dengan membayar suatu prosentase tertentu dari utangnya, maka ia akan dibebaskan untuk membayar sisanya.
Penggunaan istilah perdamaian yang berbeda-beda, pengertiannya juga ditemukan dalam buku Sunarmi yang berjudul “Hukum Kepailitan”, menurutnya ada dua pengertian dari accord. Yaitu pertama, accord yang ditawarkan pada saat verifikasi dalam kepailitan dan kedua, accord yang ditawarkan dalam PKPU yaitu sebelum debitor dinyatakan pailit.
Dalam Black’s Laws Dictionary, pengertian accord diartikan sebagai:
An agreement between two persons, one of the whom has a right of action against the other, to settle the dispute. In a debtor/creditor relationship, an agreement between the parties to settle a dispute for same partial payment. It is called an accord because the creditor has a right of action against the debtor. Dalam pengertian lain accord diartikan dalam praktek sebagai, “to agree or concur, as one judge with another”.
Dari pengertian dalam Black’s Law Dictionary tersebut, accord dapat diartikan sebagai sebuah perjanjian antara dua orang, yang salah satunya memiliki hak tindakan terhadap yang lain, untuk menyelesaikan perselisihan tersebut. Dalam hubungan debitor dan kreditor, membuat kesepakatan antara pihak untuk menyelesaikan sengketa pembayaran utang, di mana karena kreditur memiliki hak bertindak terhadap debitor.
Dari pengertian-pengertian accord tersebut di atas memberikan makna bahwa walaupun debitor telah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga melalui putusannya, namun bagi si pailit (debitor) masih diberikan kesempatan oleh undang-undang untuk mengajukan rencana perdamaian dengan para kreditornya. Perdamaian dalam proses kepailitan berbeda dengan perdamaian dalam hukum acara perdata biasa. Perdamaian dalam hukum acara perdata biasa tidak terikat formulanya dan bisa dilakukan sendiri oleh para pihak tanpa campur tangan pengadilan, tetapi perdamaian dalam proses kepailitan terjadi dalam proses perkara kepailitan melalui hakim pengawas.
Demikian pula perdamaian dalam pemberesan harta pailit berbeda karakteristiknya dengan perdamaian dalam PKPU. Perdamaian dalam kepailitan lebih mengarah pada proses penyelesaian utang-utang debitor melalui pemberesan harta pailit sedangkan perdamaian dalam PKPU lebih ditekankan pada rencana penawaran pembayaran atau melakukan restrukturisasi pembayaran utang. Dalam hal ini untuk keseragaman penggunaan istilah maka digunakan istilah accord saja.
Dasar hukum perdamaian terdapat pengaturannya di dalam Pasal 144 s/d Pasal 177 UUK dan PKPU. Pasal 144 UUK dan PKPU menentukan, “Debitor Pailit berhak untuk menawarkan suatu perdamaian kepada semua Kreditor”. Hal ini juga ditegaskan dalam Zainal Asikin bahwa penawaran perdamaian itu harus diajukan oleh si pailit (debitor pailit) kepada kurator atau kepada Balai Harta Peninggalan, paling lambat 8 (delapan) hari sebelum rapat verifikasi (rapat pencocokan piutang).
Beberapa ketentuan menyangkut rencana perdamaian dalam UUK dan PKPU diuraikan berikut ini. Ketentuan dalam Pasal 145 UUK dan PKPU menentukan:
a. Apabila Debitor Pailit mengajukan rencana perdamaian dan paling lambat 8 (delapan) hari sebelum rapat pencocokan piutang menyediakannya di Kepaniteraan Pengadilan agar dapat dilihat dengan cuma-cuma oleh setiap orang yang berkepentingan, rencana perdamaian tersebut wajib dibicarakan dan diambil keputusan segera setelah selesainya pencocokan piutang, kecuali dalam hal yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147.
b. Bersamaan dengan penyediaan rencana perdamaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di Kepaniteraan Pengadilan maka salinannya wajib dikirimkan kepada masing-masing anggota panitia kreditor sementara.
Pasal 146 UUK dan PKPU menentukan bagi kurator dan panitia kreditor sementara masing-masing wajib memberikan pendapat tertulis tentang rencana perdamaian dalam rapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 UUK dan PKPU. Pembicaraan dan keputusan mengenai rencana perdamaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 UUK dan PKPU, ditunda sampai rapat berikut yang tanggalnya ditetapkan oleh Hakim Pengawas paling lambat 21 (dua puluh satu) hari kemudian yang Pasal 147 UUK dan PKPU ditunda dalam hal:
- Apabila dalam rapat diangkat panitia kreditor tetap yang tidak terdiri atas orang-orang yang sama seperti panitia kreditor sementara, sedangkan jumlah terbanyak Kreditor menghendaki dari panitia kreditor tetap pendapat tertulis tentang perdamaian yang diusulkan tersebut; atau
- Rencana perdamaian tidak disediakan di Kepaniteraan Pengadilan dalam waktu yang ditentukan, sedangkan jumlah terbanyak Kreditor yang hadir menghendaki pengunduran rapat.
Kemudian dalam Pasal 148 UUK dan PKPU menentukan:
Dalam hal pembicaraan dan pemungutan suara mengenai rencana perdamaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147 ditunda sampai rapat berikutnya, Kurator dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal rapat terakhir harus memberitahukan kepada Kreditor yang diakui atau Kreditor yang untuk sementara diakui yang tidak hadir pada rapat pencocokan piutang dengan surat yang memuat secara ringkas isi rencana perdamaian tersebut.
Kemudian dalam Pasal 149 UUK dan PKPU ditentukan:
- Pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya dan Kreditor yang diistimewakan, termasuk Kreditor yang mempunyai hak didahulukan yang dibantah, tidak boleh mengeluarkan suara berkenaan dengan rencana perdamaian, kecuali apabila mereka telah melepaskan haknya untuk didahulukan demi kepentingan harta pailit sebelum diadakannya pemungutan suara tentang rencana perdamaian tersebut.
- Dengan pelepasan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mereka menjadi Kreditor konkuren, juga dalam hal perdamaian tersebut tidak diterima.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, diketahui bahwa upaya perdamaian hanya berlaku terhadap kreditor konkuren (bersaing). Menurut Sunarmi hanya kreditor konkurenlah yang berhak untuk mengeluarkan suara terhadap rencana perdamaian yang ditawarkan oleh debitor pailit. Kreditor separatis, kreditor preferen dengan hak untuk didahulukan tidak berhak memberikan suaranya dalam rapat tentang rencana perdamaian tersebut.
Jika kreditor separatis dan kreditor preferen memberikan suaranya dalam rapat rencana perdamaian, maka berarti bahwa kreditor tersebut telah melepaskan hak-hak istimewanya sebagaimana dalam KUH Perdata dan selanjutnya berubah menjadi kreditor konkuren, meskipun jika pada akhirnya rencana perdamaian tersebut tidak diterima, kreditor ini tetap menjadi kreditor konkuren.
Sebagaimana telah disinggung mengenai rencana perdamaian di atas, bahwa yang menawarkan perdamaian dalam kepailitan harus lah dari pihak si pailit (debitor pailit). Diajukannya rencana perdamaian ini oleh debitor pailit, disebabkan oleh karena kemungkinan alasan-alasan berikut ini:
a. Mungkin debitor pailit menawarkan kepada kreditornya bahwa ia akan membayar (sanggup membayar) dalam jumlah tertentu dari utangnya (tidak dalam jumlah keseluruhannya).
b. Mungkin debitor pailit akan menawarkan akor likuidasi (liquidatie accord) di mana debitor pailit menyediakan hartanya bagi kepentingan para kreditornya untuk dijual di bawah pengawasan seorang pengawas (pemberes), dan hasil penjualannya dibagi untuk para kreditor. Jika hasil penjualan itu tidak mencukupi, maka debitor pailit dibebaskan dari dalam hal membayar sisa utang yang belum terbayar.
c. Mungkin debitor pailit menawarkan untuk meminta penundaan pembayaran dan diperbolehkan mengangsur utangnya untuk beberapa waktu.
Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa dalam pengajuan perdamaian pada PKPU berbeda dengan pengajuan perdamaian dalam kepailitan. Perbedaan perdamaian antara perdamaian pada PKPU dan perdamaian pada kepailitan dapat dilihat dari segi waktu, penyelesaian, syarat penerimaan, dan kekuatan mengikat. Dari segi waktu, perdamaian pada PKPU diajukan diajukan pada saat atau setelah permohonan PKPU sedangkan perdamaian pada kepailitan diajukan setelah adanya putusan pailit dari majelis hakim pengadilan niaga.
Dari segi penyelesaian, pembicaraan penyelesaian perdamaian dilakukan pada sidang pengadilan yang memeriksa permohonan PKPU sedangkan perdamaian pada kepailitan dibicarakan pada saat verifikasi (rapat pencocokan piutang) yaitu setelah adanya putusan pailit. Dari segi syarat penerimaan, syarat penerimaan perdamaian pada PKPU harus disetujui 2/3 jumlah kreditor yang diakui dan mewakili 3/4 dari jumlah piutang. Sedangkan perdamaian dalam kepailitan harus disetujui oleh 1/2 kreditor konkuren yang mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) dari jumlah seluruh piutang konkuren yang diakui.
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 151 UUK dan PKPU yang menentukan syarat berikut ini:
Rencana perdamaian diterima apabila disetujui dalam rapat Kreditor oleh lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah kreditor konkuren yang hadir dalam rapat dan yang haknya diakui atau yang untuk sementara diakui, yang mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga) dari jumlah seluruh piutang konkuren yang diakui atau yang untuk sementara diakui dari kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut.
Selanjutnya dalam Pasal 152 UUK dan PKPU ditentukan pula syarat-syarat dalam hal:
- Apabila lebih dari 1/2 (satu perdua) jumlah Kreditor yang hadir pada rapat Kreditor dan mewakili paling sedikit 1/2 (satu perdua) dari jumlah piutang Kreditor yang mempunyai hak suara menyetujui untuk menerima rencana perdamaian maka dalam jangka waktu paling lambat 8 (delapan) hari setelah pemungutan suara pertama diadakan, diselenggarakan pemungutan suara kedua, tanpa diperlukan pemanggilan.
- Pada pemungutan suara kedua, Kreditor tidak terikat pada suara yang dikeluarkan pada pemungutan suara pertama.
Dari segi kekuatan mengikat perdamaian pada PKPU berlaku pada semua kreditor sedangkan perdamaian pada kepailitan hanya berlaku bagi kreditor konkuren saja. Apakah perdamaian bisa dilakukan setelah adanya putusan MA yang menolak kasasi debitor pailit? Pada prinsipnya UUK dan PKPU menjamin hak debitor pailit untuk dapat menawarkan suatu perdamaian kepada semua kreditor (Pasal 144 UUK dan PKPU).
Akan tetapi, rencana perdamaian itu harus diajukan oleh debitor pailit paling lambat 8 (delapan) hari sebelum rapat pencocokan piutang dengan menyediakannya di Kepaniteraan Pengadilan Niaga. Rencana perdamaian tersebut wajib dibicarakan dan diambil keputusan segera setelah selesainya pencocokan piutang (Pasal 145 ayat 1 UUK dan PKPU). Dengan kata lain, rencana perdamaian ini diajukan setelah adanya putusan pailit terhadap debitor oleh Pengadilan Niaga.
Memang debitor pailit diberikan hak untuk melakukan upaya hukum yaitu kasasi ke MA (Pasal 11 ayat 1 UUK dan PKPU), tetapi permohonan kasasi ini diajukan paling lambat 8 (delapan) hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan kasasi diucapkan, dengan mendaftarkan kepada Panitera Pengadilan yang telah memutus permohonan pernyataan pailit (Pasal 11 ayat 2 UUK dan PKPU).
Hal ini berarti rencana pengajuan perdamaian tidak lagi dapat diajukan setelah ada putusan dari MA yang menolak kasasi yang diajukan oleh debitor pailit. Karena jangka waktu untuk pengajuan rencana perdamaian telah lewat waktu. Rencana pengajuan perdamaian dalam rangka kepailitan hanya boleh dilakukan setelah putusan pailit dijatuhkan Pengadilan Niaga dan tidak boleh lewat dari 8 (delapan) hari setelah jatuhnya putusan pailit. Jadi, perdamaian tidak bisa dilakukan setelah ada putusan MA yang menolak kasasi debitor pailit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar