A. Alasan-Alasan Yang Menyebabkan Pembubaran Terhadap Yayasan
UU yayasan mengatur kemungkinan mengenai pembubaran Yayasan, baik atas inisiatif organ Yayasan sendiri maupun berdasarkan penetapan atau putusan pengadilan. Ada beberapa hal yang menyebabkan Yayasan dapat dibubarkan sebagai berikut:
1. Jangka waktu yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar berakhir;
2. Tujuan Yayasan yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar telah tercapai atau tidak tercapai;
3. Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan alasan:
a. Yayasan melanggar ketertiban umum dan kesusilaan;
b. Tidak mampu membayar utangnya setelah dinyatakan pailit; atau
c. Harta kekayaan Yayasan tidak cukup untuk melunasi utangnya setelah pernyataan pailit dicabut.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa ada dua jenis pembubaran Yayasan yaitu pembubaran secara sukarela dan pembubaran secara paksa. Ada dua alasan pembubaran secara sukarela yaitu:
1. Jangka waktu yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar berakhir; dan
2. Tujuan Yayasan yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar telah tercapai atau tidak tercapai;
Kedua alasan ini merupakan suatu ketentuan yang umum yang diterapkan dalam menetapkan pembubaran suatu badan hukum. Hal ini antara lain sering diterapkan di negara Jepang dan Australia. Dalam hal Yayasan dapat bubar demi hukum karena jangka waktu yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berkahir, atau tujuan Yayasan telah tercapai atau tidak tercapai, maka pembina menunjuk likuidator untuk membereskan kekayaan Yayasan. Apabila pembina tidak menunjuk likuidator, maka penguruslah yang bertindak sebagai likuidator. Jika Yayasan dinyatakan bubar, maka Yayasan tidak dapat melakukan perbuatan hukum, kecuali untuk mebereskan kekayaannya dalam proses likuidasi. Selama proses likuidasi, semua surat kelaur harus mencantumkan frase dalam likuidasi di belakang nama Yayasan. Pembubaran secara paksa dilakukan berdasarkan tiga alasan yaitu:
- Yayasan melanggar ketertiban umum dan kesusilaan;
- Tidak mampu membayar utangnya setelah dinyatakan pailit; dan
- Harta kekayaan Yayasan tidak cukup untuk melunasi utang-utangnya setelah pernyataan pailit dicabut.
Pembubaran secara paksa ini dilakukan melalui putusan pengadilan. Apabila Yayasan bubar karena putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap, maka pengadilan yang menunjuk likuidator. Demikian pula jika pembubaran yayasan karena pailit, maka berlaku peraturan perundang-undangan di bidang kepailitan yaitu perlu menunjuk kurator. Alasan dan cara pembubaran Yayasan di Belanda hampir sama dengan di Indonesia. Pembubaran oleh pengadilan dapat dilakukan atas permohonan setiap pihak yang berkepentingan atas tuntutan kejaksaan, maupun secara jabatan oleh pengadilan yang terjadi bersamaan dengan penolakan atas tuntutan perubahan anggaran dasar. Pembubaran Yayasan harus didaftarkan dalam register yang disediakan.
Dalam hal bubarnya Yayasan tidak boleh merugikan pihak ketiga. Walaupun Yayasan bubar namun tetap beritikad baik (good faith) dalam menyelesaikan kewajiban-kewajibannya kepada pihak ketiga. Yayasan yang bubar begitu saja, tanpa memberitahukan kepada pihak ketiga dan tanpa menyelesaikan kewajiban-kewajibannya kepada pihak ketiga, merupakan tindakan yang tidak terpuji dan merupakan suatu kejahatan yang dilakukan oleh korporasi. Pimpinan dapat dikenakan pidana berdasarkan Pasal 372 KUH Pidana mengenai kejahatan penggelapan atau Pasal 378 tentang kejahatan penipuan.
Bubarnya Yayasan karena jangka waktu telah berakhir didasarkan kepada ketentuan Pasal Pasal 14 Ayat (2) huruf c juncto Pasal 62 UU Yayasan. Dengan berakhirnya Yayasan tersebut, secara otomatis Yayasan bubar dengan sendirinya. Sebelum hari bubarnya, Yayasan dapat mepersiapkan segala sesuatunya seperti ditentukan dalam Pasal 63 Ayat (1) memerintahkan agar pembina Yayasan menunjuk likuidator untuk membereskan kekayaan Yayasan.
Apabila ternyata pembina tidak menunjuk likuidator, maka seperti yang diatur dalam Undang-Undang Perseroan maupun Undang-Undang Perbankan yang berlaku adalah pengurus bertindak selaku likuidator sama dengan ketentuan dalam Pasal 63 Ayat (2) UU Yayasan, dimana pengurus berperan sebagai likuidator tanpa perlu ditunjuk oleh pembina Yayasan.
Selain itu, bubarnya Yayasan juga disebabkan karena tujuannya telah dan atau tidak tercapai. Dalam hal ini tujuan Yayasan sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Anggaran Dasar telah tercapai atau tidak tercapai. Tujuan Yayasan yang dicantumkan dalam Anggaran Dasar setidaknya harus jelas kegiatan apa saja yang dilakukan Yayasan tersebut dalam konteks tiga bidang pokok saja yakni bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Misalnya memberi beasiswa kepada satu juta anak yang tidak mampu, memberikan pelayanan di bidang kesehatan jantung kepada masyarakat. Dalam Anggaran Dasar juga harus disebutkan, bahwa apabila dalam melaksanakan kegiatannya ternyata tujuan tersebut berhasil dicapai, maka selanjutnya Yayasan harus dibubarkan. Demikian pula sebaliknya, jika ternyata tujuannya tidak berhasil dicapai, karena sesuatu hal, maka Yayasan dibubarkan.
Dengan tujuannya seperti itu, jika Yayasan dalam melakukan kegiatannya sungguh-sungguh kegiatannya tercapai, Yayasan menjadi bubar. Jika tujuannya tidak tercapai dan tidak mungkin kegiatannya tetap dilaksanakan, karena adanya hambatan misalnya biaya kegiatannya besar sedangkan harta kekayaan Yayasan yang masih ada tidak mencukupi, maka pertimbangannya lebih baik Yayasan tersebut bubar. Selanjutnya dengan bubarnya alasan berdasarkan alasan tersebut, tata caranya sama dengan bubarnya Yayasan karena jangka waktunya telah habis, yaitu pembina menunjuk likuidator untuk membereskan kekayaan Yayasan. Apabila likuidator tidak ditunjuk oleh pembina, maka pengurus bertindak selaku likuidator.
Bubarnya Yayasan juga dikarenakan putusan pengadilan. Alasannya telah ditetapkan secara limitatif dalam Pasal 62 huruf c yaitu:
- Yayasan melanggar ketertiban umum dan kesusilaan;
- Yayasan tidak mampu membayar utangnya setelah dinyatakan pailit, atau
- Harta kekayaan Yayasan tidak cukup untuk melunasi utangya setelah pernyataan pailit dicabut.
Mengenai alasan yang pertama tentang Yayasan melanggar ketertiban umum, misalnya dalam melaksanakan kegiatannya Yayasan ternyata ikut membiayai gerombolan teroris, sedangkan yang melanggar kesusialaan antara lain seperti kantor atau gedung Yayasan digunakan seagai tempat prostitusi. Alasan-alasan demikian menurut Subekti, tidak cukup hanya didalilkan dengan kata-kata saja, akan tetapi harus dapat dibuktikan kebenarannya dipersidangan.
Kemudian mengenai alasan yang kedua, syaratnya adalah Yayasan pernah diputus pailit oleh Pengadilan Niaga, dan setelah proses kepailitan selesai ternyata sisa utangnya tidak dapat dibayar oleh Yayasan. Alasan yang ketiga ini hampir sama dengan alasan yang kedua, yaitu awalnya Yayasan pernah diputus pailit, akan tetapi kepailitan itu kemudian dicabut oleh Pengadilan Niaga karena sesuatu alasan. Setelah pencabutan pailit ternyata harta kekayaan Yayasan tidak cukup untuk melunasi utangnya. Kepailitan tidak menyebabkan bubarnya Yayasan, karena dalam kepailitan hanya mempersoalkan persoalan utang-utang yang belum dapat dibayar bukan mempersoalkan pembubaran Yayasan. Karena Yayasan yang tidak mempunyai uang atau harta bukan berarti bubar.
Meskipun demikian, keberadaan Yayasan yang sudah tidak memiliki apa-apa, lalu apa gunanya tetap dipertahankan, karena Yayasan yang demikian kemungkinan sama sekali tidak dapat melakukan kegiatan untuk mencapai maksud dan tujuannya. Memang sudah sebaiknya Yayasan seperti itu dibubarkan, apalagi pengamalannya pernah dinyatakan pailit yang mempengaruhi berkurangnya kepercayaan masyarakat.
Alasan dan cara pembubaran Yayasan di Belanda hampir sama dengan di Indonesia. Menurut Pasal 300 Nedherlands Burgerlijk Wetboek (NBW), Yayasan dapat dibubarkan apabila:
- Dalam hal ditentukan oleh Anggaran Dasar;
- Jika Yayasan nyata dalam keadaan insolvensi, setelah dinyatakan pailit;
- Oleh hakim dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang;
Sehubungan dengan Pasal 300 NBW di Belanda tersebut, juga disebutkan bahwa pengadilan pun dapat membubarkan Yayasan dalam hal:
1. Apabila Anggaran Dasarnya bertentangan dengan ketentuan, bahwa kepada para pendiri tidak dapat diberikan pembayaran uang;
2. Apabila keuangan Yayasan tidak mencukupi lagi untuk merealisasikan tujuannya, dan tidak dapat dikumpulkan uang dalam jangka waktu pendek dengan salah satu jalan yang sah; dan
3. Jika tujuan Yayasan telah tercapai atau tidak dicapai lagi.
Berdasarkan ketentuan tersebut, pembubaran Yayasan oleh pengadilan di Belanda dapat dilakukan atas permohonan setiap pihak yang berkepentingan atas tuntutan kejaksaan, maupun secara jabatan oleh pengadilan yang terjadi bersamaan dengan penolakan atas tuntutan perubahan Anggaran Dasar. Pembubaran Yayasan harus didaftarkan dalam register yang disediakan di kantor Kamer van Koophandel.
Sehubungan dengan itu, maka penyelesaian pembubaran ini dilakukan oleh pihak-pihak yang disesuaikan dnegan faktor-faktor yang menyebabkan Yayasan itu bubar. Jika Yayasan itu bubar sesuai dengan alasan yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar, maka penyelesaiannya dilaksanakan oleh mereka yang dibebani dengan penyelenggaraan penyelesaian. Sedangkan jika pembubaran itu terjadi karena putusan hakim, maka penyelesaiannya diserahkan kepada panitera dewan majelis yang terakhir memeriksa perkara. Pihak yang berkeberatan terhadap pembubaran dapat mengajukan kepada pengadilan.
B. Sanksi Hukum Apabila Yayasan Tidak Melaksanakan Perubahan Akta Pendirian Setelah Keluarnya UU Yayasan
Pendirian Yayasan dilakukan dengan akta Notaris dan memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian memperoleh pengesahan dari Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia atau pejabat yang ditunjuk. Ketentuan tersebut dimaksudkan agar penataan administrasi pengesahan suatu Yayasan sebagai badan hukum dapat dilakukan dengan baik guna mencegah berdirinya Yayasan tanpa melalui prosedur yang ditentukan dalam Undang-undang.
Permasalahan hukum yang paling penting adalah keberadaan Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan UU Yayasan sebagai aturan yang memaksa apabila Yayasan yang diakui sebagai badan hukum namun tidak menyesuaikan Anggaran Dasarnya sesuai dengan UU Yayasan sampai dengan selambat-lambatnya tanggal 6 Oktober 2008, maka Yayasan tersebut harus melikuidasi kekayaannya dan menyerahkan sisa hasil likuidasinya kepada Yayasan yang mempunyai kesamaan kegiatan dengan Yayasan yang dibubarkan.
Dalam UU Yayasan mengantur sanksi yayasan yang berdiri sebelumnya dan tidak mau mematuhi ketentuan undang-undang. Sanksi sengaja diatur karena merupakan konsekuensi dari suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Yayasan tersebut. Sanksi yang diatur dalam Pasal 71 UU Yayasan hanya bersifat administratif. Dalam hal ini tidak masuk dalam pelanggaran pidana, namun hanya bersifat administratif yakni larangan penggunaan kaya “Yayasan” dan terhadap hartanya harus “dilikuidasi” kemudian “sisa likuidasi diserhkan kepada Yayasan lain yang maksud dan tujuannya sama dengan yayasan yang dilikuidasi”.
Untuk mengetahui sanksi hukum bagi Yayasan yang tidak menyesuaikan atau tidak melaksanakan perubahan akta Yayasan sesuai dengan UU Yayasan, maka sebelumnya dapat diperhatikan ketentuan dalam Pasal 71 UU Yayasan yang menyebutkan bahwa:
1. Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Yayasan yang telah:
a. Didaftarkan di Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia; atau
b. Didaftarkan di Pengadilan Negeri dan mempunyai izin melakukan kegiatan dari instansi terkait; tetap diakui sebagai badan hukum, dengan ketentuan dalam waktu paling lambat 5 (lima) tahun sejak mulai berlakunya Undang-Undang ini Yayasan tersebut wajib menyesuaikan Anggaran Dasarnya dengan ketentuan Undang-Undang ini.
2. Yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib diberitahukan kepada Menteri paling lambat 1 (satu) tahun setelah pelaksanaan penyesuaian.
3. Yayasan yang tidak menyesuaikan Anggaran Dasarnya dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dibubarkan berdasarkan putusan Pengadilan atas permohonan Kejaksaan atau pihak yang berkepentingan.
Hal yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana jika Yayasan-Yayasan tersebut tidak memohon untuk menyesuaikan Anggaran Dasarnya? Konsekuensi menurut pasal-pasal dalam UU Yayasan adalah Yayasan yang bersangkutan tidak dapat diakui sebagai badan hukum dan dapat tidak dibenarkan atau dilarang menggunakan kata “Yayasan” di depan nama khusus. Hal ini penting untuk menunjukan bahwa nama itu adalah nama Yayasan. Karena dengan menggunakan kata “Yayasan”, ini berarti Yayasan tersebut telah menjadi badan hukum dan segala ketentuan tanggung jawab organnya pun harus berdasarkan pertanggungjawaban layaknya sebuah badan hukum.
Menurut UU Yayasan terdapat pada bagian penjelasan Pasal 71 di atas ditemukan penjelasan mengenai siapa pihak yang berkepentingan itu. Para pihak yang berkepentingan itu adalah pihak-pihak yang mempunyai kepentingan langsung dengan Yayasan.
Mengenai sisa hasil likuidasi sesuai dengan ketentuan Pasal 68 UU Yayasan disebutkan bahwa:
1. Kekayaan sisa hasil likuidasi diserahkan kepada Yayasan lain yang mempunyai maksud dan tujuan yang sama dengan Yayasan yang bubar.
2. Dalam hal sisa hasil likuidasi tidak diserahkan kepada Yayasan lain yang mempunyai maksud dan tujuan yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), sisa kekayaan tersebut diserahkan kepada Negara dan penggunaannya dilakukan sesuai dengan maksud dan tujuan Yayasan tersebut.
Dalam ketentuan UU Yayasan tidak disebutkan mengenai sanksi hukum bagi pihak yang tidak melaksanakan perubahan akta. Namun lebih lanjut dapat ditemukan dalam Pasal 39 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan UU yayasan disebutkan sanksi hukum apabila Yayasan tidak melaksanakan perubahan akta dalam Anggaran Dasarnya. Selengkapnya bunyi ketentuan dalam Pasal 39 PP Nomor 63 Tahun 2008 tersebut adalah sebagai berikut:
“Yayasan yang belum memberitahukan kepada Menteri sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) Undang-Undang tidak dapat menggunakan kata “Yayasan” di depan namanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (4) Undang-Undang dan harus melikuidasi kekayaannya serta menyerahkan sisa hasil likuidasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 Undang-Undang.”
Menurut ketentuan Pasal 39 PP Nomor 63 Tahun 2008 tersebut, bahwa yayasan-yayasan yang sebelum lahirnya UU Yayasan tidak boleh menggunakan kata “Yayasan di depan nama”. Ini berarti jika ada yang menggunakan kata “Yayasan” sementara belum mengubah Anggaran Dasarnya sesuai dengan UU Yayasan, maka yayasan tersebut adalah illegal dan harus dilikuidasi kekayaannya. Tidak terkecuali begitu pula halnya dengan Yayasan asing dapat dilikuidasai harta kekayaannya serta menyerahkan sisa hasil likuidasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 Undang-Undang. Ketentuan mengenai hal tersebut diatur dalam Pasal 40 PP Nomor 63 Tahun 2008 yakni:
(1) Yayasan asing yang telah melakukan kegiatan di Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini wajib menyesuaikan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 26 paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku.
(2) Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak menyesuaikan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 26 setelah lewat jangka waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku dapat dihentikan kegiatannya oleh instansi yang berwenang atau kejaksaan untuk kepentingan umum.
Sehubungan dengan itu, Gatot Supramono, juga menyebutkan bahwa, bagi yayasan yang tidak menyesuaikan anggaran dasarnya baik Yayasan yang telah didaftarkan ke Pengadilan Negeri maupun yang tidak mendaftarkannya, UU Yayasan melarang para yayasan tersebut tidak dapat menggunakan kata ”Yayasan” di depan namanya dan dapat dibubarkan berdasarkan putusan Pengadilan atas permohonan Kejaksaan atau pihak yang berkepentingan.
Dengan tidak menggunakan kata yayasan maka yang akan terjadi pada organisasi yang tadinya sebagai yayasan, berakibat yang tertulis tinggal namanya saja. Dengan keadaan yang demikian akan mempengaruhi penulisan dalam surat menyurat dan papan nama yang biasanya terpampang di depan kantor. Dengan cara seperti ini UU 16 Tahun 2001 jo UU 28 Tahun 2004 tentang Yayasan sebenarnya bermaksud memaksa agar para Yayasan yang membandel, sebaiknya setelah lewat waktu yang ditetapkan oleh undang-undang untuk menyesuaikan anggaran dasarnya, para Yayasan tersebut membubarkan diri saja.
Bagi yayasan yang terus melakukan kegiatannya walaupun tanpa menggunakan kata yayasan, akan mengalami kendala karena menurut pemerintah maupun masyarakat organisasi tersebut sudah dipandang bukan sebagai yayasan dan tidak layak lagi sebagai lembaga Yayasan. Sanksi yang demikian merupakan sebuah cara yang pasif, untuk membubarkan yayasan yang tidak mematuhi UU 16 Tahun 2001 jo UU 28 Tahun 2004 Tentang Yayasan. Tanpa ada pemberitahuan, penegoran, pemaksaan terhadap yayasan tetapi diharapkan yayasan dapat bubar secara damai.
Sanksi yang lain terhadap yayasan yang tidak menyesuaikan anggaran dasarnya adalah yayasan dapat dibubarkan. Pembubarannya dilakukan dengan putusan pengadilan, atas permintaan kejakaan atau pihak yang berkepentingan. Pembubaran yayasan dengan putusan pengadilan disini merupakan cara yang aktif. Dikatakan demikian karena legal action pemerintah maupun masyarakat tidak dapat membubarkan Yayasan. Cara ini juga dimaksudkan sebagai upaya pencegahan, agar pihak luar yayasan tidak bertindak main hakim sendiri.
Pihak yang berwenang mengajukan permintaan pembubaran yang pertama adalah kejaksaan. Kejaksaan diberi wewenang mengajukan permintaan pembubaran ke pangadilan. Sebagai konsekuensi wewenang tersebut, kejaksaan harus aktif ke lapangan untuk mengetahui adanya peristiwa hukum, terdapat Yayasan yang lahir sebelum adanya UU Yayasan dan sampai dengan lewat waktu, Yayasan tersebut tidak menyesuaikan anggaran dasarnya. Kendalanya di dalam praktek adalah aparat kejaksaan yang ada di daerah lebih banyak sibuk dengan urusan pekerjaannya di bidang hukum pidana, daripada memperhatikan pekerjaannya di bidang hukum perdata.
Selanjutnya pihak lain yang dapat mengajukan pembubaran yayasan adalah pihak yang berkepentingan. Yang dimaksud pihak ketiga menurut penjelasan UU Yayasan yaitu pihak yang mempunyai kepentingan langsung dengan yayasan. Sepertinya telah jelas dalam penjelasan UU Yayasan pihak yang berkepentingan langsung, tetapi tampaknya masih perlu penafsiran siapa saja sebenarnya yang dimaksudkan itu.
Sesuai dengan namanya pihak yang berkepentingan langsung, maka bisa saja termasuk pihak tersebut antara lain adalah orang dalam yayasan (dalam hal ini personal pembina, pengurus, pengawas dan pegawai yayasan). Selain itu juga pihak ketiga yang berhubungan dengan yayasan atas hubungan hukum, seperti badan usaha yang didirikan yayasan, pihak yang pernah melakukan kerjasama bidang penyertaan modal suatu perusahaan. Mereka ini jelas mempunyai kepentingan langsung dengan pembubaran yayasan karena menyangkut kedudukan yayasan sebagai badan hukum yang berpengaruhi terhadap tanggung jawab yayasan.
Menurut Pasal 36 ayat (1) Pelaksanaan UU Yayasan menyebutkan Yayasan yang telah didirikan sebelum berlakunya UU Yayasan dan tidak diakui sebagai badan hukum dan tidak melaksanakan ketentuan Pasal 71 ayat (2) UU Yayasan, harus mengajukan permohonan pengesahan akta pendirian untuk memperoleh status badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15. Akta pendirian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam premise aktanya disebutkan asal-usul pendirian Yayasan termasuk kekayaan Yayasan yang bersangkutan. Perbuatan hukum yang dilakukan Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang belum memperoleh status badan hukum menjadi tanggung jawab pribadi anggota organ Yayasan secara tanggung renteng.
Perubahan Anggaran Dasar Yayasan yang diakui sebagai badan hukum menurut ketentuan Pasal 71 ayat (1) Undang-Undang dilakukan oleh organ Yayasan sesuai dengan Anggaran Dasar Yayasan yang bersangkutan. Perubahan Anggaran Dasar Yayasan dilakukan dengan cara mengubah seluruh Anggaran Dasar Yayasan dan mencantumkan:
1. Seluruh kekayaan Yayasan yang dimiliki pada saat penyesuaian yang dibuktikan dengan:
a. Iaporan keuangan yang dibuat dan ditandatangani oleh Pengurus Yayasan
b. Laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik bagi Yayasan yang laporan tahunannya wajib diaudit sesuai dengan ketentuan Undang-Undang
c. Data mengenai nama dari anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas yang diangkat pada saat penyesuaian.
2. Pemberitahuan perubahan Anggaran Dasar Yayasan yang telah disesuaikan dengan Undang-Undang disampaikan kepada Menteri oleh Pengurus Yayasan atau kuasanya melalui notaris yang membuat akta perubahan Anggaran Dasar Yayasan.
3. Pemberitahuan perubahan Anggaran Dasar Yayasan dilampiri:
a. Salinan akta perubahan Anggaran Dasar Yayasan
b. Tambahan Berita Negara Republik Indonesia yang memuat akta pendirian Yayasan atau bukti pendaftaran akta pendirian di pengadilan negeri dan izin melakukan kegiatan dari instansi terkait
c. Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Yayasan yang telah dilegalisir oleh notaris
d. Surat pernyataan tempat kedudukan disertai alamat lengkap Yayasan yang ditandatangani oleh pengurus Yayasan dan diketahui oleh lurah atau kepala desa setempat
e. Neraca Yayasan yang ditandatangani oleh semua anggota organ Yayasan atau laporan akuntan publik mengenai kekayaan Yayasan pada saat penyesuaian
f. Pengumuman surat kabar mengenai ikhtisar laporan tahunan bagi Yayasan yang sebagian kekayaannya berasal dari bantuan Negara, bantuan luar negeri, dan/atau sumbangan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 Undang-Undang
g. Bukti penyetoran biaya penerimaan pemberitahuan perubahan Anggaran Dasar Yayasan dan pengumumannya.
Perubahan Anggaran Dasar Yayasan mulai berlaku sejak tanggal dicatatnya perubahan Anggaran Dasar tersebut dalam Daftar Yayasan. Yayasan yang belum memberitahukan kepada Menteri sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) Undang-Undang tidak dapat menggunakan kata “Yayasan” di depan namanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (4) Undang-Undang dan harus melikuidasi kekayaannya serta menyerahkan sisa hasil likuidasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 Undang-Undang. Berbeda dengan Perseroan Terbatas atau Perseroan yang pada hakikatnya merupakan persekutuan modal yang bertujuan memberikan keuntungan bagi para pemegang saham selaku pemodal, sedangkan yayasan tidak mempunyai anggota dan keberadaannya semata-mata diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu.
Segala kegiatan usaha yayasan harus diabdikan kepada pencapaian maksud dan tujuan yayasan. Undang-Undang Yayasan menegaskan hal ini dengan melarang pembagian hasil kegiatan usaha yayasan kepada Pembina, Pengurus, dan Pengawas, sebagaimana ketentuan Pasal 3 ayat (2) UU Yayasan yang menyebutkan: “Yayasan tidak boleh membagikan hasil kegiatan usaha kepada Pembina, Pengurus, dan Pengawas”.
Larangan tersebut dipertegas lagi dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001, yang menyatakan, ”Kekayaan yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh yayasan berdasarkan undang-undang ini, dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung kepada Pembina, Pengurus, Pengawas, Karyawan atau pihak lain yang mempunyai kepentingan terhadap yayasan.” Bahkan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 memuat ancaman pidana bagi setiap anggota organ yayasan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001.
Selanjutnya tentang organ yayasan, berbeda dengan manusia yang dapat bertindak sendiri, yayasan sekalipun sebagai badan hukum merupakan subyek hukum mandiri, dan pada dasarnya adalah ”orang ciptakan hukum” (artificial person) yang hanya dapat melakukan perbuatan hukum dengan perantaraan manusia selaku wakilnya.
Ketergantungan yayasan pada seorang wakil dalam melakukan perbuatan hukum menjadi sebab mengapa yayasan mempunyai organ yang terdiri atas Pembina, Pengurus, dan Pengawas, sebagaimana ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 yang menyebutkan, ”Yayasan mempunyai organ yang terdiri, atas Pembina, Pengurus, dan Pengawas”. Tanya organ tersebut yayasan tidak dapat berfungsi dan mencapai tujuan untuk mana yayasan didirikan.
Tugas dan tanggung jawab Pembina, Pengurus, dan Pengawas selaku organ yayasan bersumber pada:
a. Ketergantungan Yayasan kepada organ tersebut mengingat bahwa yayasan tidak dapat berfungsi tanpa organ.
b. Kenyataan bahwa yayasan adalah sebab bagi keberadaan organ, karena apabila tidak ada yayasan, maka juga tidak ada organ.
Berdasarkan apa yang diuraikan di atas, dapat dikatakan bahwa antara yayasan dan masing-masing organ terdapat (hubungan yang berdasarkan kepercayaan (fiduciary) yang selanjutnya melahirkan kewajiban-kewajiban dan tugas-tugas yang bersifat fiduciary pula bagi organ tersebut.
Hubungan fiduciary antara yayasan sebagai suatu badan hukum dengan organnya tersebut di atas adalah semata-mata untuk pelaksanaan tujuan yayasan (Lihat Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Yayasan). Selanjutnya pada Penjelasan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Yayasan tersebut dikemukakan bahwa: “ketentuan dalam ayat ini sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan yang bersifat sosial, keagamaan dan kemanusiaan, sehingga seseorang yang menjadi anggota Pembina, Pengurus dan Pengawas Yayasan harus bekerja secara sukarela tanpa menerima gaji, upah atau honor tetap.”
Salah satu upaya Pembuat Undang-Undang untuk memastikan bahwa tidak ada benturan kepentingan antara kepentingan yayasan dengan kepentingan pribadi anggota organ yayasan, ditentukan dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2001 suatu aturan yang melarang anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas yayasan untuk merangkap sebagai anggota Direksi atau Pengurus dan anggota Dewan Komisaris atau Pengawas dari badan usaha yang didirikan oleh yayasan atau di mana yayasan melakukan penyertaan modal.
Sehubungan dengan perubahan akta Yayasan, secara umum bahwa akta merupakan barang otentik, termasik akta pendirian maupun perubahan akta pendirian Yayasan. Oleh sebab itu keberadaan akta Yayasan harus benar-benar dijaga karena segala tindak tanduk keberadaan Yayasan harus berlandaskan kepada akta pendiriannya, baru kemudian Yayasan tersebut dapat diakui oleh pihak-pihak ketiga jika ada tuntutan maupun gugatan kepada Yayasan tersebut.
Notaris merupakan pejabat umum yang ditunjuk oleh undang-undang dalam membuat akta otentik dan sekaligus Notaris merupakan perpanjangan tangan Pemerintah. Dalam menjalankan jabatannya Notaris harus dapat bersikap profesional dan mematuhi peraturan perundang-undangan serta menjunjung tinggi Kode Etik Notaris. Notaris sebagai pejabat umum kepadanya dituntut bertanggung jawab terhadap akta yang di buatnya, yakni tanggung jawab hukum dan tanggung jawab moral.
Dari penelitian yang dilakukan diperoleh hasil bahwa tanggung jawab notaris terhadap akta otentik yang mengandung keterangan palsu adalah bahwa notaris tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum sebab notaris hanya mencatat atau menuangkan suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak/penghadap ke dalam akta. Notaris hanya mengkonstatir apa yang terjadi, apa yang dilihat, dan dialaminya dari para pihak/penghadap tersebut berikut menyesuaikan syarat-syarat formil dengan yang sebenarnya lalu menuangkannya ke dalam akta. Notaris tidak diwajibkan untuk menyelidiki kebenaran isi materiil dari akta otentik tersebut. Dan akta otentik tersebut akan menjadi bukti bahwa telah terjadi suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak/penghadap.
Adapun sanksi yang dapat diberikan kepada penghadap yang memberikan keterangan palsu dalam akta otentik adalah berupa ancaman hukuman perdata yakni memberi ganti rugi atas kerugian yang ditimbulkannya terhadap si penderita, dan secara pidana kepada penghadap layak diberi hukuman pidana penjara sebab telah memenuhi unsur-unsur dari pasal-pasal yang dituduhkan dan telah terbukti secara sah melakukan kejahatan pemalsuan surat sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 266 Ayat (1) KUHP junto Pasal 55 ayat (1) ke-1e KUHP, yakni, ”Secara bersama-sama menyuruh menempatkan keterangan palsu dalam akta otentik”.
Akibat hukum terhadap akta otentik yang mengandung keterangan palsu adalah bahwa akta tersebut telah menimbulkan sengketa dan diperkarakan di sidang Pengadilan, maka oleh pihak yang dirugikan mengajukan gugatan secara perdata untuk menuntut pembatalan agar hakim memutus dan mengabulkan pembatalan akta tersebut. Dengan adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap maka dinyatakan akta tersebut batal demi hukum artinya tidak mempunyai kekuatan hukum karena akta tersebut telah cacat hukum, dan sejak diputuskannya pembatalan akta itu oleh hakim maka berlakunya pembatalan itu adalah berlaku surut yakni sejak perbuatan hukum/perjanjian itu dibuat. Sebagaimana halnya akta palsu di atas, maka hal yang demikian itu juga berlaku terhadap akta palsu pendirian Yayasan. Karena mengingat saat ini akta yang dibuat oleh Notaris sebagaiman disebut di atas tadi tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum sebab notaris hanya mencatat atau menuangkan suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak/penghadap ke dalam akta. Sehingga bisa saja akta sebuah Yayasan yang dijadikan barang bukti di sidang pengadilan adalah palsu.
KESIMPULAN
Sanksi hukum apabila Yayasan tidak melaksanakan perubahan akta pendirian setelah keluarnya UU Yayasan maka Yayasan tersebut, tidak dapat mempergunakan kata "Yayasan" di depan nama khusus yayasan tersebut. Apabila hal demikian terjadi, maka demi hukum Yayasan harus melikuidasi kekayaannya dan menyerahkan sisa hasil likuidasinya kepada Yayasan yang mempunyai kesamaan kegiatan dengan Yayasan yang dibubarkan. Likuidasi ini dapat dilakukan dengan cara sukarela dan cara paksa. Alasan secara sukarela karena jangka waktu yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar berakhir dan tujuan Yayasan yang ditetapkan dalam AD telah tercapai atau tidak tercapai. Sedangkan alasan secara paksa karena Yayasan melanggar ketertiban umum dan kesusilaan, Yayasan tidak mampu membayar utangnya setelah dinyatakan pailit; dan harta kekayaan Yayasan tidak cukup untuk melunasi utang-utangnya setelah pernyataan pailit dicabut. Sehubungan dengan itu, maka Yayasan dapat dibubarkan berdasarkan putusan Pengadilan atas permohonan Kejaksaan atau pihak yang berkepentingan. Dengan demikian Yayasan yang tidak menyesuaikan anggaran dasarnya baik Yayasan yang telah didaftarkan ke Pengadilan Negeri maupun yang tidak didaftarkan. Perlu ada pengawasan yang serius dan terpadu terhadap Yayasan baik oleh Instansi Perpajakan, Kejaksaan dan Instansi lain yang terkait sehubungan dengan diperbolehkannya Yayasan melakukan kegiatan usaha. Perlu adanya amandemen terhadap UU Yayasan yang sekarang dalam beberapa aspek. Misalnya perlu ditentukan agar pengurus Yayasan diperbolehkan mendapatkan honor maksimal 30% dari kegiatan usaha Yayasan yang mereka kelola dengan tidak mengenyampingkan tujuan sosial Yayasan sebagai tujuan utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar