Rabu, 06 Maret 2013

Analisis Jenis Narkotika Untuk Raffi Ahmad

Oleh: Bisdan Sigalingging, SH, MH

Pengaturan tentang rehabilitasi sebagaimana diatur dalam Pasal 54 UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika, hanya menentukan bahwa “Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial”. Pengertian Rehabilitasi Medis menurut Pasal 1 angka 16 UU Narkotika adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan Narkotika. Pengertian Rehabilitasi Sosial menurut Pasal 1 angka 17 UU Narkotika adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu Narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.
Pada Pasal 4 UU Narkotikan ditegaskan bahwa Undang-Undang tentang Narkotika bertujuan:
  1. Menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
  2. Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan Narkotika;
  3. Memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
  4. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi Penyalahguna dan pecandu Narkotika.
Norma pengaturan tentang rehabilitasi bagi seseorang terkait dengan Narkotika dalam pengaturan di atas hanyalah PENCANDU dan PENYALAHGUNA. Jika yang dikehendaki kategori PENCANDU maka aparat penegak hukum harus terlebih dahulu bisa membuktikan dengan asalan-alasan dan fakta apakah seseorang itu sebagai PECANDU. Sedangkan jika yang dikehendaki kategori PENYALAHGUNA maka aparat penegak hukum dapat membuktikan bahwa Narkotika yang dimaksud memang benar-benar dilarang disalahgunakan secara yuridis dalam UU Narkotika.
Sehubungan dengan kategori PENYALAHGUNA ada kaitannya dengan ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUH Pidana yang menegaskan norma seseorang tidak dapat dihukum jika tidak diatur dalam suatu undang-undang.
”Tiada suatu perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam udang-undang yang ada terdahulu dari pada perbuatan itu”.
Ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUH Pidana di atas mengandung asas legalitas. Hukum pidana di Indonesia secara umum masih menganut asas legalitas ini secara konservatif bahkan hampir di seluruh tingkat pengadilan dan tahap-tahap proses hukum asas ini diterapkan. Sikap konservatif ini terlihat dari masih dipertahankannya tanpa kecuali asas legalitas, asas neb is in idem, asas non retroaktif dan asas kesalahan.
Dasar dari asas praduga tidak bersalah (persumtion of innotion) adalah asas legalitas dalam sistim hukum eropa kontinental yang dianut di Indonesia saat ini. Menurut asas ini bahwa seseorang tidak dapat dipidanakan jika seseorang itu tidak memiliki kesalahan (sengaja/dolus atau lalai/culpa).
Asas praduga tidak bersalah ini dianut di Indonesia tetapi di samping itu juga dianut asas praduga bersalah. Seseorang dapat dipersalahakan walaupun ia tidak melakukan kesalahan yang dapat dibuktikan oleh aparat hukum berdasarkan DUGAAN KUAT maka dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan asas baru yaitu asas pertanggungjawaban mutlak (strict liability) yang merupakan kekecualian dari KUH Pidana. Tujuan asas ini untuk gugatan perdata terhadap harta atau aset (in rem). Asas yang terakhir ini dikenal dalam UU seperti UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, UU No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan UU No.32 Tahun 2009 tentang Pencegahan dan Perlindungan Lingkungan Hidup.
Asas praduga bersalah dan asas pertanggungjawaban mutlak ini tidak dikenal di dalam UU Narkotika.
Kendatipun zat katinon (chatinone) merupakan turunan dari methylenedioxymethcathinone tetapi dari sudut pandang yuridis chatinone tidak mengandung asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUH Pidana. Oleh karena nama aslinya tidak sama dengan jenis nama yang tercantum dalam Lampiran UU Narkotika tetap saja zat katinon tersebut tidak termasuk sebagai zat yang dilarang dalam UU Narkotika.
Analoginya sama dengan menangkap seseorang yang bernama Ahmad padahal sesungguhnya yang menjadi target yang akan ditangkap adalah yang bernama Ahmed hanya beda satu huruf saja antara Ahmad dan Ahmed dan antara kedua-dua orang ini memiliki hubungan darah dalam satu keluarga, katakanlah kakak beradik, atau sepupuan, atau satu ayah lain ibu, atau satu ibu lain ayah. Apakah mungkin dapat dikatakan Ahmad sama dengan Ahmed?????????????????????????????

Tidak ada komentar: