Kamis, 23 Oktober 2014


HUKUM PERJANJIAN

Oleh:
Bisdan Sigalingging, SH, MH
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara)
Emai:
bilqisadzkia@gmail.com
bisdansigalingging@yahoo.com

Hukum perjanjian merupakan bagian (sub sistem) dari hukum privat. Berbicara soal hukum perjanjian berarti konsep hukumnya adalah berada dalam konsep hukum perdata, sebab hukum perjanjian merupakan bagian dari hukum perdata (hukum privat). Hukum perjanjian pada prinsipnya derivatif (turunan) dari hukum perikatan, walaupun kadang-kadang, kajiannya dibedakan antara perikatan dan perjanjian, tetapi pada prinsipnya antara hukum perjanjian dan hukum perikatan adalah sama. Ditingkat teoritis boleh dikatakan bahwa hukum perikatan berada pada tataran teoritis yang mungkin dapat disebut dengan teori kesepakatan sedangkan dalam tataran normatif terdapat di dalam KUH Perdata.
Dalam KUH Perdata pengaturan mengenai hukum perjanjian dapat ditemukan dari sebahagian dalam buku III KUH Perdata tersebut yang secara khusus diatur di dalam mulai dari Pasal 1313 s/d Pasal 1351 KUH Perdata dan di bawah sub judul besar Bab II berjudul “Perikatan-Perikatan yang Dilahirkan Dari Kontrak Atau Persetujuan”. Dari ketentuannya diketahui bahwa pada prinsipnya terdapat hukum perjanjian.
Walaupun hukum perjanjian dan hukum perikatan dikaji secara terpisah. Namun itu tidak berarti konsepnya harus berbeda, sebagaimana pada umumnya terdapat dalam karya-karya para ahli hukum, mengkaji kedua aspek ini berada dalam satu kajian, walaupun sedikit terdapat perbedaan.
Perjanjian dan perikatan merupakan dua hal yang berbeda meskipun keduanya memiliki ciri yang hampir sama. Untuk membedakan antara perjanjian dan perikatan dapat diperhatikan dalam tabel 2 berikut ini:





Tabel 2
Perbedaan Antara Perjanjian dan Perikatan

No
Perjanjian
Perikatan
1.
Perjanjian menimbulkan atau melahirkan perikatan.
Perikatan adalah isi dari perjanjian.
2.
Perjanjian lebih konkrit daripada perikatan, artinya perjanjian itu dapat dilihat dan didengar.
Perikatan merupakan pengertian yang abstrak (hanya dalam alam pikiran saja).
3.
Pada umumnya perjanjian merupakan hubungan hukum bersegi dua, artinya akibat hukumnya dikehendaki oleh kedua belah pihak. Hal ini bermakna bahwa hak dan kewajiban dapat dipaksankan. Pihak-pihak berjumlah lebih dari atau sama dengan dua pihak sehingga bukan pernyataan sepihak, dan pernyataan itu merupakan perbuatan hukum.
Perikatan bersegi satu, artinya: belum tentu menimbulkan akibat hukum, sebagai contoh, perikatan alami tidak dapat dituntut di sidang pengadilan (hutang karena judi) karena pemenuhannya tidak dapat dipaksakan. Pihaknya hanya berjumlah satu sehingga ia disebut bersegi satu dan pernyataannya merupakan pernyataan sepihak serta merupakan perbuatan biasa (bukan perbuatan hukum).
Perjanjian merupakan sumber perikatan. Dasar hukumnya adalah Pasal 1233 KUH Perdata, yang menentukan tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena persetujuan, maupun karena undang-undang. Dari ketentuan tersebut disimpulkan bahwa sumber perikatan adalah perjanjian dan undang-undang. Perjanjian melahirkan perikatan-perikatan karena memang perjanjian seringkali (bahkan kebanyakan) melahirkan sekelompok perikatan.
Sumber perikatan adalah perjanjian dan undang-undang. Perjanjian sebagai sumber perikatan berarti perikatan itu dikehendaki oleh para pihak yang berjanji, sedangkan undang-undang sebagai sumber perikatan berarti tanpa ada kehendak dari para pihak yang terikat. Perikatan dapat lahir karena tanpa para pihak melakukan suatu perbuatan tertentu, perikatan bisa lahir karena para pihak berada dalam kondisi tertentu sesuai Pasal 1352 dan Pasal 1353 KUH Perdata.
Sehingga penafsiran terhadap ketentuan dalam Pasal 1233 KUH Perdata tersebut sebagai sumber dari hukum perikatan berasal dari perjanjian dan undang-undang. Selain itu di samping berasal dari perjanjian dan undang-undang, sumber perikatan dapat juga berasal dari kesusilaan.
Sehingga dikenal pula istilah perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama. Perjanjian bernama adalah perjanjian yang ditentukan di dalam undang-undang, yang secara khusus ditentukan di dalam Bab V s/d XVIII Buku III KUH Perdata. Sedangkan perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak ditentukan dalam undang-undang tetapi terjadi di dalam praktik yang diperbolehkan berdasarkan asas kepantasan, kepatutan, dan kesusialaan.
Hukum perjanjian adalah seperangkat aturan hukum yang mengatur mengenai hal-hal yang berhubungan dengan masalah perjanjian. Hukum perjanjian tidak hanya mengatur mengenai keabsahan suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak, tetapi juga akibat dari perjanjian tersebut, penafsiran, dan pelaksanaan dari perjanjian yang dibuat tersebut. Hukum perjanjian merupakan suatu lapangan dalam hukum perdata yang lebih sempit daripada hukum perikatan. Hukum perjanjian merupakan bagian dari hukum perikatan yang lebih luas cakupannya.
Hukum perjanjian kadang-kadang diidentikkan pula dengan hukum kontrak. Bagaimana pula perbedaan antara kedua hal ini. Beberapa literatur ditemukan membedakan kedua istilah ini tetapi makna dari kedua istilah sebenarnya sama, yakni sama-sama menyatakan suatu kesepakatan. Hanya penggunaan dalam penempatan istilahnya saja yang berbeda, tetapi hakikatnya adalah sama. Walaupun hukum perjanjian bersifat lebih luas daripada hukum kontrak, atau hukum kontrak merupakan derivatif dari hukum perjanjian, tetapi hakikatnya tetap lah sama.
Hukum kontrak lahir dari kehendak para pihak yang menghendaki suatu perjanjian harus dibuat dalam bentuk tertulis, sebab hingga kini tidak pernah ditemukan ada kontrak yang tidak dilaksanakan secara tertulis, atau tidak ada kontrak yang dilaksanakan dalam bentuk lisan. Perlunya perjanjian dalam bentuk tertulis dimaksudkan untuk menciptakan kepastian hukum bagi para pihak dalam melaksanakan prestasi.
Wajar saja dalam kegiatan bisnis atau kegiatan perdagangan mudah ditemukan banyak persoalan dagang, oleh karena itu perjanjian harus dibuat dalam bentuk tertulis, perjanjian yang dibuat dalam bentuk tertulis inilah yang sering diidentikkan dengan kontrak. Tapi ada juga ahli hukum dengan tegas menentang para pendapat yang menyamakan penggunaan kedua istilah ini walaupun maksudnya sama.
Banyak orang mencampuradukkan kedua istilah ini dalam menafsirkan perjanjian (overeenkomst) dalam Buku III KUH Perdata (BW), padahal sebenarnya hukum kontrak (contract law) merupakan bidangnya dalam kegiatan bisnis atau kegiatan perdagangan. Hukum kontrak memiliki pengertian yang lebih sempit dari hukum perjanjian. Sedangkan di sisi lain diartikan tidak sependapat untuk membedakan kedua istilah itu, ia justru menyamakan pengertian antara perjanjian dan kontrak (Agus Yudha Hernoko).
Sedangkan para ahli hukum yang lain seperti: Jacob Hans Niewenhuis, Hofman, J. Satrio, Soetojo Prawirohamidjojo, Mathalena Pohan, Mariam Darus Badrulzaman, Purwahid Patrik, Trtodiningrat, dan Pothier, sebagaimana yang dapat dihimpun, semua menyebutkan kedua istilah ini dalam pengertian yang sama.
Peter Mahmud Marzuki sependapat dengan Subekti, dalam argumentasi kritis Peter menyebutkan untuk agreement yang berkaitan dengan bisnis harus disebut contract, sedangkan untuk yang tidak terkait dengan bisnis hanya disebutnya sebagai agreement saja.
Y. Sogar Simamora, juga memaknai kontrak merupakan aspek yang berada dalam lapangan bisnis. Sebagaimana disebutnya, kontrak merupakan bagian yang melekat dari transaksi bisnis baik dalam skala besar maupun skala kecil, baik domestik maupun internasional. Fungsinya penting dalam menjamin bahwa seluruh harapan yang dibentuk dari janji-janji para pihak dalam kontrak terlaksana dan dapat dipenuhi.
Kemudian perbedaan itu juga dikaji secara kritis oleh Muhammad Syaifuddin yang mengatakan pelaku bisnis banyak memahami kedua istilah tersebut memiliki pengertian yang berbeda. Padahal menurutnya secara dogmatik, KUH Perdata sebagai induk hukum yang menggunakan istilah overeenkomst adalah juga istilah contract, karena titel Bukut III yang berjudul tentang “Perikatan-Perikatan yang Lahir Dari Kontrak Atau Perjanjian”, diterjemahkan ke dalam Bahasa Belanda adalah “Van Verbintenissen Die Uit Contract of Overeenkomst Geboren Worden”.
Berikut disebutkan oleh Peter Mahmud Marzuki, istilah kontrak lebih menunjukkan nuansa bisnis atau komersil dalam hubungan hukum yang dibentuk, sedangkan istilah perjanjian cakupannya lebih luas. Dengan demikian pembedaan kedua istilah ini bukan pada bentuknya. Tidak tepat jika kontrak diartikan sebagai perjanjian yang dibuat secara tertulis, sebab kontrak pun dapat dibuat secara lisan.
Berdasarkan pendekatan istilah bahasa juga kedua istilah ini pada prinsipnya memiliki maksud yang sama. Kalau di dalam kebiasaan di Indonesia dan juga di dalam bahasa Indonesia sering digunakan istilah perjanjian, demikian pula dalam kebiasaan di negara Eropa Barat termasuk Belanda, istilah contract (kontrak) sudah menjadi istilah sehari-hari untuk menyebutkan kesepakatan, apakah itu kesekapatan dalam kegiatan yang mendatangkan nilai ekonomis atau tidak, tetap menggunakan istilah kontrak tersebut di Eropa Barat.
Sehingga dengan demikian, antara istilah kontrak dan perjanjian sesungguhnya sama saja, tidak ada bedanya berdasarkan teori-teori, norma-norma, serta doktrin-doktrin yang ada. Walaupun kadang-kadang dalam praktik sering dibedakan, namun berdasarkan pendekatan sejarah lahirnya kedua istilah ini sama sekali tidak memiliki perbedaan. Bahkan di Indonesia sendiri dasar hukum keduanya tetap mendasarkan pada overeenkomst dalam KUH Perdata.
Setelah dilakukan penelitian, terkait perbedaan ini disimpulkan bahwa kedua istilah antara kontrak dan perjanjian tidak ada bedanya, hanya saja hal itu menjadi berbeda karena faktor kebiasaan (tradisi) penggunaannya di Indonesia. Warga negara Indonesia yang berurusan dengan bisnis atau kegiatan dagang sering menggunakan istilah kontrak padahal sama maksudnya dengan perjanjian.
Sedangkan istilah perjanjian di Indonesia sering ditafsirkan lebih luas, termasuk semua aspek kehidupan bisa dibuat kesepakatan dalam bentuk perjanjian baik tertulis maupun tidak tertulis. Itulah yang membuat kedua istilah ini menjadi berbeda khususnya di Indonesia. Padahal di Eropa Barat tempat perdagangan yang sangat kompleks dan maju dari dulu hingga saat ini istilah kontrak tetap menjadi istilah yang sering dipergunakan daripada perjanjian.
Di Indonesia, dapat ditelaah berdasarkan ketentuan pada Pasal 1313 KUH Perdata diperoleh bahwa pengertian perjanjian adalah “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Dari istilah perjanjian ini saja pada prinsipnya sebenarnya sama dengan istilah kontrak di Eropa Barat, tetapi di Indonesia sering menggunakan istilah kontrak hanya untuk kegiatan dalam bisnis atau perdagangan, padahal tidak demikian menurut asal muasal istilah ini digunakan.
Pengertian perjanjian dalam ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata memiliki kelemahan, oleh sebab itu semestinya harus diperbaiki. Kelemahan itu terdapat pada beberapa hal sebagaimana tabel 3 berikut ini.
Tabel 3
Kelemahan Pengertian Perjanjian Dalam Pasal 1313 KUH Perdata
No
Kelemahan
Seharusnya
1.
Merupakan perbuatan (hal ini bermakna terlalu luas).
Perbuatan hukum
2.
Yang mengikatkan dirinya hanya satu pihak (kurang lengkap) sehingga bisa disebut perjanjian sepihak.
Saling mengikatkan diri atau syarat minimal pihaknya harus dua orang saja.
3.
Tujuannya tidak jelas.
Harus dijelaskan tujuannya untuk apa.
Kelemahan Pasal 1313 KUH Perdata juga terdapat ada empat hal dari defenisi tersebut, yaitu:
  1. Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja;
  2. Kata perbuatan mencakup juga perbuatan tanpa kesepakatan, termasuk mengurus kepentingan orang lain, dan perbuatan melawan hukum;
  3. Pengertiannya terlalu luas (bisa termasuk perjanjian kawin);
  4. Tanpa menyebutkan tujuannya.
Kebanyakan pakar hukum mengatakan Pasal 1313 KUH Perdata memiliki banyak kelemahan. Kata “perbuatan” terlalu luas dapat berupa perbuatan hukum dan perbuatan bukan hukum, juga bisa termasuk perbuatan melawan hukum. Sementara dari kalimat “mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih” dapat diartikan hanya cocok untuk perbuatan sepihak.
Oleh karena kelemahan tersebut, dicoba diberikan penyempurnaan, seharusnya pengertian perjanjian di dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut memiliki redaksi seperti beirkut ini:
Suatu hubungan hukum di bidang harta kekayaan yang didasari kata sepakat antara subjek hukum yang satu dengan yang lain, dan di antara mereka (para pihak/subjek hukum) saling mengikatkan dirinya sehingga subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga dengan subjek hukum yang lain berkewajiban melaksanakan prestasinya sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati para pihak tersebut serta menimbulkan akibat hukum.
Poin-poin penting yang digaris bawahi tersebut di atas mesti ada dalam membuat pengertian perjanjian sebagaiman dalam Pasal 1313 KUH Perdata harus diharmonisasikan dengan makna tersebut, agar tidak membingungkan, syarat minimal jumlah para pihak, apakah perjanjian atau perikatan, apa bidang perjanjian dimaksud, tujuannya, kekuatan mengikatnya, kewajiban melaksanakan prestasi, dan akibat hukumnya.
Unsur-unsur dalam perjanjian harus dipenuhi yaitu:
1.      Ada pihak-pihak (subjek), sedikitnya dua pihak;
2.      Ada persetujuan dari pihak-pihak yang bersifat tetap;
3.      Ada tujuan yang akan dicapai, yaitu untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak;
4.      Ada prestasi yang akan dilaksanakan;
5.      Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan;
6.      Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian.
Norma yang mengandung syarat-syarat perjanjian di dalam Pasal 1320 KUH Perdata mensyaratkan unsur-unsur perjanjian. Agar suatu perjanjian menimbulkan perikatan sehingga mempunyai kekuatan yang mengikat dan berlaku sebagai undang-undang, maka bagi para pihak yang membuatnya haruslah memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata.
Dirumuskan secara normatif di dalam Pasal 1320 KUH Perdata, bahwa sahnya suatu perjanjian harus memenuhi 1) kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan diri, 2) kecakapan untuk membuat perjanjian, 3) sesuatu hal tertentu, dan 4) sesuatu sebab yang diperbolehkan oleh hukum. Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subjektif sedangkan dua syarat yang terakhir merupakan syarat objektif.
Suatu perjanjian/kontrak tanpa memenuhi keempat syarat sah yang disebutkan di dalam Pasal 1320 KUH Perdata tersebut, maka perjanjian/kontrak tersebut dapat dibatalkan (apabila tidak memenuhi syarat subyektif yaitu: sepakat mereka yang mengikatkan dirinya dan syarat kecakapan untuk membuat suatu perikatan) atau dapat batal demi hukum (apabila tidak memenuhi syarat obyektif yaitu: suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal).
Jika tidak terpenuhi syarat subjektif perjanjian, maka perjanjian itu dapat dibatalkan. Jika tidak terpenuhi syarat objektif perjanjian, maka perjanjian itu terancam batal demi hukum. Kecakapan merupakan unsur subjektif sahnya perjanjian. Orang yang sudah dewasa, dan sehat pikirannya merupakan orang yang cakap menurut hukum. Ada pula hal yang diperjanjikan menyangkut obyek tertentu dan objek itu harus jelas. Dilakukan pula atas sebab yang halal, dengan itikad baik bukan ditujukan untuk suatu kejahatan.
Unsur para pihak atau pihak-pihak inilah yang disebut sebagai subjek perjanjian yang terikat di dalam perjanjian. Subjek perjanjian dapat berupa orang atau badan hukum. Syarat menjadi subjek perjanjian adalah harus mampu atau berwenang melakukan perbuatan hukum, yang dalam KUH Perdata dibagi tiga golongan yaitu: para pihak yang mengadakan perjanjian, para ahli waris dari para pihak, dan pihak ketiga.
Subjek perjanjian adalah orang-orang sebagai anggota masyarakat, bisa pula suatu badan hukum, atau suatu korporasi. Namun umumnya dalam KUH Perdata hanya mengenal orang perseorangan atau suatu badan hukum sebagai subjek hukum. Sedangkan subjek hukum korporasi mulai dikenal pada beberapa bidang hukum yang baru misalnya dalam hukum lingkungan hidup, dalam hukum perusahaan, dan lain-lain.
Subjek perjanjian merupakan pelaku yang bertindak dan sangat dipentingkan, demikian objek perjanjian juga merupakan suatu hal yang dipentingkan mengenai suatu hal yang diperlakukan oleh subjek perjanjian. Sehingga objek perjanjian harus terang dan jelas sebagai hal yang diwajibkan kepada para pihak (subjek perjanjian) untuk memenuhi prestasi masing-masing. Itu sebabnya objek perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata harus disebutkan dalam makna yang bersifat general yaitu suatu hubungan hukum di bidang harta kekayaan.
Sifat perjanjian merupakan salah satu unsur penting dalam perjanjian yaitu harus ada persetujuan (kesepakatan) antara para pihak, untuk melakukan tujuan perjanjian. Tujuan mengadakan perjanjian terutama untuk memenuhi kebutuhan para pihak. Tujuan itu sifatnya tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan tidak dilarang dalam perundang-undangan.
Prestasi merupakan kewajiban yang wajib dipenuhi oleh para pihak sesuai dengan kesepakatan yang telah diperjanjikan. Hakikat dari perjanjian sesungguhnya menghendaki suatu prestasi. Tetapi jika makna perjanjian sebagaimana dalam Pasal 1313 KUH Perdata sedemikian adanya, tidak menunjukkan hakikatnya untuk menimbulkan suatu prestasi. Tujuan menimbulkan suatu prestasi hanya pada umumnya berada pada penafsiran di dalam doktrin-doktrin para ahli hukum saja, sedangkan mana yuridisinya tidak terpenuhi dalam ketentuan tersebut. Pentingnya prestasi sebagai hakikat dari perjanjian adalah sebagai penegasan agar pihak lain tidak melakukan atau dapat sebagai sarana pencegah meminimalisir terjadinya perbuatan wanprestasi.
Oleh karena ada ketentuan undang-undang yang kadang-kadang menentukan hanya dengan bentuk tertentu suatu perjanjian memiliki kekuatan mengikat dan kekuatan sebagai bukti. Bentuk tertentu dapat berupa akta. Bentuknya dapat dibuat secara lisan kecuali jika para pihak menghendaki harus dalam bentuk tertulis. Maka bentuk perjanjian mesti pula harus ditentukan dalam bentuk perjanjian tertulis.

Tidak ada komentar: