A. Pemeriksaan Terhadap Badan Hukum Yayasan
Tujuan pemeriksaan terhadap badan hukum Yayasan sebagaimana ditentukan dalam Pasal Pasal 53 UU Yayasan yaitu:
1. Pemeriksaan terhadap Yayasan untuk mendapatkan data atau keterangan dapat dilakukan dalam hal terdapat dugaan bahwa organ Yayasan:
a. Melakukan perbuatan melawan hukum atau bertentangan dengan Anggaran Dasar;
b. Lalai dalam melaksanakan tugasnya;
c. Melakukan perbuatan yang merugikan Yayasan atau pihak ketiga; atau
d. Melakukan perbuatan yang merugikan Negara.
2. Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c hanya dapat dilakukan berdasarkan penetapan Pengadilan atas permohonan tertulis pihak ketiga yang berkepentingan disertai alasan.
3. Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d dapat dilakukan berdasarkan penetapan Pengadilan atas permintaan Kejaksaan dalam hal mewakili kepentingan umum.
Pengadilan dapat mengabulkan dan menolak atas permintaan terhadap Yayasan untuk diperiksa sebagaimana ketentuan dalam Pasal 54 UU Yayasan sebagai berikut:
1. Pengadilan dapat menolak atau mengabulkan permohonan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2).
2. Dalam hal Pengadilan mengabulkan permohonan pemeriksaan terhadap Yayasan, Pengadilan mengeluarkan penetapan bagi pemeriksaan dan mengangkat paling banyak 3 (tiga) orang ahli sebagai pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan.
3. Pembina, Pengurus, dan Pengawas serta pelaksana kegiatan atau karyawan Yayasan tidak dapat diangkat menjadi pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
Penjelasan Pasal 54 Ayat (2) yang dimaksud dengan ahli adalah mereka yang memiliki keahlian sesuai dengan masalah yang akan diperiksa. Misalnya jika terjadi perbuatan melawan hukum atas pengurus Yayasan, maka pihak Kejaksaan berhak untuk melakukan pemeriksaan tersebut. Hasil pemeriksaan oleh pihak Kejaksaan harus disampaikan kepada Ketua Pengadilan setempat atas telah atau tidak terjadinya suatu perbuatan melawan hukum. Pasal 56 UU Yayasan disebutkan bahwa:
1. Pemeriksa wajib menyampaikan laporan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan kepada Ketua Pengadilan di tempat kedudukan Yayasan paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pemeriksaan selesai dilakukan.
2. Ketua Pengadilan memberikan salinan laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada pemohon atau Kejaksaan dan Yayasan yang bersangkutan.
Berdasarkan beberapa ketentuan mengenai pemeriksaan Yayasan tersebut di atas, dapat dianalisis bahwa terhadap perubahan pendirian akta Yayasan yang wajib disesuaikan dengan ketentuan dalam UU Yayasan membawa konsekuensi hukum terhadap Yayasan atas segala kegiatan atau aktivitas Yayasan dapat menimbulkan hak dan kewajiban. Secara administratif bahwa kedudukan Yayasan telah diakui dan terdaftar sebagai suatu organisasi yang berbadan hukum sehingga segala hak dan kewajiban yang ditimbulkan Yayasan tersebut harus tunduk pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku yakni UU Yayasan. Alasan-alasan untuk pemeriksaan adalah untuk mendapatkan data atau keterangan dalam hal terdapat dugaan bahwa organ yayasan:
1. Melakukan perbuatan melawan hukum atau bertentangan dengan anggaran dasar;
2. Lalai dalam melaksanakan tugas-tugasnya;
3. Melakukan perbuatan yang merugikan yayasan atau pihak ketiga; dan
4. Melakukan perbuatan yang merugikan negara.
Jadi, tujuan dilakukan pemeriksaan terhadap badan hukum Yayasan ini adalah untuk memperoleh kebenaran tentang adanya dugaan penyimpangan seperti yang dimaksud pada Pasal 53 Ayat (1) huruf sampai dengan huruf d UU Yayasan. Kebenaran atas dugaan tersebut harus didasarkan pada fakta yang terungkap dari hasil pemeriksaan, sehingga dapat digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya penyimpangan di bidang Yayasan.
Adapun pihak yang melakukan pemeriksaan adalah sejumlah ahli (paling banyak tiga orang) yang diangkat sebagai pemeriksa berdasarkan penetapan pengadilan, dan pemeriksa dilarang mengumumkan atau memberitahukan laporan hasil pemeriksaannya kepada pihak lain kecuali kepada Ketua Pengadilan Negeri di tempat kedudukan yayasan. Dalam penggrganisasiannya terdapat pemisahan yang jelas antara pemegang kekuasaan tertinggi dengan pelaksanaan operasional dan pengawas yang mengawasi operasional yayasan. Hal ini tercermin dari pemisahan yang jelas dari organ yayasan yang terdiri dari pembina, pengurus dan pengawas.
Pembina adalah organ yayasan yang mempunyai kewenangan yang tidak diserahkan kepada pengurus atau pengawas oleh undang-undang atau Anggaran Dasar. Pengurus adalah organ yayasan yang melaksanakan kepengurusan yayasan, sedangkan pengawas adalah orang yayasan yang bertugas melakukan pengawasan serta memberi nasehat kepada pengurus dalam menjalankan kegiatan Yayasan.
Anggota pembina tidak boleh merangkap sebagai anggota Pengurus dan/atau anggota Pengawas, demikian pula sebaliknya. Larangan perangkapan jabatan dimaksudkan untuk menghindari benturan kewenangan dan tugas serta tanggung jawab antara pembina, pengurus dan pengawas yang dapat merugikan kepentingan Yayasan atau pihak lain.
Ketentuan yang dianggap sangat memberatkan dan banyak mendapat kritik dari berbagai pihak terutama pengelola yayasan, adalah adanya kewajiban pada setiap pendirian yayasan untuk memintakan pengesahan badan hukum kepada Menteri Hukum dan HAM. Demikian pula halnya apabila pihak pengelola yayasan ingin melakukan perubahan mengenai nama dan kegiatan yayasan tersebut, harus terlebih dahulu meminta ijin kepada Menteri Hukum dan HAM dan perubahan lainnya selain nama dan kegiatan yayasan harus melaporkannya kepada Menteri Hukum dan HAM.
Fenomena kegiatan yayasan dalam masyarakat yang dilihat oleh pembuat undang-undang, telah berubah atau menyimpang dari hakekat yayasan sebagaimana yang ditemui pada mass awal setelah Perang Dunia 1, dimana yayasan seharusnya bergerak dalam bidang sosial dan ideal ternyata berkembang memasuki bidang ekonomi (bisnis), bahkan dipakai untuk mendapatkan dana untuk usaha dalam bidang ekonomi.
Oleh karena itu keberadaan UU Yayasan yang selain untuk mengakomodasi fenomena kegiatan usaha bisnis yayasan tersebut, sekaligus juga berupaya membatasinya. Hal ini terlihat dengan dibolehkannya Yayasan mendirikan badan usaha yang kegiatannya sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan dan yayasan dapat melakukan penyertaan dalam berbagai bentuk usaha yang bersifat prospektif dengan ketentuan penyertaan tersebut paling banyak 25% (dua puluh lima persen) dari seluruh nilai kekayaan yayasan tersebut.
Selanjutnya berdasarkan UU Yayasan, pemerintah dalam lingkup tertentu menilai penting untuk mengetahui secara benar arus keuangan yayasan khusus yayasan yang memperoleh bantuan negara, bantuan luar negeri atau pihak lain sebesar Rp 500.000.000.00,- (lima ratus juta rupiah) atau mempunyai kekayaan di luar harta wakaf sebesar Rp 20.000.000.000.00,- (dua puluh millar rupiah). Yayasan wajib membuat ikhtisar laporan tahunan yang menyangkut keuangan dan keadaan serta kegiatan yayasan dalam tahun yang lampau. Laporan tersebut harus pula diumumkan dalam surat kabar berbahasa Indonesia, dan mewajibkan audit oleh akuntan publik terhadap yayasan. Dengan demikian pengaturan masalah tersebut bersifat limitatif karena tidak seluruh yayasan harus mengikuti ketentuan tersebut.
Pemeriksaan secara menyeluruh terhadap suatu Yayasan menurut ketentuan Pasal 53 UU Yayasan dalam hal terdapat dugaan bahwa organ yayasan melakukan perbuatan melawan hukum atau bertentangan dengan Anggaran Dasar, lalai dalam melaksanakan tugasnya, melakukan perbuatan yang merugikan yayasan atau pihak ketiga, atau melakukan perbuatan yang merugikan negara, berdasarkan penetapan pengadilan atas permohonan tertulis dari pihak ketiga yang, berkepentingan. Permintaan itu dapat juga dilakukan oleh kejaksaan dalam kapasitasnya mewakili kepentingan umum.
Kewajiban membuat laporan yayasan serta mengumumkannya secara luas kepada publik ini amat tepat bagi yayasan yang mengelola dana masyarakat, seperti misal Yayasan Rumah Sakit ataupun Sekolah/Perguruan Tinggi, tidak terkecuali apakah clikelola oleh ketempok masyarakat ataukah perseorangan atau keluarga, dimana masyarakat membayar melalui biaya perobatan yang dikutip dari pasien maupun Sumbangan Pengelolaan Pendidikan (SPP) yang dikutip pada siswa/mahasiswa,. sehingga pengelola yayasan tidak lagi dapat berbisnis melalui yayasan yang tujuannya berfungsi sosial dan ideal.
Akan tetapi pengaturan dan pengendalian ini akan merugikan bagi Yayasan yang murni bergerak dalam bidang sosial yang mengelola keuangannya secara transparan. Apalagi yayasan yang didirikan oleh perseorangan atau suatu keluarga yang menghidupi yayasan yang didirikan tersebut dengan kekayaannya sendiri ataupun menyisihkan sebagian dari keuntungan perusahaannya sendiri. Tidak ada kepentingan publik yang dirugikan di sana, malah kalau pemerintah mencampurinya akan sangat merepotkan mereka.
Peran negara harus dibatasi sedemikian rupa sehingga tidak terlalu mencampuri masalah internal organisasi. Bagi bangsa Indonesia yang tengah dilanda euforia reformasi dan keterbukaan di segala bidang, apalagi dalam keadaan wibawa pemerintah begitu lemah, adanya ketentuan atau peraturan formal yang dianggap membatasi ruang gerak masyarakat secara apriori dapat dianggap sebagai kontra-reformasi dan kontra-produktif, atau sebaliknya masyarakat bersikap apatis dan tidak terlalu menanggapi peraturan yang limitatif tersebut, apalagi ada kecurigaan bahwa lahirnya peraturan perundang-undangan tersebut tidak lebih karena tekanan eksternal dari dunia internasional. Nuansa seperti itu berkembang ketika merespon kelahiran UU Yayasan.
B. Akibat Hukum Perubahan Akta Pendirian Yayasan Menurut Undang-Undang Yayasan
Pendirian Yayasan di Indonesia selama ini hanya berdasarkan atas kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat yaitu didirikan dengan Akta Notaris dan didaftarkan pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Yayasan apabila pendiri Yayasan tersebut menilai perlu untuk mendaftarkannya. Pendirian Yayasan didasarkan pada yurisprudensi dan hukum kebiasaan yang berlangsung dalam masyarakat, pada umumnya orang sependapat bahwa sejak sejak berdirinya yayasan sudah melekat status badan hukumnya.
Kedudukan Yayasan dalam sistem hukum Indonesia bahwa Yayasan adalah suatu identitas hukum yang keberadaannya dalam lalu lintas hukum di Indonesia sudah di akui oleh masyarakat Indonesia. Berdasarkan hukum kebiasaan dan asumsi hukum yang berlaku di masyarakat umum, maka dapat dikemukakan ciri-ciri yayasan sebagai suatu identitas hukum sebagai berikut: 1. Eksistensi yayasan sebagai identitas hukum di Indonesia belum didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Pengakuan yayasan sebagai badan hukum belum ada dasar yuridis yang tegas halnya dengan Perseroan, Koperasi dan hukum yang lain.
3. Yayasan dibentuk dengan kekayaan pribadi sendiri untuk tujuan nirlaba, untuk tujuan religius, sosial, keagamaan, kemanusiaan dan tujuan isiil yang lain.
4. Yayasan didirikan dengan akta Notaris atau dengan surat keputusan pejabat yang bersangkutan dengan pendirian yayasan.
5. Yayasan tidak memiliki anggota dan tidak dimiliki oleh siapapun, namun mempunyai pengurus atau orang untuk merealisasikan tujuan yayasan.
6. Yayasan mempunyai kedudukan yang mandiri, sebagai akibat dari adanya kekayaan terpisah dari kekayaan pribadi pendiri atau pengurusnya dan mempunyai tujuan sendiribeda atau lepas dari tujuan pribadi pendiri atau pengurus.
7. Yayasan diakui sebagai badan hukum seperti halnya orang yang berarti ia diakui sebagai subjek hukum mandiri yang dapat menyandang hak dan kewajiban mandiri, didirikan dengan akta dan didaftarkan di kantor Kepaniteraan Pengadilan setempat.
Menurut Tumbuan, sekalipun yayasan sebagai badan hukum merupakan hasil kreasi hukum dan oleh karena itu adalah suatu artificial person (orang buatan), namun demikian yayasan adalah benar-benar subyek hukum mandiri yang oleh hukum dibekali dengan hak dan kewajiban yang tidak berbeda dengan hak dan kewajiban yang dimiliki seorang manusia. Oleh karena yayasan adalah subyek hukum mandiri maka keberadaannya tidak tergantung dari keberadaan anggota Pembina, Pengurus, maupun Pengawas. Sekalipun mereka berganti, pergantian tersebut tidak merubah keberadaan yayasan selaku “persona standi in judicio”.
Berbeda halnya dengan status hukum perhimpunan sebagai badan hukum perdata yang secara jelas telah diatur dalam Staatsblad 1870 No. 64 tentang “Rechtspersoonlijkheid van Vereenigingen”, pengakuan yayasan sebagai badan hukum sebagaimana dikemukakan di atas semata-mata merupakan produk jurisprudensi sehingga keberadaan yayasan sebagai badan hukum sukar diidentifikasi secara juridis.
Pasal 102 Undang-Undang Kepailitan yang mana memperlakukan yayasan sama dengan badan-badan hukum lain seperti perseroan terbatas dalam hal tindakan pasca pernyataan kepailitan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 84-Pasal 88. Demikian pula tentang penerbitan pers yang merupakan bisnis murni dijustifikasi oleh Peratauran Menteri Penerangan No.01/Per/.Menpen/.1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers menetapkan dalam Pasal 10 bahwa bentuk usaha penerbitan pers harus berbentuk badan hukum atau yayasan. Begitu pula Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengharuskan pendirian lembaga pendidikan oleh swasta dengan yayasan sebagai pemiliknya walaupun tak dapat disangkal bahwa beberapa perguruan tinggi swasta yang dibina yayasan berindikasi komersial.
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, dan ketentuan dalam Pasal 17 UU Yayasan disebutkan bahwa, ”Anggaran Dasar dapat diubah kecuali mengenai maksud dan tujuan”. Dasar ketentuan Pasal 17 UU Yayasan di atas, maka perubahan akta pendirian Yayasan membawa akibat hukum yang dipaparkan berikut ini:
1. Terhadap Kepengurusan Pembina
Pasal 28 Ayat (1) dan Ayat (2) UU Yayasan, Pembina adalah organ yang memegang kekuasaan tertinggi dalam Yayasan. Pembina memiliki kewenangan yang oleh undang-undang dan AD tidak diserhkan kepada pengurus atau pengawas. Kewenangan pembina menurut Pasal 28 Ayat (2) UU Yayasan meliputi:
1. Keputusan mengenai perubahan Anggaran Dasar;
2. Pengangkatan dan pemberhentian anggota Pengurus dan anggota Pengawas;
3. Penetapan kebijakan umum Yayasan berasarkan Anggaran Dasar Yayasan;
4. Pengesahan program kerja dan rancangan anggaran tahunan Yayasan; dan
5. Penetapan keputusan mengenai penggabungan atau pembubaran Yayasan.
Sedangkan menurut Anwar Borahima, menyebut ada 7 (tujuh) kewenangan pembina yang dicantumkan dalam UU Yayasan. Kewenangan tersebut adalah:
a. Keputusan mengenai perubahan AD, pengangkatan dan pemberhentian anggota pengurus dan pengawas;
b. Penetapan kebijakan umum Yayasan berdasarkan AD Yayasan;
c. Mengesahkan Program Kerja dan Rancangan Anggaran Tahunan Yayasan;
d. Penetapan keputusan mengenai penggabungan dan pembubaran Yayasan;
e. Mengadakan rapat sekurang-krangya sekali dalam satu tahun untuk melaksanakan kewenangannya;
f. Mengevaluasi kekayaan, kewajiban, tanggung jawab, dan penghasilan Yayasan tahun lalu sebagai dasar pertimbangan bagi pengesahan Anggaran Belanja tahun yang akan datang;
g. Mensahkan laporan tahunan yang disampaikan oleh pengurus dan pengawas.
Akibat perubahan akta pendirian Yayasan sesuai dengan perubahan dalam Anggaran Dasar Yayasan, dapat membawa konsekuensi terhadap kepengurusan pembina sesuai dengan kewenangan pembina sebagaimana disebutkan di atas. Selanjutnya menurut Anwar, ada 5 (lima) syarat untuk menjadi pembina adalah sebagai berikut:
1. Orang perorangan;
2. Mempunyai dedikasi tinggi;
3. Diangkat berdasarkan keputusan rapat gabungan seluruh anggota pengurus dan anggota pengawas;
4. Tindak boleh merangkap menjadi pengurus atau pembina;
5. Anggota pembina yang berkewarganegaraan asing, jika bertempat tinggal di Indonesia harus memegang izin melakukan kegiatannya di wilayah Indonesia dan pemegang karti izin bertempat tinggal sementara.
Pembina tidak harus selalu pendiri Yayasan. Dengan kata lain dalam hal kepengurusan, tidak semua pembina adalah pengurus Yayasan. Sebab untuk mengurus Yayasan, tidak mesti harus membutuhkan peran pembina. Dalam hal perubahan akta Yayasan harus sesuai dengan Anggaran Dasar Yayasan. Pada penjelasan Pasal 28 UU Yayasan disebutkan bahwa ketentuan dalam Ayat (3) dimaksudkan bahwa pendiri Yayasan tidak dengan sendirinya harus menjadi Pembina. Anggota pembina dapat dicalonkan oleh pengurus dan pengawas.
Mengenai perubahan Akta terhadap Anggaran Dasar Yayasan, dalam Pasal 18 Ayat (1) UU Yayasan disebutkan bahwa, ”Perubahan Anggaran Dasar hanya dapat dilaksanakan berdasarkan keputusan rapat Pembina”. Jadi, ditekankan dalam Pasal ini peran Pembina untuk dapat menyesuaikan Anggaran Dasar jika Yayasan tersebut berdiri sebelum adanya UU Yayasan dan melakukan perubahan terhadap Anggaran Dasar yang sudah ada untuk diubah karena hal-hal tertentu. Peran pembina dalam rapat pembina Yayasan minimal harus dihadiri 2/3 dari jumlah anggota pembina untuk melakukan musyawarah mufakat mengenai perubahan akta Yayasan tersebut.
2. Mengenai Hak-Hak dan Kewenangan Pengurusan
Pengurus merupakan organ eksekutif Yayasan, karena pengurus yang melakukan kepengurusan Yayasan baik di dalam maupun di luar Yayasan. Maka penguruslah yang menjalankan roda Yayasan untuk mencapai maksud dan tujuan. Mengenai siap yang disebut dengan pengurus. Pengurus sesuai dengan Pasal 31 UU Yayasan:
Pengurus adalah organ Yayasan yang melaksanakan kepengurusan Yayasan;
Yang dapat diangkat menjadi Pengurus adalah orang perseorangan yang mampu melakukan perbuatan hukum;
Pengurus tidak boleh merangkap sebagai Pembina atau Pengawas.
Pada bagian penjelasan ayat ini, larangan perangkapan jabatan dimaksudkan untuk menghindari tumpang tindih kewenangan, tugas, dan tanggung jawab antara Pembina, pengurus, dan pengawas yang dapat merugikan kepentingan yayasan atau pihak lain.
Pengurus Yayasan diangkat oleh Pembina berdasarkan keputusan rapat Pembina untuk jangka waktu selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Pengangkatan pengurus terdiri dari sekurang-kurangnya harus ada seorang ketua; seorang sekretaris; dan seorang bendahara. Dalam hal pengurus menjalankan tugas melakukan tindakan yang oleh Pembina dinilai merugikan Yayasan, maka berdasarkan keputusan rapat Pembina, Pengurus tersebut dapat diberhentikan sebelum masa kepengurusannya berakhir. Maka berakhir pulalah hak-hak pengurus dalam Yayasan tersebut. Ketentuan mengenai susunan dan tata cara pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian Pengurus diatur dalam Anggaran Dasar.
Dalam hal terdapat penggantian Pengurus Yayasan, Pembina wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Menteri dan kepada instansi terkait, sebagaimana ketentuan dalam Pasal 33 UU Yayasan. Pemberitahuan itu wajib disampaikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal dilakukan penggantian pengurus Yayasan.
Dalam hal pengangkatan, pemberhentian dan penggantian pengurus dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar, atas permohonan yang berkepentingan atau atas permintaan Kejaksaan dalam hal mewakili kepentingan umum, Pengadilan dapat membatalkan pengangkatan, pemberhentian, atau penggantian tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan pembatalan diajukan.
Dalam melaksanakan tugasnya, pengurus Yayasan harus bertanggung jawab penuh, Pasal 35 menyebutkan bahwa pengurus Yayasan bertanggung jawab penuh atas kepengurusan Yayasan untuk kepentingan dan tujuan Yayasan serta berhak mewakili Yayasan baik di dalam maupun di luar Pengadilan. Sehubungan dengan tanggung jawab penuh pengurus tersebut, harus sesuai dengan Pasal 35 Ayat (2) UU Yayasan yakni menjalankan tugas dengan itikad baik, dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan dan tujuan Yayasan. Pada bagian penjelasan ayat ini yang dimaksud dengan pelaksana kegiatan adalah pengurus harian yayasan yang melaksanakan kegiatan yayasan sehari-hari. Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian pelaksana kegiatan Yayasan diatur dalam Anggaran Dasar Yayasan.
Setiap Pengurus bertanggung jawab penuh secara pribadi (tanggung renteng) apabila yang bersangkutan dalam menjalankan tugasnya tidak sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar, yang mengakibatkan kerugian Yayasan atau pihak ketiga.
Menurut Pasal 36 UU Yayasan, ada hal-hal tertentu yang tidak menjadi hak pengurus untuk mengurusinya yakni apabila:
Terjadi perkara di depan pengadilan antara Yayasan dengan anggota pengurus yang bersangkutan; atau
Anggota Pengurus yang bersangkutan mempunyai kepentingan yang bertentangan dengan kepentingan Yayasan.
Kemudian mengenai kewenangan yang tidak boleh dilakukan pengurus adalah dalam Pasal 37 disebutkan, pengurus tidak berwenang dalam hal:
Mengikat Yayasan sebagai penjamin utang;
Mengalihkan kekayaan Yayasan kecuali dengan persetujuan Pembina; dan
Membebani kekayaan Yayasan untuk kepentingan pihak lain.
Hal yang memberi pembatasan kewenangan pengurus ditentukan dalam Anggaran Dasar dapat yakni dengan membatasi kewenangan pengurus dalam melakukan perbuatan hukum untuk dan atas nama Yayasan. Maksudnya adalah jika pengurus melakukan perbuatan hukum untuk dan atas nama yayasan, Anggaran Dasar dapat membatasi kewenangan tersebut dengan menentukan bahwa untuk perbuatan hukum tertentu diperlukan persetujuan terlebih dahulu dari Pembina dan/atau pengawas, misalnya untuk menjaminkan kekayaan yayasan guna membangun gedung sekolah atau rumah sakit.
Larangan-larangan terhadap pengurus sebagaimana dalam ketentuan Pasal 38 UU Yayasan disebutkan:
Pengurus dilarang mengadakan perjanjian dengan organisasi yang terafiliasi dengan Yayasan, Pembina, Pengurus, dan/atau Pengawas Yayasan, atau seseorang yang bekerja pada Yayasan.
Larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku dalam hal perjanjian tersebut bermanfaat bagi tercapainya maksud dan tujuan Yayasan.
Dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian sesuai amanah Pasal 39 UU Yayasan dikatakan bahwa kesalahan atau kelalaian pengurus dan kekayaan Yayasan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, maka setiap Anggota pengurus secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian tersebut. Anggota pengurus yang dapat membuktikan bahwa kepailitan bukan karena kesalahan atau kelalaiannya tidak bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian tersebut. Anggota pengurus yang dinyatakan bersalah dalam melakukan pengurusan Yayasan yang menyebabkan kerugian bagi Yayasan, masyarakat, atau Negara berdasarkan putusan pengadilan, maka dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal putusan tersebut memperoleh kekuatan hukum yang tetap, tidak dapat diangkat menjadi Pengurus Yayasan manapun.
Akibat akta perubahan Yayasan, pengurus dalam melnajankan maksud dan tujuan Yayasan harus menyesuaikan dengan perubahan-perubahan ketentuan dalam Anggaran Dasar. Dengan demikian mengenia hak-haknya juga ditentukan dalam Angaran Dasar Yayasan tersebut.
3. Ruang Lingkup Bidang Usaha Atau Jenis-Jenis Yayasan
Ada hal-hal penting dalam melakukan perubahan akta Yayasan. Berdasarkan UU Yayasan, perubahan di dalam akta pendirian Yayasan dimuat dalam Anggaran Dasar Yayasan:
a) Diperbolehkan asalkan tidak mengubah maksud dan tujuan;
b) Berdasarkan permufakatan rapat Pembina atau persetujuan 2/3 anggota Pembina yang hadir;
c) Merubah nama dan kegiatan harus mendapat persetujuan Menhukham;
d) Merubah selain nama dan kegiatan, cukup diberitahukan kepada Menhukham
e) Atas persetujuan Kurator, jika Yayasan pailit.
Di samping itu juga dikenal adanya larangan terhadap Yayasan:
a) Memakai nama yang sama dengan nama Yayasan lain;
b) Membagikan hasil kegiatan usaha ataupun kekayaan Yayasan (berupa gaji, dan lai-lain) kepada Pembina, Pengurus dan Pengawas;
c) Melakukan perubahan anggaran dasar pada saat Yayasan pailit, kecuali atas Kegiatan Yayasan:
Pada bagian penjelasan umum UU Yayasan, Yayasan sebagai badan hukum yang mempunyai maksud dan tujuan bersifat sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yayasan mempunyai organ yang terdiri atas Pembina, pengurus dan pengawas. Pemisahan yang tegas antara fungsi, wewenang, dan tugas masing-masing organ tersebut serta pengaturan mengenai hubungan antara ketiga organ yang dimaksudkan untuk menghindari konflik interen yayasan yang tidak hanya dapat merugikan kepentingan yayasan juga pihak lain.
Jadi, dengan demikian hanya ada 3 (tiga) jenis usaha Yayasan yang dibolehkan oleh undang-undang yaitu:
a) Di bidang sosial. Yaitu bidang-bidang mengenai pendidikan formal dan non formal; panti asuhan/wreda/jompo; rumah sakit, poliklinik, laboratorium; pembinaan olahraga; penelitian di bidang ilmu pengetahuan; studi banding;
b) Di bidang keagamaan. Yakni mendirikan sarana ibadah, pondok pesantren; menerima dan menyalurkan amal zakat, sedekah; meningkatkan pemahaman keagamaan, melaksanakan syiar agama, studi banding keagamaan; dan
c) Di bidang kemanusiaan. Seperti memberi bantuan kepada korban bencana alam, pengungsi akibat perang, tunawisma/fakir miskin/gelandangan; mendirikan rumah singgah, rumah duka, memberikan perlindungan konsumen; melestarikan lingkungan hidup dan lain-lain.
Selain jenis-jenis kegiatan Yayasan yang dibolehkan oleh undang-undang tersebut di atas, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 7 UU Yayasan juga Yayasan dapat melakukan kegiatan usaha dengan mendirikan badan usaha (PT) dan atau ikut serta dalam badan usaha (PT) dengan ketentuan:
a) Penyertaan (modal) maksimal 25% dari aset Yayasan;
b) Kegiatan badan usaha (PT) yang didirikan Yayasan sesuai dengan maksud dan tujuan Yayasan;
c) Hasil kegiatan usaha tidak boleh dibagikan kepada organ Yayasan; dan
d) Organ Yayasan tidak boleh merangkap sebagai Direksi dan Komisaris pada badan usaha (PT) yang didirikannya.
Mengenai akibat hukum perubahan akta Yayasan terhadap bidang-bidang dan jenis-jenis Yayasan hanya yang diperbolehkan oleh undang-undang mengenai bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Begitu pula dalam hal kegiatan usaha Yayasan, tidak boleh melakukan penyertaan modal lebih dari 25% dari aset Yayasan, hasil kegiatan tidak diperkenankan diterima oleh pembina, pengawas, dan pengurus, dan tidak boleh merangkap sebagai Direksi atau Komisaris. Alasan terhadap larangan ini adalah karena Yayasan tersebut bukan untuk mencari laba (nirlaba). Menurut Gatot Supramono, terdapat sedikit unsur Yayasan mencari laba melalui bidang-bidang usaha tertentu, namun laba yang dihasilkan itu tidak boleh diterima oleh pembina, pengurus, maupun pengawas, melainkan hanya digunakan untuk pengembangan Yayasan.
4. Lahirnya dan Berkahirnya Yayasan
Syarat-syarat pokok dalam UU Yayasan persyaratan untuk mendirikan Yayasan harus ada:
1. Para pendiri;
2. Harus dengan akta Notaris;
3. Adanya modal awal;
4. Pembuatan akta pendirian harus di hadapan Notaris;
5. Pengajuan permohonan pengesahan akta pendirian;
6. Pengesahan akta pendirian; dan
7. Pengumuman.
Setelah akta pendiriannya disahkan Yayasan tersebut wajib diumumkan ke publik dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia. Berita tersebut dilakukan setelah Kantor percetakan Negara Republik Indonesia menerima permohonan tersebut dari pengurus Yayasan atau yang dikuasakan. Setelah disahkan oleh Menhukham dan diumumkan melalui TBN RI, maka Yayasan dinyatakan telah ada dan lahir sebagai badan hukum.
Menurut UU Yayasan, Yayasan memiliki umur tertentu atau jangka waktu tidak tertentu. Hal ini ditentukan sendiri oleh pendiri Yayasan dan wajib dicantumkan di dalam akta pendiriannya dan dalam akta perubahan pendiriannya. Pendiri Yayasan bebas menentukan jangka waktu tersebut, dan tentunya pendiri mempunyai pertimbangan tersendiri.
Dalam Pasal 16 Ayat (1) UU Yayasan ada dua pilihan yakni jangka waktu tertentu dan jangka waktu tidak tertentu. Jika waktunya tertentu, maka dengan jelas disebutkan dalam akta maupun dalam perubahan akta pendirian Yayasan misalnya 10 (sepuluh) tahun. Dengan menyebutkan waktu tertentu tersebut, maka setelah tiba waktunya, Yayasan tersebut harus bubar. Namun dalam Ayat (2) diberikan pula waktu perpanjangan jika dikehendaki oleh pendiri. Mengenai jangka waktu tidak tertentu, Yayasan dapat berdiri sepanjang masa walaupun telah berganti-ganti organ-oragannya.
Jadi, dalam pendirian Yayasan maupun dalam akta perubahan Anggaran Dasar Yayasan mengenai berakhirnya Yayasan tentu berakhirnya masa Yayasan tentu membawa konsekuensi hukum bahwa jika telah berakhir sesuai dengan pilihan waktu yang ditentukan oleh undang-undang, maka berakhir pulalah Yayasan sebagai badan hukum dan segala aspek hukumnya harus dibereskan khususnya mengenai harta kekayaan Yayasan.
5. Modal Yayasan
Pada hakikatnya modal Yayasan adalah kekayaan yang dipisahkan untuk suatu tujuan tertentu yang oleh undang-undang diberi status badan hukum. Mengenai modal Yayasan sesuai dengan defenisi Yayasan pada Pasal 1 Ayat (1) UU yayasan yang dimaksud dengan Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota. Jadi, berdasarkan ketentuan ini, modal Yayasan adalah modal atau kekayaan yang dipisahkan antara kekayaan pribadi dengan kekayaan Yayasan. Kekayaan Yayasan dimaksud adalah baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain.
Kekayaan Yayasan tersebt, dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung kepada Pembina, Pengurus, Pengawas, karyawan, atau pihak lain yang mempunyai kepentingan terhadap Yayasan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 5 UU Yayasan yaitu, “Kekayaan Yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh Yayasan berdasarkan Undang-Undang ini, dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung kepada Pembina, Pengurus, Pengawas, karyawan, atau pihak lain yang mempunyai kepentingan terhadap Yayasan.”
Kekayaan awal Yayasan berasal dari kekayaan pendiri Yayasan dimana jumlah kekayaan awal harus dipisahkan dari kekayaan pribadi pendiri dalam bentuk uang atau benda. Benda dimaksud di sini adalah benda berwujud dan tidak berwujud yang dapat dinilai dengan uang.
Sehubungan dengan modal dalam akta pendirian Yayasan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 14 Ayat (4) UU Yayasan bahwa, ”Jumlah minimum harta kekayaan awal yang dipisahkan dari kekayaan pribadi Pendiri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf d ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.”
Maka dalam peraturan pelaksananya, ketentuan tersebut diperjelas dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan UU Yayasan ditentukan mengenai kekayaan awal Yayasan sebagai berikut:
(1) Jumlah kekayaan awal Yayasan yang didirikan oleh Orang Indonesia, yang berasal dari pemisahan harta kekayaan pribadi pendiri, paling sedikit senilai Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(2) Jumlah kekayaan awal Yayasan yang didirikan oleh Orang Asing atau Orang Asing bersama Orang Indonesia, yang berasal dari pemisahan harta kekayaan pribadi pendiri, paling sedikit senilai Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Kemudian dalam Pasal 7 ditentukan mengenai pemisahan harta kekayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 harus disertai surat pernyataan pendiri mengenai keabsahan harta kekayaan yang dipisahkan tersebut dan bukti yang merupakan bagian dari dokumen keuangan Yayasan.
Mengenai jumlah kekayaan awal atau modal Yayasan disebutkan di atas, maka terhadap pendirian Yayasan yang baru dengan memperhatikan ketentuan Pasal 6 PP ini harus dicantumkan dalam akta pendirian dan begitu pula jika akta itu dirubah harus diikutkan pula sebagai kekayaan awal Yayasan tersebut. Selain modal awal Yayasan sebagai kekayaan Yayasan, juga bersumber dari bantuan yang tidak mengikat dengan tidak membdekan asal dari mana sumbangan tersebut baik dari masyarakat, pemerintah, maupun dari luar negeri.
Pada praktiknya saat ini bertitik tolak dari kasus-kasus sengketa Yayasan sering sekali didengar adanya pemilik Yayasan. Para pendiri Yayasan dalam menyikapi hal ini, beranggapan bahwa sebenarnya sistem yang dibangun UU Yayasan dalam hal pengelolaan keuangan yayasan dapat dikatakan hampir sama dengan pengelolaan keuangan sebuah perusahaan terbatas. Saat ini terdapat berbagai penafsiran yang keliru dalam pengelolaan Yayasan yang selama ini berlangsung seperti:
a. Yayasan dianggap sebagai organisasi nirlaba yang selama sekali tidak boleh mencari keuntungan (non profit oriented). Adanya pemikiran tersebut telah menyebabkan banyak yayasan yang "lesu darah" karena dalam upaya pendanaan hanya mengandalkan sumbangan dari para donatur tanpa berusaha mencari sumber-sumber lain yang lebih kreatif. Lebih parah lagi para donatur yang diandalkan adalah orang atau badan yang sama dari tahun ke tahun yang dimintakan belas kasihannya;
b. Karena yayasan mempunyai misi sosial dan kemanusiaan maka dapat dipahami bahwa manajemen yayasan kurang profesional diibandingkan dengan manajemen bisnis yang bertujuan laba, karena para pendiri dan pengurusnya adalah para sukarelawan yang mempunyai banyak kesibukan lain;
c. Sebagai organisasi nirlaba, yayasan jarang melakukan program "pemasaran" (marketing) karena pemasaran dianggap identik dengan aspek komersial dan penjualan. Hal ini menyebabkan banyak yayasan yang sulit berkembang karena kurang dikenal oleh masyarakat dan konstituennya, sehingga sangat sulit memperoleh sumber pendanaan; dan
d. Sebagai organisasi nirlaba, pengelolaan yayasan dianggap berbeda dengan pengelolaan perusahaan. Banyak yayasan yang tidak berkembang karena dikelola dengan kurang profesional, tidak efisien, tidak adanya akuntabilitas publik, lemahnya pengawasan, dan sebagainya.
Dengan demikian, yayasan sebagai salah satu bentuk organisasi nirlaba dewasa ini mengalami tantangan besar karena semakin meningkatnya tuntutan akan transparansi, akuntabilitas, serta efisiensi dan efektifitas dalam pengelolaan kegiatan operasionalnya. Memperhatikan hakikat yayasan tersebut di atas maka tepatlah bahwa Undang-Undang Yayasan menegaskan bahwa yayasan dapat didirikan oleh satu orang dengan memisahkan harta kekayaan pendirinya, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 9 Ayat (1) UU Yayasan menyebutkan, ”Yayasan didirikan oleh satu orang atau lebih dengan memisahkan sebagian harta kekayaan pendirinya, sebagai kekayaan awal”.
Ketentuan tentang pendirian Yayasan ini berbeda bila dibandingkan dengan pendirian Perseroan Terbatas atau perseroan. Dalam hal pendirian perseroan harus dilakukan oleh sedikitnya 2 (dua) orang (Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas), karena Perseroan Terbatas adalah persekutuan modal (asosiasi modal) yang dibentuk berdasarkan perjanjian.
Tetapi saat ini kenyataan dalam hal pendirian Yayasan perlu diperhatikan bahwa perbuatan hukum pendirian Yayasan pada dasarnya adalah perbuatan hukum yang bersifat sepihak. Juga apabila yayasan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih Pendiri, sifat perbuatan hukum dimaksud secara esensial berbeda dengan perbuatan hukum pendirian Perseroan. Dalam hal pendirian Perseroan, perbuatan hukum para pendiri sekaligus mengandung penyertaan dalam perseroan selaku persekutuan modal. Perbuatan hukum pendirian yayasan mengakibatkan lahirnya yayasan.
Undang-Undang Yayasan mengamanatkan bahwa pendirian tersebut harus dengan akta Notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia, sebagaimana ketentuan Pasal 9 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 yang menyebutkan, ”Pendirian yayasan sebagaimana dimaksud dalam, ayat (1) dilakukan dengan akta Notaris dan dibuat dalam bahasa Indonesia”. Hal tersebut berarti bahwa apabila pendirian yayasan tidak dilakukan dengan akta notaris, maka perbuatan hukum tersebut bukan perbuatan hukum pendirian yayasan sebagaimana dimaksud dalam UU Yayasan, dan oleh karena itu perbuatan hukum tersebut tidak melahirkan yayasan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa akta notaris merupakan syarat mutlak bagi adanya yayasan.
Selanjutnya dalam Pasal 9 ayat (3) dinyatakan bahwa Yayasan dapat didirikan berdasarkan surat wasiat. Hal ini berarti bahwa surat wasiat dimaksud harus merupakan surat wasiat terbuka yang dibuat di hadapan notaris Indonesia. Oleh karena itu pendirian Yayasan tidak dapat dilakukan berdasarkan surat wasiat holograf (surat wasiat yang seluruhnya ditulis dengan tangan oleh pembuat wasiat) atau dengan surat wasiat rahasia. Hal ini karena kedua surat wasiat yang disebutkan terakhir bukan merupakan akta notaris melainkan akta di bawah tangan yang dideponir pada kantor notaris. Jadi, setelah adanya perubahan akta dalam pendirian Yayasan harus tunduk pada ketentuan UU Yayasan dengan tidak mengenal adanya nama pemilik Yayasan kecuali pembina, pendiri, pengurus, dan pengawas Yayasan.
KESIMPULAN
Akibat hukum perubahan akta pendirian hukum Yayasan setelah keluarnya UU Yayasan tersebut, maka Yayasan dapat diakui sebagai badan hukum dan dapat menggunakan kata “Yayasan” di depan nama khusus. Terhadap kepengurusan pembina dilarang merangkap jabatan lain, perubahan AD hanya dilakukan melalui keputusan rapat pembina yang dihadiri paling sedikit 2/3 (dua pertiga) dari keseluruhan anggota, mengangkat dan memberhentikan anggota pengurus, menetapkan kebijakan umum Yayasan berdasarkan AD, pengesahan program kerja dan rancangan anggaran tahunan, penetapan khusus mengenai penggabungan dan pembubaran Yayasan. Terhadap hak-hak kepengurusan baik pembina, pengurus, dan pengawas, dilarang menerima atau mengambil kekayaan Yayasan baik yang bukan haknya baik secara langsung maupun tidak langsung. Terhadap ruang lingkup bidang usaha hanya diperbolehkan bergerak di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Lahirnya dinyatakan setelah pengesahan akta pendirian dan beakhir dalam waktu tertentu, dan ada juga sepanjang masa, sesuai dengan ketentuan dalam akta pendiriannya. Terhadap modal Yayasan memiliki kekayaan yang dipisahkan dengan kekayaan pembina, pengurus, dan pengawas. Diharapkan dalam peraturan pelaksana UU Yayasan yakni PP Nomor 63 Tahun 2008 dicantumkan kewajiban yang membuat laporan kepada masyarakat luas hanyalah bagi Yayasan yang didirikan oleh pemerintah ataupun yang kekayaannya berasal dari negara dan yayasan yang mengelola dana masyarakat luas. Sedangkan bagi Yayasan mengelola kekayaan yang berasal dari pribadi pendirinya ataupun sumber keuangan dari perusahaan pribadi pendirinya tidak perlu membuat laporan secara luas.