Kamis, 07 Maret 2013

METODE PENEMUAN HUKUM DENGAN INTERPRETASI TERHADAP TEKS HUKUM SEBAGAI SEBUAH TELAAH FILSAFAT HUKUM

METODE PENEMUAN HUKUM DENGAN INTERPRETASI TERHADAP TEKS HUKUM SEBAGAI SEBUAH TELAAH FILSAFAT HUKUM

Oleh: Bisdan Sigalingging, SH, MH
Dosen Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa Medan

A.    Pendahuluan
Hanya dalam kepastian berkeadilan manusia mampu untuk mengaktualisasikan segala potensi kemanusiannya secara wajar dan baik. Oleh sebab itu, manusia mempuyai kecenderungan dan kebutuhan akan kepastian dan keadilan. Salah satu fungsi dari hukum ialah sebagai alat untuk menciptakan kepastian dan keadilan tersebut. Upaya yang semestinya dilakukan guna menciptakan kepastian dan keadilan ialah hukum harus dilaksanakan secara layak. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara damai, normal tetapi dapat terjadi pula karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar tersebut haruslah ditegakkan, dan diharapkan dalam penegakan hukum inilah hukum tersebut menjadikan kenyataan sehingga ketertiban berkeadilan terwujud.
Tanpa kepastian hukum, orang tidak mengetahui apa yang harus diperbuat yang pada akhirnya akan menimbulkan keresahan. Akan tetapi terlalu menitikberatkan pada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati peraturan hukum akibatnya juga akan kaku serta tidak menutup kemungkinan akan dapat menimbulkan rasa ketidakadilan. Apapun yang terjadi peraturannya adalah demikian dan harus ditaati dan dilaksanakan.
Undang-undang itu sering terasa kejam apabila dilaksanakan secara ketat (lex dura sed tamen scripta). Berbicara tentang hukum pada umumnya, masyarakat umumnya hanya melihat kepada peraturan hukum dalam arti kaidah atau peraturan perundang-undangan, terutama bagi para praktisi. Sedang kita sadar bahwa undang-undang itu tidaklah sempurna, undang-undang tidaklah mungkin dapat mengatur segala kegiatan kehidupan manusia secara tuntas. Ada kalanya undang-undang itu tidak lengkap atau ada kalanya undang-undang tersebut tidak jelas. Dalam hal terjadinya pelanggaran undang-undang, penegak hukum (khususnya Hakim) harus melaksanakan atau menegakkan undang-undang.
Hakim tidak dapat dan tidak boleh menangguhkan atau menolak menjatuhkan putusan dengan alasan karena hukumnya tidak lengkap atau tidak jelas. Hakim dilarang menolak menjatuhkan putusan dengan dalih tidak sempurnanya undang-undang dan alasan karena undang-undang yang mengatur akan peristiwa kongkrit tidak lengkap ataupun tidak jelas, maka dalam hal ini penegak hukum (Hakim) haruslah mencari, menggali, dan mengkaji hukumnya, Hakim harus menemukan hukumnya dengan jalan melakukan penemuan hukum (rechtsvinding).
Penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh Hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa hukum yang kongkrit. Hal ini merupakan proses kongkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa kongkrit.

B.     Permasalahan
Terdapat beberapa aliran dan metode-metode dalam penemuan hukum, namun dalam makalah ini tidak akan membahas secara mendalam tentang aliran-aliran (mazhab) dalam penemuan hukum tersebut, melainkan hanya ingin mengkaji bagaimanakah interpretasi terhadap teks hukum dalam perspektif filsafat hukum sebagai metode penemuan hukum baru?

C.    Pembahasan
1.      Pengertian Interpretasi Terhadap Teks Hukum
Interpretasi terhadap teks dikenal dengan istilah “hermeneutika” atau “hermeneutica”. Supaya tidak terjadi distorsi pemaknaan sejarah hermeneutika, maka perlu dibahas kronologi asal-usul kata hermeneutika tersebut. Secara etimologis kata “hermeneutika” berasal dari bahasa Yunani. Kata kerjanya “hermeneuein” yang berarti “menafsirkan” atau “menginterpretasi”. Kata bendanya “hermenia” yang berarti “penafsiran” atau “interpretasi”. Dari kata kerja hermeneuein, dapat ditarik tiga makna dasar dalam pengertian aslinya, yaitu: (1) mengungkapkan kata-kata, misalnya “to say”; (2) menjelaskan, seperti menjelaskan sebuah situasi; (3) menerjemahkan, seperti di dalam transliterasi bahasa asing. Ketiga-tiga makna itu bisa diwakilkan dengan bentuk kata kerja Inggris “to interpret”, namun masing-masing dari ketiga makna tersebut membentuk sebuah makna yang independen dan signifikan bagi interpretasi.
Pada mitologi Yunani kuno, kata hermeneutika merupakan derivasi dari kata Hermes, yaitu seorang dewa yang bertugas menyampaikan dan menjelaskan pesan (message) dari Sang Dewa kepada manusia. Menurut versi mitos lain, Hermes adalah seorang utusan yang memiliki tugas menafsirkan kehendak dewata dengan bantuan kata-kata manusia. Pengertian dari mitologi ini kerapkali dapat menjelaskan pengertian hermeneutika teks-teks kitab suci, yaitu menafsirkan kehendak Tuhan sebagaimana terkandung di dalam ayat-ayat kitab suci. Dapat disimpulkan bahwa hermeneutika adalah ilmu dan seni menginterpretasikan (the art of interpretation) suatu teks/kitab suci. Sedangkan dalam perspektif filosofis, hermeneutika merupakan aliran filsafat yang mempelajari hakikat hal mengerti atau memahami sesuatu. Sesuatu yang dimaksud di sini dapat berupa teks, naskah-naskah kuno, peristiwa, pemikiran dan kitab suci, yang kesemua hal ini adalah merupakan objek penafsiran hermeneutika.
Menurut B. Arief Sidharta, asal mula pengembangan hermeneutika dikembangkan sebagai metode atau seni untuk menafsirkan teks. Kemudian lewat karya Scleiermacher dan Wilhelm Dilthey mengembangkan dan menggunakan hermeneutika sebagai metode untuk ilmu-ilmu manusia, khususnya ilmu sejarah. Akhirnya, lewat karya Hegel dan karya Heidegger, Gadamer mengembangkan hermeneutika sebagai landasan kefilsafatan ilmu-ilmu manusia dalam bukunya “Truth and Method”. Gadamer menyisishkan paragrap khusus dengan judul “the exemplary significance of legal hermeneutics” yang intinya berbicara mengenai signifikansi hermeneutika hukum. Kemudian dalam karya Heidegger dan karya Gadamer, hermeneutika sebagai metode dikembangkan menjadi filsafat hermeneutika yang berintikan konsep-konsep kunci berikut: pendidikan (bildung), tradisi (ueberliefrung), prasangka (vorurteil), pemahaman (verstehen), lingkaran hermeneutika (hermeneutische zirkel), pengalaman (erfahrung), sejarah pengaruh (wirkungsgeschichte), kesadaran sejarah pengaruh (effective historical conciousness), dan perpaduan cakrawala (fusion of horizons).
Makna hermeneutika apabila diintegrasikan ke dalam hukum, maka yang dimaksud dengan hermeneutika hukum, sebagaimana yang didefinisikan oleh Gregory Leyh dalam buku “Legal Hermeneutics: History, Theory and Practice”, dimana Gregory mengutip pendapat Gadamer yang menyatakan bahwa hermeneutika hukum bukanlah merupakan suatu kasus yang khusus, tetapi ia hanya merekonstruksikan kembali dari seluruh problema hermeneutika dan kemudian membentuk kembali kesatuan hermeneutika secara utuh, dimana ahli hukum dan teologi bertemu dengan para ahli humaniora.
Jazim Hamidi, menjelaskan bahwa untuk mengetahui definisi hermeneutika hukum itu seperti apa, dapat dikaji kembali kepada definisi hermeneutika secara umum di atas. Dari sini dapat ditarik definisi hermeneutika hukum adalah ajaran filsafat mengenai hal mengerti/memahami sesuatu, atau sebuah metode interpretasi terhadap teks dimana metode dan teknik menafsirkannya dilakukan secara holistik dalam bingkai keterkaitan antara teks, konteks, dan kontekstualisasi. Teks tersebut bisa berupa teks hukum, peristiwa hukum, fakta hukum, dokumen resmi negara, naskah kuno atau kitab suci.
Fungsi dan tujuan dari hermeneutika hukum menurut James Robinson adalah untuk memperjelas sesuatu yang tidak jelas supaya lebih jelas. Sedangkan menurut Greogry, tujuan hermeneutika hukum adalah untuk menempatkan perdebatan kontemporer tentang interpretasi hukum didalam kerangka hermeneutika pada umumnya. Secara filosofis, sebagaimana dijelaskan oleh Gadamer, hermeneutika hukum mempuyai tugas ontologis yaitu menggambarkan hubungan yang tidak dapat dihindari antara teks dan pembaca, masa lalu dan masa sekarang, yang memungkinkan untuk memahami kejadian yang pertama kali (genuine).
Pentingnya kajian hermeneutika hukum ini, dimaksudkan tidak hanya akan membebaskan kajian-kajian hukum dari otoritarianisme para yuris positif yang elitis, tetapi juga dari kajian-kajian hukum kaum strukturalis atau behaviorial yang terlalu empirik sifatnya. Kajian hermeneutika hukum juga telah membuka kepada para pengkaji hukum untuk tidak hanya berkutat pada pradigma positivisme dan metode logis formal saja. Tetapi sebaliknya hermeneutika hukum menganjurkan agar para pengkaji hukum menggali dan meneliti makna-makna hukum dari perspektif para pengguna dan atau para pencari keadilan.
2.      Hermeneutika Hukum Sebagai Metode Penemuan Hukum dengan Interpretasi Teks Hukum
Kajian hermeneutika hukum mempuyai dua makna sekaligus. Pertama, hermeneutika hukum dapat dipahami sebagai metode interpretasi atas teks-teks hukum. Dimana interpretasi yang benar terhadap teks hukum itu harus selalu berhubungan dengan isi (kaidah hukumnya), baik yang tersurat maupun yang tersirat, atau antara bunyi hukum dan semangat hukum. Menurut Gadamer ada tiga syarat yang harus dipenuhi oleh seorang penafsir yaitu: memenuhi subtilitas intelegendi (ketepatan pemahaman), subtilitas explicandi (ketepatan penjabaran), dan subtilitas applicandi (ketepatan penerapan). Maka tidak berlebihan jika para pakar hukum, ilmu sosial dan filsafat beranggapan bahwa hermeneutika hukum merupakan alternatif yang tepat dan praktis untuk memahami naskah normatif.
Kedua, hermeneutika hukum juga mempuyai pengaruh besar dengan teori penemuan hukum. Hal ini ditunjukkan dalam kerangka lingkaran spiral hermeneutika, yaitu proses timbal balik antara kaidah-kaidah dan fakta-fakta. Karena dalil hermeneutika menjelaskan bahwa orang harus mengkualifikasi fakta-fakta dalam bingkai kaidah-kaidah dan menginterpretasi kaidah-kaidah dalam bingkai fakta-fakta. Hermeneutika sebagai metode penemuan hukum melalui interpretasi teks hukum selalu menjadi diskursus utama dalam setiap kajian hermeneutika hukum. Hal ini tidak terlepas dari substansi filsafat hermeneutika adalah tentang hakikat hal mengerti atau memahami sesuatu, yakni refleksi kefilsafatan yang menganalisis syarat-syarat kemungkinan bagi semua pengalaman dan pergaulan manusiawi dengan kenyataan, termasuk peristiwa mengerti dan/atau interpretasi.
Menurut B. Arief Sidharta, dalam filsafat hermeneutika khususnya pada peristiwa memahami atau menginterpretasi sesuatu, subyek (interpretator) tidak dapat memulai upayanya dengan mendekati obyek pemahamannya sebagai tabula rasa (tidak bertolak dari titik nol). Sebab setiap orang terlahir ke dalam suatu dunia produk sejarah yang selalu menjalani proses menyejarah terus menerus, yakni tradisi yang bermuatan nilai-nilai, wawasan-wawasan, pengertian-pengertian, asas-asas, arti-arti, kaidah-kaidah, pola-pola perilaku dan sebagainya, yang terbentuk dan berkembang oleh dan dalam perjalanan sejarah. Jadi, tiap subyek, terlepas dan tidak tergantung dari kehendaknya sendiri, selalu menemukan dirinya sudah berada dalam suatu tradisi yang sudah ada sebelum ia dilahirkan dan ia menemukan dirinya sudah ada di situ.
Lewat proses interaksi dengan dunia sekelilingnya, tiap orang menyerap atau diresapi muatan tradisi tersebut, dan dengan itu membentuk pra-pemahaman terhadap segala sesuatu, yakni prasangka berupa putusan yang diberikan sebelum semua unsur yang menentukan sesuatu atau suatu situasi ditelaah secara tuntas, dan dengan itu juga terbentuk cakrawala pandang, yakni medan pengamatan (range of vision) yang memuat semua hal yang tampak dari sebuah titik pandang subyektif tertentu. Pra pemahaman dan cakrawala pandang itu akan menentukan persepsi individual terhadap segala sesuatu yang tertangkap dan teregistrasi dalam wilayah pandang pengamatan individu yang bersangkutan. Dalam dinamika proses insterpretasi, pra-pemahaman dan cakrawala pandang dapat mengalami pergeseran, dalam arti meluas, melebar dan meningkat derajat kedalamannya. Pergeseran ini dapat mengubah pengetahuan subyek, karena akan dapat memunculkan hal-hal baru dan aspek-aspek baru dari hal-hal yang tertangkap dalam cakrawala pandang.
Proses interpretasi itu berlangsung dalam proses lingkaran pemahaman yang disebut lingkaran hermeneutik (hermeneutische zirkel), yakni gerakan bolak-balik antara bagian atau unsur-unsur dan keseluruhan sehingga terbentuk pemahaman yang utuh. Dalam proses pemahaman ini, tiap bagian hanya dapat dipahami secara tepat dalam konteks keseluruhan, sebaliknya keseluruhan ini hanya dapat dipahami berdasarkan pemahaman atas bagian-bagian yang mewujudkannya. Lingkaran pemahaman ini dimungkinkan, karena pada diri interpretator sudah ada cakrawala pandang dan pra-pemahaman yang terbentuk lewat interaksi dengan tradisi yang didalamnya ia menjalani kehidupan. Bertolak dari pra-pemahaman dalam kerangka cakrawala pandangnya tentang interpretandum (ihwal yang mau dipahami) sebagai suatu keseluruhan, interpretator berusaha menemukan makna dari bagian-bagian lalu berdasarkan pemahaman atas bagian-bagian tersebut dalam hubungan antara yang satu dengan yang lainnya berupaya memahami interpretandum, hasilnya disorotkan pada bagian-bagian guna memperoleh pemahaman yang lebih tepat untuk kemudian hasilnya disorotkan balik pada keseluruhan, dan demikian seterusnya sampai tercapai suatu pemahaman yang utuh dan tepat.
Filsafat hermeneutika memberikan landasan kefilsafatan (ontologikal dan epsitemologikal) pada ilmu hukum, atau filsafat ilmu dari ilmu hukum. Sebab, dalam mengimplementasikan ilmu hukum untuk menyelesaikan suatu masalah hukum, misalnya di pengadilan, kegiatan interpretasi itu tidak hanya dilakukan terhadap teks yuridis, melainkan juga terhadap kenyataan yang menimbulkan masalah hukum yang bersangkutan (misalnya menetapkan fakta-fakta yang relevan dan makna yuridikalnya).
Pengembangan ilmu hukum berintikan kegiatan menginterpretasi teks yuridik untuk mendistilasi atau mengekstraksi kaidah hukum yang (secara implisit) ada pada teks yuridik tersebut dan dengan itu menetapkan makna dan wilayah penerapannya. Antara ilmuwan hukum (interpretator) dan teks yuridik itu terdapat jarak waktu. Teks yuridis adalah produk pembentuk hukum untuk menetapkan perilaku apa yang seyogianya dilakukan atau tidak dilakukan orang yang berada dalam situasi tertentu karena hal itu oleh pembentuk hukum dipandang merupakan tuntutan ketertiban berkeadilan. Jadi, terbentuknya teks yuridis itu terjadi dalam kerangka cakrawala pandang pembentuk hukum berkenaan dengan kenyataan kemasyarakatan yang dipandang memerlukan pengaturan hukum dengan mengacu cita-cita hukum yang dianut dan hidup dalam masyarakat. Upaya mendistilasi kaidah hukum dari dalam teks yuridis dengan menginterpretasi teks tersebut, interpretator tidak dapat lain kecuali dalam kerangka pra-pemahaman dan cakrawala pandangnya dengan bertolak dari titik berdirinya sendiri, jadi terikat pada waktu yang didalamnya interpretsi itu dilakukan.
Dengan demikian, pada setiap interpretasi teks yuridik terjadi proses lingkaran hermeneutik yang didalamnya berlangsung pertemuan antara dua cakrawala pandang, yakni cakrawala dari interpretandum (teks yuridis) dan cakrawala dari interpretator. Perpaduan cakrawala tersebut dapat menghasilkan pemahaman baru pada interpretator tentang kaidah hukum yang terkandung dalam teks yuridik itu. Subyektivitas dari hasil interpretasi itu akan dapat dikurangi hingga ketingkat yang paling minimal, karena pertama-tama kegiatan interpretasi itu harus selalu mengacu cita hukum (keadilan, kepastian hukum, kehasilgunaan), nilai-nilai kemanusiaan yang fundamental dan sistem hukum yang berlaku. Kedua, produk interpretasi selalu terbuka bagi pengkajian rasional terhadap argumentasi yang melandasi produk interpretasi tersebut oleh forum hukum dengan cita hukum, nilai-nilai kemanusiaan yang fundamental dan sistem hukum sebagai kriteria pengujinya. Jadi, lewat berbagai perpaduan cakrawala dalam dialog rasional dalam forum hukum dapat diharapkan akan dihasilkan produk interpretasi yang paling akseptabel, yakni secara rasional dapat dipertanggungjawabkan karena kekuatan argumentasinya, sehingga memiliki keberlakuan intersubyektif.
Menurut Fahruddin Faiz, hermeneutika berusaha menggali makna dengan mempertimbangkan horison/cakrawala yang melingkupi teks. Horison yang dimaksud adalah horison teks, horison pengarang dan horison pembaca. Dengan memperhatikan ketiga horison tersebut, diharapkan suatu upaya pemahaman atau penafsiran menjadi kegiatan rekonstruksi dan reproduksi makna teks, di samping melacak bagaimana suatu teks itu dilahirkan oleh pengarangnya dan muatan apa yang masuk atau ingin dimasukkan oleh pengarang kedalam teks yang dibuatnya. Selain dari itu seorang interpretator senantiasa berusaha melahirkan kembali makna tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi saat teks tersebut dibaca atau dipahami. Simpulan yang bisa diambil adalah sebagai sebuah metode penemuan makna teks, hermeneutika harus selalu memperhatikan tiga komponen pokok, yaitu teks, konteks, kemudian upaya kontekstualisasi.
Pada proses penemuan hukum (rechtsvinding), perlu dibedakan dua hal yaitu mengenai tahap sebelum pengamblan putusan (ex ante) dan tahap sesudah pengambilan putusan (ex post). Dalam perspektif teori penemuan hukum modern, yang terjadi sebelum pengambilan putusan disebut “heuristika”, yaitu proses mencari dan berfikir yang mendahului tindakan pengambilan putusan hukum. Pada tahap ini berbagai argument pro-kontra terhadap suatu putusan tertentu ditimbang-timbang antara yang satu dengan yang lain, kemudian ditemukan makna yang tepat.
Penemuan hukum yang terjadi sesudah putusan disebut “legitimasi”, dan legitimasi selalu berkenaan dengan pembenaran dari putusan yang sudah diambil. Pada tahap ini putusan diberi motivasi (pertimbangan) da argumentasi secara substansial, dengan cara menyusun suatu penalaran yang secara rasional dapat dipertanggungjawabkan. Apabila suau putusan hukum tidak bisa diterima oleh forum hukum, maka berarti putusan itu tidak memperoleh legitimasi. Konsekuensinya, premis-premis yang baru harus diajukan, dengan tetap berpegang pada penalaran ex ante, untuk menyakinkan forum hukum tersebut agar putusan tersebut dapat diterima. Disinilah pentingnya hermeneutika hukum berperan sekaligus digunakan oleh para hakim pada saat menemukan hukum.
Penemuan hukum oleh Hakim tidak semata-mata hanya penerapan peraturan-peraturan hukum terhadap peristiwa konkrit, tetapi sekaligus penciptaan hukum dan pembentukan hukumnya. Menurut Gadamer, metode hermeneutika hukum pada hakikatnya sangat berguna, ketika seorang hakim menganggap dirinya berhak untuk menambah makna orisinal dari teks hukum. Bahkan menurut Charter, pengalaman Hakim pada saat menemukan hukum dalam praktek dipengadilan memberikan dukungan bagi konsepsi pragmatis dan interpretasinya. Oleh karena itulah hermeneutika hukum berfungsi sebagai metode untuk interpretasi atas teks hukum/peraturan perundangan yang dijadikan dasar pertimbangannya serta interpretasi atas peristiwa dan fakta akan sangat membantu Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara dipengadilan.
Memperjelas penerapan hermeneutika hukum dalam aras praksis, dalam makalah ini akan dipaparkan putusan pengadilan di Amerika sebagai ilustrasi dalam penerapan metode hermeneutika hukum oleh Hakim dipengadilan. Putusan tersebut adalah putusan pengadilan kasus Marbury versus Madison (1803). Putusan terhadap kasus Marbury versus Madison ini, menandai lahirnya lembaga “Judicial Review, untuk pertama kalinya dalam tatanan sistem hukum di Amerika Serikat. Dimana dalam kasus ini John Marshal selaku Chief of Justice dari Supreme Court, telah menolak untuk mengeluarkan writ of mandamus, yaitu suatu perintah pengadilan kepada pejabat pemerintah untuk melakukan perbuatan tertentu yang merupakan salah satu kewajiban dari pejabat tersebut, yang dituntut oleh William Marbury kepada James Madison selaku secretary of state. Alasannya, dasar hukum penuntutan hak tersebut yaitu pasal 13 judicial act (UU Kekuasaan Kehakiman) tahun 1789 yang dirumuskan oleh kongres, dianggap menambahkan kewenangan supreme court dari kewenangan yang tercantum dalam konstitusi Amerika Serikat. Oleh karena itu, ketentuan tersebut adalah inkonstitutional dan tidak sah. Sebab, undang-undang tidak bisa mengubah konstitusi yang merupakan “the supreme law of the land” (asas lex superior derogate leg inferiori).
Doktrin judicial review memperoleh kekuatan hukum ketika John Marshal memutuskan kasus Marbury versus Madison tersebut pada bulan Februrai 1803, dengan mengatakan bahwa:
It one of the purpose of written constitution to define and limit the powers of the legislature. The legislature cannot be permittes to pass statutes contrary to a constitution, if the letter is to prevail as superior law. A court avoid choosting between the constitution and a conflicting statute when both are relevant to a case which the court is asked to decide. Since the constitution is paramount law, judges have no choise but to prefer it to refuse to give effect to the latter.
Sebenarnya dibalik kasus itu sarat dengan muatan politis, meskipun jika dilihat dari posisi kasus yang sebenarnya sekedar merupakan sengketa kepentingan antara Marbury (sebagai Penggugat) dan Madison (sebagai Tergugat). Tetapi John Marshall tahu bahwa dibalik sengketa itu tersembuyi masalah yang lebih besar dan menyangkut kepentingan rakyat banyak. Dalam usahanya memberikan putusan yang tepat, Marshall menalar secara hermeneutika. Premis yang muncul berdasarkan penalaran secara hermeneutika (premis tak terberi), antara lain:
a.       Masa lalu: masalah itu muncul karena kelalaian Jhon Marshall sendiri.
b.      Masa kini: ada perseteruan politik antara partai republik (Thomas Jefferson) dengan partai federalis (John Adam).
c.       Masa depan: kemungkinan muncul konflik terbuka antara lembaga kepresidenan dengan supreme court, bila tuntutan Marbury dikabulkan, yang bisa membahayakan keutuhan nasional.
Dengan dalih mempertimbangkan dan menyelaraskan ketiga kepentingan di atas, John Marshall dalam putusannya berusaha mencari titik temu dalam kasus tersebut dengan cara mendialogkan antara konstitusi Amerika Serikat, judicial act, fakta yuridis, kondisi sosial politik, serta kepentingan dirinya dan lembaga yang dia pimpin. Pertimbangan yang dia lakukan itu merupakan pertimbangan atas dasar nilai, dan keputusan yang dia ambil merupakan wujud dari kebijaksanaannya.
Menurut analisa Samuel Jaya Kusuma, keputusan akhir bahwa judicial act adalah inkonstitusional itu muncul secara heuristika. Mengapa, karena kesimpulan ini merupakan suatu pengembangan (inovasi) secara kreatif dari asas “lex superior derogate leg inferiori”. Selain itu pula diperkuat dengan interpretasi hermeneutika atas lafal sumpah jabatannya sebagai hakim dengan asas “ius curia novit” dan pada akhirnya dapat memperjelas maksud konstitusi. Akibatnya lahir suatu temuan baru dibidang hukum berupa lembaga judicial review, yang keberadaannya diakui di AS hingga sekarang. Penemuan hukum dengan perspektif hermeneutika yang spektakuler ini, bisa muncul berkat “cakrawala pandang yang luas” dari Hakim Marshall. Penemuan hukum seperti ini juga membuktikan bahwa supreme court lewat hakim Marshall ini tidak sekedar bertindak sebagai corong undang-undang, tapi telah sanggup menemukan dan membentuk nilai hukum baru. Pada akhirnya, setelah mendapat pengakuan dari forum hukum dan masyarakat, temuannya itu menjadi suatu asas hukum yang mempuyai kekuatan sebagai preseden, karena “ratio decidendi”-nya yang akseptabel.
Hermeneutika hukum mempunyai relevansi dengan teori penemuan hukum, yang ditampilkan dalam kerangka pemahaman proses timbal balik antara kaedah-kaedah dan fakta-fakta. Dalil hermeneutika menjelaskan bahwa orang harus mengkualifikasi fakta-fakta dalam cahaya kaedah-kaedah dan mengintepretasi kaedah-kaedah dalam cahaya fakta-fakta termasuk paradikma dari teori penemuan hukum modern saat ini. Jadi hermeneutika hukum dapat dipahami sebagai metode interpretasi tek hukum atau metode memahami terhaap suatu naskah normatif.
Peristiwa hukum maupun peraturan perundang-undangan tidak semata-mata dilihat atau ditafsirkan dari aspek legal formal berdasarkan bunyi teksnya semata, tetapi juga harus dilihat dari faktor-faktor yang melatar belakangi peristiwa atau sengketa yang muncul, apa akar masalahnya adakah intervensi politik (atau intervensi lainnya) yang melahirkan dikeluarkan suatu putusan, serta tindakkan dampak dari putusan itu dipikirkan bagi proses penegakan hukum dan keadilan di kemudian hari.
Praktik di peradilan tampaknya metode hermeneutika hukum ini tidak banyak atau jarang sekali di pergunakan sebagai metode penemuan hukum. Hal ini disebabkan karena dominannya metode interptestasi dan kontruksi hukum yang sudah sangat mengakar dalam praktek di Peradilan Indonesia. Mungkin juga para hakim belum begitu familiar dengan metode hermeneutika ini sehingga tidak menggunakannya dalam penemuan hukum. Padahal metode ini dianggap paling baik sebab ia merupakan sutau metode menginterpretasikan tek hukum yang tidak semata-mata melihat teknya saja, tetapi juga kontek-kontek hukum itu dilahirkan serta bagaimana kontektualisasi atau penerapan hukumnya dimasa kini dan masa mendatang.
Penggunaan dan penerapan hermeneutika hukum sebagai teori dan metode penemuan hukum baru akan sangat membantu para hakim dalam memeriksa serta memutus perkara yang diadilinya. Kelebihan metode hermeneutika hukum terletak pada cara dan lingkup interpretasinya yang tajam, mendalam dan holistik dalam bingkai keastuan antara teks, kontek dan kontektualisasinya.

D.    Penutup
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.      Hermeneutika hukum adalah ajaran filsafat mengenai hal mengerti/memahami sesuatu, atau sebuah metode interpretasi terhadap teks dimana metode dan teknik menafsirkannya dilakukan secara holistik dalam bingkai keterkaitan antara teks, konteks, dan kontekstualisasi. Teks tersebut bisa berupa teks hukum, peristiwa hukum, fakta hukum, dokumen resmi negara, naskah kuno atau kitab suci.
2.      Filsafat hermeneutika adalah filsafat tentang hakikat hal mengerti atau memahami sesuatu, yakni refleksi kefilsafatan yang menganalisis syarat-syarat kemungkinan bagi semua pengalaman dan pergaulan manusiawi dengan kenyataan, termasuk peristiwa mengerti dan/atau interpretasi. Pada peristiwa memahami atau menginterpretasi sesuatu, subyek (interpretator) tidak dapat memulai upayanya dengan mendekati obyek pemahamannya sebagai tabula rasa (tidak bertolak dari titik nol). Sebab setiap orang terlahir kedalam suatu dunia produk sejarah yang selalu menjalani proses menyejarah terus menerus, yakni tradisi yang bermuatan nilai-nilai, wawasan-wawasan, pengertian-pengertian, asas-asas, arti-arti, kaidah-kaidah, pola-pola perilaku dan sebagainya, yang terbentuk dan berkembang oleh dan dalam perjalanan sejarah.
3.      Interpretasi teks yuridik berlangsung dalam proses lingkaran pemahaman yang disebut lingkaran hermeneutik (hermeneutische zirkel), yakni gerakan bolak-balik antara bagian atau unsur-unsur dan keseluruhan sehingga terbentuk pemahaman yang utuh. Dalam proses pemahaman ini, tiap bagian hanya dapat dipahami secara tepat dalam konteks keseluruhan, sebaliknya keseluruhan ini hanya dapat dipahami berdasarkan pemahaman atas bagian-bagian yang mewujudkannya. Dengan demikian, pada setiap interpretasi teks yuridis berlangsung pertemuan antara dua cakrawala pandang, yakni cakrawala dari interpretandum (teks yuridis) dan cakrawala dari interpretator. Perpaduan cakrawala tersebut dapat menghasilkan pemahaman baru pada interpretator tentang kaidah hukum yang terkandung dalam teks yuridik itu.
Sedangkan saran terhadap beberapa kesimpulan tersebut di atas sebagai berikut:
  1. Hermeneutika hukum penting digunakan oleh para hakim pada saat menemukan hukum. Penemuan hukum oleh Hakim tidak semata-mata hanya penerapan peraturan-peraturan hukum terhadap peristiwa konkrit, tetapi sekaligus penciptaan hukum dan pembentukan hukumnya. Metode hermeneutika hukum berguna, ketika seorang hakim menganggap dirinya berhak untuk menambah makna orisinal dari teks hukum. Oleh karena itulah hermeneutika hukum diharapkan berfungsi sebagai metode untuk interpretasi atas teks hukum/peraturan perundangan yang dijadikan dasar pertimbangannya serta interpretasi atas peristiwa dan fakta akan sangat membantu Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara dipengadilan.
  2. Sebagai sebuah metode penemuan makna teks, hermeneutika harus selalu memperhatikan tiga komponen pokok, yaitu teks, konteks, kemudian upaya kontekstualisasi.




DAFTAR PUSTAKA

Faiz, Fahruddin, Hermeneutika Qur’ani: Antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi, Yogyakarta: Qalam, 2002.
Hamidi, Jazim, Hermeneutika Hukum, Yogyakarta: UII Press: 2005.
Kusuma, Samuel Jaya, Proses Penemuan Hukum Dalam Perspektif Hermeneutika Hukum, Skripsi pada Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 2002.
Manan, Abdul, “Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Praktek Hukum Acara Di Peradilan Agama”, Makalah disampaikan pada acara Rakernas Mahkamah Agung RI, Tanggal 10 s/d 14 Oktober 2010, di Balikpapan, Kalimantan Timur.
Mertokusumo, Sudikno, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 2009.
Nasr, Sayyed Hossein, Knowledge and The Secred, New York: State University Press, 1989.
Sahidah, Ahmad, Kebenaran dan Metode, Pengantar Filsafat Hermeneutika, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1965.
Sidharta, B. Arief, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Bandung: Mandar Maju, 1999.
______“Hermeneutik: Landasan Kefilsafatan Ilmu Hukum“, Makalah dalam Bahan Kuliah pada Mata Kuliah Filsafat Hukum, Program Doktor (S3) Ilmu Hukum UII Yogyakarta, Tahun 2007.
www.badilag.net.



METODE PENEMUAN HUKUM DENGAN INTERPRETASI TERHADAP TEKS HUKUM SEBAGAI SEBUAH TELAAH FILSAFAT HUKUM

Oleh: Bisdan Sigalingging, SH, MH
Dosen Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa Medan

A.    Pendahuluan
Hanya dalam kepastian berkeadilan manusia mampu untuk mengaktualisasikan segala potensi kemanusiannya secara wajar dan baik. Oleh sebab itu, manusia mempuyai kecenderungan dan kebutuhan akan kepastian dan keadilan. Salah satu fungsi dari hukum ialah sebagai alat untuk menciptakan kepastian dan keadilan tersebut. Upaya yang semestinya dilakukan guna menciptakan kepastian dan keadilan ialah hukum harus dilaksanakan secara layak. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara damai, normal tetapi dapat terjadi pula karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang telah dilanggar tersebut haruslah ditegakkan, dan diharapkan dalam penegakan hukum inilah hukum tersebut menjadikan kenyataan sehingga ketertiban berkeadilan terwujud.
Tanpa kepastian hukum, orang tidak mengetahui apa yang harus diperbuat yang pada akhirnya akan menimbulkan keresahan. Akan tetapi terlalu menitikberatkan pada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati peraturan hukum akibatnya juga akan kaku serta tidak menutup kemungkinan akan dapat menimbulkan rasa ketidakadilan. Apapun yang terjadi peraturannya adalah demikian dan harus ditaati dan dilaksanakan.
Undang-undang itu sering terasa kejam apabila dilaksanakan secara ketat (lex dura sed tamen scripta). Berbicara tentang hukum pada umumnya, masyarakat umumnya hanya melihat kepada peraturan hukum dalam arti kaidah atau peraturan perundang-undangan, terutama bagi para praktisi. Sedang kita sadar bahwa undang-undang itu tidaklah sempurna, undang-undang tidaklah mungkin dapat mengatur segala kegiatan kehidupan manusia secara tuntas. Ada kalanya undang-undang itu tidak lengkap atau ada kalanya undang-undang tersebut tidak jelas. Dalam hal terjadinya pelanggaran undang-undang, penegak hukum (khususnya Hakim) harus melaksanakan atau menegakkan undang-undang.
Hakim tidak dapat dan tidak boleh menangguhkan atau menolak menjatuhkan putusan dengan alasan karena hukumnya tidak lengkap atau tidak jelas. Hakim dilarang menolak menjatuhkan putusan dengan dalih tidak sempurnanya undang-undang dan alasan karena undang-undang yang mengatur akan peristiwa kongkrit tidak lengkap ataupun tidak jelas, maka dalam hal ini penegak hukum (Hakim) haruslah mencari, menggali, dan mengkaji hukumnya, Hakim harus menemukan hukumnya dengan jalan melakukan penemuan hukum (rechtsvinding).
Penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh Hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa hukum yang kongkrit. Hal ini merupakan proses kongkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa kongkrit.

B.     Permasalahan
Terdapat beberapa aliran dan metode-metode dalam penemuan hukum, namun dalam makalah ini tidak akan membahas secara mendalam tentang aliran-aliran (mazhab) dalam penemuan hukum tersebut, melainkan hanya ingin mengkaji bagaimanakah interpretasi terhadap teks hukum dalam perspektif filsafat hukum sebagai metode penemuan hukum baru?

C.    Pembahasan
1.      Pengertian Interpretasi Terhadap Teks Hukum
Interpretasi terhadap teks dikenal dengan istilah “hermeneutika” atau “hermeneutica”. Supaya tidak terjadi distorsi pemaknaan sejarah hermeneutika, maka perlu dibahas kronologi asal-usul kata hermeneutika tersebut. Secara etimologis kata “hermeneutika” berasal dari bahasa Yunani. Kata kerjanya “hermeneuein” yang berarti “menafsirkan” atau “menginterpretasi”. Kata bendanya “hermenia” yang berarti “penafsiran” atau “interpretasi”. Dari kata kerja hermeneuein, dapat ditarik tiga makna dasar dalam pengertian aslinya, yaitu: (1) mengungkapkan kata-kata, misalnya “to say”; (2) menjelaskan, seperti menjelaskan sebuah situasi; (3) menerjemahkan, seperti di dalam transliterasi bahasa asing. Ketiga-tiga makna itu bisa diwakilkan dengan bentuk kata kerja Inggris “to interpret”, namun masing-masing dari ketiga makna tersebut membentuk sebuah makna yang independen dan signifikan bagi interpretasi.
Pada mitologi Yunani kuno, kata hermeneutika merupakan derivasi dari kata Hermes, yaitu seorang dewa yang bertugas menyampaikan dan menjelaskan pesan (message) dari Sang Dewa kepada manusia. Menurut versi mitos lain, Hermes adalah seorang utusan yang memiliki tugas menafsirkan kehendak dewata dengan bantuan kata-kata manusia. Pengertian dari mitologi ini kerapkali dapat menjelaskan pengertian hermeneutika teks-teks kitab suci, yaitu menafsirkan kehendak Tuhan sebagaimana terkandung di dalam ayat-ayat kitab suci. Dapat disimpulkan bahwa hermeneutika adalah ilmu dan seni menginterpretasikan (the art of interpretation) suatu teks/kitab suci. Sedangkan dalam perspektif filosofis, hermeneutika merupakan aliran filsafat yang mempelajari hakikat hal mengerti atau memahami sesuatu. Sesuatu yang dimaksud di sini dapat berupa teks, naskah-naskah kuno, peristiwa, pemikiran dan kitab suci, yang kesemua hal ini adalah merupakan objek penafsiran hermeneutika.
Menurut B. Arief Sidharta, asal mula pengembangan hermeneutika dikembangkan sebagai metode atau seni untuk menafsirkan teks. Kemudian lewat karya Scleiermacher dan Wilhelm Dilthey mengembangkan dan menggunakan hermeneutika sebagai metode untuk ilmu-ilmu manusia, khususnya ilmu sejarah. Akhirnya, lewat karya Hegel dan karya Heidegger, Gadamer mengembangkan hermeneutika sebagai landasan kefilsafatan ilmu-ilmu manusia dalam bukunya “Truth and Method”. Gadamer menyisishkan paragrap khusus dengan judul “the exemplary significance of legal hermeneutics” yang intinya berbicara mengenai signifikansi hermeneutika hukum. Kemudian dalam karya Heidegger dan karya Gadamer, hermeneutika sebagai metode dikembangkan menjadi filsafat hermeneutika yang berintikan konsep-konsep kunci berikut: pendidikan (bildung), tradisi (ueberliefrung), prasangka (vorurteil), pemahaman (verstehen), lingkaran hermeneutika (hermeneutische zirkel), pengalaman (erfahrung), sejarah pengaruh (wirkungsgeschichte), kesadaran sejarah pengaruh (effective historical conciousness), dan perpaduan cakrawala (fusion of horizons).
Makna hermeneutika apabila diintegrasikan ke dalam hukum, maka yang dimaksud dengan hermeneutika hukum, sebagaimana yang didefinisikan oleh Gregory Leyh dalam buku “Legal Hermeneutics: History, Theory and Practice”, dimana Gregory mengutip pendapat Gadamer yang menyatakan bahwa hermeneutika hukum bukanlah merupakan suatu kasus yang khusus, tetapi ia hanya merekonstruksikan kembali dari seluruh problema hermeneutika dan kemudian membentuk kembali kesatuan hermeneutika secara utuh, dimana ahli hukum dan teologi bertemu dengan para ahli humaniora.
Jazim Hamidi, menjelaskan bahwa untuk mengetahui definisi hermeneutika hukum itu seperti apa, dapat dikaji kembali kepada definisi hermeneutika secara umum di atas. Dari sini dapat ditarik definisi hermeneutika hukum adalah ajaran filsafat mengenai hal mengerti/memahami sesuatu, atau sebuah metode interpretasi terhadap teks dimana metode dan teknik menafsirkannya dilakukan secara holistik dalam bingkai keterkaitan antara teks, konteks, dan kontekstualisasi. Teks tersebut bisa berupa teks hukum, peristiwa hukum, fakta hukum, dokumen resmi negara, naskah kuno atau kitab suci.
Fungsi dan tujuan dari hermeneutika hukum menurut James Robinson adalah untuk memperjelas sesuatu yang tidak jelas supaya lebih jelas. Sedangkan menurut Greogry, tujuan hermeneutika hukum adalah untuk menempatkan perdebatan kontemporer tentang interpretasi hukum didalam kerangka hermeneutika pada umumnya. Secara filosofis, sebagaimana dijelaskan oleh Gadamer, hermeneutika hukum mempuyai tugas ontologis yaitu menggambarkan hubungan yang tidak dapat dihindari antara teks dan pembaca, masa lalu dan masa sekarang, yang memungkinkan untuk memahami kejadian yang pertama kali (genuine).
Pentingnya kajian hermeneutika hukum ini, dimaksudkan tidak hanya akan membebaskan kajian-kajian hukum dari otoritarianisme para yuris positif yang elitis, tetapi juga dari kajian-kajian hukum kaum strukturalis atau behaviorial yang terlalu empirik sifatnya. Kajian hermeneutika hukum juga telah membuka kepada para pengkaji hukum untuk tidak hanya berkutat pada pradigma positivisme dan metode logis formal saja. Tetapi sebaliknya hermeneutika hukum menganjurkan agar para pengkaji hukum menggali dan meneliti makna-makna hukum dari perspektif para pengguna dan atau para pencari keadilan.
2.      Hermeneutika Hukum Sebagai Metode Penemuan Hukum dengan Interpretasi Teks Hukum
Kajian hermeneutika hukum mempuyai dua makna sekaligus. Pertama, hermeneutika hukum dapat dipahami sebagai metode interpretasi atas teks-teks hukum. Dimana interpretasi yang benar terhadap teks hukum itu harus selalu berhubungan dengan isi (kaidah hukumnya), baik yang tersurat maupun yang tersirat, atau antara bunyi hukum dan semangat hukum. Menurut Gadamer ada tiga syarat yang harus dipenuhi oleh seorang penafsir yaitu: memenuhi subtilitas intelegendi (ketepatan pemahaman), subtilitas explicandi (ketepatan penjabaran), dan subtilitas applicandi (ketepatan penerapan). Maka tidak berlebihan jika para pakar hukum, ilmu sosial dan filsafat beranggapan bahwa hermeneutika hukum merupakan alternatif yang tepat dan praktis untuk memahami naskah normatif.
Kedua, hermeneutika hukum juga mempuyai pengaruh besar dengan teori penemuan hukum. Hal ini ditunjukkan dalam kerangka lingkaran spiral hermeneutika, yaitu proses timbal balik antara kaidah-kaidah dan fakta-fakta. Karena dalil hermeneutika menjelaskan bahwa orang harus mengkualifikasi fakta-fakta dalam bingkai kaidah-kaidah dan menginterpretasi kaidah-kaidah dalam bingkai fakta-fakta. Hermeneutika sebagai metode penemuan hukum melalui interpretasi teks hukum selalu menjadi diskursus utama dalam setiap kajian hermeneutika hukum. Hal ini tidak terlepas dari substansi filsafat hermeneutika adalah tentang hakikat hal mengerti atau memahami sesuatu, yakni refleksi kefilsafatan yang menganalisis syarat-syarat kemungkinan bagi semua pengalaman dan pergaulan manusiawi dengan kenyataan, termasuk peristiwa mengerti dan/atau interpretasi.
Menurut B. Arief Sidharta, dalam filsafat hermeneutika khususnya pada peristiwa memahami atau menginterpretasi sesuatu, subyek (interpretator) tidak dapat memulai upayanya dengan mendekati obyek pemahamannya sebagai tabula rasa (tidak bertolak dari titik nol). Sebab setiap orang terlahir ke dalam suatu dunia produk sejarah yang selalu menjalani proses menyejarah terus menerus, yakni tradisi yang bermuatan nilai-nilai, wawasan-wawasan, pengertian-pengertian, asas-asas, arti-arti, kaidah-kaidah, pola-pola perilaku dan sebagainya, yang terbentuk dan berkembang oleh dan dalam perjalanan sejarah. Jadi, tiap subyek, terlepas dan tidak tergantung dari kehendaknya sendiri, selalu menemukan dirinya sudah berada dalam suatu tradisi yang sudah ada sebelum ia dilahirkan dan ia menemukan dirinya sudah ada di situ.
Lewat proses interaksi dengan dunia sekelilingnya, tiap orang menyerap atau diresapi muatan tradisi tersebut, dan dengan itu membentuk pra-pemahaman terhadap segala sesuatu, yakni prasangka berupa putusan yang diberikan sebelum semua unsur yang menentukan sesuatu atau suatu situasi ditelaah secara tuntas, dan dengan itu juga terbentuk cakrawala pandang, yakni medan pengamatan (range of vision) yang memuat semua hal yang tampak dari sebuah titik pandang subyektif tertentu. Pra pemahaman dan cakrawala pandang itu akan menentukan persepsi individual terhadap segala sesuatu yang tertangkap dan teregistrasi dalam wilayah pandang pengamatan individu yang bersangkutan. Dalam dinamika proses insterpretasi, pra-pemahaman dan cakrawala pandang dapat mengalami pergeseran, dalam arti meluas, melebar dan meningkat derajat kedalamannya. Pergeseran ini dapat mengubah pengetahuan subyek, karena akan dapat memunculkan hal-hal baru dan aspek-aspek baru dari hal-hal yang tertangkap dalam cakrawala pandang.
Proses interpretasi itu berlangsung dalam proses lingkaran pemahaman yang disebut lingkaran hermeneutik (hermeneutische zirkel), yakni gerakan bolak-balik antara bagian atau unsur-unsur dan keseluruhan sehingga terbentuk pemahaman yang utuh. Dalam proses pemahaman ini, tiap bagian hanya dapat dipahami secara tepat dalam konteks keseluruhan, sebaliknya keseluruhan ini hanya dapat dipahami berdasarkan pemahaman atas bagian-bagian yang mewujudkannya. Lingkaran pemahaman ini dimungkinkan, karena pada diri interpretator sudah ada cakrawala pandang dan pra-pemahaman yang terbentuk lewat interaksi dengan tradisi yang didalamnya ia menjalani kehidupan. Bertolak dari pra-pemahaman dalam kerangka cakrawala pandangnya tentang interpretandum (ihwal yang mau dipahami) sebagai suatu keseluruhan, interpretator berusaha menemukan makna dari bagian-bagian lalu berdasarkan pemahaman atas bagian-bagian tersebut dalam hubungan antara yang satu dengan yang lainnya berupaya memahami interpretandum, hasilnya disorotkan pada bagian-bagian guna memperoleh pemahaman yang lebih tepat untuk kemudian hasilnya disorotkan balik pada keseluruhan, dan demikian seterusnya sampai tercapai suatu pemahaman yang utuh dan tepat.
Filsafat hermeneutika memberikan landasan kefilsafatan (ontologikal dan epsitemologikal) pada ilmu hukum, atau filsafat ilmu dari ilmu hukum. Sebab, dalam mengimplementasikan ilmu hukum untuk menyelesaikan suatu masalah hukum, misalnya di pengadilan, kegiatan interpretasi itu tidak hanya dilakukan terhadap teks yuridis, melainkan juga terhadap kenyataan yang menimbulkan masalah hukum yang bersangkutan (misalnya menetapkan fakta-fakta yang relevan dan makna yuridikalnya).
Pengembangan ilmu hukum berintikan kegiatan menginterpretasi teks yuridik untuk mendistilasi atau mengekstraksi kaidah hukum yang (secara implisit) ada pada teks yuridik tersebut dan dengan itu menetapkan makna dan wilayah penerapannya. Antara ilmuwan hukum (interpretator) dan teks yuridik itu terdapat jarak waktu. Teks yuridis adalah produk pembentuk hukum untuk menetapkan perilaku apa yang seyogianya dilakukan atau tidak dilakukan orang yang berada dalam situasi tertentu karena hal itu oleh pembentuk hukum dipandang merupakan tuntutan ketertiban berkeadilan. Jadi, terbentuknya teks yuridis itu terjadi dalam kerangka cakrawala pandang pembentuk hukum berkenaan dengan kenyataan kemasyarakatan yang dipandang memerlukan pengaturan hukum dengan mengacu cita-cita hukum yang dianut dan hidup dalam masyarakat. Upaya mendistilasi kaidah hukum dari dalam teks yuridis dengan menginterpretasi teks tersebut, interpretator tidak dapat lain kecuali dalam kerangka pra-pemahaman dan cakrawala pandangnya dengan bertolak dari titik berdirinya sendiri, jadi terikat pada waktu yang didalamnya interpretsi itu dilakukan.
Dengan demikian, pada setiap interpretasi teks yuridik terjadi proses lingkaran hermeneutik yang didalamnya berlangsung pertemuan antara dua cakrawala pandang, yakni cakrawala dari interpretandum (teks yuridis) dan cakrawala dari interpretator. Perpaduan cakrawala tersebut dapat menghasilkan pemahaman baru pada interpretator tentang kaidah hukum yang terkandung dalam teks yuridik itu. Subyektivitas dari hasil interpretasi itu akan dapat dikurangi hingga ketingkat yang paling minimal, karena pertama-tama kegiatan interpretasi itu harus selalu mengacu cita hukum (keadilan, kepastian hukum, kehasilgunaan), nilai-nilai kemanusiaan yang fundamental dan sistem hukum yang berlaku. Kedua, produk interpretasi selalu terbuka bagi pengkajian rasional terhadap argumentasi yang melandasi produk interpretasi tersebut oleh forum hukum dengan cita hukum, nilai-nilai kemanusiaan yang fundamental dan sistem hukum sebagai kriteria pengujinya. Jadi, lewat berbagai perpaduan cakrawala dalam dialog rasional dalam forum hukum dapat diharapkan akan dihasilkan produk interpretasi yang paling akseptabel, yakni secara rasional dapat dipertanggungjawabkan karena kekuatan argumentasinya, sehingga memiliki keberlakuan intersubyektif.
Menurut Fahruddin Faiz, hermeneutika berusaha menggali makna dengan mempertimbangkan horison/cakrawala yang melingkupi teks. Horison yang dimaksud adalah horison teks, horison pengarang dan horison pembaca. Dengan memperhatikan ketiga horison tersebut, diharapkan suatu upaya pemahaman atau penafsiran menjadi kegiatan rekonstruksi dan reproduksi makna teks, di samping melacak bagaimana suatu teks itu dilahirkan oleh pengarangnya dan muatan apa yang masuk atau ingin dimasukkan oleh pengarang kedalam teks yang dibuatnya. Selain dari itu seorang interpretator senantiasa berusaha melahirkan kembali makna tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi saat teks tersebut dibaca atau dipahami. Simpulan yang bisa diambil adalah sebagai sebuah metode penemuan makna teks, hermeneutika harus selalu memperhatikan tiga komponen pokok, yaitu teks, konteks, kemudian upaya kontekstualisasi.
Pada proses penemuan hukum (rechtsvinding), perlu dibedakan dua hal yaitu mengenai tahap sebelum pengamblan putusan (ex ante) dan tahap sesudah pengambilan putusan (ex post). Dalam perspektif teori penemuan hukum modern, yang terjadi sebelum pengambilan putusan disebut “heuristika”, yaitu proses mencari dan berfikir yang mendahului tindakan pengambilan putusan hukum. Pada tahap ini berbagai argument pro-kontra terhadap suatu putusan tertentu ditimbang-timbang antara yang satu dengan yang lain, kemudian ditemukan makna yang tepat.
Penemuan hukum yang terjadi sesudah putusan disebut “legitimasi”, dan legitimasi selalu berkenaan dengan pembenaran dari putusan yang sudah diambil. Pada tahap ini putusan diberi motivasi (pertimbangan) da argumentasi secara substansial, dengan cara menyusun suatu penalaran yang secara rasional dapat dipertanggungjawabkan. Apabila suau putusan hukum tidak bisa diterima oleh forum hukum, maka berarti putusan itu tidak memperoleh legitimasi. Konsekuensinya, premis-premis yang baru harus diajukan, dengan tetap berpegang pada penalaran ex ante, untuk menyakinkan forum hukum tersebut agar putusan tersebut dapat diterima. Disinilah pentingnya hermeneutika hukum berperan sekaligus digunakan oleh para hakim pada saat menemukan hukum.
Penemuan hukum oleh Hakim tidak semata-mata hanya penerapan peraturan-peraturan hukum terhadap peristiwa konkrit, tetapi sekaligus penciptaan hukum dan pembentukan hukumnya. Menurut Gadamer, metode hermeneutika hukum pada hakikatnya sangat berguna, ketika seorang hakim menganggap dirinya berhak untuk menambah makna orisinal dari teks hukum. Bahkan menurut Charter, pengalaman Hakim pada saat menemukan hukum dalam praktek dipengadilan memberikan dukungan bagi konsepsi pragmatis dan interpretasinya. Oleh karena itulah hermeneutika hukum berfungsi sebagai metode untuk interpretasi atas teks hukum/peraturan perundangan yang dijadikan dasar pertimbangannya serta interpretasi atas peristiwa dan fakta akan sangat membantu Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara dipengadilan.
Memperjelas penerapan hermeneutika hukum dalam aras praksis, dalam makalah ini akan dipaparkan putusan pengadilan di Amerika sebagai ilustrasi dalam penerapan metode hermeneutika hukum oleh Hakim dipengadilan. Putusan tersebut adalah putusan pengadilan kasus Marbury versus Madison (1803). Putusan terhadap kasus Marbury versus Madison ini, menandai lahirnya lembaga “Judicial Review, untuk pertama kalinya dalam tatanan sistem hukum di Amerika Serikat. Dimana dalam kasus ini John Marshal selaku Chief of Justice dari Supreme Court, telah menolak untuk mengeluarkan writ of mandamus, yaitu suatu perintah pengadilan kepada pejabat pemerintah untuk melakukan perbuatan tertentu yang merupakan salah satu kewajiban dari pejabat tersebut, yang dituntut oleh William Marbury kepada James Madison selaku secretary of state. Alasannya, dasar hukum penuntutan hak tersebut yaitu pasal 13 judicial act (UU Kekuasaan Kehakiman) tahun 1789 yang dirumuskan oleh kongres, dianggap menambahkan kewenangan supreme court dari kewenangan yang tercantum dalam konstitusi Amerika Serikat. Oleh karena itu, ketentuan tersebut adalah inkonstitutional dan tidak sah. Sebab, undang-undang tidak bisa mengubah konstitusi yang merupakan “the supreme law of the land” (asas lex superior derogate leg inferiori).
Doktrin judicial review memperoleh kekuatan hukum ketika John Marshal memutuskan kasus Marbury versus Madison tersebut pada bulan Februrai 1803, dengan mengatakan bahwa:
It one of the purpose of written constitution to define and limit the powers of the legislature. The legislature cannot be permittes to pass statutes contrary to a constitution, if the letter is to prevail as superior law. A court avoid choosting between the constitution and a conflicting statute when both are relevant to a case which the court is asked to decide. Since the constitution is paramount law, judges have no choise but to prefer it to refuse to give effect to the latter.
Sebenarnya dibalik kasus itu sarat dengan muatan politis, meskipun jika dilihat dari posisi kasus yang sebenarnya sekedar merupakan sengketa kepentingan antara Marbury (sebagai Penggugat) dan Madison (sebagai Tergugat). Tetapi John Marshall tahu bahwa dibalik sengketa itu tersembuyi masalah yang lebih besar dan menyangkut kepentingan rakyat banyak. Dalam usahanya memberikan putusan yang tepat, Marshall menalar secara hermeneutika. Premis yang muncul berdasarkan penalaran secara hermeneutika (premis tak terberi), antara lain:
a.       Masa lalu: masalah itu muncul karena kelalaian Jhon Marshall sendiri.
b.      Masa kini: ada perseteruan politik antara partai republik (Thomas Jefferson) dengan partai federalis (John Adam).
c.       Masa depan: kemungkinan muncul konflik terbuka antara lembaga kepresidenan dengan supreme court, bila tuntutan Marbury dikabulkan, yang bisa membahayakan keutuhan nasional.
Dengan dalih mempertimbangkan dan menyelaraskan ketiga kepentingan di atas, John Marshall dalam putusannya berusaha mencari titik temu dalam kasus tersebut dengan cara mendialogkan antara konstitusi Amerika Serikat, judicial act, fakta yuridis, kondisi sosial politik, serta kepentingan dirinya dan lembaga yang dia pimpin. Pertimbangan yang dia lakukan itu merupakan pertimbangan atas dasar nilai, dan keputusan yang dia ambil merupakan wujud dari kebijaksanaannya.
Menurut analisa Samuel Jaya Kusuma, keputusan akhir bahwa judicial act adalah inkonstitusional itu muncul secara heuristika. Mengapa, karena kesimpulan ini merupakan suatu pengembangan (inovasi) secara kreatif dari asas “lex superior derogate leg inferiori”. Selain itu pula diperkuat dengan interpretasi hermeneutika atas lafal sumpah jabatannya sebagai hakim dengan asas “ius curia novit” dan pada akhirnya dapat memperjelas maksud konstitusi. Akibatnya lahir suatu temuan baru dibidang hukum berupa lembaga judicial review, yang keberadaannya diakui di AS hingga sekarang. Penemuan hukum dengan perspektif hermeneutika yang spektakuler ini, bisa muncul berkat “cakrawala pandang yang luas” dari Hakim Marshall. Penemuan hukum seperti ini juga membuktikan bahwa supreme court lewat hakim Marshall ini tidak sekedar bertindak sebagai corong undang-undang, tapi telah sanggup menemukan dan membentuk nilai hukum baru. Pada akhirnya, setelah mendapat pengakuan dari forum hukum dan masyarakat, temuannya itu menjadi suatu asas hukum yang mempuyai kekuatan sebagai preseden, karena “ratio decidendi”-nya yang akseptabel.
Hermeneutika hukum mempunyai relevansi dengan teori penemuan hukum, yang ditampilkan dalam kerangka pemahaman proses timbal balik antara kaedah-kaedah dan fakta-fakta. Dalil hermeneutika menjelaskan bahwa orang harus mengkualifikasi fakta-fakta dalam cahaya kaedah-kaedah dan mengintepretasi kaedah-kaedah dalam cahaya fakta-fakta termasuk paradikma dari teori penemuan hukum modern saat ini. Jadi hermeneutika hukum dapat dipahami sebagai metode interpretasi tek hukum atau metode memahami terhaap suatu naskah normatif.
Peristiwa hukum maupun peraturan perundang-undangan tidak semata-mata dilihat atau ditafsirkan dari aspek legal formal berdasarkan bunyi teksnya semata, tetapi juga harus dilihat dari faktor-faktor yang melatar belakangi peristiwa atau sengketa yang muncul, apa akar masalahnya adakah intervensi politik (atau intervensi lainnya) yang melahirkan dikeluarkan suatu putusan, serta tindakkan dampak dari putusan itu dipikirkan bagi proses penegakan hukum dan keadilan di kemudian hari.
Praktik di peradilan tampaknya metode hermeneutika hukum ini tidak banyak atau jarang sekali di pergunakan sebagai metode penemuan hukum. Hal ini disebabkan karena dominannya metode interptestasi dan kontruksi hukum yang sudah sangat mengakar dalam praktek di Peradilan Indonesia. Mungkin juga para hakim belum begitu familiar dengan metode hermeneutika ini sehingga tidak menggunakannya dalam penemuan hukum. Padahal metode ini dianggap paling baik sebab ia merupakan sutau metode menginterpretasikan tek hukum yang tidak semata-mata melihat teknya saja, tetapi juga kontek-kontek hukum itu dilahirkan serta bagaimana kontektualisasi atau penerapan hukumnya dimasa kini dan masa mendatang.
Penggunaan dan penerapan hermeneutika hukum sebagai teori dan metode penemuan hukum baru akan sangat membantu para hakim dalam memeriksa serta memutus perkara yang diadilinya. Kelebihan metode hermeneutika hukum terletak pada cara dan lingkup interpretasinya yang tajam, mendalam dan holistik dalam bingkai keastuan antara teks, kontek dan kontektualisasinya.

D.    Penutup
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.      Hermeneutika hukum adalah ajaran filsafat mengenai hal mengerti/memahami sesuatu, atau sebuah metode interpretasi terhadap teks dimana metode dan teknik menafsirkannya dilakukan secara holistik dalam bingkai keterkaitan antara teks, konteks, dan kontekstualisasi. Teks tersebut bisa berupa teks hukum, peristiwa hukum, fakta hukum, dokumen resmi negara, naskah kuno atau kitab suci.
2.      Filsafat hermeneutika adalah filsafat tentang hakikat hal mengerti atau memahami sesuatu, yakni refleksi kefilsafatan yang menganalisis syarat-syarat kemungkinan bagi semua pengalaman dan pergaulan manusiawi dengan kenyataan, termasuk peristiwa mengerti dan/atau interpretasi. Pada peristiwa memahami atau menginterpretasi sesuatu, subyek (interpretator) tidak dapat memulai upayanya dengan mendekati obyek pemahamannya sebagai tabula rasa (tidak bertolak dari titik nol). Sebab setiap orang terlahir kedalam suatu dunia produk sejarah yang selalu menjalani proses menyejarah terus menerus, yakni tradisi yang bermuatan nilai-nilai, wawasan-wawasan, pengertian-pengertian, asas-asas, arti-arti, kaidah-kaidah, pola-pola perilaku dan sebagainya, yang terbentuk dan berkembang oleh dan dalam perjalanan sejarah.
3.      Interpretasi teks yuridik berlangsung dalam proses lingkaran pemahaman yang disebut lingkaran hermeneutik (hermeneutische zirkel), yakni gerakan bolak-balik antara bagian atau unsur-unsur dan keseluruhan sehingga terbentuk pemahaman yang utuh. Dalam proses pemahaman ini, tiap bagian hanya dapat dipahami secara tepat dalam konteks keseluruhan, sebaliknya keseluruhan ini hanya dapat dipahami berdasarkan pemahaman atas bagian-bagian yang mewujudkannya. Dengan demikian, pada setiap interpretasi teks yuridis berlangsung pertemuan antara dua cakrawala pandang, yakni cakrawala dari interpretandum (teks yuridis) dan cakrawala dari interpretator. Perpaduan cakrawala tersebut dapat menghasilkan pemahaman baru pada interpretator tentang kaidah hukum yang terkandung dalam teks yuridik itu.
Sedangkan saran terhadap beberapa kesimpulan tersebut di atas sebagai berikut:
  1. Hermeneutika hukum penting digunakan oleh para hakim pada saat menemukan hukum. Penemuan hukum oleh Hakim tidak semata-mata hanya penerapan peraturan-peraturan hukum terhadap peristiwa konkrit, tetapi sekaligus penciptaan hukum dan pembentukan hukumnya. Metode hermeneutika hukum berguna, ketika seorang hakim menganggap dirinya berhak untuk menambah makna orisinal dari teks hukum. Oleh karena itulah hermeneutika hukum diharapkan berfungsi sebagai metode untuk interpretasi atas teks hukum/peraturan perundangan yang dijadikan dasar pertimbangannya serta interpretasi atas peristiwa dan fakta akan sangat membantu Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara dipengadilan.
  2. Sebagai sebuah metode penemuan makna teks, hermeneutika harus selalu memperhatikan tiga komponen pokok, yaitu teks, konteks, kemudian upaya kontekstualisasi.




DAFTAR PUSTAKA

Faiz, Fahruddin, Hermeneutika Qur’ani: Antara Teks, Konteks, dan Kontekstualisasi, Yogyakarta: Qalam, 2002.
Hamidi, Jazim, Hermeneutika Hukum, Yogyakarta: UII Press: 2005.
Kusuma, Samuel Jaya, Proses Penemuan Hukum Dalam Perspektif Hermeneutika Hukum, Skripsi pada Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 2002.
Manan, Abdul, “Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Praktek Hukum Acara Di Peradilan Agama”, Makalah disampaikan pada acara Rakernas Mahkamah Agung RI, Tanggal 10 s/d 14 Oktober 2010, di Balikpapan, Kalimantan Timur.
Mertokusumo, Sudikno, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 2009.
Nasr, Sayyed Hossein, Knowledge and The Secred, New York: State University Press, 1989.
Sahidah, Ahmad, Kebenaran dan Metode, Pengantar Filsafat Hermeneutika, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1965.
Sidharta, B. Arief, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Bandung: Mandar Maju, 1999.
______“Hermeneutik: Landasan Kefilsafatan Ilmu Hukum“, Makalah dalam Bahan Kuliah pada Mata Kuliah Filsafat Hukum, Program Doktor (S3) Ilmu Hukum UII Yogyakarta, Tahun 2007.
www.badilag.net.



Rabu, 06 Maret 2013

Analisis Jenis Narkotika Untuk Raffi Ahmad

Oleh: Bisdan Sigalingging, SH, MH

Pengaturan tentang rehabilitasi sebagaimana diatur dalam Pasal 54 UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika, hanya menentukan bahwa “Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial”. Pengertian Rehabilitasi Medis menurut Pasal 1 angka 16 UU Narkotika adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan Narkotika. Pengertian Rehabilitasi Sosial menurut Pasal 1 angka 17 UU Narkotika adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu Narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.
Pada Pasal 4 UU Narkotikan ditegaskan bahwa Undang-Undang tentang Narkotika bertujuan:
  1. Menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
  2. Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan Narkotika;
  3. Memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
  4. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi Penyalahguna dan pecandu Narkotika.
Norma pengaturan tentang rehabilitasi bagi seseorang terkait dengan Narkotika dalam pengaturan di atas hanyalah PENCANDU dan PENYALAHGUNA. Jika yang dikehendaki kategori PENCANDU maka aparat penegak hukum harus terlebih dahulu bisa membuktikan dengan asalan-alasan dan fakta apakah seseorang itu sebagai PECANDU. Sedangkan jika yang dikehendaki kategori PENYALAHGUNA maka aparat penegak hukum dapat membuktikan bahwa Narkotika yang dimaksud memang benar-benar dilarang disalahgunakan secara yuridis dalam UU Narkotika.
Sehubungan dengan kategori PENYALAHGUNA ada kaitannya dengan ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUH Pidana yang menegaskan norma seseorang tidak dapat dihukum jika tidak diatur dalam suatu undang-undang.
”Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam udang-undang yang ada terdahulu dari pada perbuatan itu”.
Ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUH Pidana di atas mengandung asas legalitas. Hukum pidana di Indonesia secara umum masih menganut asas legalitas ini secara konservatif bahkan hampir di seluruh tingkat pengadilan dan tahap-tahap proses hukum asas ini diterapkan. Sikap konservatif ini terlihat dari masih dipertahankannya tanpa kecuali asas legalitas, asas neb is in idem, asas non retroaktif dan asas kesalahan.
Dasar dari asas praduga tidak bersalah (persumtion of innotion) adalah asas legalitas dalam sistim hukum eropa kontinental yang dianut di Indonesia saat ini. Menurut asas ini bahwa seseorang tidak dapat dipidanakan jika seseorang itu tidak memiliki kesalahan (sengaja/dolus atau lalai/culpa).
Asas praduga tidak bersalah ini dianut di Indonesia tetapi di samping itu juga dianut asas praduga bersalah. Seseorang dapat dipersalahakan walaupun ia tidak melakukan kesalahan yang dapat dibuktikan oleh aparat hukum berdasarkan DUGAAN KUAT maka dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan asas baru yaitu asas pertanggungjawaban mutlak (strict liability) yang merupakan kekecualian dari KUH Pidana. Tujuan asas ini untuk gugatan perdata terhadap harta atau aset (in rem). Asas yang terakhir ini dikenal dalam UU seperti UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, UU No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan UU No.32 Tahun 2009 tentang Pencegahan dan Perlindungan Lingkungan Hidup.
Asas praduga bersalah dan asas pertanggungjawaban mutlak ini tidak dikenal di dalam UU Narkotika.
Kendatipun zat katinon (chatinone) merupakan turunan dari methylenedioxymethcathinone tetapi dari sudut pandang yuridis chatinone tidak mengandung asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUH Pidana. Oleh karena nama aslinya tidak sama dengan jenis nama yang tercantum dalam Lampiran UU Narkotika tetap saja zat katinon tersebut tidak termasuk sebagai zat yang dilarang dalam UU Narkotika.
Analoginya sama dengan menangkap seseorang yang bernama Ahmad padahal sesungguhnya yang menjadi target yang akan ditangkap adalah yang bernama Ahmed hanya beda satu huruf saja antara Ahmad dan Ahmed dan antara kedua-dua orang ini memiliki hubungan darah dalam satu keluarga, katakanlah kakak beradik, atau sepupuan, atau satu ayah lain ibu, atau satu ibu lain ayah. Apakah mungkin dapat dikatakan Ahmad sama dengan Ahmed?????????????????????????????

ANALISIS PRAKTIK INSIDER TRADING

ANALISIS PRAKTIK INSIDER TRADING
Oleh: Bisdan Sigalingging, SH, MH
Dosen Hukum Pasar Modal pada Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa Medan

Salah satu teori yang melandasi larangan terhadap praktik insider trading dalam Pasar Modal dikenal dengan asymetris information theory yang mengatakan “orang dalam lebih dahulu mengetahui informasi dari pada orang luar”. Tentunya jika orang dalam menggunakan informasi yang lebih lebih dahulu diketahuinmya itu untuk kepentingan pribadinya atau kolektif dapat dikategorikan sebagai suatu perbuatan yang dilarang. Secara philosofis larangan terhadap orang dalam menggunakan informasi yang telah diketahuinya lebih dahulu itu pada hakikatnya untuk membuat adil bagi setiap pelaku bisnis dalam pasar modal. Berikut ini tiga contoh kasus dianalisis:

1.      KASUS CHIARELLA
Chiarella adalah seorang karyawan perusahaan Pandick Press (perusahaan percetakan) yang mencetak surat-surat berharga di bidang perdagangan dan keuangan. Chiarella mengetahui isi dokumen-dokumen yang dicetak ternyata dokumen rahasia tentang rencana take over sebuah perusahaan. Chiarella memanfaatkan rencana take over itu dengan membeli saham perusahaan yang akan take over. Ketika Chiarella membeli saham yang akan di-take over, harga sahamnya masih murah hingga Chiarella memperoleh keuntungan pada saat informasi take over disampaikan, karena harga saham perusahaan ketika dilakukan take over akan menjadi naik.
Atas perintah SEC, Chiarella pun ditangkap dan dituntut atas dasar Section 10 (b) The 1933 Act dan Rule 10b-5 ‘34 yang melarang penipuan dalam perdagangan saham. Pertimbangan dari Hakim Powel pada kasus Chiarella melalui Putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat (Chiarella versus United States) memutuskan dengan pertimbangan “seseorang yang mempelajari dokumen rahasia sebuah perusahaan dalam hubungannya dengan pembelian atau penjualan saham sebelum saat informasi disampaikan kepada publik adalah termasuk dalam perbuatan melanggar hukum”.
Menurut hukum pasar modal Amerika Serikat pada kasus Chiarella menentukan kategori insider adalah orang yang menggunakan informasi non public dan orang tersebut mempunyai fudiciary duty dengan perusahaan. Namun oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat, Chiarella tidak dikategorikan sebagai insider dan tidak dapat diberikan sanksi larangan insider trading.
Chiarella dibebaskan dari tuntutan hukum dan hanya dikenakan sanksi “pengembalian uang atau ganti rugi” yang didasarkan kepada tord. Chiarella hanya dikenakan sanksi untuk mengembalikan kerugian akibat perbuatannya atas dasar bahwa pada posisi Chiarella sebagai karyawan perusahaan percetakan memiliki hubungan kepercayaan (fiduciary duty) secara tidak langsung dengan perusahaan yang akan take over tersebut karena pihak perusahaan yang akan melakukan take over menggunakan jasa percetakan yang seharusnya perusahaan percetakan itu bersama karyawannya harus merahasiakan isi dokumen-dokumen perusahaan dimaksud. Tindakan Chiarella yang memanfaatkan dokumen rahasia perusahaan termasuk menegasi atau melawan sebuah teori yaitu teori penyalahgunaan (misappropriation theory) yang mengatakan bagi siapapun dilarang untuk menggunakan suatu informasi yang bukan miliknya untuk digunakan demi kepentingan pribadi ataupun kepentingan kolektif.
Jika dibandingkan dengan ketentuan dalam Pasal 95 UUPM dan penjelasannya menetapkan insider masih menganut kategori traditional insiders. Ketentuan ini menetapkan kategori  insider mutlak” yang berarti hanya orang-orang yang bekerja dalam perusahaan dan terafiliasi dengan perusahaan sedangkan dalam hal misalnya kasus Chiarella dikaitkan dengan UUPM perbuatan Chiarella tidak termasuk insider trading karena tidak terkait dengan apa yang dimaksud dengan hubungan kepercayaan (fiduciary duty).

2.      KASUS CARPENTER
Apabila sebuah tulisan dalam kolom media menilai entitas sebuah perusahaan yang akan listing dengan prospek ke depannya baik, harga sahamnya akan cenderung membaik demikian sebaliknya apabila tulisan itu menilai perusahaan yang akan listing di bursa saham dengan prospek ke depannya suram atau buruk, harga sahamnya dapat dipastikan akan menurun. Seperti itulah yang terjadi dalam  kasus  Carpenter atas terdakwa R. Foster Winans sebagai penulis ternama dan handal di The Wall Street Journal yang menulis “Heard on the Street Column” tentang hasil penilaian dan analisisnya terhadap kondisi perusahaan tertentu yang akan segera melakukan listing di bursa saham Amerika Serikat.
Ekspose tulisan R. Foster Winans sebagai penulis ternama dan handal di The Wall Street Journal menulis “Heard on the Street Column,” dalam sebuah kolom dapat mempengaruhi harga saham dari perusahaan yang dinilai. Pada esensinya sebenarnya Winans memanfaatkan peluang akan mendapatkan untung besar dari perusahaan yang akan listing untuk kepentingan dirinya sendiri dengan cara bersekongkol dengan temannya dan memberitahukan isi dalam kolom tersebut kemudian menganjurkan temannya itu untuk melakukan transaksi saham sebelum listing di bursa. Akibat persekongkolan itu mereka memperoleh keuntungan besar dari transaksi tersebut. Praktik Winans oleh SEC dituduh melakukan insider trading berdasarkan tuduhan bahwa Winans menyalahgunakan informasi milik The Wall Street Journal untuk kepentingan pribadinya.
Teori yang mendasari tuduhan terhadap Wianans oleh Pengadilan adalah misappropriation theory yang menyatakan Winans melakukan penipuan  melalui The Wall S treet Journal sehingga menetapkan Winans melanggar ketentuan insider trading. Penerapan misappropriation theory diterapkan oleh Pengadilan USA dalam kasus Carpenter versus United States. Dengan mendasarkan pada misapprotiation theory, menetapkan kategori seseorang melakukan pelanggaran didasarkan karena:
a.       Melakukan penyalahgunaan materiel nonpublic information;
b.      Termasuk orang yang tidak mempunyai hubungan dari suatu trust dan confidence;
c.       Informasi itu digunakan untuk perdagangan saham; dan
d.      Termasuk orang yang mempunyai kewajiban kepada pemegang saham dan perdagangan saham.
Pada putusan kasus Carpenter yang menerapkan konsep hukum berdasarkan misappropriation theory tidak menganut lagi konsep hukum SEC yang menentukan kategori insider berdasarkan adanya fiduciary duty seperti  yang diterapkan dalam kasus Chiarella. Jika dikaitkan putusan atas kasus Chiarella dengan Carpenter menunjukkan suatu hal bahwa tidak ada kepastian hukum dalam hukum pasar modal Amerika Serikat.
Tampaknya penerapan hukum pasar modal Amerika Serikat pada kasus Carpenter melihat kepada asas manfaat terbanyak dari dari banyak orang. Mungkin oleh karena teori inilah mendasari bahwa walaupun Carpenter tidak termasuk insiders akan tetapi jika perbuatannya itu dihukum akan membawa manfaat terbanyak dari banyak orang.  Kategori insiders yang terdiri dari komisaris, direktur, pemegang saham utama dan karyawan perusahaan adalah contoh klasik dari seseorang  yang mempunyai fiduary duty atau yang disebut dengan traditional insiders.
Jika dibandingkan dengan konsep hukum yang menentukan seseorang dikategorikan insider di Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 95 UUPM jelas bahwa dalam Pasal 95 UUPM menganut teori fiduciary duty seperti putusan kasus Chiarella. Lalu bagaimana kesiapan UUPM jika terjadi kasus yang sama dengan Carpenter di Indonesia???
Perlu pasal tersebut dikaji ulang untuk diterapkan ketentuannya dengan perkembangan penentuan kategori insider sesuai dengan misappropriation theory di dalam peraturan pasar modal di Indonesia (UUPM).

3.      KASUS TEXAS GULF SULPHUR Co (TGS Co)
Penerapan teori kemungkinan (propability theory) misalnya dapat dilihat dari kasus SEC versus Texas Gulf Sulphur Co, 401 F.2d 833 (1968) (TGS Co) di Amerika Serikat. Informasi material yang berhubungan dengan pengeboran barang-barang tambang oleh perusahaan TGS di Timmins (Ontario) dan informasi itu belum di-disclose untuk publik. Pegawai TGS Co Darke dan Coates (seorang ahli geologi) mengetahui adanya berbagai macam barang tambang di setiap kali pengeboran dilakukan di tempat yang berbeda. Informasi yang bersifat rahasia itu oleh pegawai TGS Co Darke dan Coates dibuka dan disampaikan serta merekomendasikannya kepada beberapa manajemen TGS Co.
Pada tanggal 12 Nopember 1963 TGS Co melakukan penggeboran (eksplorasi) bijih besi atau bahan tembaga, perak dan sebagainya, dekat Timmins, Ontario, Canada. Dalam pengeboran tersebut diperoleh indikasi yang sangat menjanjikan dari lobang bor pertama (K-55-1) dalam suatu anomali di sebuah sektor yang dikenal sebagai Kidd-55. Selanjutnya TGS melakukan program pembebasan tanah, dan setelah tanah yang tersedia dibeli, pengeboran dilaksanakan dan dua lobang susulan (K-55-3 dan K-55-4) pada 31 Maret 1964, hasilnya ditemukan bijih besi bernilai tinggi.
Pada tanggal 31 Maret 1964 pengeboran telah selesai dilakukan. Pada tanggal 9 April setelah beberapa hasil tes diselesaikan, berkembanglah informasi mengenai penemuan tersebut. TGS Co membantah informasi temuan itu melalui press release dan mengatakan informasi itu berlebihan lagi pula disebutkan bahwa hasil penelitian belum selesai.
Sebelum di-disclose mereka yang mengetahui informasi itu yakni delapan orang tetap melakukan transaksi saham pada tanggal 12 Nopember dan 16 April 1964. Lima orang menerima opsi saham dari perusahaan tanpa mengungkapkan informasi hasil pengeboran, sementara empat orang menyampaikan informasi pengeboran dan membelinya berdasarkan informasi tersebut selanjutnya dua orang membeli saham pada hari dilangsungkannya konferensi pers tanggal 16 April 1964.
Dihadapan The US Financial Media di New York pada tanggal 16 April 1964 TGS Co mengumumkan secara resmi hasil penemuan di Timmins dalam Press Conference mulai dari jam 10.00 am  sampai dengan jam 10.15 am.  Beberapa menit kemudian barulah berita tersebut dibuka (disclose) ke publik.
Perbuatan kedua pegawai TGS Co Darke dan Coates bersama rekan-rekannya dinilai sebagai perbuatan melanggar hukum. District court berpendapat bahwa dua orang insiders itu telah melanggar Rule 10b-5. Pengadilan USA memutuskan perbuatan kedua pegawai TGS Co Darke dan Coates sebagai insider trading dan terhadap keduanya dikategorikan sebagai orang dalam (insiders). Beberapa orang direksi TGS Co juga dijatuhi hukuman karena melakukan insider trading.
Seharusnya karyawan emiten atau perusahaan publik (employee of the issuer) dikategorikan sebagai insiders yang tentunya memiliki tugas dan kewajiban untuk menjaga loyalitas (duty of loyality) termasuk tanggung jawabnya untuk tidak memanfaatkan keuntungan pribadi atau kolektif dari informasi rahasia (confidential information) yang diperoleh sehubungan dengan pekerjaannya di perusahaan dimaksud.
Penerapan teori kemungkinan (propability theory) di pasar modal Amerika Serikat baru pertama kali diterapkan tepatnya pada kasus antara SEC versus Texas Gulft Sulphur. Berangkat dari pemikiran kemungkinan (probability magnitude) pada kasus TGS Co akhirnya ditetapkan kriteria atau standar materiel yang dirinci dengan pengujian:
a.       Apabila disampaikan kepada publik, dapat mengakibatkan fluktuasi harga saham;
b.      Informasi yang dapat diprediksi oleh orang luar perusahaan (outsiders) melalui keahliannya yang dapat mempengaruhi keputusan untuk berinvestasi;
c.       Fakta materiel tidak hanya terbatas pada sesuatu informasi melainkan dapat pula membawa dampak bagi perusahaan di masa akan datang dan dapat membawa akibat yang mempengaruhi keinginan investor untuk membeli atau menjual saham.
Terhadap perbuatan kedua pegawai TGS Co Darke dan Coates oleh Pengadilan USA dalam mengambil keputusan dengan menggunakan ukuran atau standar material terhadap kasus Texas Gulf Sulphur dan pengadilan berpendapat bahwa informasi yang dihilangkan adalah materiel karena besarnya dan luasnya potensi pelanggaran serta pelanggaran tersebut aktual terjadi di banyak tempat sehingga dimungkinkannya dilakukan tuntutan hukum terhadap kedua pegawai yaitu TGS Co Darke dan Coates.
Untuk menentukan fakta material menurut tes dalam kasus TGS Co bergantung pada keseimbangan indikasi kemungkinan bahwa suatu peristiwa akan terjadi dan antisipasi ukuran dari peristiwa berdasarkan totalitas kegiatan perusahaan. Pengadilan dalam kasus TGS Co menyimpulkan bahwa pengetahuan tentang hasil penemuan mungkin penting terhadap investor yang rasional dan mungkin telah mempengaruhi harga saham.

SEPUTAR PERDAGANGAN ORANG DALAM
(INSIDER TRADING)

Pasal 1 angka 13 UU No.8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (selanjutnya disingkat UUPM) ditentukan bahwa yang dimaksud dengan Pasar Modal adalah suatu kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek.
Orang-orang yang terlibat langsung di dalam Pasar Modal merupakan pihak yang menempati posisi terpenting dan sebagai orang yang dipercaya menjaga rahasia berkenaan dengan dokumen-dokumen perusahaan termasuk orang-orang yang berkedudukan sebagai Komisaris, Pemegang Saham, Perantara, Pialang, Profesi Penunjang Pasar Modal (Konsultan Hukum; Notaris; Penilai; Akuntan publik) dan Karyawan serta orang-orang yang memiliki hubungan dengan insiders yaitu underwriter. Orang-orang yang menempati posisi tersebut disebut sebagai insiders sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 95 UUPM sebagi pihak-pihak yang tergolong insiders adalah:
1.      Emiten atau Perusahaan Publik dimaksud; atau
2.      Perusahaan lain yang melakukan transaksi dengan Emiten atau Perusahaan Publik yang bersangkutan.
Dijelaskan dalam penjelasan Pasal 95 yang dimaksud dengan “orang dalam” dalam termasuk:
  1. Komisaris, direktur, atau pegawai Emiten atau Perusahaan Publik;
  2. Pemegang saham utama Emiten atau Perusahaan Publik;
  3. Orang perseorangan yang karena kedudukan atau profesinya atau karena hubungan usahanya dengan Emiten atau Perusahaan Publik memungkinkan orang tersebut memperoleh informasi orang dalam; atau
  4. Pihak yang dalam waktu 6 (enam) bulan terakhir tidak lagi menjadi Pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, atau huruf c di atas.
Para investor yang berinvestasi dalam pasar modal dapat memperoleh dana segar melalui penjualan efek dalam prosedur pasar perdana atau Initial Public Offering (IPO) dan pasar sekunder, tetapi di dalam pasar modal tidak berarti bahwa kejahatan dan pelanggaran tidak ada, justru tindak kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran dalam pasar modal dapat dilakukan oleh orang-orang dalam yang disebut dengan perdagangan orang dalam (insider trading).
Insider trading adalah praktik penjualan saham yang dilaksanakan oleh orang-orang dalam pasar modal berdasarkan informasi orang dalam yang belum diinformasikan ke publik. Dalam arti lain insider trading adalah praktik penjualan saham yang dilaksanakan oleh orang dalam berdasarkan inside information. Apabila suatu informasi itu sudah di-disclose ke publik, maka informasi tersebut tidak dikatakan lagi sebagai inside information. Atau insider trading bisa juga diartikan transaksi saham berdasarkan bocoran informasi rahasia dari pihak-pihak yang terkait dengan emiten, konsultan perusahaan, atau regulator (insider information). Transaksi seperti ini biasanya melibatkan orang-orang yang menurut aturan tidak boleh melakukan transaksi. Dicontohkan misalnya seorang direksi perusahaan yang memperdagangkan saham perusahaan sendiri.
Perdagangan orang dalam (insider trading) adalah perdagangan efek yang dilakukan mereka yang tergolong “orang dalam” perusahaan (dalam artian luas), perdagangan mana yang didasarkan karena adanya suatu “informasi orang dalam” (inside information) yang penting dan belum terbuka untuk umum, dengan perdagangan mana, pihak insiders tersebut mengharapkan akan mendapatkan keuntungan ekonomi secara pribadi, langsug atau tidak langsung atau yang merupakan keuntungan jalan pintas. Insiders trading dalam bahasa hukum dikategorikan sebagai tindakan memperkaya diri sendiri secara tidak sah atau memiliki apa yang sebenarnya bukan merupakan haknya.
Informasi yang wajib diungkapkan (disclose) adalah fakta materil yang dapat mempengaruhi keputusan investor untuk berinvestasi. Fakta materil merupakan informasi yang relevan mengenai peristiwa, kejadian atau fakta yang dapat mempengaruhi harga efek pada pasar modal atas keputusan pemodal, calon pemodal, dan pihak lain yang berkepentingan atas fakta materil tersebut. Wajib hukumnya fakta materil itu diungkapkan ke publik akan tetapi oleh insiders, fakta materil tersebut terkadang demi kepentingan pribadinya tidak diungkapkan ke publik.
Salah satu prinsip yang bertentangan dengan insdier trading adalah prinsip keterbukaan, karena yang bersangkutan membeli atau menjual saham berdasarkan informasi fakta materil dari orang dalam yang sifatnya tidak terbuka ke publik atau tidak fair yang dapat merugikan pihak lain yang tidak menerima informasi yang sama, sehingga pihak lain tersebut tidak dapat mengambil keputusan untuk membeli atau menjual saham.
Namun, perbuatan insiders dalam pasar modal belum tentu dapat dikatakan melakukan tindak pidana dalam konteks insider trading atau insider trading itu tidak selamanya diasumsikan sebagai kejahatan. Sebagaimana insiders yang membeli saham perusahaan kemudian menjualnya ketika harganya naik, merupakan suatu peristiwa biasa. Adapun hal yang membuatnya menjadi tidak biasa adalah apabila dalam melakukan pembelian dan penjualan saham, insiders itu mendasarkan perbuatannya kepada adanya informasi mengenai fakta materil perusahaan yang belum diinformasikan kepada publik, misalnya tentang rencana perusahaan untuk melakukan merger, atau rencana akan mengakuisisi perusahaan lain yang akan membuat nilai perusahaan itu akan menajdi naik. Perbuatan yang demikian inilah yang dikategorikan sebagai insider trading. Secara teknis, bentuk-bentuk insider trading dibatasi dalam hal:
1.     Pihak yang mengemban kepercayaan secara langsung maupun tidak langsung dari emiten atau perusahaan oknum atau disebut juga sebagai pihak yang berada dalam fiduciary position; dan
2.     Pihak yang menerima informasi orang dalam dari pihak pertama (fiduciary position) atau dikenal dengan tippees.
Insider trading hanya dikenakan terhadap pihak-pihak atau orang-orang yang melakukan perdagangan efek atau sekuritas. Jadi, meskipun pihak penjual atau pembeli tidak memperoleh informasi yang sama tentang suatu barang atau jasa lain yang menjadi objek jual-beli, maka pihak-pihak tersebut tidak dikenakan tuduhan melakukan insider trading. Oleh sebab itu, maka harus ditentukan terlebih dahulu mengenai objek transaksi yang dilakukan itu adalah efek atau sekuritas.

PEMBUKTIAN INSIDER TRADING
Berdasarkan praktiknya sulit untuk dibuktikkan insider trading karena pembuktiannya memerlukan standar pembuktian yang tinggi dan tidak mudah membuktikan ada atau tidaknya insiders itu melakukan insider trading. Banyak contoh kasus pembuktian pelaku insider trading dibebaskan oleh pengadilan karena pengadilan tidak mampu membuktikan kesalahan pelaku.
Pembuktian praktik insider trading dapat dilakukan melalui investigasi para pihak yang dideteksi telah melakukan praktik tersebut dan juga dari pemeriksaan dokumen-dokumen tertulis, termasuk di dalamnya lembaran transaksi elektronik. Dalam dalam Pasal 95 sampai Pasal 99 dan Pasal 104 UUPM diatur larangan perdagangan orang dalam. Aturan ini melarang insiders perusahaan berbadan hukum yang memiliki informasi orang dalam untuk membeli atau menjual saham perusahaan atau perusahaan lain yang bertransaksi dengan perusahaan tersebut. Orang dalam juga dilarang mempengaruhi pihak lain untuk menjual atau membeli saham tersebut. Orang dalam dilarang membocorkan informasi kepada pihak lain yang untuk menggunakannya untuk jual-beli saham tersebut.

----------------




[*] Mahasiswa Semester III Kelas Hukum Bisnis pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan 2011.