Kamis, 23 Oktober 2014


PERBEDAAN ANTARA HUKUM PUBLIK DAN HUKUM PRIVAT

Oleh:
Bisdan Sigalingging, SH, MH
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara)
Emai:
bilqisadzkia@gmail.com
bisdansigalingging@yahoo.com

Pada prinsipnya hukum dibagi dua yaitu hukum publik (publickrecht) dan hukum privat (privatrecht). Hukum publik mengandung ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hal-hal yang menyangkut kepentingan umum. Sedangkan hukum privat mengandung ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hal-hal yang bersifat keperdataan atau kepentingan pribadi (orang perseorangan atau badan hukum).
Hal-hal esensial yang diatur dalam hukum privat antara lain misalnya kebebasan setiap individu, masalah keluarga, masalah waris, masalah perkawinan, masalah harta kekayaan, jaminan, hak milik, perikatan, perjanjian, dan lain-lain. Menurut KUH Perdata dibagi dalam empat buku, yaitu buku I tentang orang, buku II tentang benda, buku III tentang perikatan, dan buku IV tentang bukti dan kadaluarsa.
Sedangkan dalam hukum publik memberikan jaminan bagi perlindungan hukum atas kenyamanan, keselamatan, keamanan warga negara dari pemerintah atau negara atau melindungi kepentingan umum. KUH Pidana terbagi tiga buku yaitu buku I tentang peraturan umum, buku II tentang, kejahatan dan buku III tentang pelanggaran. Hukum publik misalnya hukum pidana, hukum tata negara, hukum admisnitrasi negara, hukum internasional publik, dan lain-lain.
Tabel 1
Perbedaan Hukum Publik dan Hukum Privat

No
Perbedaan
Hukum Publik
Hukum Privat
1.
Dilihat dari subjeknya
Salah satu pihaknya adalah penguasa
Kedua belah pihak adalah perorangan
2.
Dilihat dari kedudukan dari pihak
Kedudukan tidak sejajar
Kedudukan sejajar
3.
Dilihat dari sifatnya
Umumnya memaksa (dwigenrecht)
Umumnya pelengkap (aanfulenrecht)
4.
Dilihat dari akibatnya
Aturannya tidak dapat disimpangi
Dapat disimpangi
5.
Dilihat dari aspek perlindungan kepentingan
Melindungi kepentingan umum
Melindungi perorangan
Jika dilihat dari sisi subjek hukum, maka para pihak dalam hukum publik terdiri dari syarat minimal dua orang atau lebih dan yang lainnya adalah negara. Dari dua orang tersebut, yang satu adalah pelaku dan yang lain adalah korban, sementara negara adalah sebagai penuntut. Sedangkan subjek hukum dalam hukum privat hanya orang perseorangan yang setidak-tidaknya harus memenuhi syarat minimal harus ada dua orang yang disebut dengan kedua belah pihak atau para pihak.
Hukum publik adalah keseluruhan garis-garis hukum yang berhubungan dengan bangunan negara atau badan-badan negara, bagaimana badan-badan negara melaksanakan tugasnya, bagaimana hubungan kekuasaannya satu sama lainnya dan perbandingan atau hubungannya dengan masyarakat atau perseorangan dan sebaliknya. Bangunan negara yang dimaksud adalah pemerintahan termasuk susunan dan kewenangan-kewenangan pemerintahan tersebut.
Hukum pidana adalah serangkaian ketentuan-ketentuan yang mengatur tingkah laku yang dilarang atau yang diharuskan atau diancamkan kepada pelanggarnya dengan pidana, jenis dan macam-macam pidana, cara-cara menyidik, menuntut, pemeriksaan dan penjatuhan pidana dalam persidangan, serta melaksanakan pidana.
Hukum perdata (privat) adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan hukum antara sesama warga perseorangan atau antara warga tersebut dengan penguasa sebagai pribadi (perseorangan), bukan dalam fungsinya sebagai pejabat, yang berarti penguasa atau pejabat tersebut dalam hal ini tunduk pada peradilan perdata.
Hukum perdata dalam arti sempit hanya meliputi ketentuan-ketentuan tentang orang, tentang kebendaan, tentang perikatan, dan tentang pembuktian dan daluarsa seperti yang di diatur dalam KUH Perdata (BW). Sedangkan hukum perdata dalam arti luas meliputi selain termasuk dalam arti sempit, juga termasuk ketentuan-ketentuan mengenai perdagangan sebagaimana diatur dalam KUHD dan kegiatan bisnis.
Kadang-kadang hukum perdata dalam arti luas dinamakan oleh orang sebagai hukum sipil, sedangkan hukum perdata dalam arti sempit sebagai hukum perdata. Karenanya jika membicarakan mengenai hukum perdata, maka harus disepakati terlebih dahulu istilah mana yang sedang digunakan.
Sehingga dengan demikian perbedaan antara hukum publik dan hukum privat semakin jelas. Ditinjau dari sudut kepentingan, maka hukum perdata mengatur kepentingan perseorangan (particuliere belangen), sedangkan hukum publik mengatur kepentingan umum (algemene belangen).
Ditinjau dari kedudukan subjek hukumnya, maka dalam hukum perdata mengatur hubungan-hubungan subjek yang kedudukannya sederajat atau sedejarat warga perseorangan, tanpa membeda-bedakan derajat kebangsawanan, derajat dalam pekerjaan, kedudukan dalam beragama, dan sebagainya. Sedangkan dalam hukum publik mengatur hubungan-hubungan subjek hukum yang kedudukannya tidak sederajat. Sebab dalam hukum publik, yang satu adalah penegak hukum, yang tentunya lebih tinggi kedudukannya daripada yang lain.
Ditinjau dari sudut menegakkan hukum, maka dalam hukum perdata penegakannya diserahkan kepada orang perseorangan yang berkepentingan, apakah ia akan mempertahankan hak dan kewajibannya sesuai dengan ketentuan hukum atau tidak. Negara tidak turut mencampurinya selama orang tersebut belum mengajukan gugatannya ke pengadilan. Misalnya apakah seseorang yang berpiutang (kreditur) akan menuntut pembayaran kembali piutangnya dari yang berutang (debitur) melalui peradilan perdata atau tidak, ataukah piutang itu dianggap saja sudah lunas atau dihibahkan, tentu penentuannya diserahkan kepada si kreditur.
Sedangkan dalam hukum publik, penguasa wajib menegakkan hukum, walaupun mungkin orang yang dirugikan itu tidak menghendaki penuntutan terhadap subjek yang merugikannya. Namun dalam hal ini ada juga pengecualian antara lain apabila yang terjadi itu adalah kejahatan penghinaan, perzinahan, pencurian dalam keluarga dan sebagainya.
Jika ditinjau dari sudut teori yang umum dan teori khusus, maka hukum perdata berlaku secara umum (ius commune, gemeine recht) baik untuk pemerintah maupun untuk rakyat berkedudukan sebagai pribadi-pribadi atau perseorangan. Sedangkan hukum publik merupakan hukum khusus (ius speciale) karena memberikan kekuasaan khusus kepada pemerintah untuk melakukan suatu tindakan kepada pribadi-pribadi, misalnya mengambil (onteigenen) suatu milik perseorangan atau pribadi tersebut untuk kepentingan umum (ten algemene nutte).
Hukum perdata pada hakikatnya merupakan hukum yang mengatur kepentingan antar warga perseorangan yang satu dengan warga perseorangan yang lainnya. Hal yang esensial dalam hukum perdata mengatur individu dalam hubungannya dengan keluarganya, hak miliknya, hartanya, peritakan, dan lain-lain. Sekaligus membedakannya dari hukum publik yang pengaturannya memberikan jaminan yang minimal bagi kehidupan pribadi. Dikatakan jaminan yang minimal karena dijamin dalam perundang-undangan.
Berdasarkan perbedaan-perbedaan yang telah dikemukakan di atas, intinya dari hukum perdata adalah hukum antar perorangan yang mengatur hak dan kewajiban orang perseorangan yang satu terhadap yang lain dari dalam hubungan kekeluargaan dan dalam pergaulan masyarakat yang pelaksanaannya diserahkan kepada masing-masing pihak.
Inti dari perbedaan ini adalah hukum publik merupakan hukum yang mengatur tentang kepentingan publik (masyarakat umum), sedangkan hukum perdata mengatur kepentingan privat atau pribadi atau perdata, perseorangan atau partikulir. Singkatnya dari hukum pidana apakah ia merupakan hukum publik atau tidak, maka pada satu sisi hukum pidana adalah hukum publik, tetapi di sisi lain ada pengecualian bahwa hukum pidana belum tentu sebagai hukum publik.
Ciri-ciri haukum publik antara lain:
1.    Mengatur hubungan antara kepentingan negara atau masyarakat dengan orang perseorangan.
2.    Kedudukan penguasa negara adalah lebih tinggi dari orang perseorangan. Dengan perkataan lain, orang perseorangan disubordinasikan kepada penguasa.
3.    Penuntutan terhadap seseorang yang telah melakukan suatu tindakan yang terlarang tidak tergantung kepada perseorangan (yang dirugikan), melainkan pada umumnya, negara atau penguasa wajib menuntut orang orang tersebut.
4.    Hak subjektif penguasa ditimbulkan oleh peraturan-peraturan hukum pidana positif.
Apakah pada hukum pidana itu terdapat ciri-ciri seperti yang terdapat pada ciri-ciri hukum publik, atau apakah hukum pidana bersifat hukum publik? Ppada umumnya hukum pidana adalah bersifat hukum publik. Karena dalam hukum pidana juga terdapat ciri-ciri yang terdapat pada hukum publik.
Jika dianalogikan misalnya A membunuh si B atas permintaan si B sendiri dengan sungguh-sungguh, namun penguasa tetap berkewajiban menuntut si A (Pasal 344 KUH Pidana). Dalam hal ini tidak perlu dipersoalkan keiinginan keluarga atau pihak dari si B agar A tidak dituntut oleh penguasa karena mereka mengetahui bahwa pembunuhan itu terjadi karena permintaan B. Tetapi dalam hal ini yang harus diutamakan adalah kepentingan umum, karena bagaimanapun juga, pembunuhan adalah perbuatan tercela, harus dicegah dan layak dipidana bagi pelakunya.
Mengapa alasannya pada kepentingan umum dalam kasus pembunuhan di atas, karena jika permintaan si B tadi dibiarkan agar si A membunuhnya atau tidak diproses secara hukum, maka dalam hal ini kepentingan umum akan tertarik atau dirugikan dengan alasan, pertama, jika hal itu terjadi dan tidak diproses oleh aparat penegak hukum, maka masyarakat yang lainnya bisa suatu waktu mencontoh sehingga terjadi hal serupa, kedua, karena undang-undang sudah menjamin untuk melindungi seluruh warga negara dari segala ancaman, gangguan, atas kenyamanan dan kelangsungan hidup warga masyarakat.
Tetapi dalam beberapa hal, terdapat pengecualian, tidak selalu penuntutan wajar dilakukan oleh penguasa tanpa memperhatikan kehendak dari pihak-pihak yang dirugikan. Pengecualian ini muncul sebagai reaksi dari doktrin-doktrin yang berprinsip pada “tiada suatu peraturan tanpa kekecualian” (there is no rule without exeption). Tentunya ini berlaku tidak bersifat umum, melainkan hanya untuk kasus-kasus tertentu yang sudah ditegaskan baik dalam tataran norma yang abstrak maupun yang sudah normatif di dalam undang-undang.
Prinsip tiada suatu peraturan tanpa kekecualian, ini berlaku misalnya untuk kasus-kasus delik aduan, seperti delik penghinaan dan delik perzinahan (KUH Pidana), ada pula dalam delik merek (UU No.15 Tahun 2001), dan lain-lain. Untuk delik aduan, pelaku dari delik aduan hanya dapat dituntut oleh negara karena adanya aduan dari korban.
Pertimbangan dengan menggunakan prinsip di atas didasarkan bahwa orang yang dirugikan atas terjadinya suatu kasus jangan hendaknya semakin dirugikan lagi terutama bagi masyarakat awam yang tidak banyak mengetahui arti peradilan yang tentu saja membutuhkan waktu, biaya, dan kesiapan mental. Bila terjadi dalam lingkungan keluarga misalnya atas pencurian yang dilakukan anak terhadap uang orang tuanya sendiri, proses hukum tidak akan berjalan jika orang tuanya memaafkan, tetapi negara akan bertindak jika ada pengaduan dari orang tuanya tersebut.
Hukum pidana bersifat hukum publik, walaupun ada alasan pengecualian yang mengatakan hukum pidana bukan hukum publik. Artinya bahwa sifat pemaksa (dwigen recht) dari hukum pidana tidak selamanya harus dijalankan oleh penguasa atau negara, melainkan harus pula memperhatikan prinsip “tiada suatu peraturan tanpa kekecualian” yang kira-kira prinsip ini melihat dan mendasarkan kajiannya pada asas kepatutan, kepantasan, dan kewajaran. Oleh karena negara tidak selalu wajib menuntut terhadap suatu tindak pidana tertentu karena dipersyaratkan harus ada pengaduan dari yang dirugikan atau korban tindak pidana pidana, menunjukkan karakter hukum pidana tidak bersifat hukum publik dalam kondisi tertentu, yaitu untuk delik-delik pengaduan saja.
Norma hukum yang bersifat memaksa (dwingen recht) menurut Nur Rahman adalah suatu suatu norma hukum yang secara apriori harus ditaati atau norma hukum dalam hal konkrit tidak dapat dikesampingkan oleh suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Walaupun dalan tabel 1 tersebut di atas, sifat hukum publik umumnya memaksa (dwingen recht) dan sifat hukum privat umumnya pelengkap (aanvullend recht), namun dalam hukum perdata (dalam pasal-pasal KUH Perdata) tentang perjanjian ada juga yang bersifat memaksa (dwingen recht).
Misalnya syarat-syarat perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang mensyaratkan wajib dipenuhi adalah: 1) kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan diri, 2) kecakapan untuk membuat perjanjian, 3) sesuatu hal tertentu, dan 4) sesuatu sebab yang diperbolehkan oleh hukum. Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subjektif sedangkan dua syarat yang terakhir merupakan syarat objektif.
Menurut Yahman, jika tidak terpenuhi syarat subjektif perjanjian, maka perjanjian itu dapat dibatalkan. Jika tidak terpenuhi syarat objektif perjanjian, maka perjanjian itu terancam batal demi hukum. Berarti ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata ini bersifat memaksa artinya keempat syarat tersebut wajib ada dalam perjanjian, jika tidak, maka konsekeunsi hukumnya dapat dibatalkan atau batal demi hukum.
Pada dasarnya bahwa hukum perjanjian dalam KUH Perdata juga mengandung ketentuan-ketentuan yang memaksa (dwingen, mandatory) dan juga bersifat opsional atau pelengkap (aanvullend, optional). Untuk ketentuan-ketentuan yang memaksa, para pihak tidak mungkin menyimpanginya dengan membuat syarat-syarat dan ketentuan-etentuan lain dalam perjanjian dibuat para pihak.
Namun terhadap ketentuan-ketentuan undang-undang yang bersifat melengkapi, para pihak bebas menyimpanginya dengan mengadakan sendiri syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan lain sesuai dengan kehendak para pihak. Maksud dari adanya ketentuan-ketentuan yang melengkapi itu adalah hanya untuk memberikan aturan yang berlaku bagi perjanjian yang dibuat oleh para pihak bila memang para pihak belum mengatur atau tidak mengatur secara tersendiri agar tidak terjadi kekosongan pengaturan mengenai hal atau materi yang dimaksud.
Buku III KUH Perdata menganut sistem terbuka, artinya hukum memberi keleluasaan kepada para pihak untuk mengatur sendiri pola hubungan hukum dalam perjanjian/kontrak yang dibuat para pihak. Apa yang di atur dalam Buku III KUH Perdata tersebut hanya sekedar mengatur dan melengkapi (regelend recht aanvullendrecht).
Tetapi Buku III KUH Perdata tersebut juga menganut sistem tertutup atau bersifat memaksa (dwingen recht), di mana para pihak dilarang menyimpangi aturan-aturan yang ada di dalam Buku III KUH Perdata tersebut. Berarti hukum publik maupun hukum privat sama-sama mengandung sifat hukum yang memaksa maupun sifatnya melengkapi, tetapi umumnya sifat memaksa itu ada pada hukum publik dan sifat pelengkap itu ada pada hukum privat.

TEORI TENTANG PERJANJIAN

TEORI TENTANG PERJANJIAN

Oleh:
Bisdan Sigalingging, SH, MH
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara)
Emai:
bilqisadzkia@gmail.com
bisdansigalingging@yahoo.com

Teori yang digunakan adalah teori tentang kesepakatan dan teori tentang perbuatan pidana. Teori kesepakatan digunakan di dalam penelitian ini untuk menganalisis permasalahan wanprestasi dalam perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak, sedangkan teori perbuatan pidana digunakan untuk menganalisis permasalahan tentang delik penipuan dalam perjanjian. Apakah suatu perbuatan wanprestasi masuk dalam ranah hukum privat atau masuk dalam ranah hukum pidana, akan dikaji berdasarkan kerangka teoritis berikut ini.
Roscoe Pound, mengatakan suatu kesepakatan mengikat karena memang merupakan keinginan para pihak yang menginginkan kesepakatan itu mengikat. Para pihak sendirilah yang pada intinya menyatakan kehendaknya untuk mengikatkan diri. Kata sepakat antara subjek terjadi secara disadari antara yang satu dengan yang lain, dan diantaranya saling mengikatkan diri sehingga subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga dengan subjek hukum yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati para pihak.
Dalam teori kesepakatan, kata sepakat, merupakan hal yang paling penting. George W. Paton, menyebut, kehendak yang “senyatanya” bukan kehendak yang “dipernyatakan” sebagaimana disebutnya, “a secret mental reservation should be a bar to enforcement since the test is the real will and not the will as declared”. Kehendak tersebut harus diberitahukan pada pihak lain, tidak menjadi soal apakah disampaikan secara lisan maupun tertulis, bahkan dengan bahasa isyarat sekalipun atau dengan cara membisu sekalipun tetap dapat terjadi perjanjian asal ada kata sepakat.
Hal ini berarti kata sepakat tidak hanya ”kesesuaian” kehendak antar para pihak yang berjanji saja, tetapi juga menyangkut kehendak dan pernyataan dari kehendak para pihak itu harus sesuai, atau persesuaian kehendak, dan tidak sekedar persesuaian sehingga tidak timbul cacat kehendak. Konsekuensi adanya kesepakatan untuk mengikatkan diri bahwa semua pihak telah menyetujui materi yang diperjanjikan, tidak ada paksaan atau di bawah tekanan.
R. Wirjono Prodjodikoro, ”kalau seseorang berjanji melaksanakan sesuatu hal, maka janji ini dalam hukum pada hakikatnya ditujukan kepada orang lain”. Bahwa sifat pokok dari perjanjian adalah hubungan hukum antara orang-orang berdasarkan atas suatu janji, wajib untuk melakukan sesuatu hal, dan orang lain tentu berhak menuntut pelaksanaan suatu janji itu.
Pemenuhan kewajiban terhadap suatu janji, misalnya contoh seorang A dan seorang B membuat perjanjian jual-beli bilamana A adalah penjual dan B adalah pembeli serta barang yang dibeli adalah suatu lemari tertentu yang berada di dalam rumah penjual A. Harga pembelian sudah dibayar, tetapi sebelum lemari diserahkan kepada B, ada pencuri yang mengambil lemari tersebut, sehingga lemari tersebut berada di tangan seorang C. Dalam contoh ini B tetap berhak menuntut kewajiban A untuk menyerahkan lemari itu kepada B, dan A tidak dapat beralasan tidak bisa menyerahkannya karena lemari tersebut dicuri oleh C kepada B, kecuali sesuatu hal yang disebabkan oleh kejadian alam yang tak terduga oleh kemampuan berfikir manusia.
R. Wirjono Prodjodikoro, juga mengatakan, ”berjanji sesuatu berarti mengikatkan diri secara membebankan pada diri sendiri suatu kewajiban untuk melaksanakan sesuatu”. Berarti perjanjian menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak. Subekti mengungkapkan bahwa “..Perikatan yang lahir dari perjanjian memang dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang membuat suatu perjanjian…”. Berarti hak dan kewajiban yang telah disepakati oleh para pihak merupakan kehendak dan pilihan bebas dari para pihak untuk menentukan isi perjanjian.
Teori hukum perjanjian yang tradisional menurut Suharnoko, mempunyai karakter yang menekankan pentingnya kepastian hukum dan predictability. Fungsi utama perjanjian harus memberikan kepastian hukum bagi para pihak bilamana syarat-syarat sah perjanjian sudah terpenuhi. Menyangkut kepastian hukum ini, menurut Tan Kamello, meliputi dua hal, pertama, kepastian dalam perumusan norma dan prinsip-prinsip hukum, dan kedua kepastian dalam melaksanakan norma-norma dan prinsip-prinsip hukum tersebut.
Teori hukum perjanjian yang modern menurut Suharnoko justru mempunyai kecenderungan untuk mengabaikan formalitas kepastian hukum demi tercapainya keadilan yang substansial. Pengecualian atas berlakunya doktrin consideration dan penerapan doktrin promisory estoppel serta asas itikad baik dalam perjanjian adalah contoh dari teori hukum perjanjian yang modern.
Consideration dan promisory estoppel merupakan dua prinsip dasar hukum perjanjian dalam tradisi common law. Suatu janji tanpa consideration tidak mengikat dan tidak dapat dituntut pelaksanaannya. Suatu janji untuk memberikan sesuatu secara cuma-cuma seperti hibah tidak mengikat karena tidak ada consideration. Jadi consideration merupakan kontra prestasi yang berupa janji, harga, atau perbuatan. Penerapan doktrin consideration dapat berakibat suatu janji/kontrak tidak dapat dituntut pemenuhannya secara hukum karena alasan yang sifatnya teknis.
Untuk mengatasi kekuatan doktrin consideration, pengadilan di Inggris dan Amerika Serikat, membuat doktrin promissory estoppel. Paul Latimer mengatakan, promissory estoppel ini adalah suatu doktrin hukum yang mencegah seseorang pemberi janji (promisor) untuk menarik kembali janjinya, dalam hal pihak yang menerima janji (promisee) karena kepercayaannya terhadap janji tersebut telah melakukan sesuatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu, sehingga penerima janji (promisee) akan menderita kerugian jika pemberi janji (promisor) diperkenankan untuk menarik janjinya itu.
Perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata, adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Ikat-mengikat dalam suatu janji menurut perspektif hukum perdata dikenal dengan istilah verbintenis, yang meliputi tiga terjemahan yaitu perikatan, perutangan, dan perjanjian. Sedangkan overeenskomst ada dua terjemahan yaitu perjanjian dan persetujuan. Overeenskomst inilah yang diterjemahkan sebagai perjanjian.
Dirumuskan secara normatif di dalam Pasal 1320 KUH Perdata, bahwa sahnya suatu perjanjian harus memenuhi 1) kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan diri, 2) kecakapan untuk membuat perjanjian, 3) sesuatu hal tertentu, dan 4) sesuatu sebab yang diperbolehkan oleh hukum. Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subjektif sedangkan dua syarat yang terakhir merupakan syarat objektif.
Jika tidak terpenuhi syarat subjektif perjanjian, maka perjanjian itu dapat dibatalkan. Jika tidak terpenuhi syarat objektif perjanjian, maka perjanjian itu terancam batal demi hukum. Kecakapan merupakan unsur subjektif sahnya perjanjian. Orang yang sudah dewasa, dan sehat pikirannya merupakan orang yang cakap menurut hukum. Ada pula hal yang diperjanjikan menyangkut obyek tertentu dan objek itu harus jelas. Dilakukan pula atas sebab yang halal, dengan itikad baik bukan ditujukan untuk suatu kejahatan.
Dalam teori kesepakatan melahirkan sebuah asas terpenting yaitu asas kebebasan para pihak untuk menentukan apa saja yang akan disepakati yang dengan pengertian lain disebut dengan asas kebebasan berkontrak, yang berarti para pihak bebas untuk membuat perjanjian dengan bentuk atau format apapun serta isi atau substansinya sesuai dengan yang dikehendaki para pihak.
Asas kebebasan berkontrak dilatarbelakangi oleh paham individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaissance melalui ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, John Locke dan J.J. Rosseau. Perkembangan ini mencapai puncaknya setelah revolusi Perancis muncul bersamaan dengan lahirnya paham ekonomi klasik yang menggunakan persaingan bebas (laissez faire).
Setiap orang bebas menentukan kehendaknya dalam suatu perjanjian, menentukan kewajiban masing-masing pihak untuk memberikan sesuatu dan/atau untuk tidak melakukan sesuatu (prestasi). Sebagai kesepakatan yang dibuat dengan sengaja, atas kehendak para pihak secara sukarela, maka segala sesuatu yang telah disepakati, disetujui oleh para pihak harus dilaksanakan oleh para pihak sebagaimana telah dikehendakinya, maka dalam hal salah satu pihak melakukan wanprestasi (ingkar janji) terhadap perjanjian, pihak lain berhak untuk memaksakan tuntutan akan haknya melalui mekanisme dan jalur hukum yang berlaku.
Suatu perjanjian pasti memiliki konsekuensi hukum atau akibat hukum dari perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak menimbulkan prestasi (hak dan kewajiban). Jika prestasi tersebut tidak dilaksanakan maka inilah yang dinamakan ingkar janji (wanprestasi) dan bagi pihak yang melanggar memperoleh sanksi sebagai akibat pelanggaran itu berupa ganti rugi yang dialami oleh mitranya sebagai akibat dari tindakan wanpretasi tersebut. Melalui suatu perjanjian menjadi jembatan bagi para pihak dalam suatu aktivitas dagang atau bisnis. Oleh karena itu, perjanjian menjadi suatu sumber hukum yang penting dalam pembangunan hukum.

TEORI TENTANG PERBUATAN PIDANA

Oleh:
Bisdan Sigalingging, SH, MH
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara)
Emai:
bilqisadzkia@gmail.com
bisdansigalingging@yahoo.com

Kadang-kadang dalam suatu perjanjian (perdata) bisa mengarah pada perbuatan pidana seperti delik penipuan, atau mungkin di dalam perjanjian itu tidak terdapat unsur delik penipuan tetapi di dalam praktik ternyata aktualisasi dari perjanjian itu diwujudkan oleh salah satu pihak yang mengarah pada delik penipuan.
Penipuan merupakan tindak pidana sehingga disebut delik penipuan. Seseorang dapat disebut telah melakukan tindak pidana penipuan, jika rumusan tindak pidana penipuan telah terpenuhi oleh si pembuat. Istilah het strafbare feit telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai: perbuatan yang dapat/boleh dihukum, peristiwa pidana, perbuatan pidana, dan tndak pidana.
Undang-undang menggunakan istilah strafbaar feit yang menurut P.A.F. Lamintang untuk menyebut tindak pidana. Simons merumuskan een strafbaar feit adalah suatu handeling (tindakan/perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan kesalahan (schuld) oleh seorang yang mampu bertanggung jawab”.
Simon dan van Hattum menggunakan tindak pidana dalam merumuskan strafbaar feit. Sedangkan Moeljatno menyebut strafbaar feit sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa melanggar larangan tersebut. Dari uraian tersebut terlihat Moeljatno menggunakan perbuatan pidana untuk merumuskan strafbaar feit.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli tersebut, dapat dipahami mengenai perumusan tindak pidana atau delik penipuan, terpenuhinya suatu perbuatan yang melawan hukum. Dikatakan sebagai perbuatan pidana, unsur-unsur atau elemen-elemen yang harus ada dalam suatu perbuatan pidana adalah: terdapat kelakuan dan akibat dari perbuatan, hal atau keadaan-keadaan yang menyertai perbuatan, keadaan tambahan yang memberatkan pidana, unsur melawan hukum yang objektif, dan unsur melawan hukum yang subjektif.
Sifat melawan hukum sebagai suatu penilaian objektif terhadap perbuatan dan bukan terhadap si pembuat (subjektif). Dikatakan sebagai sifat melawan hukum secara formil apabila suatu perbuatan telah mencocoki semua unsur yang termuat dalam rumusan delik. Jika ada alasan-alasan pembenar, alasan-alasan tersebut harus juga disebutkan secara tegas dalam undang-undang. Melawan hukum sama dengan melawan undang-undang (hukum tertulis). Dikatakan sebagai sikap melawan hukum secara materil disamping memenuhi syarat-syarat formil, perbuatan itu harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela dan telah dilarang oleh hukum.
Menurut Moeljatno, sifat melawan hukum dibagi dua yakni melawan hukum subjektif dan melawan hukum objektif. Sifat melawan hukum subjektif bergantung pada bagaimana sikap batin si pelaku. Sedangkan sifat melawan hukum objektif bergantung pada pelaksanaan perbuatan yang dilarang oleh hukum.
Sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid) ada dua yaitu bersifat melawan hukum formal dan bersifat melawan hukum materil. Sifat melawan hukum formal dilihat dari dilarangnya suatu perbuatan oleh undang-undang, maka pada setiap delik sudah dengan sendirinya terdapat sifat melawan hukum sedangkan sifat melawan hukum materil dilihat dari sikap batinnya pelaku, maka pada setiap delik dianggap ada unsur sifat melawan hukum, harus dibuktikan.
Melawan hukum yang dimaksud adalah melawan isi perjanjian yang telah disepakati para pihak. Orang yang dikenai pidana harus mempunyai kesalahan (asas tiada pidana tanpa kesalahan). Kesalahan itu sendiri terdiri dari kesalahan yang disebabkan secara sengaja dan yang disebabkan karena kelalaian dalam melaksanakan isi perjanjian. Pelaku delik penipuan baru dapat dipidana jika ia dapat bertanggung jawab dalam artian berfikiran waras.
Jika ingin merumuskan perbuatan wanprestasi masuk dalam delik penipuan, maka unsur-unsurnya harus memenuhi rumusan unsur-unsur delik penipuan sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 378 KUH Pidana. Unsur yang pertama yaitu melawan hukum. Unsur melawan hukum dapat memiliki dua pengertian yaitu secara formal dan materiil, yang masuk kategori melawan hukum secara formal yaitu, melakukan sesuatu terbatas pada yang dilarang oleh undang-undang. Sedangkan yang dimaksud dengan melawan hukum secara materil adalah melakukan sesuatu yang dilarang dalam perundang-undangan maupun berdasarkan asas hukum yang tidak tertulis.
Pencantuman unsur melawan hukum dalam suatu tindak pidana berpengaruh pada proses pembuktian. Apabila dalam suatu pasal secara nyata terdapat unsur melawan hukum, maka penuntut umum harus membuktikan unsur tersebut, jika unsur tersebut tidak terbukti maka putusannya vrijspraak atau putusan bebas. Sedangkan, jika unsur melawan hukum tidak secara tegas merupakan unsur dari suatu tindak pidana maka tidak terbuktinya unsur tersebut menyebabkan putusannya lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van rechtverfolging).
Selain karena melawan hukum, unsur yang kedua, yaitu unsur kesalahan (schuld). Adagium mengatakan, geen straf zonder schuld (tiada hukuman tanpa kesalahan), ini berarti orang yang dihukum harus terbukti bersalah secara pidana. Kesalahan mengandung dua pengertian, dalam arti sempit yang berarti kesengajaan (dolus/opzet) yang berarti berbuat dengan kehendak dan maksud atau dengan menghendaki dan mengetahui (willen en wetens), sedangkan dalam arti luas berarti dolus dan culpa.
Kelalaian atau kealpaan (culpa) bilamana pada diri pelaku terdapat kekurangan pemikiran, kekurangan pengetahuan, dan unsur yang ketiga yaitu pertanggungjawaban subjek. Sesuatu dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila ada subjek (pelaku) dari tindak pidana itu sendiri. Agar pelaku itu dapat dipidana, maka dalam diri pelaku secara subjek tidak terdapat dasar penghapus pidana, baik dasar pembenar maupun dasar pemaaf. kekurangan kebijaksanaan yang diperlukan.
Dengan demikian sesuai dengan rumusan unsur-unsur pidana jika dikaitkan dengan delik penipuan dalam perjanjian, maka pelaku harus memenuhi rumusan unsur-unsur pidana penipuan sebagaimana yang telah ditentukan di dalam Pasal 378 KUH Pidana. Tetapi jika, rumusan ini tidak terbukti, maka kemungkinan yang menjadi pertimbangan adalah perbuatan wanprestasi tersebut masuk dalam ranah hukum perdata bukan dalam ranah hukum pidana.

KEPASTIAN HUKUM

KEPASTIAN HUKUM

Oleh:
Bisdan Sigalingging, SH, MH
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa Medan)
Emai:
bilqisadzkia@gmail.com
bisdansigalingging@yahoo.com

Kepastian hukum dalam the concept of law karya H.L.A. Hart mengomentari kepastian hukum dalam undang-undang. Beliau berpendapat bahwa kadang-kadang kata-kata dalam sebuah undang-undang dan apa yang diperintahkan undang-undang tersebut dalam suatu kasus tertentu bisa jadi jelas sekali, namun terkadang mungkin ada keraguan terkait dengan penerapannya. Keraguan itu terkadang dapat diselesaikan melalui interpretasi atas peraturan hukum lainnya. Hal inilah menurut H.L.A Hart salah satu contoh ketidakpastian (legal uncertainty) hukum.[1]
Menurut Tan Kamello, dalam suatu undang-undang, kepastian hukum (certainty) meliputi dua hal pertama, kepastian hukum dalam perumusan norma dan prinsip hukum yang tidak bertentangan antara satu dengan yang lainnya baik dari pasal-pasal undang-undang itu secara keseluruhan maupun kaitannya dengan pasal-pasal lainnya yang berada di luar undang-undang tersebut. Kedua, kepastian hukum juga berlaku dalam melaksanakan norma-norma dan prinsip-prinsip hukum undang-undang tersebut.[2]
Jika perumusan norma dan prinsip hukum sudah memiliki kepastian hukum tetapi hanya berlaku secara yuridis saja dalam arti hanya demi undang-undang semata-mata (law in the books), menurut Tan Kamello kepastian hukum seperti ini tidak akan dan tidak pernah menyentuh kepada masyarakatnya. Pendapat ini mungkin peraturan hukum yang demikian disebut dengan norma hukum yang mati (doodregel) atau hanya sebagai penghias yuridis dalam kehidupan manusia.[3]
Argumentasi yang didasarkan pada asas-asas, dan norma-norma, serta ketentuan-ketentuan hukum sesungguhnya memiliki argumentatif yang didasarkan pada kepastian hukum. Sebagaimana Mahfud MD mengatakan sebenarnya kedua belah pihak yang berhadapan dalam kontroversi hukum hanya mendasarkan pada pandangan dan argumentasi menurut logika pilihannya sendiri, bukan menurut undang-undang.[4] Pendapat ini merupakan sebuah protes terhadap kepastian hukum dalam undang-undang sehingga orang yang bersengketa beralih untuk mendasarkan pada pandangan dan argumentasi menurut logika pilihannya sendiri.
Faisal dalam pandangan lain melihat dari segi putusan-putusan para hakim pengadilan, dalam sarannya mengatakan hakim harus dijiwai oleh tiga nilai dasar yaitu, keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Pendapat ini muncul sesuai dengan realitas yang menunjukkan kecenderungan terjadi pertentangan antara nilai yang satu dan nilai yang lainnya. Bila telah terjadi pertentangan antara keadilan dan kepastian hukum muncul pula pertanyaan, nilai manakah yang harus didahulukan.[5] Masalah kepastian hukum masih menjadi perdebatan ketika memperhatikan perkara-perkara tertentu, terutama di kalangan para hakim yang mempertimbangkan dalam putusannya secara berbeda-beda.
Kepastian hukum pada negara hukum (rechtstaat) dalam sistem eropa kontinental (civil law) positivistik hukum merupakan prioritas utama meskipun dirasakan sangat tidak adil, namun setidaknya menimbulkan kepastian hukum dalam arti law in the books. Apakah kepastian hukum dalam arti law in the books tersebut akan pasti dilaksanakan secara substantif, maka dalam hal ini bergantung pada aparatur penegak hukum itu sendiri. Walaupun law in the books mencerminkan suatu kepastian hukum, namun jika aparatur penegak hukum itu sendiri tidak menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, tetap saja dikatakan tidak ada kepastian hukum.
Misalnya dalam hal memutus suatu perkara perdata, hakim harus memperhatikan asas-asas, norma-norma, dan ketentuan-ketentuan hukum perdata maupun asas-asas hukum dalam hukum acara perdata sehingga tidak mengeluarkan putusan yang tidak menjamin keadilan dan kepastian hukum. Kadang-kadang dalam suatu perkara tertentu hakim menjatuhkan putusan yang berbeda dasar pertimbangannya dengan perkara yang lain padahal kualifikasi perkara hampir menyerupai.
Disparitas pendapat (disenting opinion) salah satu contohnya, misalnya pertimbangan antara majelis hakim pengadilan negeri tidak sama dengan pertimbangan majelis hakim pada pengadilan tinggi, maupun Mahkamah Agung. Bahkan dalam satu forum majelis hakim sekalipun perbedaan pendapat itu pasti terjadi dalam menafsirkan hukum dan peristiwa hukum. Ketika perbedaan pendapat ini terjadi, maka perbedaan ini juga termasuk sebagai suatu ketidakpastian hukum dalam persidangan.
Menurut Mahmul Siregar mengatakan kepastian hukum itu harus meliputi seluruh bidang hukum.[6] Kepastian hukum tidak saja meliputi kepastian hukum secara substansi tetapi juga kepastian hukum dalam penerapannya (hukum acara) dalam putusan-putusan badan peradilan.[7] Antara kepastian substansi hukum dan kepastian penegakan hukum seharusnya harus sejalan, tidak boleh hanya kepastian hukum bergantung pada law in the books tetapi kepastian hukum yang sesungguhnya adalah bila kepastian dalam law in the books tersebut dapat dijalankan sebagaimana mestinya sesuai dengan prinsip-prinsip dan norma-norma hukum dalam menegakkan keadilan hukum.
Cicut Sutiarso menyarankan kepastian hukum yang berdasarkan keadilan menurutnya harus selalu ditanamkan untuk menciptakan budaya hukum yang tepat waktu.[8] Mungkin dari pendapat ini kepastian hukum akan lebih ampuh bila para penegak hukum membiasakan diri untuk membudidayakan penegakan hukum (rule of law) secara pasti, tidak pandang bulu, sesuai dengan prinisp equality before the law terhadap semua orang. Inilah gambaran suatu kepastian hukum.
Bila kepastian hukum menjadi primadona dalam penegakan hukum, di lain sisi tidak pula mampu menimbulkan keadilan, karena kepastian hukum dapat menimbulkan seolah-olah hukum tidak berpihak kepada orang yang butuh perlindungan hukum. Munculnya hukum moral (morality law) sebagai bukti bahwa kepastian hukum harus diubah dengan paradigma baru bilamana harus dipertimbangkan secara naluri dan hati nurani hakim-hakim pengadilan. Para hakim akan dikatakan tidak adil bila hanya bersandar pada apa yang dituliskan di dalam undang-undang belaka, tanpa mampu menggali nilai-nilai keadilan di dalam undang-undang. Hakim dalam melihat undang-undang bukan lah seperti kuda pakai kaca mata yang hanya boleh melihat ke depan tanpa boleh melihat ke lain sisi untuk mempertimbangkan hukum berdasarkan hati nurani.




[1] H.L.A Hart, The Concept of Law, (New York: Clarendon Press-Oxford, 1997) diterjemahkan oleh M. Khozim, Konsep Hukum, (Bandung: Nusamedia, 2010), hal. 230.
[2] Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia, (Bandung: Alumni, 2004), hal. 117.
[3] Ibid., hal. 118.
[4] Moh Mahfud MD, “Mendudukkan soal Ultra Petita”, Kompas, Tanggal 5 Februari 2007.
[5] Faisal, Menerobos Positivisme Hukum, (Bekasi: Gramata Publishing, 2012), hal. 162.
[6] Mahmul Siregar, “Kepastian Hukum Dalam Transaksi Bisnis Internasional dan Implikasinya Terhadap Kegiatan Investasi di Indonesia”, (Medan: Fakultas Hukum USU, tanpa tahun), hal. 4.
[7] Ibid.
[8] Cicut Sutiarso, Pelaksanaan Putusan Arbitrase Dalam Sengketa Bisnis, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), hal. 160.

Kamis, 02 Mei 2013

Sikap Pemerintah Terhadap Keberadaan Yayasan yang Belum Menyesuaikan Diri Terhadap UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008

Sikap Pemerintah Terhadap Keberadaan Yayasan yang Belum Menyesuaikan Diri Terhadap UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008
Oleh:
Bisdan Sigalingging, S.H., M.H.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa Medan

Data global Yayasan yang terdaftar di Direktorat Perdata Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Kementerian Hukum dan HAM RI hingga bulan April 2012 berjumlah 39.750 Yayasan, dengan perincian sebanyak 34.397 Yayasan yang mendapatkan surat keputusan pengesahan akta pendirian Yayasan disebut juga Yayasan yang baru berdiri setelah disahkannya UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008, dan sebanyak 5.183 Yayasan yang sudah berdiri sebelum disahkannya UU Yayasan dan telah melakukan perubahan akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasan terhadap UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 dan telah mendapat surat keputusan pengesahan akta pendirian Yayasan (Tabel.5: Data Entry Yayasan untuk Tahun 2003 sampai dengan Tahun 2012), dalam arti semua Yayasan tersebut telah terdaftar dan mendapat pengesahan dari Dirjen AHU Kemenkumham RI.
Berdasarkan data entry Yayasan untuk tahun 2003 s/d 2012 pada Direktorat Perdata Dirjend AHU Kemenkumham RI tertanggal 15 Mei 2012, sebanyak 39.750 Yayasan telah mendapat pengesahan ditunjuk dalam Tabel 5 di bawah ini:
Tabel 5:
Data Entry Yayasan Untuk Tahun 2003 Sampai Dengan Tahun 2012

No
Tahun
SK Yayasan
Perubahan Yayasan
Jumlah
1.
2003
376
35
411
2.
2004
1106
158
1264
3.
2005
2104
341
2445
4.
2006
3085
574
3659
5.
2007
4151
701
4852
6.
2008
5017
880
5897
7.
2009
5007
780
5787
8.
2010
5278
720
5998
9.
2011
6354
824
7178
10.
2012
1919
170
2089
Jumlah
34.397
5.183
39.750
Sumber:   Direktorat Perdata, Dirjen AHU Kemenkumham RI tertanggal 15 Mei 2012
Berdasarkan dari jumlah 34.397 Yayasan yang mendapat surat keputusan pengesahan akta pendirian Yayasan disebut juga Yayasan baru, termasuk di dalamnya Yayasan yang sudah berdiri sebelum lahirnya UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008, namun karena tenggang waktu untuk menyesuaikan diri terhadap UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 telah berakhir pada tanggal 06 Oktober 2008 (vide Penjelasan Pasal 39 PP No.63 Tahun 2008) pihak Yayasan membuat akta pendirian Yayasan yang baru, tanpa menghubungkannya dengan akta pendirian Yayasan atau akta-akta Yayasan yang sudah ada sebelumnya, dengan nama yang sama dengan Yayasan sebelumnya. Sebagai contoh, Yayasan AA, dengan Akta Pendirian 1, Akta Perubahan 2,3,4. Yayasan tersebut telah berdiri jauh hari sebelum sahkannya UU Yayasan. Pihak Yayasan mau menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasarnya terhadap UU Yayasan, namun karena beberapa faktor niat tersebut tidak terlaksana. Batas akhir untuk menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasan yang sudah berdiri sebelum disahkannya UU Yayasan terhadap ketentuan UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008  telah berakhir tanggal 06 Oktober 2008. Bagaimana cara yang dilakukan oleh pihak Yayasan? Pihak Yayasan membuat akta pendirian Yayasan dihadapan Notaris dengan nama Yayasan AA setelah tanggal 06 Oktober 2008, tanpa menyebutkan Akta Pendirian 1, Akta Perubahan 2,3,4 yang sudah dimiliki Yayasan itu sebelumnya. Akta pendirian Yayasan AA yang didirikan setelah tanggal 06 Oktober 2008 diajukan/dimohonkan untuk mendapatkan pengesahan dari Dirjen AHU, tentunya permohonan yang demikian akan dikabulkan oleh Dirjen AHU. Artinya dalam Yayasan tersebut terdapat dua Yayasan, yakni satu Yayasan tidak terdaftar di Dirjen AHU dan satu Yayasan lagi terdaftar di Dirjen AHU dengan nama yang sama atau hampir sama. Cara yang demikian diamini oleh Dirjen AHU. Cara yang demikian di atas diyakini termasuk dalam kategori dari jumlah 34.397 Yayasan yang terdaftar di Dirjen AHU. Hal demikian dapat menimbulkan persoalan hukum, terutama terhadap izin operasional/kegiatan Yayasan, aset-aset, organ  Yayasan, dan sebagainya. Untuk meminimalisir masalah hukum Yayasan AA yang sudah berdiri sebelum diundangkannya UU Yayasan tersebut dengan cara membubarkan diri dan sekaligus melikuidasi aset-asetnya serta menyerahkannya kepada Yayasan AA yang sudah berdiri setelah tanggal 06 Oktober 2008 dan sudah mendapatkan pengesahan dari Dirjen AHU.
Data entry tersebut di atas hanya sebanyak 5.183 Yayasan yang sudah berdiri sebelum disahkannya UU Yayasan yang menyesuaikan diri terhadap UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008 yakni melakukan Perubahan Anggaran Dasar Yayasan tersebut sebelum berakhirnya batas akhir tanggal 06 Oktober 2008 (vide Penjelasan Pasal 39 PP No.63 Tahun 2008). Dalam akta perubahan Anggaran Dasar Yayasan tersebut jelas terlihat riwayat dari Yayasan tersebut dan tertuang dalam surat keputusan pengesahan akta pendirian Yayasan tersebut yang diterbitkan Dirjen AHU.
Pendistribusian Yayasan dalam Data Base pada Dirjen AHU belum terbagi per Provinsi/Kabupaten/Kota, artinya Data Base yang ada pada Dirjen AHU tersebut menyatukan untuk seluruh Indonesia. Rachmad Riyanto menyarankan agar ke depan Data Base yang ada di Dirjen AHU dibuat per Provinsi yang ada di Indonesia untuk mempermudah mencari data-data tentang Yayasan tersebut, mana Yayasan yang terdaftar atau yang sudah mendapat pengesahan dari Dirjen AHU.
Menyinggung mengenai batas waktu bagi Yayasan yang sudah berdiri sebelum diundangkannya UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 di mana Yayasan tersebut belum juga menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasarnya terhadap ketentuan UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 sampai dengan batas tenggang waktu yang ditetapkan dalam Pasal 39 PP No. 63 Tahun 2008 yakni tanggal 06 Oktober 2008, Rachmad Riyanto menyarakan agar ke depan dibuat sebuah Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI (Permen) untuk menganulir masa tenggang waktu tersebut beberapa tahun ke depan agar Yayasan-yayasan tersebut dapat menyesuaikan diri terhadap ketentuan UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008, sepanjang ada desakan dari masyarakat. Bilamana tidak ada desakan dari masyarakat, Pemerintah akan tetap menganggap pelaksanaan PP No.63 Tahun 2008 tidak ada masalah. Dirjen AHU selaku pelaksana dari PP No.63 Tahun 2008 masih terikat dengan PP No.63 Tahun 2008 tersebut. Lebih lanjut Rachmad Riyanto mengatakan bahwa di Gorontalo, ribuan Yayasan yang sudah berdiri sebelum diundangkannya UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 juga belum menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasanya terhadap UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008. Bila hal itu terus terjadi pada semua daerah, tentu akan berakibat fatal, Yayasan tersebut tidak dibenarkan menggunakan kata Yayasan di depan nama Yayasannya dan juga hal dimaksud akan membawa dampak terhadap pertanggungjawaban hukum dikemudian hari.
Yayasan-yayasan yang belum menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasarnya terhadap UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008 menurut Rachmad Riyanto akan diberi lagi kesempatan untuk menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasan  yang akan diatur kemudian dengan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, karena kalau berdasarkan PP No.63 Tahun 2008 diterapkan secara konsekwen maka telah pupus lah harapan bagi Yayasan-yayasan yang berdiri sebelum diundangkannya UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 untuk menyesuaikan diri terhadap ketentuan UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 karena batas waktu untuk menyesuaikan diri terhadap ketentuan UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 telah berakhir pada tanggal 06 Oktober 2008.
Banyaknya Yayasan menurut Rachmad Riyanto yang berdiri sebelum lahirnya UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 belum menyesuaikan diri terhadap UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 yang diperkirakan mencapai 90%  disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut:
  1. Kurangnya sosialisasi atas UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 terhadap masyarakat yang disebabkan oleh dana dan waktu.
  2. Tidak adanya lembaga pengawasan terhadap Yayasan, baik di tingkat Kabupaten/Kota  maupun Provinsi terhadap keberadaan Yayasan tersebut; dan
  3. Sikap dari Dirjen AHU dan Notaris yang ada di seluruh Wilayah Indonesia terhadap persoalan Yayasan hanya bersikap passif.
Mengenai sikap Dirjen AHU terhadap Yayasan yang belum menyesuaikan diri terhadap UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 pada prinsifnya Dirjen AHU terikat kepada ketentuan UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008, namun walaupun demikian Dirjen AHU tetap memperhatikan kepentingan masyarakat, sekalipun batas akhir penyesuaian akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasan yang sudah berdiri sebelum disahkannya UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 telah berakhir. Sikap Pemerintah dalam hal ini merencanakan akan mengeluarkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM untuk menambah waktu agar penyesuaian dimaksud dapat dilakukan, sepanjang ada desakan dari masyarakat.
Pada hakikatnya, menurutnya kontribusi Yayasan dapat dirasakan manfaatnya yang besar bagi kemajuan dan pembangunan bangsa dalam mendukung program-program Pemerintah. Jika Yayasan-yayasan tersebut dibubarkan dan atau dilikuidasi maka secara logika dengan pertimbangan sosial dan hak asasi manusia merupakan sesuatu yang sangat sulit untuk dilakukan, karena jauh sebelum Republik ini merdeka peran Yayasan sudah sangat dirasakan bangsa ini. Oleh sebab itu jalan yang harus ditempuh adalah melakukan revisi terhadap ketentuan UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 khususnya terkait dengan batas waktu yang telah lewat untuk menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasan yakni tanggal 06 Oktober 2008. Untuk mengatasi persoalan ini, uji materil harus segera dilakukan sebab sejak berakhirnya batas waktu yakni tanggal 06 Oktober 2008 hingga saat ini tahun 2012 atau telah berlangsung kurang lebih empat tahun belum ada nampak reaksi dari Pemerintah untuk mengatasi persoalan ini.
Terhadap persoalan Yayasan yang demikian di atas adalah sesuatu yang tidak mungkin dibiarkan. Dalam situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kopertis Wilayah XII diberitakan bahwa terhitung sejak tanggal 29 Maret 2011, sekitar 90% dari 21.000 Yayasan yang bergerak di bidang pendidikan masuk kategori illegal karena tidak menyesuaikan akta pendiriannya hingga telah lewat tenggang waktu yang ditentukan yakni tanggal 06 Oktober 2008.
Sebuah kritik tajam dalam penelitian ini ditujukan kepada pihak Pemerintah, di mana Pemerintah tampaknya tidak mampu menawarkan solusi terbaik terhadap persoalan Yayasan demikian hingga telah berlangsung selama kurang lebih 4 (empat) tahun. Dengan tidak adanya kebijakan dari Pemerintah Republik Indonesia selain mengeluarkan PP No.63 Tahun 2008, seolah-olah Pemerintah melakukan pembiaran atau membiarkan Yayasan-yayasan yang belum menyesuaikan akta pendiriannya terhadap UU Yayasan tersebut mati secara perlahan-lahan atau dengan sengaja dimatikan tanpa penerapan sanksi hukum baik sanksi pidana (straf) maupun sanksi tindakan (matregel) yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya. 
Misalnya polemik Yayasan yang bergerak dalam bidang pendidikan yang belum menyesuaikan akta pendiriannya terhadap UU Yayasan ada sekitar 90% dari 21.000 Yayasan tersebut. Jumlah itu masih dalam kategori Yayasan yang bergerak di bidang pendidikan belum lagi jika dikalkulasikan semua Yayasan yang bergerak pada bidang-bidang lainnya, misalnya Yayasan yang bergerak di bidang Haji dan Umroh, dan lain sebagainya. Kondisi demikian butuh solusi, namun, belum ada kejelasan cara penyelesaiannya.
Dalam situs tersebut, Dirjen AHU Kemenkumham RI menyikapinya dengan mengatakan sebagai berikut:
Kami hanya pelaksana, yang bisa dilakukan Yayasan lama mengajukan untuk dibuat Yayasan baru. Artinya, harus ada hibah dari Yayasan lama ke Yayasan baru. Pemerintah tidak bisa memutihkan Yayasan pendidikan yang terlambat menyesuaikan diri selama aturan hukum soal Yayasan masih mengikat pemerintah. Namun, pemerintah juga tidak menindak tegas Yayasan pendidikan yang belum menyesuaikan diri. Pembubaran juga tidak direncanakan. Pembubaran baru bisa dilakukan dengan putusan pengadilan atas permohonan kejaksaan atau pihak berkepentingan.

Pernyataan sikap yang disampaikan Dirjen AHU tersebut, jelas tampak tidak ada tindakan tegas dari Pemerintah terhadap persoalan Yayasan-yayasan yang belum menyesuaikan akta pendiriannya, bahkan pembubaran juga tidak direncanakan melainkan pembubaran baru bisa dilakukan apabila ada putusan Pengadilan atas permohonan oleh pihak Kejaksaan atau pihak berkepentingan dalam hal ini masyarakat yang dirugikan. Jelas dalam pernyataan ini, Pemerintah membiarkan Yayasan-yayasan yang belum menyesuaikan akta pendiriannya terhadap UU Yayasan mati secara perlahan-lahan atau sengaja dimatikan melalui kebijakan yuridis. Dari kebijakan yuridis tersebut terkesan Pemerintah lebih mengutamakan atau menganak emaskan Yayasan yang baru berdiri untuk mendapatkan status badan hukum dari Dirjen AHU, sekalipun Yayasan yang baru berdiri tersebut belum ada berbuat yang terbaik untuk bangsa dan negara ini. Kondisi demikian adalah sesuatu hal yang mendesak dan darurat untuk segera dilakukan uji materil terhadap ketentuan Pasal 71 UU Yayasan ke Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan uji materil ketentuan Pasal 39 PP No.63 Tahun 2008 ke Mahkamah Agung Republik Indonesia terkait dengan penyesuaian akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasan terutama berkenaan dengan batas waktu penyesuaian perubahan akta pendirian/Anggaran Dasar yang telah berakhir tanggal 06 Oktober 2008 yang lalu.
Thomas Suyatno, Ketua Umum Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Seluruh Indonesia (ABPPTSI) menyayangkan sikap Pemerintah yang demikian dan pihak ABPPTSI mendukung kuat untuk pengujian materil terhadap Pasal 71 UU Yayasan tersebut. Pengujian materil ketentuan Pasal 71 UU Yayasan dan Pasal 39 PP No.63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan UU Yayasan juga didukung oleh Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS).
Apabila Yayasan-yayasan yang belum menyesuaikan Akta Pendirian/Anggaran Dasarnya dan belum mendapatkan pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM tetap dibiarkan beroperasi seperti sediakala, maka dapat dibayangkan berapa banyak keuntungan yang terus dinikmati oleh para pendiri atau pemilik Yayasan yang merangkap sebagai pengurus Yayasan. Setidaknya jika Pemerintah menerapkan ketentuan Pasal 71 ayat (4) UU Yayasan dan Pasal 39 PP No.63 Tahun 2008 tersebut dengan secara sungguh-sungguh dan serius menerapkan sanksi hukum dimaksud, yakni membubarkan dan melikuidasi aset kekayaan Yayasan yang tidak menyesuaikan Akta Pendiriannya tersebut, sehingga menjadi contoh konkrit implementasi UU Yayasan kepada Yayasan-yayasan yang tetap beroperasi saat ini.
Namun, walaupun Yayasan-yayasan tersebut dapat dibubarkan atau dilikuidasi asetnya, akan tetapi berdasarkan ketentuan Pasal 71 ayat (4) UU Yayasan harus terlebih dahulu dimohonkan oleh Kejaksaan atau pihak lain yang berkepentingan ke Pengadilan Negeri setempat. Kejaksaan Negeri sekalipun masih tampak jarang melakukan permohonan ke Pengadilan Negeri demikian pula pihak-pihak yang berkepentingan misalnya masyarakat yang dirugikan.
Mengingat batas akhir penyesuaian akta pendirian/Anggaran Dasar yang ditentukan UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 telah berakhir pada tanggal 06 Oktober 2008 (vide Pasal 39 PP No.63 Tahun 2008) maka sudah saatnya Yayasan-yayasan tersebut ditutup dan terhadap pengurusnya dapat diterapkan sanksi pidana. Namun, jika dipertimbangkan lebih jauh dan mendalam mengenai dampak yang ditimbulkan secara yuridis bahwa semua kegiatan Yayasan yang belum menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasarnya itu termasuk kegiatan yang illegal dan bahkan lulusan atau para alumninya sekalipun yang berasal dari Yayasan tersebut (jika bergerak di bidang pendidikan) dapat dikatakan illegal.
Tidak tanggung-tanggung dampak dari UU Yayasan ini terhadap nasib Yayasan-Yayasan yang belum menyesuaikan diri terhadap UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008 sangat beresiko tinggi, sebab akan sangat banyak jumlah para alumni yang berasal dari Yayasan-yayasan tersebut khususnya di bidang pendidikan yang belum menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasarnya menyandang gelar akademik yang illegal, apakah kondisi demikian akan tetap dibiarkan tanpa ada tindakan dari Pemerintah? Jika diterapkan sanksi hukum sebagaimana yang dijelaskan di atas akan menjadi dilema yang cukup sistemik terhadap seluruh lini dalam Yayasan termasuk masyarakat. Jika dibiarkan tanpa ada tindakan dari pemerintah, maka semakin memperjelas carut marutnya penegakan hukum di negara ini, karena masalah Yayasan akan timbul di mana-mana.
Untuk menghadapi persoalan ini, walaupun UU Yayasan mengamanatkan berupa sanksi pidana maupun berupa sanksi administratif atau tindakan terhadap Yayasan-yayasan dimaksud menurut hemat Penulis adalah sesuatu yang tidak adil jika kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah adalah menerapkan sanksi yang dimaksud. Sebab kontribusi dari Yayasan yang sudah berdiri sebelum disahkannya UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008 telah banyak pula memberikan manfaat terhadap kualitas bangsa dan negara ini dan bahkan sangat membantu program kerja Pemerintah misalnya dalam bidang pendidikan dan keagamaan yang tak bisa dinafikan oleh Pemerintah sendiri. Oleh sebab itu, satu-satunya jalan yang harus ditempuh guna menyelamatkan ribuan Yayasan-yayasan yang sudah berdiri sebelum lahirnya UU Yayasan dan belum menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasarnya terhadap UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008 adalah melakukan uji materil ke Mahkamah Konstitusi RI dan Mahkamah Agung RI terhadap pasal-pasal dalam UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 khususnya Pasal 71 UU Yayasan dan Pasal 39 PP No.63 Tahun 2008. Sebelum dilakukan uji materil atau direvisi ketentuan terkait dengan masa tenggang waktu penyesuaian akta pendirian/Anggaran Dasar yang ditentukan dalam UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 tersebut, maka tidak ada pilihan lain bagi Yayasan-yayasan tersebut yang saat ini untuk bergegas dan berusaha menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasanya terhadap UU Yayasan. Di topang pula adanya kegamangan para Pendiri dan Pengurus Yayasan yang sudah berdiri sebelum disahkannya UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008 terhadap ketentuan Pasal 3, Pasal 5, Pasal 7 UU Yayasan, yang dapat semakim memperuncing perlawanan terhadap UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008.
Tanggung jawab Pengurus Yayasan terhadap Yayasan yang sudah didirikan sebelum lahirnya UU Yayasan adalah menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasannya terhadap UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008 dengan akta notarial. Perubahan akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasan disampaikan kepada Dirjen AHU dengan dilampiri syarat-syarat formil yang ditetapkan UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008 bila Yayasan dimaksud mau menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasarnya terhadap UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008, namun harapan Yayasan yang sudah berdiri sebelum lahirnya UU Yayasan untuk menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasan terhadap UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 saat sekarang ini telah pupus karena terganjal ketentuan Pasal 39 PP No. 63 Tahun 2008. Bilamana Pengurus tidak menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasan terhadap UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008,  Pengurus Yayasan bertanggung jawab untuk melikuidasi Yayasan beserta harta kekayaannya dan membubarkan Yayasan tersebut kemudian menyerahkan harta kekayaan hasil likuidiasi kepada Yayasan lain atau badan hukum lain atau kepada Negara yang penggunaannya dilakukan sesuai kegiatan Yayasan yang bubar.
Pengurus Yayasan yang tidak menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasannya terhadap UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008, maka Pengurus Yayasan tersebut secara tanggung renteng bertanggung jawab memanggil likuidator untuk melikuidasi Yayasan beserta harta kekayaannya serta membubarkan Yayasan tersebut kemudian menyerahkan harta kekayaan hasil likuidasi kepada Yayasan lain atau badan hukum lain atau kepada Negara yang penggunaannya disesuaikan dengan kegiatan Yayasan yang bubar, atau bilamana Pengurus Yayasan dimaksud keberatan atas hal tersebut di atas Pengurus Yayasan yang dikategorikan illegal menurut UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008 dapat mengajukan permohonan uji materil terhadap UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008.
Status hukum harta kekayaan Yayasan yang sudah berdiri sebelum lahirnya UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 jika akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasan tersebut tidak disesuaikan terhadap UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008 bertalian dengan status hukum Yayasan tersebut ”dianggap tidak pernah ada atau illegal” menurut perspektif Pasal 71 ayat (4) UU Yayasan dan Pasal 39 PP No.63 Tahun 2008, sehingga konsekwensinya status hukum harta kekayaan Yayasan dimaksud harus diserahkan kepada likuidator untuk dilikuidasi dan diserahkan kepada Yayasan lain atau badan hukum lain atau Negara untuk digunakan mencapai maksud dan tujuan Yayasan yang bubar tersebut. Yayasan-yayasan yang masih beroperasi atau melaksanakan kegiatan dan tidak menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasarnya terhadap UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 serta tidak disahkan oleh Kemenkumham tidak boleh menggunakan kata Yayasan di depan namanya dan dapat dibubarkan berdasarkan putusan Pengadilan atas permohonan Kejaksaan atau pihak yang berkepentingan.
Diharapkan Pemerintah melalui kebijakan yuridisnya agar tidak terlalu mengintervensi kebebasan masyarakatnya dalam hal kegiatan berorganisasi sebagaimana diamanatkan UUD 1945 tentang kemerdekaan berserikat dan berkumpul dalam naungan Yayasan, sebab intervensi melalui UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008 tersebut dinilai terlalu berlebihan serta mematikan Yayasan yang tidak menyesuaikan Anggaran Dasar secara perlahan-lahan.
Sikap Pemerintah terhadap keberadaan Yayasan yang sudah berdiri sebelum lahirnya UU Yayasan dan belum menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasarnya terhadap UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008 hingga telah lewat batas akhir penyesuaian akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasan yang ditentukan tanggal 06 Oktober 2008, pemerintah masih tetap memberikan dan memperpanjang izin operasional/kegiatan sekolah-sekolah swasta yang berada di bawah naungan Yayasan yang illegal dimaksud. Hal ini dapat dibuktikan dari penetapan tanggal, bulan, dan tahun dari beberapa surat keputusan yang diterbitkan Dinas Pendidikan Kota Medan, Badan Akreditasi Nasional Sekolah/ Madrasah Provinsi Sumatera Utara, Badan Akreditasi Sekolah Kota Medan, Kementerian Agama Kota Medan, Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara, dan Dinas Kesejahteraan dan Sosial Provinsi Sumatera Utara, dengan berbagai pertimbangan diantaranya didasari faktor sosial dan politik, sekalipun Yayasan tersebut illegal menurut UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008.
Diharapkan agar Pemerintah segera merevisi masa tengggang waktu penyesuaian akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasan terhadap UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 dengan cara merevisi Pasal 71 UU Yayasan, Pasal 39 PP No.63 Tahun 2008 untuk menyelamatkan ribuan Yayasan lama agar tidak masuk kategori illegal, dan mencabut Pasal 3, Pasal 5, Pasal 7 UU Yayasan karena ketentuan itu dinilai para Pendiri dan Pengurus Yayasan sebagai salah satu faktor yang sangat menyulitkan mengingat pola budaya ber Yayasan di Indonesia di samping beramal juga sarana mata pencaharian, sehingga para Pendiri dan Pengurus Yayasan yang sudah berdiri sebelum lahirnya UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008 bermalas-malas menyesuaikan akta pendirian/Anggaran Dasar Yayasannya terhadap UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008, serta ditopang lagi oleh sikap Pemerintah yang masih memberi dan memperpanjang izin operasional/kegiatan Yayasan illegal tersebut.