KEADILAN UTILITARIAN
Oleh:
Bisdan Sigalingging, SH, MH
Dosen Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa Medan
Keadilan menurut Plato adalah nilai kebijakan yang paling tertinggi. Keadilan menurut H.L.A. Hart adalah nilai kebajikan yang paling legal atau atribut pribadi (habitus animi). Para filosof Yunani memandang bahwa keadilan sebagai suatu kebijakan individual. Makna keadilan yang dikemukakan tersebut pada prinsipnya bertujuan sama bergantung pada sudut pandang masing-masing. Namun menjadi persoalan adalah ketika terjadi tindakan yang tidak adil (unfair prejudice) di dalam kehidupan, maka sektor hukum jugalah yang berperan untuk menemukan dan mengembalikan keadilan yang telah hilang (the lost justice) inilah yang disebut Aristoteles sebagai keadilan korektif.
John Rawls mengolaborasi keadilan dengan mencampur unsur-unsur keadilan menurut Aristoteles dan keadilan yang hilang itu mesti dikembalikan oleh hukum. Hasil kolaborasinya diperoleh secara tajam jika dilakukan maksimum penggunaan barang secara merata dengan memperhatikan kepribadian masing-masing dengan menggunakan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Terpenuhinya hak yang sama terhadap dasar;
2. Perbedaan ekonomi dan sosial harus diatur sehingga akan terjadi kondisi yang positif yaitu:
a. Terciptanya keuntungan maksimum yang reasonable untuk setiap orang termasuk bagi setiap yang lemah;
b. Terciptanya kesempatan bagi semua orang.
Pandangan John Rawls tersebut sejalan dengan keadilan yang ingin dicapai oleh aliran utilitarian yang menitikberatkan pada kemanfaatan. Jika mesin diukur dari manfaatnya (utility), maka institusi sosial, termasuk institusi hukum pun harus diukur dari manfaatnya. Karena itu, unsur manfaat sebagai kriteria bagi manusia dalam mematuhi hukum.
Teori manfaat yang paling terkenal dikemukakan dari Jeremy Bentham dalam karyanya berjudul “An Introduction to the Principles of Morals and Legislation”. Asas manfaat melandasi segala kegiatan berdasarkan sejauh mana tindakan itu meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan kelompok itu atau dengan kata lain meningkatkan atau melawan kebahagiaan itu sendiri. Sehingga tujuan hukum untuk mencapai kesejahteraan akan tercapai.
Teori utilitiarisme berpandangan bahwa kualitas etis suatu perbuatan diperoleh dengan dicapainya tujuan kesejahteraan bersama. Perbuatan yang baik diukur dari hasil yang bermanfaat, jika hasilnya tidak bermanfaat, maka tidak pantas disebut baik.
Pengambilan keputusan berdasarkan etika dengan pertimbangan manfaat terbesar bagi banyak pihak sebagai hasil akhirnya yang dikenal dengan istilah the greatest good for the greatest number. Semakin bermanfaat akan semakin banyak orang dan perbuatan itu semakin etis. Dasar moral dari perbuatan adalah manfaat terbesar sehingga sering disebut dengan aliran konsekuensialisme karena sangat berorientasi pada hasil perbuatan.
Teori utilitarisme sangat menekankan pentingnya konsekuensi perbuatan dalam menilai baik atau buruk. Baik buruknya kualitas moral suatu perbuatan bergantung pada konsekuensi atau akibat yang dibawakan oleh mereka sebagai pengemban amanah atau orang-orang yang dipercaya. Jika suatu perbuatan mengakibatkan manfaat paling besar, artinya paling memajukan kemakmuran, kesejahteraan, dan kebahagiaan masyarakat, maka perbuatan itu adalah baik. Sebaliknya, jika perbuatan membawa lebih banyak kerugian daripada manfaatnya, maka perbuatan itu dinilai buruk. Konsekuensi perbuatan di sini menentukan seluruh kualitas moral.
Prinsip utilitarian menganggap suatu tindakan menjadi benar jika jumlah total manfaat yang dihasilkan dari tindakan tersebut lebih besar dari jumlah manfaat total yang dihasilkan oleh tindakan lain yang dilakukan. Penelantaran para penyandang cacat, eksploitasi kaum minoritas yang rentan, ketidakotentikan, dan hilangnya otonomi adalah bahaya-bahaya yang ditentang utilitarianisme ini.
Utilitarisme ini tidak bisa dimengerti dengan cara egoistis. Sebab kriteria untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan adalah kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar atau perbuatan yang mengakibatkan paling banyak orang merasa senang dan puas adalah perbuatan yang terbaik.
Masalahnya adalah mengapa dalam pengambilan keputusan bisnis dari otoritas suatu lembaga misalkan otoritas pengawas perbankan merupakan tanggung jawab moral induvidu dari orang-orang yang dipercaya? Jika dijawab melalui teori utilitarisme, karena hal itu membawa manfaat paling besar bagi umat manusia sebagai keseluruhan (masyarakat) khususnya nasabah atau konsumen bank. Jawaban ini dapat diterima untuk menciptakan suatu konsep yang sering disebut sebagai upaya pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Prinsip keadilan utilitarisme adalah menekankan kebijaksanaan yang masuk akal untuk mencapai tujuan kesejahteraan bersama.
Mudah dipahami bahwa utilitarisme sebagai teori etika sesuai dengan pemikiran ekonomis. Misalnya, teori ini cukup dekat dengan analisis biaya manfaat (cost benefit analysis) yang banyak dipakai dalam konteks ekonomi. Manfaat yang dimaksudkan utilitarisme seperti menghitung untung dan rugi atau kredit dan debet dalam konteks bisnis.
Ukuran utilitarisme menambahkan kuantitas keuntungan yang dihasilkan oleh suatu tindakan dan menguranginya dengan jumlah kerugian dari tindakan, selanjutnya menentukan tindakan mana yang menghasilkan keuntungan paling besar atau biaya yang paling kecil. Teori utilitarisme tentang hukum moral berbanding terbalik atau suatu bentuk penolakan keras terhadap tindakan aji mumpung (moral hazard) dari pengemban amanah.
John Stuart Mill melakukan revisi dan mengembangkan lebih lanjut teori ini. Dalam bukunya Utilitarianism yang diterbitkan pada tahun 1861, John Stuart Mill mengasumsikan bahwa pengejaran manfaat bagi masyarakat adalah sasaran aktivitas moral individual. John Stuart Mill mempostulatkan suatu nilai tertinggi kebahagiaan yakni kesenangan heterogin dalam berbagai bidang kehidupan.
Semua pilihan dapat dievaluasi dengan mereduksi kepentingan yang dipertaruhkan sehubungan dengan kontribusinya bagi kebahagiaan individual yang tahan lama. Kriteria utilitas menurutnya harus mampu menunjukkan keadaan sejahtera individual yang lebih awet atau resisten sebagai hasil yang diinginkan yakni kebahagiaan. Tindakan harus menciptakan manfaat yang positif untuk bisnis. Baik bermanfaat untuk pelaku bisnis maupun kepada masyarakat konsumen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar